My Short Story

By utaminotutama

1M 72.3K 4.5K

Berisi Kumpulan Cerita-cerita pendek yang aku buat. More

Tiba Saatnya (2)
Tiba Saatnya (3)
Tiba Saatnya (4)
Tiba Saatnya (5)
Tiba Saatnya (6) - END
Dunia Maudy (1)
Dunia Maudy (2)
Dunia Maudy (3)
Dunia Maudy (4)
Mimpi? (1)
Mimpi? (2)
Mimpi (3)
Mimpi (4)
Mimpi (5)
Mimpi (6)
Mimpi (7)
Indah
Indah (2)
Indah (3)
Indah (4)
Indah (5)
Katakan Putus (1)
Katakan Putus (2)
Love Scenario (1)
Love Scenario (2)
Love Scenario (3)
Love Scenario (4)
Love Scenario (5)
First Love (1)
First Love (2)
Bukan Pemeran Utama (1)
Bukan Pemeran Utama (2)
Bukan Pemeran Utama (3)
Bukan Pemeran Utama (4)
Jejak Rasa (1)
Jejak Rasa (2)
Jejak Rasa (3)
Jejak Rasa (4)
Jejak Rasa (5)
Jejak Rasa (6)
Jejak Rasa (7)
Salah Jodoh (1)
Salah Jodoh (2)
Salah Jodoh (3)
Salah Jodoh (4)
Salah Jodoh (5)
Salah Jodoh (6)
Salah Jodoh (7)

Tiba Saatnya (1)

72.5K 1.8K 48
By utaminotutama


"Mama memintaku menikahi Sinta" Dean membuka suara sembari memperhatikan Maura yang hampir menyelesaikan cucian piringnya, mereka baru saja menyelesaikan makan malam.

Makan malam bersama setelah beberapa waktu belakangan ini pria itu selalu pulang terlambat, atau bahkan pulang keesokan paginya.

Maura yang mendengar itu terpaku dan terhenti dari gerakannya mencuci gelas terakhir, rasa sesak itu langsung menghampirinya.

Akhirnya ia sampai juga pada waktu ini. Waktu yang paling ia takutkan, waktu dimana ia harus merelakan kebahagiaan suaminya, mungkin.

"Bagaimana keputusan mas?" Maura akhirnya bersuara setelah beberapa lama terdiam.

Ia mencoba menahan suaranya agar tidak terdengan bergetar dan serak, meski dalam hati ia sudah merasakan perih. Cuciannya ia selesaikan sembari menunggu jawaban Dean dengan jantung bertalu keras.

"Sinta tidak punya siapa-siapa lagi, dia dalam kondisi sangat membutuhkan pendamping, wali"
Itu berarti iya kan?, Dean setuju untuk menikahi Sinta. Maura memegang pinggir kloset dengan erat, mencoba memapah tubuhnya sendiri.

Wanita itu sekuat tenaga menahan air matanya yang sudah ingin terjun bebas, tidak ingin terlihat menyedihkan didepan pria itu, setidaknya untuk saat ini.

"Kalau begitu aku akan mulai mengurus suratnya besok, aku harap mas mau bersabar sampai urusan kita selesai" Maura benar-benar memuji dirinya sendiri yang mampu mengucapkan itu dengan berusaha sebiasa mungkin, seolah-olah yang ia katakan adalah hal ringan yang biasa mereka bahas.

"Apa maksud kamu?" Suara pria itu mulai terdengan emosi. Ia tahu, meski tidak menatap langsung tapi Dean kini sedang menatapnya tajam.

"Perceraian kita, senggaknya mas bisa bersabar sampai saat itu tiba, gak akan lama kok" Maura masih berucap dengan nada biasa, membuat pria diseberang sana makin berang.

"Sialan Maura, kamu pikir pernikahan kita main-main?!" Dean bangkit dari kursinya dengan kasar, rahangnya mengeras, pertanda pria itu benar-benar marah.

Sementara Maura meringis dalam hati. Main-main?, apakah ada dari sikapnya yang selama ini menunjukkan bahwa ia menganggap pernikahan ini main-main.

Ia bahkan menaruh seluruh hati dan harapannya untuk masa depan rumah tangga mereka, tapi sepertinya Dean tidak mengerti itu. Ya, Dean memang tidak pernah mau mengerti dirinya.

"Bangunlah rumah tangga yang bahagia dengan Sinta. Untuk masalah Mira, biar pengadilan nanti yang akan memutuskan hak asuhnya" Maura terus melanjutkan keinginannya tanpa menanggapi ucapan Dean sebelumnya.

"Persetan Maura, tidak akan ada perceraian diantara kita!" Setelah mengucapkan itu, Dean beranjak dari tempatnya dengan emosi meluap.

Sialan, pria itu merasa Maura benar-benar berniat mengujinya kali ini.

Setelah mendengar suara mobil keluar, pertahanan diri Maura akhirnya runtuh. Tubuhnya yang memang sudah lemas langsung terduduk dilantai. Air matanya begitu deras, namun belum cukup mengurangi sesak dan sakit didadanya.
5 tahun rumah tangganya berjalan dan kini sepertinya harus kandas. 5 tahun bukan waktu sebentar, dan selama itu Maura berusaha dengan sangat keras menjadi sosok istri bagi Dean, bagi rumah tangganya.

Selama ini Dean memang mungkin tidak mencintainya, atau belum juga mencintainya. Tapi Maura, dirinya sejak awal memang sudah mencintai pria itu.

Bahkan hal yang paling disyukuri oleh Maura adalah perjodohan mereka. Berkat itu, ia merasa bisa dipertemukan dan dipersatukan dengan Dean.

Tapi entah untuk sekarang, masihkan ia bisa merasa bersyukur setelah apa yang suaminya ucapkan tadi?.

Dean bersungguh-sungguh menjalani rumah tangga ini bersamanya. Dibuktikan dengan kejujuran pria itu sedari awal. Pria itu dengan jujur menceritakan semua masa lalunya, juga tentang perasaannya yang masih terpaut pada seseorang.

Meski begitu Dean berjanji akan berusaha mencintainya dan menjalankan kewajibannya sebagai suami dengan baik.

Dan Dean berhasil menjadi sosok suami yang sangat baik baginya selama ini. Sampai Maura merasa terlena dan mengesampingkan rasa cinta Dean yang belum tumbuh untuknya.

Hingga kehadiran buah hati mereka, Mira. Membuat Maura makin melambung tinggi akan harapan-harapannya tentang masa depan rumah tangga mereka.

Meski jarang bersikap mesra, namun Maura memaklumi itu, entah karena rasa cinta pria itu yang belum tumbuh atau karena sikapnya yang sekaku itu.

Namun, kejadian dua bulan lalu perlahan meredupkan semua harapan Maura. Kejadian yang menimpa Sinta, wanita yang selama ini menjadi sahabat dan bayang-bayang suaminya membuat Maura mulai merasakan ketakutan itu, ketakutan yang tersimpan rapat dalam sudut hatinya.

Dulu, Dean dan Sinta dalah sepasang sahabat dari kuliah yang sepertinya saling mencintai bahkan hingga mereka sudah bekerja. Keduanya ragu untuk saling mengungkapkan karena takut merusak hubungan mereka. Maura mengetahui ini secara detail dari Naira, adik bungsu Dean.

Hingga, suatu ketika Sinta dihamili oleh Rendra, teman perkumpulan mereka tanpa sengaja karena mereka dalam keadaan tidak sadar.

Saat itulah Dean harus merasakan patah hati yang teramat sangat. Menyesali dirinya yang pengecut dan tidak melindungi Sinta dengan baik.

Hingga kemudian Sinta menikah dengan Rendra. Mau tak mau Dean harus menerimanya, Rendra pria baik dan bertanggung jawab.

Dua bulan lalu, sebuah kecelakaan besar menimpa Rendra yang dalam perjalanan pulang dan membuatnya tidak mampu lagi bertahan hidup.

Hal itu benar-benar membuat Sinta terpukul apalagi dengan kondisi badannya yang sedang hamil tua.

Sejak saat itu, Dean selalu ada disamping Sinta untuk menemaninya dan memberikan dukungan. Begitu pula dengan kedua orang tua Dean yang sama mengenal baiknya gadis itu.

Bahkan untuk saat ini, Sinta dan anaknya diboyong ke rumah mertua Maura karena kondisinya yang masih mengkhawatirkan dan akan segera melahirkan dalam waktu dekat.

Maura memahami dan menerima itu meski ada rasa enggan ia rasakan. Namun sebisa mungkin ia memahami situasi, terlebih Sinta yang yatim piatu dan tidak begitu akur dengan keluarga suaminya. Ia pun turut prihatin dengan kejadian dan kondisi Sinta saat ini.

Ia masih bisa menerima semuanya. Ia tidak mempermasalahkan Dean yang belum mencintainya, tidak mendesaknya pula. Ia masih mampu mengabaikan tatapan sayang dilayangan Dean pada Sinta saat beberapa kali mereka bertemu. Ia menerima Dean yang selalu membantu Sinta jika wanita itu membutuhkan bantuan.

Tapi kali ini haruskah ia masih bisa menerima?. Tidak, ia tidak menyalahkan Dean yang belum mencintainya, tidak menyalahkan kondisi Sinta. Tidak pula menyalahkan mertuanya yang meminta Dean menikahi Sinta.

Wanita paruh baya itu sangat baik, menyayanginya dan Mira. Mungkin mertuanya juga kalut dan kasihan dengan kondisi Sinta saat ini. Tapi, apakah harus sampai mengorbankan rumah tangganya?.

Tidak ada yang salah dengan rasa sayang dan Cinta, yang salah disini hanya ia yang tidak bisa menerima. Setidaknya itulah yang coba Maura tanamkan pada pemikirannya.

Jika Dean memiliki Sinta sebagai istrinya, Maura akan merasa sudah tidak ada lagi tempatnya dalam hidup pria itu. Sinta akan menjadi segalanya bagi pria itu.

Tidak ada lagi yang bisa ia harapkan dari Dean. Jadi, dari pada ia akan merasa sakit sepanjang hidupnya, lebih baik ia merasakan sakit sekarang.

Meski agamapun memperbolehkan, tapi untuk kali ini Maura tidak akan sanggup menjalaninya. Jadi biarkan kali ini ia mengambil keputusan egois. Keputusan terbaik bagi semua orang. Mungkin kecuali bagi Mira, anaknya.

Mengingat Mira air matanya makin deras mengalir. Dalam hati memohon maaf pada anaknya karena tidak mampu bertahan.

Maura meraba perut ratanya dengan pelan. Bukan hanya Mira, tapi calon buah hatinya yang kedua juga akan menjadi korban kan?. Tapi untuk mempermudah semua ini, dia akan terus menyembunyikan kehamilannya.

3 minggu usia janinnya, baru ia ketahui kemarin setelah menemui dokter kandungan untuk memastikan kondisi tidak enak yang ia alami akhir-akhir ini.

Malam ini sebisa mungkin ia meminta Dean untuk makan malam dirumah. Rencananya ia akan memberitahukan kabar ini pada suaminya, mungkin saja pria itu akan terkaget-kaget.

Mengingat suaminya tidak tahu bahwa ia sudah melepas kontrasepsinya dari beberapa lama. Namun belum juga mengungkapkan kehamilannya, malah ia yang dikejutkan dengan perkataan sang suami.

Maura menghapus air matanya kemudian bangkit perlahan. Dengan tertatih ia melangkahkan kakinya menuju kamar. Namun bukan kamar yang biasa ia tempati, melainkan kamar sang anak yang sedang terlelap damai.

Sesampainya dikamar bernuansa doraemon itu, Maura langsung merebahkan dirinya dengan hati-hati disamping sang buah hati. Matanya kembali berair saat menatap wajah lelap Mia.

Ia hanya bisa berharap Mira akan bisa menerima perpisahan orang tuanya dan mau memaafkan keputusan egosinya. Hampir sepanjang malam itu Maura terus menangis hingga tertidur dengan sendirinya.


@@@@@@


Keesokan paginya, Maura tersentak bangun saat sebuah tangan mungil mengusap pipinya.

"Mama bangun" terdengar suara Mira membuka matanya.
"Ya ampun sayang, maaf mama telat bangun" Maura langsung bangun dan duduk bersandar diranjangnya sembari mengusap rambut anaknya.

Sepertinya ini efek karena ia telat tidur akibat larut dalam kesedihannya semalam. Sehingga ia bangun terlambat dan malah dibangunkan oleh Mira. Untungnya ini hari Minggu, jadi ia tidak akan terburu untuk mengerjakan semuanya.

"Mama tidur disini?" Tanya gadis cilik itu lalu meringsek kedalam dekapan sang ibu.

"Iya, semalam mama rasanya kangen banget udah lama gak tidur bareng kamu" Maura memberikan alasan yang mudah diterima oleh Mira.

"Kita turun yuk... mama bakal siapin sarapan" Maura melepaskan dekapannya kemudian menggandeng anaknya berjalan menuju dapur.

"Papa belum bangun ya ma?" Tanya gadis cilik itu karena belum melihat sang ayah.

"Iya mungkin sayang, atau papa sudah pergi olahraga"

Sebenarnya Maura tidak tahu, yang paling mungkin adalah suaminya tidak pulang dan menginap dirumah orang tuanya, atau mungkin sudah pergi pagi-pagi sekali.

Mengingat hal itu, mata Maura kembali berkaca-kaca. Namun sebisa mungkin ia mencoba menghalau agar air matanya tidak turun dan kembali fokus dengan masakannya.

"Nanti kerumah oma ya ma?"

"Kita jenguk tante Sinta, Mira juga pengen main bareng kak Ayu"

Mira tidak tahu saja jika ucapannya membuat sang mama terpaku sejenak. Maura memang mengetahui, saat weekend atau hari libur suaminya kerap kali membawa Mira kerumah omanya untuk ikut meramaikan susana, menghibur Ayu, anak Sinta, juga mungkin Sinta.

Sementara Maura, hanya sesekali ia ikut karena berbagai alasan termasuk mengontrol projeck di studionya, sekalipun weekend. Yang sebenarnya adalah ia takut tidak kuat menyaksikan interaksi orang-orang disana.

Ia benci dengan dirinya yang merasa seperti itu disaat kondisi Sinta yang benar-benar membutuhkan empati dan perhatian.

"Kamu udah deket ya sama tante Sinta dan Ayu?" Tanya Maura ingin tahu.

"He um, kak ayu baik sama Mira, tante Sinta juga baik banget, dia jago bikin kue loh ma"

"Mira suka?"

"Sukaaa... kuenya enak-enak, Mira kesana selalu dikasih kue sama tante Sinta, sekarang aja udah kangen banget pengen makan kue tante Sinta lagi" Mendengar itu rasa sesak didada Maura makin bertambah.

Jika seperti ini, bukankah Mira akan lebih bahagia jika bersama Dean?, ada Sinta yang akan mendampingi pria itu. Pikiran putus asa mulai menghampiri Maura.

"Yah ma? Kita kesana?, mama juga harus cobain nanti" desak gadis itu dengan tatapan memohonnya.

"Iya sayang" jawab Maura sembari meletakkan sepiring nasi goreng dihadapan sang anak.

"Sekarang makan ya... biar kita siap-siap terus kesana" gadis cilik itu menganggu semangat dan dengan lahap memakan masakan sang mama.

Sementara Maura, ia rasa tidak memiliki nafsu untuk makan sekarang. Akan tetapi ia tidak boleh egois, bagaimanapun sekarang perutnya berisi sebuah nyawa yang bergantung padanya. Akhirnya mau tak mau ia menelan selembar roti tawar dan sebuah apel.

TBC



lagi-lagi aku rada bingung buat nentuin judul wkwk, bosen banget kayaknya kalo ujung2nya pake judul nama.

Continue Reading

You'll Also Like

424K 24.7K 29
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
567K 31.7K 59
Kumpulan cerita pendek yang jamin bikin kamu baper. Ceritanya ringan dengan konflik yang tidak berat. Beberapa sudah dijadikan E-book dan PDF. Don't...
967K 26.7K 23
Hanya kisah seorang istri yang mulai mencurigai kesetiaan suaminya. Dan di saat penyelidikannya mengarah pada kenyataan sang suami terbukti berseling...
1.5M 119K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...