Kennand Perfect Boyfriend

By _avocadish_

93.8K 6K 636

'๐ฌ๐ข๐ง๐ ๐ค๐š๐ญ ๐ฌ๐š๐ฃ๐š ๐ข๐ง๐ข ๐š๐๐š๐ฅ๐š๐ก ๐ค๐ข๐ฌ๐š๐ก ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐›๐ž๐ซ๐š๐ฐ๐š๐ฅ ๐๐š๐ซ๐ข ๐ค๐ž๐ฉ๐ฎ๐ซ๐š-๐ฉ๐ฎ๐ซ๏ฟฝ... More

PROLOG
Part : 1
Part : 2
Part : 3
Part : 4
Part : 5
Part : 6
Part : 7
Part : 8
Part : 9
Part : 10
Part : 11
Part : 12
Part : 13
Part : 14
Part : 15
Part : 16
Part : 17
Part : 18
Part : 19
Part : 20
Part : 21
Part : 22
Special parts: Tentang Hazel
Part : 23
Part : 24
Part : 25
Part : 26
Part : 27
Part : 28
Part : 29
Part : 30
Part : 31
Part : 32
Part : 33
Part : 34
Part : 35
Part : 36
Part : 37
Part : 38
Part : 39
Part : 40
Part : 41
Part : 42
Part : 43
Part : 44
Part : 45
Part : 46
Part : 47
Part : 48
Part : 49
Part : 50
Part : 51
Part : 52
Part : 53
Part : 54
Part : 55
Part : 56
Part : 57
Part : 58
Part : 59
Part 60
Part : 61
Part : 62
Part : 63
Part : 64
Part : 65
Part 66
Part 67
Part 69
Part 70 [Ending]

Part 68

625 43 6
By _avocadish_

Happy reading


- "dia benar-benar pergi, bahkan tanpa kata pamit." -


Azlan benar-benar dibuat heran dengan kelakuan adiknya hari ini, sampai ia berpikir apa adiknya ini punya kepribadian ganda?

Hazel benar-benar bertingkah sangat baik hari ini, bahkan sedikit bertingkah aneh. Gadis itu mengingatkan banyak hal seolah-olah ia akan pergi jauh.

"Abang. Abang harus makan vitamin punya Abang supaya Abang gak sakit biar Acel bisa tenang. Terus, Abang kalau keluar harus pake sunscreen ya walaupun sekarang di luar udah mau musim dingin, terserah Abang mau pake atau enggak." Peringatnya.

"Iya Adek.." Balas Azlan. "Adek hari ini kenapa? Peduli banget sama Abang kayaknya.." Lanjutnya

"Ya takut aja, sekarang Acel bisa urusin Abang lagi. Takut-takut kalau nanti kita pisah lagi terus Acel gak bisa ketemu Abang lagi kayak beberapa bulan lalu, seenggaknya Acel udah nyiapin apa aja yang harus Abang lakuin selama Acel gaada, gitu loh." Jelasnya panjang.

Azlan tersenyum hangat dengan pandangan yang mengarah fokus pada adiknya. "Beruntung Abang punya Adek."

Hazel menimpali. "Acel juga beruntung punya Abang, coba aja Acel jadi adiknya orang lain. Gak mungkin Acel sebaik ini sama kakaknya Acel itu.".

"Abang mau bilang makasih ke ayah sama ibu, udah produksi adik yang baik buat Abang."

"Heh! Abang macem-macem banget."

Keduanya larut dalam tawa singkat. Malam ini mereka berdua merasakan kedekatan yang begitu amat erat. Sebelum keduanya dikagetkan dengan keberadaan Jio, yang memang jarang mengetuk pintu jika hendak masuk.

Jio tersenyum dengan wajah yang amat sangat menyebalkan menurut Azlan. "Ehh.. maaf Abang, maaf Jio gak ngetuk pintunya.." Ucapnya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Azlan menggeleng lelah. "Kamu lain kali ketuk dulu, kalau yang di dalem lagi ngapain terus tiba-tiba kamu masuk kan berabe urusannya."

"Maaf bang, lain kali Jio inget." Ucapnya dengan menunduk, Jio mengangkat kembali pandangannya, akhirnya ia bisa melihat Hazel kembali. Selama ini ia selalu berniat bertemu Hazel, namun selalu di saat yang tidak tepat, Hazel sudah tidur kah atau bahkan Hazel tengah terapi. Namun, hari ini ia berhasil datang tepat waktu.

"HAZEL!!" Jio benar-benar meloncat ke arah Hazel yang membuat gadis itu segera terberanjat menghindar, takut-takut jika tubuh Jio akan menimpanya.

"Kakak kangen sama kamu Zel!!" Lanjutnya sembari mengayunkan tangan Hazel ke kanan dan kiri.

Hazel tersenyum melihat tingkah kakak sepupunya. "I-iya Hazel juga kangen kok sama kak Jio."

"Kamu sehat? Kamu gak apa-apa kan? Kamu oke?" Tanyanya yang terdengar berlebihan menurut Azlan.

Azlan menoyor kepala Jio dengan santai, membuat lelaki itu mengusap dahinya karena terasa sedikit nyeri. "Abang.."

"Gimana Zel?"

"Kak Jio bau alkohol! Kak Jio abis darimana?" Hazel malah balik bertanya.

"Anu-- itu.. kakak.. kamu gak usah peduli sama itu. Lagian kakak minum sedikit gak akan ada efeknya juga. Kamu gimana sekarang?"

"Hazel baik kok, gak kenapa-kenapa."

Jio kemudian memposisikan dirinya menjadi sikap berdoa, seolah-olah menunjukkan rasa syukurnya kepada Tuhan.

"K-kak Jio juga jadi baik banget," Hazel tertawa kecil dengan nada ragu. "Kabar azge gimana kak?"

"Azge? Wahh, azge bener-bener butuh Bu ketu nya ini. Cepet pulang ya."

"Siap!" Hazel kini dalam sikap hormat. "Acel yakin tahun ini bisa pulang ke Indonesia."

"Bulan ini kalau bisa."

"Aamiin, Acel selalu pengennya kayak gitu, tapi Acel kan punya keinginan lain. Terus, belum dapet konfirmasi dari dokter Anderson."

Ketiganya mengobrol seperti biasa. Menghabiskan banyak waktu, mungkin terpotong oleh jam shalat isya. Hazel Dan abangnya melakukan shalat berjamaah dan Jio menunggu di sofa. Memakan jatah makan malam Hazel yang tak Hazel makan dengan alasan hambar. Padahal menurut Jio makanan itu begitu lezat seperti makanan restoran.

"Kenapa dek?" Tanya Azlan ketika selesai shalat dan melihat adiknya tengah mengusap dadanya lembut.

"Nafasnya Acel agak berat, tapi gak apa-apa ini emang biasa kejadian kok, Acel cuma perlu tutup jendela sama pintu selesai. Nanti ilang sendiri." Jawabnya dengan sedikit penjelasan singkat.

Hazel berjalan menuju pintu dan jendela lalu menutupnya. Mungkin ia kelelahan hari ini, hingga membuat nafasnya sedikit berat dan pengap.

"Yaudah minum dulu obatnya, nanti kamu langsung istirahat."

Hazel mengangguk setuju. "Acel istirahat duluan ya Abang, kak Jio."

"Istirahat aja.."



"Kamu mau nginep disini ji? Gak mau pulang? Udah malem ini.." Ujar Azlan peduli.

Jio menggelengkan kepalanya. "Jio nginep sini aja, Jio males pulang. Kepala Jio juga agak pening."

"Pening kenapa? Perasaan tadi baik-baik aja?" Tanya Azlan heran.

Jio mengerutkan dahinya, sesekali memijat pangkal hidungnya. "Mungkin efeknya baru keluar sekarang."

"Efek apaan?"

"Itu loh.. ck, tadi Jio kan sempet minum alkohol." Balasnya santai.

"Yeuuh, makanya jangan minum gituan dulu. Libur dulu disini mah. Bukannya disini dilarang minum gituan?"

"Gak tau, tadi kan Jio ke cafe nah lagi pengen yang seger. Ada tuh kayak lemon tea cuma kata mbak nya mengandung alkohol enam puluh lima persen."

Azlan kembali menoyor kepala Jio seperti sebelumnya. "Bodoh itu namanya, lebih dari setengahnya kamu bilang sedikit? Kamu dengan santainya bilang gik idi ifik simpingnyi kik. Halah, berisik."

"Jio udah lama gak minum itu, bang. Lagian Jio gak apa-apa minum itu, nah kalau Abang baru gak boleh."

"Dih, lagian siapa yang minat gituan?"

"Siapa tau kan—"

Karena ruang rawat Hazel memiliki satu kamar yang terpisah dan itu tempat tidur Azlan biasannya. Pintu dari kamar itu terbuka begitu saja menampilkan Abhi yang berdiri tegap di ambang pintu.

"Liat ini jam berapa coba?" Tanya Abhi.

Keduanya nampak seperti merasa tidak enak. "Jam sebelas lebih lima menit tiga puluh tujuh detik."

"Nah.. udah malam kan?" Lanjut Abhi lagi.

Jio mengangguk semangat, apalagi ia tengah ada di ujung titik kesadaran. "Udah! Udah malem om.."

"Tidur gih, kalau belum mau tidur. Ngobrolnya pelan-pelan, Hazel kebangun tuh tadi, gara-gara kalian."

"Maaf ayah, ini mau tidur kok."

"Yasudah, tidur kalian berdua." Abhi pergi dan menutup pintu kamar itu.

Selang beberapa saat, Abhi kembali membuka pintu itu. Membuat keduanya terperanjat kaget.

"Apa lagi ayah? Ada yang bisa Alan bantu?" Tawarnya.

Abhi menggeleng. "Jio mabuk?" Tanyanya.

Azlan mengangguk jujur, karena memang begitu kenyataannya.

"Kamu tidur pisah kasur sama dia, kan ada dua tuh kasur, dibawah yang satunya. Nah.."

"Kenapa harus pisah kasur ayah? Kan ini juga udah double bed? Sayang yang itu masih di plastik."

"Dia lagi mabuk, gak sadar. Kalau ngelakuin yang enggak enggak sama kamu, gimana?"

"Astaghfirullah—" Azlan mendelik.

"Jio gak gitu ya om, Jio juga masih sadar kok ini."

"Oh ya bagus, kalau kamu masih sadar. Cepet tidur sebelum terlalu kemalaman lagi."


Cuaca awal pagi ini benar-benar dingin, kini perkiraannya sudah masuk musim dingin yang sepertinya ditunggu-tunggu.

"Nafasnya masih berat, emm?" Tanya Azlan sembari merangkul pundak adiknya, keduanya baru saja selesai melaksanakan shalat subuh.

Hazel mengangguk. "Masih, mungkin ini karena dingin aja."

"Sekarang turun salju, kamu liat jendela gih."

Hazel berjalan perlahan menuju jendela, tak ia buka, ia hanya membuka gordennya saja.

Walaupun masih terlihat gelap diluar, tapi bisa dilihat begitu jelas betapa indahnya hari ini. Salju cukup lebat turun hingga menutupi akses jalan di depan, namun mobil masih bisa berlalu lalang.

"Dingin.." Hazel mengusap lengannya menyilang, berusaha menghangatkan tubuhnya sendiri. "Abang.."

Kakinya melangkah mendekati kakak laki-lakinya. "Abang, Acel mau tidur lagi, Acel masih ngantuk. Boleh?"

Azlan mengangguk dengan senyum hangat. "Boleh, nanti Abang ngomong sama ayah, minta obat biar napas kamu gak berat lagi, okey?"

Kini Hazel yang mengangguk. Lalu memeluk erat tubuh kakak laki-lakinya itu.

"Kedinginan? Sini pake cardigan dulu nanti Abang kasih selimut lagi." Azlan memakaikan cardigan itu dengan lembut dan berhati-hati, Hazel terlihat lebih nyaman dari sebelumnya.

Azlan kemudian memakaikan selimut 2 lapis untuk adiknya itu. "Abang, Acel tidur lagi ya, Acel sayang Abang.."

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, Hazel menoleh dan menatap ayahnya yang berdiri disana.

"Hazel juga sayang ayah.."

Abhi membalasnya dengan senyuman. "Ayah juga sayang sama kamu.."

Pandangannya kembali beralih, entah mengapa tatapan matanya begitu sendu dan kosong. "Kak Jio.. Acel juga sayang sama kak Jio.."

Ia berbaring dan perlahan menutup matanya. "Hazel juga sayang sama Tante Alana.. Hazel juga sayang om Michael.." Gumamnya hingga akhirnya terlelap tidur kembali.

"Dia kenapa tiba-tiba ngomong sayang sama semua orang? Dia masih ngelindur?" Tanya Abhi yang baru saja datang.

Azlan menggeleng. "Kelakuan dia agak aneh belakangan ini."

"Mungkin mendekati waktu kamu pulang, dia jadi kayak gitu." Timpal Abhi yang dibalas anggukan kepala dari Azlan.

"Mungkin.. Alan belum rela buat pulang ke Indonesia, walaupun wisuda Alan bulan depan."

"Ya sekalipun kamu wisuda gak didampingi ayah atau Hazel, kamu masih bisa sama om tante kamu kan.. yaa kita sama-sama berdoa aja biar maksimal tahun baru Hazel bisa pulang kita lanjutin pengobatannya di Indonesia aja."

Pintu kamar rawat itu terbuka tiba-tiba, Azlan kira tadi itu adalah Jio yang selalu datang kemudian membuka pintu tanpa mengetuk, tapi Jio sedang tidur di sana. Dan jawabannya tak jauh, itu adalah orang tuanya, alias om dan tantenya. Definisi buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya.

"Hazel..." Alana langsung berlari menghampiri keponakannya. Dengan segera ia membuka jaket yang semula ia pakai. Jaket itu penuh dengan salju.

Azlan masih menatap heran, bisa-bisanya mereka berdua datang sepagi ini dengan kondisi cuaca yang turun salju. Dan begitu sampai langsung berlari tergopoh-gopoh.

"Om ada apa dateng jam segini? Apalagi diluar lagi turun salju?" Tanya Azlan.

Michael memijat pangkal hidungnya, sesekali menggosokkan kedua tangannya berupaya menciptakan kehangatan.

"Tante kamu tuh, Lan. Dia bangun nangis-nangis, pukul-pukul om katanya suruh samperin Hazel sekarang. Dia mimpi Hazel kenapa-kenapa katanya, jadi dia khawatir. Tapi sehabis om liat Hazel gak apa-apa, dia tidur nyenyak sama kayak Jio." Ujar Michael setelahnya ia terduduk di sofa lalu meminum teh hangat yang diberikan Abhi untuknya.

Azlan tersenyum, pandangannya kini melihat Alana yang masih mengusap lembut keponakannya. "Hazel gak apa-apa kok Tante, dia baru aja tidur tadi ngeluh kedinginan, makannya Alan kasih selimut dua."

"Mimpinya Tante buruk banget, Lan. Jangan sampai itu kejadian Tante gak akan kuat. Mau nangis lagi Tante.." Timpal Alana.

"Alan ngerti kok, Tante," Azlan mengangguk. "Alan juga pernah mimpi yang sama, tapi Alan gak percaya, Alan  berdoa yang baik-baik aja."

"Hazel tuh udah Tante anggap anak Tante sendiri, anak perempuan Tante satu-satunya. Begitu juga kamu, Lan. Tante gak mau Hazel kenapa-kenapa."

"Udah, mah. Hazel gak kenapa-napa tuh, dia tidur nyenyak begitu. Gak usah nangis-nangis, kita istirahat lagi disini aja.."

Alana mengangguk setuju, setelah dipikir-pikir reaksinya benar-benar berlebihan. Ia terlalu takut kehilangan, trauma kehilangan Nindya membuatnya trauma hingga kini.


Pagi ini menunjukkan pukul 10 pagi dengan suhu dibawah 0°. Sangat dingin jadi kebanyakan melakukan aktivitas di dalam ruangan saja. Di dalam ruangan bisa memakai heater pemanas, jadi bisa hangat hingga 20° lebih di dibandingkan diluar.

"Lan, bangunin adekmu dulu. Ini jam nya dia minum obat, sama sarapan. Kenapa dia belum bangun jam segini? Gak kayak biasanya." Ujar Abhi dengan nampan ditangannya, berisi satu porsi sarapan pagi dan beberapa obat yang harus Hazel minum.

"Biar Tante aja yang bangunin, Lan." Azlan mengangguk mendengar penuturan bibinya itu.

Langkah kaki Alana mendekat ke arah Hazel yang masih terlelap. Posisi tidurnya masih sama dengan subuh tadi, sama sekali tak berubah.

"Hazel sayang.." Cicit Alana lembut, dengan beberapa usapan lembut di bagian pipi kanan dari Hazel. "Bangun dulu sebentar sayang, waktunya kamu minum obat.. nanti kamu boleh lanjut tidurnya." Lanjut Alana masih dengan nada yang sama, nada lembut penuh kasih sayang.

Hazel masih terlelap dengan mata yang tertutup rapat, tidurnya begitu lelap. Mungkin itu yang Alana pikirkan.

"Sayang.. Hazel.." Alana kini sedikit menggoyahkan tubuh gadis itu, namun nihil, Hazel masih tetap terlelap tak terganggu sedikitpun.

Azlan kini mendekat, tak biasanya Hazel sulit dibangunkan seperti ini.

"Abhi," Panggil Alana dengan nada panik. "Ini heater nya bisa ditambah hangat lagi? Hazel kayaknya kedinginan, dia dingin banget. Tangannya, pipinya juga."

"Ini udah paling hangat, gak bisa ditambah lagi."

"Padahal udah Alan kasih cardigan sama selimut double yang tebel kok Tante, apa kurang ya?" Timpal Azlan.

Kini Azlan juga mulai meraba-raba tangan dan pipi Hazel yang memang terasa sangat dingin. Azlan terus memanggil nama Hazel sembari menggoyahkan tubuh adiknya itu namun tak ada respon apa-apa. Mata gadis itu masih tetap tertutup rapat.

Hingga ia menyadari sesuatu, mencoba meyakinkan hal itu. Ia mendekatkan tubuhnya dan yang ia sadari memang benar adanya. Dengan tangan gemetar Azlan mengarahkan telunjuknya ke dekat hidung adiknya. Dan ya ia menyadari bahwa..

Hazel tak bernafas.

Tubuh dingin? Dan tak bernafas? Bukankah itu... Azlan menggeleng dengan cepat, masih berusaha berpikir positif.

"Ayah!" Panggilnya yang membuat semua yang ada disana menatap fokus ke arahnya.

"Kenapa?!" Abhi jadi ikut panik mendengar Azlan yang memanggilnya dengan nada seperti itu.

"Adek gak ada nafasnya ayah.." Matanya mulai memerah, sepertinya air mata tak bisa lagi ia bendung.

Alana masih terdiam tanpa ekspresi, bak belum paham apa yang terjadi sekarang. Abhi dengan segera memencet bel memanggil Anderson. Dengan keadaan seperti ini ia takut salah bertindak.

Anderson datang dengan cepat. Membawa beberapa alat yang sepertinya ada sangat diperlukan kini.

Anderson dan Abhi meminta semuanya agar tetap tenang, dan mundur. Jika bisa tunggu di luar ruangan saja.

Kini di dalan ruangan hanya ada Abhi, Anderson, Hazel dan beberapa perawat disana.

Abhi sudah menangis kali ini, ia sudah sadar ia menyadari apa yang terjadi pada anak gadisnya ini. Namun Anderson berusaha menguatkannya. Anderson tau ini tidak mudah, namun mau tidak mau Abhi harus siap menerimanya.

Anderson menyiapkan pacemaker untuk jantung. Abhi berbalik dari posisi awalnya, tak akan kuat jika harus melihat ini. Anderson mengerti, ia akan melakukan ini dengan dibantu asisten perawatnya saja.

Suasana benar-benar tak karuan kali ini, suasana hati diraungi ketakutan dan kepanikan.

Anderson sudah melakukan pacu jantung hingga berkali-kali, namun mesin EKG tetap memperdengarkan  suara yang nyaring. Tak mendeteksi adanya detak jantung lagi.

Anderson sudah menggelengkan kepalanya, ia berjongkok mendekati Abhi. "Dia sudah bahagia." Ucapnya singkat.

Abhi benar-benar menangis kini, tapi ia sadar, jika ia menangis sekencang apapun tak akan bisa mengembalikan nyawa anaknya.

Anderson mulai mencabuti alat alat yang semula terpasang pada tubuh Hazel. Seperti infus dan beberapa alat yang ada pada bagian leher menuju dadanya.

Abhi menguatkan diri, ia sendiri yang menulis data kematiannya. Abhi biasannya menulis ini untuk pasien lain, tapi kini ia menulis data kematian anaknya sendiri.

Masih seperti mimpi, apa benar Hazel sudah tidak ada? Ini terjadi begitu singkat dan sulit dipercaya.

"... waktu kematian pada hari Jumat, tanggal sebelas, bulan November, tahun dua ribu dua puluh dua, pada pukul sepuluh lebih dua belas menit tiga puluh tujuh detik." Anderson berbisik.

Mungkin ini memang jalannya. Begitu tiba-tiba, hingga kepergiannya sulit untuk dipercaya.

- Hazel pergi buat istirahat Abang.. Hazel udah ketemu ibu disini, Abang sama ayah jaga diri baik-baik. Hazel jaga kalian dari sini. Jangan nangisin Hazel, Hazel bahagia disini, Hazel sembuh Abang, badan Hazel gak sakit lagi, Hazel gak perlu suntik suntik lagi... Hazel sayang Abang, Hazel sayang ayah juga, jaga diri baik-baik ya.. -

- Athira Jovanka Hazellia -

4 - 4 - 2004
-
11 - 11 - 2022




Haii hallo, annyeong...
Kembali dengan membawa kebahagiaan, alhamdulilah udah selesai PTS 💪👍

Dengan hasil yang alhamdulilah cukup memuaskan.

Ceritanya gak tamat sampai sini ya.. semoga Hazel bahagia dengan takdir yang aku tentukan. Masih ada kelanjutannya yang aku kasih spoiler akan bahagia pokoknya.

Baiklah, see you..

Jangan lupa vote dibawah ini yaa terimakasih...







Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 28.6K 12
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
3.8M 256K 52
[Follow dulu yu sebelum baca, happy reading] ___________________ Sudah terbiasa bagi Rachel diabaikan dan diacuhkan oleh sang ayah, bahkan sesekali R...
291K 1.6K 2
FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA... TERDAPAT BEBERAPA REVISI DAN PERUBAHAN Menikah muda mungkin saja menjadi impian dari banyak perempuan diluar sana. Bel...
4M 313K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY โ€ขโ€ขโ€ขโ€ขโ€ขโ€ขโ€ขโ€ขโ€ขโ€ขโ€ขโ€ข "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...