Memetik Bulan [Completed]

By nursintarifiani

321K 50.4K 12K

* Spin-Off: I Wanna Get Lost With You (Uwi-Raka) Sejak kecil Ruisha selalu bercita-cita memiliki pasangan yan... More

1. RUISHA
2. RAKA
3. RUISHA
4. Salju yang Meleleh
5. Perjalanan Singkat
6. Melawan Tuhan
7. Di Ambang Keraguan
8. Putus atau Terus
9. Bertemu Kembali
10. Pulang
11. Hari Pernikahan
12. Pendekatan?
13. Staycation
14. Perjalanan Pulang
15. Saling Membutuhkan
16. Gosip Merebak
17. Sebulan Pertama
19. Ajakan Serius
20. Gangguan Kecil
21. Jualan di Toko
22. Marahnya Orang Sabar
23. Meminta Izin
24. Kunjungan Camer
25. Menuju Hari H
26. Hanya Kita Berdua
27. Hari yang (Tidak Lagi) Berat
28. Kunjungan Ibu Bos
29. Hari Spesial (1)
30. Hari spesial (2)
31. Susah senang bersama?
32. Terlahap Habis
33. Berjuang Bersama
34. Saling Mencintai
Extra Part
PENGUMUMAN

18. LDR

8K 1.3K 250
By nursintarifiani

Happy reading ya. Semoga harimu menyenangkan 🤗.

"Tumben Wi bawa hp ke ruang uji," tanya Dita heran. Biasanya Uwi menyimpan ponselnya di dalam laci. Koordinasi hanya via web whatsapp di layar komputer.

"Buat dokumentasi hasil." Padahal beberapa menit sekali Uwi memantau layar ponselnya. Apakah ada pesan baru. Dari seseorang.

Pasti Raka belum bangun. Uwi melirik jam, menghitung dalam hati perkiraan waktu di Munich saat ini. Masih jam lima pagi.

You
Ka, nggak workout? Atau jogging?

Orang bodohpun tau, siapa pula yang mau jogging jam lima pagi di tengah hujan salju.

Hingga memasuki waktu makan siang, balasan dari Raka belum datang juga.

"Lemes amat lo Wi. Gajian emang masih lama sih."

Kini tanggal gajian nggak lagi Uwi tunggu. Karna uang yang Raka beri lebih besar dari take home pay Uwi di Kuringer.

"Masa sih? Biasa aja ah." Uwi nggak merasa dirinya lemas. Buktinya masih bisa berjalan sampai kantin.

"Uji sampel lo gagal lagi?" tanya Asmi.

"Berhasil kok," ucap Uwi masih sama datarnya. Uwi tetap memaksa mulutnya mengunyah makanan jatah makan siang karyawan. Walau nafsu makan sedang hilang. Kunyahannya terhenti kala mendengar pengumuman di speaker kantin, bahwa pemilik Pajero plat nomor F 12 AKA harap ke area parkir.

Menghembuskan napas lelah, Uwi berdiri dari tempat duduknya. "Mi, nitip ya, gue belum kelar makan." Takutnya piring yang Uwi tinggalkan di meja kantin sudah diambil oleh petugas kebersihan.

"Mau kemana lo?" Asmi penasaran.

"Mau ke parkiran. Itu plat mobil gue yang disebut."

Seumur-umur Uwi nggak pernah pergi ke kantor mengendarai mobil. Alasannya satu, dia malas menghadapi macetnya Bogor di pagi hari. Apalagi dia harus saingan dengan banyaknya angkot hijau yang tumpah ruah dan ngetem seenak jidat.

Kalau disetiri Raka sih nggak apa, kan dia tinggal duduk manis. Paling resikonya harus berangkat lebih pagi.

Tapi hari ini, hari ketiga Raka pergi ke Eropa, membuat Uwi ingin memakai mobilnya untuk berangkat kerja. Aroma parfum Raka masih menempel di jok pengemudi. Sendal yang Uwi pakai di dalam mobilpun juga milik Raka.

Uwi mendesah panjang. Rasa nyaman menyapa begitu memasuki mobil dan duduk di balik kemudi.

Uwi parkir paralel di depan mobil orang dan lupa melepas rem tangan, sedangkan mobilnya menghalangi mobil tersebut yang ingin keluar.

"Maaf ya Pak. Saya lupa," membuka jendela, Uwi meminta maaf kepada petugas security dan si pemilik mobil yang dia halangi.

"Nggakpapa Mbak Uwi. Pertama kali ngantor bawa mobil ya jadi belum biasa."

"Iya nih, Pak. Maklum mobil orang. Belum terbiasa jadi orang kaya nih saya," celetuk Uwi jujur.

Sesampainya di kantin, teman-temannya kompak menatap Uwi.

"Kok bisa lo bawa Pajero? Mobil baru bokap?" Dengan gaji levelan staf biasa, memang mustahil memiliki mobil merk itu.

"Bukan. Punya gue," ucap Uwi bangga. Raka pernah bilang, barang dia adalah barang Uwi.

"Hah? Serius? Ngepet dimana lo?" Mata Rini membola.

Uwi menggeleng santai. Lalu melanjutkan makan siangnya kembali. "Nggak punya waktu lah gue buat ngepet. Mobil laki gue kok itu."

"Lo beneran dapet sugar daddy? Gila, kenceng juga pelet lo." Asmi berdecak kagum.

Saku celana Uwi bergetar, secepat kilat dia memeriksa ponselnya.

Raka Arran Hardjanto
Ruisha, gue baru bangun.

Raka Arran Hardjanto
Udah selesai lunch kah? Boleh vc?

You
Wait

"Gue duluan." Uwi berdiri dengan tergesa.

"Makanan lo masih nyisa banyak ini," Dita memperingatkan.

"Ada yang urgent," tukas Uwi. Masa bodoh dengan makanannya yang baru sedikit dia sentuh.

Uwi melesat cepat menuju mejanya. Tangannya sibuk mencari headset yang terselip di antara tumpukan berkas di laci.

Memasang kabel headset, dia menghubungi Raka.

"Hai." Wajah kantuk Raka memenuhi layar ponsel Uwi.

"Morning, Ruisha. Udah selesai lunchnya?" Raka menyapa Uwi dengan suara serak.

Uwi hanya mengangguk. Fokus memandangi Raka yang terlihat lucu memakai hoodie miliknya.

"Gue mau cuci muka sama sikat gigi dulu. Lo mau nunggu?"

"Mau," jawab Uwi cepat.

"Wait ya."

"Uwi, Ka?" Suara David menyapa telinga Uwi. Sejak kemarin Raka singgah di Munich, sebelum besok bertolak ke Berlin.

"Iya, Mas." Raka memiringkan layar ponselnya, agar Mas David tertangkap kamera.

"Halo Kakak Ipar," sapa Uwi. Percaya diri akan kepastian masa depan hubungannya dengan Raka. Kan Raka ngga akan gue lepas.

"Gue mau ke toilet dulu, Mas. Lo ngobrol dulu sama Uwi ya." Raka menyerahkan hpnya pada David.

Ada rasa kecewa yang menyusup. Uwi pikir dia akan melihat pemandangan Raka yang gosok gigi.

"Sorry ya kamu jadi nggak bisa lihat wajah Raka," ucap David geli. Dia melihat gurat kekecewaan pada wajah Uwi.

"Liat muka Mas Dave juga lumayan bikin segerlah," canda Uwi. Kaget, Uwi tiba-tiba teringat pria yang muncul di layar ponselnya sudah menjadi suami Lily. "Eh Mas, gue bukan pelakor ya, jangan bilang-bilang Lily."

David terkekeh. "Tenang, Yiyi juga nggak akan cemburu."

"Kapan balik Indo, Mas?" Melihat kondisi rumah David yang masih sama sejak dua tahun lalu, membuat Uwi rindu momen kuliah di Munich. Salah satunya saat menjadi obat nyamuk David dan Lily.

"Secepatnya. Rencananya libur christmas nanti." Meski David ingin ikut pulang bersama Raka ke Indonesia, tapi keinginannya tertahan oleh kewajiban pekerjaan yang harus dia tunaikan.

"Gue nunggu oleh-oleh dari lo ajalah, Mas." Lumayanlah malak oleh-oleh dari calon kakak ipar.

"Raka udah belanja banyak oleh-oleh untuk kamu kok, Wi," David memberi kabar bahagia. Nah kan, Uwi jadi senang.

"Baguus. Jadi ngga sabar kan gue," sahut Uwi penuh semangat.

"Nggak sabar ketemu Raka atau dapet oleh-olehnya?" menaikkan kedua alisnya, David meledek Uwi.

Melebarkan mata, Uwi berteriak, "Oleh-olehnya laah."

"Lagi ngomongin apa nih, seru banget." Raka hadir di belakang punggung David, baru keluar dari toilet.

"Nothing," ucap David kalem. Dia menyerahkan ponsel pada Raka.

"Wi, gue sambil sarapan boleh? Lo udah makan siang kan?" Raka meminta ijin lagi.

"Udah. Lo makan apa?"

"Chicken salad kok." Raka mengangkat piringnya di depan kamera. Menunjukkan tampilan sarapannya hari ini.

"Tenang, saya nggak masakin mie instan dan ayam goreng lagi untuk Raka." Kepala David menyembul di balik bahu Raka.

"Lo cerita?" Kemarin Uwi mengomeli Raka karena dia mengonsumsi makanan instan dan berlemak. Uwi sih hanya memastikan Raka konsisten dengan healthy foodnya.

"Mas Dave dengerin voice note lo, Wi."

Mengingat nada omelan yang dia semburkan pada Raka kemarin, Uwi menyeletuk, "Mas Dave, lo masih restuin gue kan? Gue biasanya lemah lembut kok."

Raka memiringkan ponselnya, membuat David kembali terisi di dalam layar. Mengangguk, David menanggapi, "Nggakpapa. Ada sebagian perempuan yang menunjukkan perhatiannya dengan cara ngomel-ngomel."

Uwi mendelik karena Raka terbahak. "Jangan kegeeran lo, Ka."

Tanpa mengindahkan ucapan Uwi, Raka berkata pada kakaknya, "Mas, Uwi emang perhatian banget." Lalu Raka memandangi Uwi. Pandangannya melekat pada wajah pacarnya yang menghiasi layar ponsel. "Gimana gue nggak makin sayang."

Melihat senyuman Raka yang penuh ketulusan, Uwi jadi mulas. Shit, jangan makin ganteng bisa nggak?

"Kalo makin sayang, berarti oleh-oleh lo juga harus makin banyak." Sebisa mungkin Uwi tetap memasang wajah datar.

"Siap, sugar." Senyuman Raka kian lebar. Nggak bisa gue nggak bisaaa. Uwi selalu lemah dengan pria tampan.

"Ka, geli. Udah ah gue mau lanjut kerja." Uwi memilih untuk menghindar.

"Oke. Semangat kerjanya ya. I miss you, Ruisha."

Bulu kuduk Uwi merinding. Dia nggak mau lagi menatap wajah Raka.

Dengan terburu Uwi berkata, "Hmm...Cepet matiin teleponnya." Cepet pulang.

Uwi menyibukkan diri dengan menyiapkan sembilan kardus berisi sampel kemasan.

"Wi,"

"Kenapa?" Menoleh, Uwi mendapati Endah memanggil.

"Lo udah kelar uji kebocoran?" tanya Endah.

Uwi mengangguk. "Udah. Blisternya Dwiguna bocor. Botol sirupnya Octagon juga. Sisanya aman."

Endah menarik napas dalam-dalam. "Mmm...Wi, sorry banget nih, Pak Irsyad minta KemasPack dimasukin list preferensi untuk diuji sampelnya."

Tangan Endah berkeringat, dia sudah menyiapkan mentalnya untuk diomeli Uwi. Sesuai kesepakatan meeting terakhir, ada tiga preferensi supplier dari masing-masing jenis kemasan untuk diuji sampelnya, sebelum dibuat keputusan final. Sayangnya ada kendala komunikasi, ternyata Pak Irsyad sang kepala divisi marketing mewajibkan KemasPack dimasukkan ke dalam list untuk kandidat supplier kemasan blister.

"Lo udah hubungin KemasPack, Mbak?" Uwi mengkonfirmasi.

"Belum, Wi," cicit Endah semakin takut.

"Kemasan blister aja kan ya? Oke. Biar gue yang hubungi. Gue harus pastiin kapan mereka bisa kirim sampelnya. Berarti bakal molor ya seluruh laporan hasil ujinya."

Menganga, Endah terlalu terkejut. Uwi menanggapi dengan wajah datar. Tanpa perubahan emosi. Tanpa amukan.

"Udah kan? Gue cabut ke ruang uji ya, Mbak. Ada jadwal drop test," tukas Uwi santai.

"I..i..iya, Wi." Endah masih tergagap, saking kagetnya.

Karena merasa bersalah, Endah membantu Uwi bolak balik menggotong beberapa kardus dengan ukuran berbeda.

"Kok lo nggak marah Wi?" Penambahan kandidat sampel mendadak kala pengujian sudah berjalan, di luar kesepakatan meeting pula, akan mengacaukan jadwal.

"Mood gue lagi bagus. Toh yang minta Pak Irsyad. Beliau nggak bisa protes kalo hasilnya molor. Thanks ya Mbak udah bantuin gotong-gotong."

Endah masih menatap Uwi takjub. Mungkin Uwi sedang kerasukan hantu yang baik dan sabar.

Tangan Uwi dengan lihai menaruh kemasan primer ke meja uji. Kemasan primer, yaitu kemasan yang kontak langsung dengan sediaan farmasi, seperti botol sirup dan blister, akan sengaja dijatuhkan sebagai prosedur drop test.

Tombol dipencet, meja uji terbelah, sampel botol terjatuh. Uwi melakukannya berkali-kali dengan posisi botol yang berbeda.

Perlahan mood Uwi memburuk. Naasnya hampir seluruh sampel botol pecah dan retak.

"Pecah Wi?" tanyak Mbak Tika. Dia juga sedang melakukan pengujian kemasan obat lain.

Mengangguk, Uwi menjawab lemas. "Nyaris semuanya retak. Yang bagus cuma botol Octagon. Tapi Octagon bocor di leakage test."

"Udah lo cek bobotnya kan? Kali aja isinya kepenuhan."

Sampel botol harus diisi dengan sediaan asli atau yang mendekati cairan paracetamol. Agar bobot saat diuji dapat mensimulasikan bobot yang seharusnya.

"Udah, Mbak." Nggak mungkin Uwi seceroboh itu.

"Yaudah nggakpapa. Nanti pas capping test bisa dicek berapa torsi supaya botol Octagon nggak bocor."

"Semoga deh." Jangan sampai nggak ada kandidat supplier yang lolos. Lalu membuat Uwi harus mencari ulang supplier yang sesuai budget dan MOQ.

"Tenang aja." Mbak Tika menepuk bahu Uwi.

"Yaudah gue lanjut uji kemasan sekunder sama tersiernya. Thanks Mbak Tika."

Uwi mengisi meja uji dengan sampel kemasan tersier, yaitu kemasan yang berfungsi untuk membungkus kemasan primer seperti kotak yang menjadi wadah botol obat sirup.

Hasil menunjukkan kotak botol tetap utuh, sama sekali nggak penyok, bahkan nggak menimbulkan keretakan pada botol.

Uwi kembali kesal, karena mendapati kemasan tersier, yaitu kardus yang membungkus banyak kotak obat, penyok dan koyak pada beberapa sudut. Bahkan ada satu dua botol yang ditaruh pada lapisan terbawah kardus menjadi retak halus.

Perhatian Uwi teralih sejenak oleh layar ponselnya yang berkedip.

Raka Arran Hardjanto
Gue baru top up-in gopay lo sejuta. Untuk jajan after office. Beli apapun yang lo mau ya. Kalau kurang tinggal bilang.

Raka Arran Hardjanto
Ruisha, gue usahain cepat pulang. ❤️.

Membaca chat dari Raka membuat Uwi tersenyum senang. Uwi segera merapikan sampel-sampelnya. Dia ingin pulang tenggo, jam lima teng langsung go.

Bodo amatlah dengan sampel. Yang penting dia mau mengajak Rei, Rea, dan Rori untuk jajan malam ini. Kebetulan Bi Siti sedang sakit, jadi sepulang sekolah adik-adiknya ikut ke toko bersama Mama.

Sambil berjalan menuju parkiran, otak Uwi terus mengulang kalimat yang Raka kirim. Dia usahain cepat pulang.

===

Rencana Uwi gagal total.

Dia mendapati toko orangtuanya sepi. Hanya tertinggal satu karyawan yang jaga. Uwi baru dikabari tadi sore papanya jatuh di kamar mandi toko. Hingga dilarikan ke rumah sakit.

Dengan rasa panik yang mendera, Uwi mendatangi RS PMI. Jantung Uwi mencelos, melihat Rei dan Rea yang menangis berpelukan di samping Mama. Juga Rori yang memejamkan mata sambil menyenderkan kepalanya.

"Ma, gimana keadaan Papa?"

"Lagi istirahat Kak. Mama sengaja keluar soalnya Rei Rea masih nangis, bisa-bisa ganggu papamu tidur."

"Dokter bilang apa Ma?"

"Nanti Mama ceritakan di rumah. Tolong antar adik-adikmu pulang ya. Kasihan pasti capek."

Uwi mengotak atik ponselnya sebentar. "Ma, Kakak udah gojekin makan malem untuk Mama. Nanti malem Kakak ke sini lagi, kita gantian jaga." Lebih baik Uwi menginap di rumah sakit ketimbang memasak pagi-pagi untuk bekal dan sarapan adik-adiknya sebelum berangkat sekolah. Apalagi Rea, si picky eater yang harus makan masakan mama.

Sebelum pulang ke rumah, Uwi mengajak adik-adiknya makan di mall Botani Square. Uwi nggak nafsu makan. Dia hanya termenung melihat adik-adiknya makan dengan lahap. Bahkan Rea bisa makan tanpa harus disuapi. Pikiran Uwi penuh akan rekaan kondisi Papa. Seburuk apakah sampai harus dirawat di Rumah Sakit.

Lamunan Uwi terputus karena Rori bergumam. "Enaknya. Sejak Kakak pacaran sama Mas Raka, kita sering makan enak. Bebas beli apa aja."

Uwi tersenyum geli. Biasanya dia melarang adik-adiknya yang merengek ingin jajan. Alasannya ya harus hemat. Tapi sekarang, Uwi lupa kapan otaknya memerintahkan untuk berhemat. "Makanya kamu belajar yang bener biar bisa punya uang banyak kayak Mas Raka."

"Mas Raka bilang dulu dia males belajar, nilainya jelek," ucap Rori polos. Uwi mendelik, dia lupa Raka nggak sejenius kakaknya.

"Ya kan Raka anak orang berada, Ri. Kalau kita anak orang biasa."

"Kita itu anaknya Bapak Rudi, Kak," sangkal Rei.

"Ya Bapak Rudi kan orang biasa," sahut Uwi.

"Emangnya yang nggak biasa itu kayak gimana, Kak? Yang wajahnya mirip barbienya Yaya?" Rea ikut menimpali.

Uwi mendesah napas lelah. "Orang biasa itu nggak punya uang yang banyaaaaak banget."

"Oh pantes Kakak sering bilang nggak punya uang," Rea mengangguk-angguk.

Ponsel Uwi bergetar, dengan segera Uwi mengambilnya.

Raka Arran Hardjanto
Wi, udah sampe rumah?
Kerjaan gue kelar lbh cepet. Jd gue ke rumah Ibu hari ini, sekarang lagi di bandara.

You
Hati2. Belum. Sekarang lagi di Botani, makan bareng 3R.

You
Gue abis dari RS. Papa td jatuh di kamar mandi

Raka Arran Hardjanto
Gue boleh telpon?

You
Wait

"Rori, tolong jaga adek-adeknya dulu ya. Kakak mau ke toilet."

Berjalan cepat, Uwi berpindah tempat menuju toilet terdekat.

Tangannya langsung mendial nomor Raka begitu masuk bilik toilet.

"Halo, Ruisha."

"Raka," suara Uwi bergetar. Dia berusaha sekuat tenaga menekan kecemasan di depan adik-adiknya. Lelah juga berlagak kuat. Di hadapan Raka, Uwi nggak perlu berpura-pura.

"Gimana kondisi Papa?" Raka terdengar khawatir.

"Nggak tau, Ka. Gue juga kaget. Katanya Papa jatoh di kamar mandi. Terus tiba-tiba dirawat di rumah sakit. Gue takut Papa kenapa-kenapa, Ka." Raka bisa merasakan Uwi menangis. Raka merasa nggak berdaya karena jauh dari Uwi.

"Semoga nggak kenapa-kenapa. Sekarang Mama yang jaga?" ujar Raka penuh ketenangan.

"Iya. Nanti malem gantian gue yang nginap nemenin Papa. Ini gue mau anter 3R pulang ke rumah sekalian ambil baju."

"Maaf, gue nggak ada di sana nemenin lo, Wi. Gue usahain secepatnya pulang. Gue janji."

"Cepet pulang, Ka." Uwi merengek. Dalam kondisi biasa, dia pasti akan geli dengan dirinya yang merajuk begini. Tapi sekarang Uwi nggak peduli. Meski hatinya menyangkal ribuan kali, tapi saat ini, dia butuh Raka.

"Iya, sugar. Tunggu gue ya. Maaf gue nggak punya private jet, buraq, atau pintu doraemon supaya bisa cepet sampe ke Bogor."

Uwi tertawa sambil meneteskan air mata. "Duit lo kurang banyak Ka."

"Iya makanya gue cari duitnya sampe ke Eropa," Raka tersenyum di balik ponselnya. "Nanti lo tidur di sofa kan?"

"Mana ada. Tidur di lantai, Ka. Kan sekamar bertiga. Makanya gue sekalian mau bawa selimut untuk alas tidur." Warga BPJS bisa apa, nggak boleh banyak mau.

"Nanti malem lo urus administrasi untuk naik kelas ya. Biar bisa pindah ke ruangan yang sekamar sendiri. Abis ini gue transfer." Raka nggak akan membiarkan pacarnya sakit badan karena tidur di lantai. Papa Uwi juga harus mendapatkan pelayanan terbaik.

Mendengar ucapan Raka, air mata Uwi terproduksi lagi. "Raka, makasih banyak ya. Nggak nyesel kan, duit lo udah gue sedot banyak?"

Uwi mendengar tawa Raka. "Engga, sugar. Uang bisa dicari. Wi, sorry, udah waktunya boarding. Gue tutup dulu ya?"

Ada sedikit rasa nggak rela, tapi Uwi tetap menjawab, "Iya, Hati-hati, Ka."

"Bye, I miss you, Ruisha. Kalau boleh, nanti gue peluk ya." Padahal Raka baru menebar janji, tapi Uwi merasa Raka sedang memeluknya.

"Peluk aja nggak usah minta ijin."

Setelah menutup telepon, Raka mengirim bukti transferan pada Uwi.

Raka Arran Hardjanto
Wi, kalau kurang bilang ya.

Uwi nyaris jantungan melihat nominal yang Raka kirim secara cuma-cuma. Lebih besar daripada biaya operasi sesar sepupunya.

Uwi jelas senang. Namun kini hatinya resah. Niat awal Uwi adalah menjalin hubungan dengan Raka tanpa melibatkan perasaan, untuk menikmati uang lelaki itu, juga demi masa depan yang lebih cerah. Tapi semakin lama nominal yang Raka transfer tambah nggak masuk akal. Uwi nggak ingin berutang budi pada siapapun.

Uwi menggeleng-gelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran aneh. Bodo amatlah. Kesempatan nggak akan datang dua kali, Wi.

===

Uwi yang sedang terlelap tiba-tiba terbangun karena tepukan Mama.

"Kak, solat."

Membuka mata, Uwi melenguh, "Jam berapa ini, Ma?" Uwi melirik jam dinding, pukul setengah enam pagi. "Kok Mama udah sampe sini?"

"Solat dulu sana." Uwi mengikuti perintah Mama. Selepas solat, wajah Uwi kembali segar. Uwi mengecek ponselnya. Banyak chat masik, tapi nggak ada notifikasi dari Raka. Duduk di sofa, Uwi menyimpan ponselnya kembali.

"Tadi malam ada Bi Odah, beliau itu ART di rumah Mas Raka kan Kak?" Mama bercerita sembari mengupas dan memotong apel.

Uwi terkejut. "Iya, Ma. Ngapain Bi Odah ke rumah?" Raka nggak cerita apapun mengenai Bi Odah.

"Mas Raka yang pesankan gocar untuk Bi Odah. Katanya selama nggak ada Bi Siti, Bi Odah akan bantu jaga adik-adikmu. Sejak semalam beliau menginap. Kenapa ya Kak, keluarga Mas Raka tuh baik-baik sekali."

"Udah genetiknya kali, Ma," ujar Uwi asal. Dia menikmati apel yang sudah dikupas Mama. Seselesainya mengurus kepindahan kamar semalam, tak lama datang kiriman parcel buah yang besar. Siapa lagi kalau bukan dari Raka.

Mama duduk bergabung di sofa dengan Uwi. "Mama jadi ingat, kamu juga sampai dipinjemin Pajero. Segera kembalikan, Kak. Tetangga-tetangga pada nyangka kita punya mobil baru."

Uwi menyeringai. "Bagus dong Ma. Kita dikira punya banyak uang."

Mama menepuk paha Uwi. "Hush, kamu kok gitu. Kak, kamu nggak main-main kan sama Mas Raka?"

"Mmhmmm." Mengunyah apel, Uwi mengangguk.

"Mama ngerti, kamu tuh masih muda, nggak pernah serius setiap ada yang dekati. Tapi jangan begitu sama Mas Raka ya." Mama menasehati.

"Nggak akan, Ma. Kan uang Raka banyak," ucap Uwi santai tapi penuh kejujuran.

Kali ini lengan Uwi yang ditepuk Mama. "Astaghfirullah. Jangan begitu, Kak. Ibu Raka baik loh sama kamu. Kalau tau kamu mau sama uangnya Raka doang, pasti beliau sakit hati."

Uwi cengengesan. "Kakak mau kok sama Rakanya juga, Ma. Kan dia ganteng."

"Rakanya tulus sama kamu, Kak. Mama bisa rasain. Walaupun kasian Raka kalau jadi dapet istri kayak kamu yang modelan begini, tapi Mama lega." Mama mengelus rambut anak sulungnya.

"Kok Mama ngebela Raka?" Uwi memajukan tubuhnya untuk memeluk dan bersandar pada tubuh Mama. Perempuan itu bisa sangat manja kalau adik-adiknya nggak ada.

"Iyalah, Raka itu bibit unggul. Lah kalau kamu, rajin engga, bisa masak juga enggak. Heran Mama, kok dulu kamu bisa bertahan di Munich dua tahun. Bisa apa kamu kalau nggak ada Lily." Mama mencubit pipi Uwi.

Uwi mengerang protes. "Ma, sekali-kali puji anaknya dong."

Mama mengelus wajah anaknya yang sudah beranjak dewasa. Betapa waktu berjalan cepat. Bayi merahnya yang ringkih, kini tumbuh menjadi perempuan yang tangguh. "Makasih ya Kak. Karena selalu kuat, selalu bantu Mama Papa tanpa diminta. Nggak pernah mengeluh. Selalu mengalah demi adik-adikmu. Kakak yang sabar ya, keluarga kita sedang diuji lagi." Dengan mata berkaca Mama memeluk Uwi semakin erat. Menyerap kekuatan dari pelukan anaknya.

Tiba-tiba Uwi menangis lagi. Dia berusaha menyingkirkan pikiran buruk akan kondisi papanya. Tapi begitu sulit. "Ma, Papa bisa sembuh kan Ma?"

"Kita harus percaya kalau Papa bisa sembuh. Bantu doa ya Kak." Di depan Uwi, Mama terlihat tegar. Bagi Mama, beliau harus jadi yang paling kuat di sini. Bahunya harus kuat, karena menjadi tempat kelima anaknya bertumpu.

Semalam Uwi baru diceritakan oleh Mama bahwa Papa terkena stroke. Setengah tubuh Papa pada nggak bisa digerakkan. Papa nggak mampu lagi untuk berjalan. Tangan Papa nggak bisa digunakan untuk menggenggam. Rongga mulut Papa juga miring, membuat Papa sulit menelan ludah.

Papa pernah terkena serangan stroke saat Uwi di Munich. Dan kali ini jauh lebih parah. Semalaman Uwi berusaha tersenyum dan menyemangati Papa, meskipun hatinya tersayat melihat Papa berjuang untuk bicara.

Mulai hari ini Uwi akan lebih sibuk. Sepulang dari kantor, Uwi harus gantian jaga toko dengan Mama.

Harusnya uang bukan masalah lagi bagi Uwi, jadi dia berencana untuk memakai jasa perawat pribadi sepulangnya Papa dari rumah sakit. Juga menambah karyawan di toko bahan kue milik orangtuanya.

Ada banyak ketakutan yang menggelayuti Uwi. Dia terus merenung hingga sampai di kantor. Lamunannya terganggu karena getaran ponselnya. Telepon dari Raka. Perlahan, ketakutan-ketakutan Uwi terurai dan luruh. Tenang, Wi. Lo punya Raka. Selama ada Raka, semua masalah lo pasti beres. Tugas lo cuma jangan biarin Raka pergi.

===

Kebayang ya, Raka dan Uwi sama-sama membutuhkaan. Udah aku kasih lem biar gabisa lepas. Power glue juga kalah kuat dah wkwkwkwk.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 111K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
516K 35.7K 44
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...
1.7M 40.4K 9
Semua terlihat sempurna di kehidupan Maudy, seorang aktris papan atas yang juga dikenal sebagai kekasih Ragil, aktor tampan yang namanya melejit berk...
389K 59.4K 31
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...