NYANYIAN LUMUT : 5 Lights & L...

Von lucklutz

2.4K 526 697

Dua puluh tiga tahun sejak perang nuklir terakhir, dimensi yang dinamakan Midgard (bumi) terpecah menjadi ti... Mehr

DUNIA DALAM DIMENSI
DESA SAWAR
OPERASI DIMULAI
🌾Cast Character🌾
PERTANYAAN
KISAH SAMER
TAMAN GANTUNG
BATU TULIS
5 LIGHTS & LUTIFIA'S FOOT 1
5 LIGHTS & LUTIFIA'S FOOT 2
WARPAINT
BLOODSTAIN
DARAH PADA MAHKOTA
AWAL BENCANA
LYRA
LYRA 2
LYRA 3
HILANGNYA API
HILANGNYA API 2
HILANGNYA API 3
KEMBALI KE DESA SAWAR
PEMUKIMAN DI BALIK KABUT

EPILOG

18 2 0
Von lucklutz

"Ibu aku berangkat." Lutifia mengangkat ranselnya dan menyangkutkan di sebelah pundak.

"Sebentar, Tifa. Kau melupakan bekalmu." Liana memasukkan sebuah kotak makanan berwarna biru muda ke dalam ransel putrinya. "Belajarlah dengan baik."

Lutifia menganggukkan kepalanya lalu menarik tuas pintu rumah. Beberapa langkah dari rumah, gadis itu diinterupsi seseorang.

"Jangan lupa nanti ajak Tere, Susi, Daya dan Diana sepulang dari balai belajar ke tebing dekat hutan pinus! Kalian nanti temui aku dulu di gudang, kita akan berangkat bersama," teriak Gate dari samping rumah.

Lutifia menghela napas. "Aku tahu, Gate. Tak perlu berteriak. Berisik!"

Gadis itu kembali berjalan menuju komplek jalanan berupa paving, area balai belajar. Kabut sesekali menghalangi penglihatannya, Lutifia berangkat dengan memakai mantel bulu yang ia peroleh dari Samer. Pagi hari di Desa Sawar memang sangat dingin. Layaknya udara ketika pergantian musim gugur ke musim dingin. Menusuk lapisan epidermis kulit. Rambutnya disanggul seperti biasa. Berjalan santai sambil menikmati udara pagi hari khas Desa Sawar. Samar ia mendengar cuitan burung yang saling bersahutan dipadukan dengan suara langkah kakinya. Dulu suara itu terdengar lebih ramai. Abstrak. Bukan seperti sekarang yang seperti memiliki tempo. Suara langkah kaki adiknya yang selalu menggema di telinga Lutifia. Gadis itu merasakan keanehan, seperti ada sesuatu yang hilang. Yang seharusnya ada untuk menyamai langkahnya.

Sudah satu tahun sejak kematian Dicki. Lutifia tidak akan pernah lupa hari dimana ia kehilangan adik laki-lakinya. Namun hidup harus terus berjalan. Semakin berjalannya waktu gadis itu akan baik-baik saja, setidaknya nampak seperti itu. Setelah pemakaman Dicki usai, Samer kembali ke Negara Amsta seminggu kemudian. Ia tidak kembali pada organisasinya di Manhattan, melainkan kembali ke ibu kota Amsta. Anger membutuhkan paman Lutifia untuk urusan diplomasi. Walau demikian, baik Anger maupun Samer beberapa kali mengirim surat pada Lutifia dan keluarga. Keduanya sangat sibuk sehingga tidak sempat berkunjung selama satu tahun belakangan.

Dunia terlihat damai di tengah krisis lingkungan hidup. Tidak ada perang yang terjadi. Lutifia berharap hal itu berlangsung lama sampai bumi bisa pulih seperti sedia kala. Pernah gadis itu berpikir untuk menumbuhkan pohon di seluruh penjuru dunia, namun ia takut jika nantinya kejadian sulur beracun terulang kembali. Gadis itu masih belum bisa mengendalikan energi bintangnya. Lagi pula, kekuatan itu menjadi rahasia di Desa Sawar. Tidak ada yang tahu tentang kekuatan nyanyian lumut dan guardian. Hanya keluarga Lutifia yang mengetahuinya, itu adalah usul Samer agar merahasiakannya saja dari penduduk desa. Lebih sedikit yang tahu, maka itu lebih baik.

Langkah Lutifia terhenti tatkala matanya menangkap sosok gadis berambut cokelat di depan pagar kompleks balai belajar. Pagar besi setinggi tiga meter. Beberapa bagiannya sudah berkarat termakan usia dan oksidasi. Bangunan besar di dalamnya bisa ia lihat. Tidak terlalu jelas karena kabut di pagi hari memang sangat tebal. Gadis di depannya melihat lamat-lamat jauh di balik pagar tanpa bergerak seinci pun dari tempatnya. Rambutnya di gerai, agak sedikit kabur. Tercampur dengan kabut yang memenuhi penjuru arah. Karena warna cokelat yang tidak dominan, membuat warna rambut gadis itu menjadi semu. Berbeda jika itu Lutifia, hitam kelam akan sangat kontras dengan kabut-kabut itu.

"Apakah ada yang aneh dengan pagarnya?" Sekejap Lutifia memposisikan badannya bersebelahan dengan gadis itu.

"Oh, tidak ... tidak, Tifa."

Lutifia memiringkan alisnya. "Lalu, kenapa kau tak lekas masuk?"

Gadis itu menunduk, membiarkan sebagian rambutnya jatuh dari pundak. Ia mulai meremas ujung blazernya. "Aku ... aku hanya...." Ia menghembuskan napas, pertanda bahwa gadis di sampingnya akan mendapat jawabannya segera. "Aku hanya merasa aneh tiap kali melewati pagar ini. Berlagak seperti remaja pada umumnya. Pura-pura lupa, pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada dunia luar. Sungguh. Aku berpikir, apa perlu kita belajar? Apa perlu nyanyian lumut dan guardiannya pura-pura mempelajari hal yang jelas-jelas ia sudah tahu, bahkan lebih dari buku-buku yang ada di sana."

"Aku selalu merasa bahwa yang perlu kita pelajari bukan dari sini, bukan dari dunia ini. Mungkin kita bisa memperoleh pengetahuan baru di suatu tempat, Tifa. Dan kita bisa tahu penyebab kematian Dicki. Apa kau tak merasa aneh, Tifa? Bagaimana seseorang bisa menjadi abu hanya dengan terkena sihir es? Seharusnya ia membeku, bukan? Reaksi kimia macam apa yang bisa menjelaskan hal tersebut, atau ilmu kedokteran mana yang bisa menelaah anomali pada kematian adikmu? Apakah Dicki benar-benar tiada? Bagaimana kalau dia masih hidup? Kita harus mempertimbangkan kemungkinan itu. Kita tidak bisa berdiam diri dengan santainya di sini."

"Ana! Tak perlu menceramahiku dengan harapan semu. Kau kira siapa yang paling terpukul ditinggal olehnya? Hah? Kau kira siapa? Jangan melarikan diri lagi, Ana. Hadapi kenyataan, jangan berpegang pada hal yang tidak berguna."

Lutifia mengencangkan tas di pundaknya. "Jangan bersikap seakan hanya dirimu yang bersedih." Kemudian gadis itu membuka gerbang dengan suara decitan engsel karatan, meninggalkan Diana yang masih menatapnya.

Gadis itu adalah Diana. Gadis yang tidak terbiasa berpikir dan suka mengeluh. Entah gerangan apa gadis itu dengan serius memikirkan sesuatu. Bukan karena ia menyukai Dicki, hal itu mungkin saja menjadi salah satu alasannya bersikap demikian. Terlebih lagi perasaannya tidak menjadi poin utama. Jika memang, maka jelas itu karena ikatan kuat sahabat seperjuangan dengan Dicki.

Diana mulai mengikuti langkah Lutifia memasuki gerbang. Keduanya kini sudah duduk di bangku yang tersedia. Gazebo masih sangat sepi. Hanya beberapa anak saja yang datang lebih awal. Tidak lama Susi datang diikuti Tere dan Daya. Mereka segera menyesuaikan tempat duduk di sebelah Lutifia dan Diana.

"Pagi, Tifa dan Ana," ucap Tere.

Lutifia tersenyum menanggapi sapaan Tere, sedangkan Diana sudah melambaikan tangannya.

"Ada masalah apa lagi kau dengan Ana?" Susi menyadari raut wajah Lutifia yang ditekuk menandakan gadis itu sedang kesal, ditambah Diana dan Lutifia tidak saling menatap meski keduanya duduk bersebelahan.

"Kalian itu lucu ya. Sedang marahan tapi tetap saling menempel. Lihat itu, aduh lucu sekali!" timpal Daya.

"Kami tidak sedang bertengkar Daya, aku hanya sedikit kesal dengannya." Lutifia menghembuskan napas lalu meluruskan kembali alisnya.

"Tifa sangat mudah marah akhir-akhir ini, kau tahu?" kata Diana.

Lutifia melotot pada Diana. Seketika ia mengingat perkataan Gate sebelum ia berangkat ke balai belajar.

"Tadi, Gate memintaku untuk mengajak kalian pergi ke tebing dekat hutan pinus sehabis ini. Aku tidak tau pria itu sedang merencanakan apa, tapi kurasa ia tidak akan melakukan hal yang berbahaya. Bagaimana? Kalian ikut atau tidak?"

"Baiklah aku pergi," jawab Susi disusul anggukan semua sahabatnya.

Pelajaran tengah dimulai, Lutifia segera mengeluarkan alat tulisnya dari tas. Sangat normal, setelah perjuangan hidup dan mati di lautan sampai ke Negara Amsta. Kelima gadis itu kembali lagi pada rutinitas mereka semula seakan tidak terjadi apa pun, kecuali peristiwa meninggalnya Dicki.

*****

"Gate!" teriak Lutifia dari pintu gudang.

Seseorang keluar dari tumpukan jerami. "Tifa, oh kau bersama teman-temanmu. Kalian kenapa ke gudang dengan membawa tas? Setidaknya letakkan dulu tasmu di dalam rumah."

Lutifia berdecak karena yang muncul bukan Gate. "Aku terburu-buru, Ayah. Kami akan segera menuju hutan pinus."

"Jangan pergi terlalu dalam. Beberapa hari belakangan terdengar auman serigala di dekat sana. Kata Tuan Obrain, ayah Daya, ia melihat sekawanan serigala besar di hutan pinus saat mencari kayu bakar. Pulanglah sebelum matahari tenggelam, kalau tidak ibumu pasti sangat panik. Ini untuk kalian berempat juga."

"Baik, Paman Alex." Tere menganggukkan kepalanya.

"Ayolah Ayah, kami tidak sampai masuk hutan. Kami hanya ke tebingnya saja. Lagi pula, aku bisa memusnahkannya dengan pasukan Treant milikku jika memang ada serigala di sana."

Fitalix menyilangkan tangannya. Ia sangat takut kegilangan Lutifia sebab itu pula pria paruh baya itu sangat over protektif pada putri satu-satunya itu.

"Tenang, Alex. Mereka akan pergi bersamaku. Aku juga cukup kuat bergelut dengan serigala-serigala itu." Gate mengangkat salah satu lengan dan menunjukkan otot bisep yang terbentuk.

"Hola, gadis kecil pemarah."

"Kau dari mana saja? Katamu ke gudang, oh aku mengerti, kau senang melihatku diceramahi Ayah, benar kan?" bisik Lutifia ke telinga Gate.

Sontak pria yang terlihat seumuran dengan Anger itu tertawa terbahak-bahak. "Aku sedang memberi makan ternak di kandang, selagi ayahmu menggantikanku merapikan jerami. Astaga Tifa, perutku sampai sakit."

"Baiklah, jangan sampai telat makan malam!" Fitalix akhirnya memberi izin.

*****

Keenam orang itu berjalan membanjar dengan Gate yang berada di paling depan. Jalan setapak yang membuat mereka harus berjalan satu-satu. Jalan setapak seukuran pematang sawah, di kanan dan kirinya terdapat rerumputan hijau setinggi mata kaki dan beberapa pohon pinus. Sebisa mungkin mereka tidak keluar dari jalur karena bisa saja diantara rerumputan itu ada duri tanaman atau hewan melata yang beracun, maka pilihan teraman adalah menyusuri jalan setapak itu.

Lutifia dan keempat gadis lainnya masih membawa tas di punggung masing-masing. Gate hanya membawa belati dan panah berburu. Berjalan dengan tegap menggunakan rompi dari kulit kerbau dan celana komprang cokelat. Hidungnya mancung dengan rambut pirang dan mata biru angkasa. Tidak diragukan, pamannya punya pesona seorang pria tampan.

Sesampainya di tebing, Gate segera mengeluarkan belatinya. Membabat tanaman rambat di sebelah kiri bukit. Lutifia memutar bola matanya, gadis itu menyikut Diana.

"Bisa kau bantu Paman bodohku itu, Ana?"

Diana mengangguk merapalkan mantra lalu membuat pedang angin dan membabat habis tanaman rambat dan semak belukar di sana.

"Lain kali, bicarakan dulu pada kami rencanamu, bukannya bertindak sendiri. Bodoh!" kata Lutifia yang memegang pundak Gate untuk menghentikan aktivitasnya.

"Seperti yang diharapkan dari gadis kecilku."

"Apa yang kau cari di sini, Gate?" Daya menginterupsi.

"Sebentar-sebentar, kalau tidak salah di sebelah sini."

Gate menyibak tumpukan sulur tanaman yang telah dibabat Diana. Susi memutuskan melakukan hal yang sama, walau ia tidak tahu apa yang sedang dicarinya. Daya, Tere, Diana dan Lutifia yang awalnya hanya menonton mulai mengikuti Susi.

"Ah! Berhenti di sana!" teriak Gate lalu ia menyingkirkan Daya dari tempatnya.

Sontak Daya merasa kebingungan, tapi gadis itu tidak mempertanyakannya atau memaki Gate. Pria itu menghamburkan beberapa batuan di sana. Mencungkil-cungkil lumut yang menempel pada sebuah batu berukuran 30 x 60 cm. Nampak sebuah ukiran yang aneh pada batu itu. Dilihat sekilas pun, itu bukan bahasa Paku. Tandanya batu itu bukan termasuk prasasti pada masa peradaban Mesopotamia.

"Tulisan macam apa itu?" tanya Lutifia.

"Jangan bilang kau yang mengukirnya." Diana menambahi.

Gate menggeleng. "Bukan. Aku menemukannya saat umurku lima belas tahun. Diam-diam meneliti hurufnya."

"Dan kalian tahu apa? Ukiran ini tidak termasuk dalam aksara mana pun. Bahasa kuno juga bukan. Kalian tahu kan aku dan adik-adikku adalah ahli dalam sastra bahasa dan arkeologi," tambahnya.

"Apa Paman Sam tahu tentang ini?"

"Tidak, aku sendiri yang menelitinya. Mungkin kau tak percaya, Tifa. Sungguh aku tak pernah iseng mengukir batu dengan aksara aneh."

Daya mulai meraba dan melihat batu itu lamat-lamat. "Aku rasa tulisan ini bukan dari Midgard."

"Tepat sekali." Gate mengklikkan jarinya.

"Panggil Qea, mungkin dia lebih tahu," lanjut Diana.

Lutifia menganggukkan kepala, lalu memanggil roh agung tanaman yang terkontrak dengan dirinya. Seperti biasa, kedatangan Qea sangat khas. Beberapa sulur tanaman tumbuh dari dalam tanah. Melilit. Melingkar lalu kemudia membentuk sosoknya yang jelita. Lutifia menjelaskan keadaannya pada Qea, lalu roh itu mendekati batu dengan ukiran aneh.

"Maaf, Zera. Aku tak bisa membacanya. Ini bukan aksara penghuni dimensi bawah maupun dimensi atas. Ini adalah aksara penghuni Midgard yang immortal. Aku kan pernah berkata, Midgard bukan hanya dihuni para mortal. Tapi memang para mortallah yang mendominasi sejak dulu." kata Qea menjelaskan.

"Abadi?" tanya Daya.

Qea mengangguk.

"Makhluk seperti apa itu, Qea?" Lutifia sedikit berkeringat dingin.

"Seperti yang ada di belakang kalian misalnya."

Keenam orang itu mendengar geraman halus dari dalam hutan pinus. Mata merah menyala nampak sangat banyak. Perawakannya tak terlihat sebab sang cakrawala sudah menampakkan semburat oranyenya di penghujung hari. Tak terjamah cahaya. Pendar biru hanya menerangi jalan setapak menuju desa.

Lutifia memanggil beberapa pixie mendekat. Cahaya merambat perlahan mengikuti gerakan sang pixie, saat itu, barulah keenam orang penduduk Desa Sawar itu melihat ada sekawanan serigala di depan mereka. Seorang pria berambut gimbal menggunakan baju kemeja dongker dan celana jeans berdiri tepat di depan kawanan serigala. Menggeram. Sedetik kemudian, pria gimbal itu melompat dan berubah bentuk menjadi serigala seutuhnya.

Seakan terkena gelombang kejut, mereka mematung dan tak percaya apa yang tengah dilihatnya. Kecuali Daya, sepersekian detik kemudian gadis itu membuat kubah tanah yang melindungi mereka dari terkaman serigala jadi-jadian yang barusan mereka lihat. Beberapa pixie juga terperangkap di dalamnya. Membuat kubah tanah itu lebih hidup dengan cahaya.

"Apa itu? Siapa saja, katakan jika tadi itu bohong." Lutifia masih tergagap akan napasnya yang terkejut.

Daya mengangkat tangannya untuk mempertahankan bentuk kubahnya. "Gila! Telat sedetik saja, kita bisa jadi santapan serigala tadi. Dan kalian tahu kabar buruknya? Mereka mulai bisa mengikis kubah tanahku. Oh, astaga."

"Kalian melihatnya kan? Cara pria gimbal itu berubah bentuk. Sempurna!" Gate menampakkan senyumnya seakan ia mendapat bahan penelitian baru.

"Aku sudah memberi tahu kalian sebelumnya, dan bisakah aku kembali? Ada sedikit urusan di dunia ruh." Qea memberikam senyum simpulnya.

Lutifia mengangguk, lalu roh agung tanaman tersebut menghilang dengan berkas kerlip hijau di udara.

"Sekarang bagaimana?" tanya Tere.

"Kita melawan sambil berlari sekencangnya menuju desa, itu cara terbaik yang bisa aku pikirkan saat ini."

"Kita ikut saran Tifa," tambah Gate.

"Baiklah, akan kubuka kubahnya kalau begitu."

Semua orang mengangguk mengiyakan perkataan Daya.

Susi menyambarkan listriknya dibantu Daya yang memporak porandakan formasi kawanan serigala dengan membuat tanah tidak beraturan naik turun. Tere mengunci kepala sebagian dari mereka dengan gelembung air, sampai hewan itu kehabisan napas. Gate berlari paling depan dengan menggenggam belatinya dan menyayat beberapa ekor. Di belakangnya ada Lutifia, jika ada yang lolos dari sayatan Gate, ia akan mengunci pergerakan hewan itu menggunakan sulur rambat. Daya menghempaskan gerombolan hewan buas itu dengan sihir anginnya, sehingga mereka kesulitan untuk berdiri lagi. Para pixie sudah kembali pada jalan setapak. Keenam orang itu masih berlari sambil bertarung sampai akhirnya hutan pinus sudah jauh dari pandangan. Sudah tidak terdengar suara geraman lapar yang mengejarnya. Barulah keenam orang itu bernapas lega. Lalu pulang ke rumah masing-masing.

*****

Esoknya di balai belajar. Lutifia tengah berjam-jam menelusuri setiap rak buku perpustakaan. Para sahabatnya yang tidak menaruh minat pada kertas berisi pengetahuan itu hanya duduk di meja panjang perpustakaan. Hanya Daya yang dengan antusias membantu Lutifia.

"Ini tidak ada gunanya, huft. Aku mulai mengantuk teman-teman." Diana merebahkan kepalanya di atas meja.

"Kau benar, Ana." Susi menghela napas.

"Tapi kita diminta menunggui dua orang yang sibuk dengan buku di sana. Sangat tidak manusiawi." Tere ikut mendecakkan lidahnya.

Lutifia datang dengan menghentakkan buku yang di bawanya ke atas meja. "Percuma! Buku sialan, tak ada informasi satu pun!"

"Beruntung kawanan itu tidak menyerang desa, kau tak perlu membuat masalah dengan mencari informasi tentang mereka Tifa. Kau tidak belajar dari pengalaman ya, Tifa. Karena keingintahuanmu itu Dicky tidak bersama kita sekarang. Sekarang kau ingin tahu apa lagi? Kali ini siapa yang lenyap? Aku, Daya, Tere atau Susi? Bayarannya tidak murah, Tifa. Tidak murah." Diana berusaha agar air matanya tidak tumpah.

"Berhenti, Ana. Itu bukan salah Tifa, itu sudah berlalu." Tere segera menyanggah perkataan Diana.

"Tidak Tere, dia benar. Karena aku Dicki.... Karna aku juga kalian mengalami hal yang tidak menyenangkan. Semua karnaku."

Daya menepukkan kedua tangannya. "Yup, kita tidak akan ke mana-mana, kawan. Mencari informasi di buku tidak seberbahaya itu. Manusia serigala kemarin, memang sangat ganjil. Ini pasti menyenangkan."

Suasana pun kembali seperti semula, Diana meminta maaf pada Lutifia atas sikapnya. Lutifia pun menampakkan senyumnya kembali. Kelimanya melanjutkan membaca buku, walau rasa sedih masih ada, tapi mereka akan baik-baik saja.

*****

Sepulang dari balai belajar, kelima gadis itu dan Gate mengunjungi makam Dicki di bukit belakang rumah Lutifia. Mereka membawa rangkaian bunga lalu di letakkan di atas makam sang sahabat.

"Terima kasih telah berjuang dan sudah mempercayaiku melebihi apa pun. Bara apimu masih membara, membakar semangat para sahabat-sahabatmu ini. Selamat jalan Dicki Ariel Fitalix. Selamat jalan sahabat, teman, pahlawan kami. Selamat jalan saudaraku, sang guardian api." Lutifia menyematkan senyum sendu di bibirnya.

Gate merangkul pundak Lutifia, memberi dukungan moral pada gadis itu. Susi, Tere, Daya dan Diana menangis tanpa suara. Air mata mengalir deras. Lutifia memeluk keempatnya erat.

Dicki adalah kawan seperjuangan yang akan selalu mereka ingat. Semangatnya masih membara dan mereka pun bisa merasakannya.

TAMAT

Tencuuu para pembaca Nyanyian Lumut. Cerita ini adalah mimpi sy, maka dengan selesainya cerita ini. Kini, salah satu mimpi sy sudah terwujud. Terima kasih telah membaca cerita yang banyak kekurangan ini sampai selesai. Luv u 3000 all ♥️♥️♥️♥️♥️

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

3.6M 351K 94
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
7.2M 374K 46
Daisy Mahesa, seorang model terkenal. Ia juga merupakan putri tunggal dari keluarga Mahesa. Menjadi seorang model merupakan mimpinya, namun sayang ka...
821K 72.9K 32
Ini adalah kisah seorang wanita karir yang hidup selalu serba kecukupan, Veranzha Angelidya. Vera sudah berumur 28 tahun dan belum menikah, Vera buk...
1M 77.8K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...