Pertanyaan Paling Aneh

By someonefromthesky

63.2K 9.6K 613

Pulang kerja, Sri menemukan keganjilan di rumahnya. Suaminya yang pengangguran, pemalas, dan membosankan tiba... More

Prakata
...
1
2
3
4
5
6
7
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

8

1.9K 365 8
By someonefromthesky

Setelah Tabib pergi, Aji tak pernah kembali lagi. Sejak saat itu, setiap kali Sri bangun dan membuka matanya, ia akan menemukan seorang laki-laki di sampingnya, mengecup keningnya dan mengucapkan selamat pagi sambil menunjukkan senyum termanis yang pernah ia lihat. Di sebelah tempat tidurnya, di atas meja, ia akan melihat sepiring sandwhich isi daging dan keju serta secangkir teh yang baunya sangat harum. Terkadang pula, pada hari-hari tertentu, laki-laki itu tampak lebih sibuk dari biasanya. Ia akan muncul dari balik pintu dengan rambut yang masih basah dan hanya berbalut handuk, menggoda Sri dengan penampilannya yang sebenarnya tak mengalami banyak perubahan. Kemudian ia akan menyisir rambutnya di depan cermin lemari sambil bersenandung lagu-lagu yang tak Sri kenal.

Sesekali, ia akan memasak makan malam untuk Sri, meski bukan candle light dinner lagi. Saat ia tidak ingin memasak, ia akan membelikan makanan cepat saji, seperti ayam goreng, ramen, atau pizza. Awalnya, perut Sri merasa tidak cocok dengan menu barunya itu. Pagi hari hanya diisi dengan sandwhich dan malam hari hanya diisi dengan pizza. Bukan berarti pizza dan fried chicken yang ia makan tidak lezat (ia berani bersumpah bahwa semua makanan asing itu terasa luar biasa baginya), tapi ia adalah penganut aliran "kalau belum makan nasi, berarti belum makan". Sering kali ia sampai harus sarapan dua kali. Di kantor, ia akan menyempatkan diri membeli nasi uduk di pertigaan jalan, lengkap dengan semur tahu dan gorengan bakwan.

Tentu saja ia tidak akan menceritakan hal ini kepada Aji. Ia tidak ingin menyinggung perasaannya. Bisa saja Aji akan marah karena merasa pemberiannya tak dihargai atau menganggap Sri tak tahu terima kasih. Sri masih belum memahami sifat "Aji yang baru" ini.Tidak ada yang tahu ke mana Aji pergi selama seharian, tapi ia selalu pulang lebih dulu daripada Sri. Malam ini, pria itu menunggu Sri sambil menghidangkan setengah lusin donat dan dua gelas kopi Starbucks yang katanya ia beli sebagai buah tangan. Sambil mengemil, ia mengajak Sri duduk di ruang tengah dan menanyakan kesehariannya di kantor.

"Nggak ada yang gimana-gimana, Mas. Hari ini ada meeting bos-bos di kantor. Banyak direktur yang datang. Aku bikin kopi buat mereka, terus bersih-bersih ruangan, terus ngobrol sama Tia di pantry. Untungnya hari ini nggak ada yang lembur, jadi aku bisa pulang lebih awal," kata Sri sambil menyeruput kopi yang rasanya sangat manis itu.

"Oh, gitu? Suka ngobrolin apa aja sama Tia, sahabatmu itu?" tanya Aji sambil melahap sepotong donat rasa matcha.

"Lebih seringnya aku yang dengerin dia curhat. Dia lagi deket sama siapa, lagi dideketin siapa," jawab Sri.

Obrolan mereka lebih banyak berisi tentang cerita Sri. Setiap kali Sri bertanya balik tentang keseharian Aji, lelaki itu akan mengalihkan pembicaraan. Bahkan, ketika Sri mulai semakin memaksa, suaminya itu malah menyosor bibirnya dan menggendongnya ke kamar. Biasanya, Sri memang tidak pernah menolak ajakan suaminya untuk bercinta. Ia meyakini bahwa melayani suami dalam urusan ranjang memang suatu kewajiban yang harus ia laksanakan--kapan saja, di mana saja. Namun kali ini, ia memenuhi keinginan Aji bukan sebagai suatu kewajiban suami-istri belaka, tapi karena ia pun menginginkannya. Mereka pun bercinta  hingga Sri kelelahan dan tertidur lelap. Ketika ia terlelap itulah suaminya kembali menghilang.

Sri mulai menyadari ini ketika ia terbangun pada pukul dua dini hari—waktu yang biasanya ia gunakan untuk salat tahajud—dan tidak menemukan Aji di sampingnya. Ia bangun dari ranjangnya sambil berusaha menghilangkan rasa pusing di kepalanya karena bangkit berdiri terlalu cepat. Setelah merasa cukup stabil, ia memeriksa kamar mandi. Pintu kamar mandi tertutup dan terdengar suara tetesan air keran yang cukup nyaring di tengah sunyinya malam. Pintu kamar mandi memang biasa ia tutup meskipun tak ada orang di dalam, sebab ia tidak suka dengan pemandangan isi kamar mandi yang terpampang bebas. Sri mengetuk pintu dari plastik itu, tapi tidak ada balasan. Ia mendorongnya perlahan, dan ternyata pintu itu tidak terkunci. Kamar mandi kosong.

Rasa penasarannya masih belum terpuaskan. Sri bergegas ke dapur, sambil menebak-nebak, mungkin saja Aji sedang memasak sesuatu malam-malam begini. Mungkin ia sedang membuat mi instan? Menyeduh kopi? Bukan hal yang mustahil mengingat perubahannya belakangan ini. Namun dapur juga kosong, hanya ada tumpukan piring dan gelas di sebelah wastafel yang sudah dicuci bersih dan sedang menunggu kering.

Rumah kontrakan itu bukanlah rumah yang luas. Bila seseorang tidak berada di kamar tidur, dapur, dan kamar mandi, berarti ia memang tidak berada di rumah itu. Ia berjalan ke ruang depan, lalu ke pintu depan, mencoba memutar gagangnya yang terbuat dari besi. Jantungnya terasa berhenti ketika ia menyadari bahwa ternyata pintu itu terkunci. Ia memeriksa lubang kunci di hadapannya. Tidak ada yang menggantung di sana. Kunci pintu itu biasanya dibiarkan menggantung setiap malam. Jika tidak ada di sana, berarti pintu itu dikunci dari luar.

Masih tidak percaya, ia menyalakan lampu ruang tamu, kemudian memeriksa meja, bagian atas televisi, dan setiap sudut ruangan. Ia tidak menemukan sebatang kunci pun. Dengan sedikit panik, ia berusaha membuka pintu itu dengan paksa, tapi sama sekali tak membuahkan hasil. Pintu itu benar-benar dikunci dari luar, dan karena itu adalah satu-satunya pintu keluar di rumahnya, dengan kata lain, Sri terkurung di dalam rumah.

Ke mana perginya sang suami? Ditariknya pintu itu sekuat tenaga, tapi ia tetap bergeming. Pintu itu terbuat dari kayu yang cukup berat, kayu antik yang sebenarnya lumayan mewah untuk rumah tua seperti itu. Mungkin Aji mengurung dirinya karena kesal. Mungkin ada tingkah lakunya yang membuat ia tersinggung. Mungkin ia pergi ke suatu tempat dan melakukan hal-hal yang tak boleh diketahui istrinya.

Mungkin Aji berselingkuh, pergi ke rumah perempuan simpanannya dan menggilirnya—sesaat setelah tidur dengan istrinya yang sah. Ya, Sri pernah membaca (lagi-lagi dari tautan artikel di laman Facebook) bahwa salah satu ciri laki-laki yang sedang berselingkuh adalah perubahan sikap yang mendadak. Rasa bersalah yang lahir dari aktivitas perselingkuhan akan mendorong laki-laki untuk bersikap lebih manis dan lebih memanjakan sang istri. Namun karena perubahan itu tidak terjadi secara alami, sikapnya menjadi berlebihan, terkesan aneh dan mencurigakan. Mirip sekali dengan perubahan sikap Aji. 

Ia mencoba merunut-runut. Siang hari, Aji bekerja. Malam hari, ia mengunjungi selingkuhannya. Mungkin ada hubungan antara pekerjaan barunya dan perempuan simpanan itu. Jangan-jangan suaminya itu menjadi gigolo demi menafkahi dirinya? Sri merasa pusing memikirkan kemungkinan gila itu.

Ia pun mencoba berpikir positif. Mungkin, pikir Sri sambil menenangkan diri, Aji memang tidak punya pilihan selain mengunci pintu dari luar. Ia tidak mau membangunkan dirinya yang sedang tertidur lelap, dan ia juga tidak mungkin membiarkan pintu rumah tidak terkunci pada pukul dua dini hari. Dalam khayalannya, ia membayangkan Aji mengecup keningnya saat ia sedang tidur, tidak tega membangunkannya yang sedang pulas mendengkur, kemudian pergi ke luar rumah dengan berjingkat-jingkat. Pergi ke mana? Bekerja. Mengingat banyaknya makanan mahal dan benda-benda mewah yang ia bawa ke rumah dalam beberapa hari ini demi memanjakan istrinya, kemungkinan ia harus bekerja tambahan di malam hari.

Entah dugaan mana yang lebih masuk akal. Sri menggeser gorden, kemudian melongok ke teras lewat jendela. Tidak ada yang berubah. Pot tanaman masih di tempatnya semula, kursi tidak bergeser sesenti pun, dan tidak ada jejak kaki yang membekas di lantai. Satu-satunya yang bergerak hanyalah daun-daun yang ditiup angin malam, seolah Aji menghilang dibawa olehnya.Ia menyalakan televisi, sekadar untuk menghilangkan perasaan sunyi. Sejak kecil, setiap kali ia ditinggal sendirian di rumah dan merasa ketakutan, ia akan menyalakan televisi atau radio. Pada suara televisi dan radio, ada semacam ilusi yang sanggup melenyapkan rasa kesepian, seolah ada manusia-manusia lain yang tinggal bersamanya dan menemaninya. Selain itu, suara televisi juga mengalihkan telinganya dari mendengarkan suara-suara halus seperti desiran angin atau tetesan air di kamar mandi. Ia memeriksa semua saluran televisi, tapi yang ada hanyalah film tempo dulu dan siaran pertandingan sepak bola.

Sepak bola. Terbersit dalam benaknya bahwa Aji mungkin sedang pergi mengikuti acara nonton bareng pertandingan sepak bola di suatu tempat di luar sana. Dulu, suaminya itu sering menonton pertandingan bersama-sama di rumah Pak RT atau di warkop Bang Sukur yang buka hingga pagi. Namun, semenjak ia kehilangan pekerjaan, ia selalu menonton sendirian di rumah. Sekarang, siapa tahu kebiasaan lamanya itu sudah kembali?

Dua kesebelasan yang tak dikenalnya berlarian di tengah lapangan hijau. Mungkin itu liga Inggris, sebab komentatornya berbicara dalam bahasa Inggris. Sri sudah berusaha untuk menyukai sepak bola. Memang, sebagai perempuan ia tidak merasa wajib menyukai sepak bola, tapi ia pernah berpikir bahwa apabila ia dan suaminya menyukai satu kegemaran yang sama, mungkin hubungan mereka akan menjadi lebih hangat.  Lagipula, perempuan yang menyukai hal-hal yang "kelelaki-lelakian" sering dianggap lebih menyenangkan oleh kaum Adam. Seperti Tia, teman kerjanya, yang hobi menonton sepak bola dan film action. Perempuan yang usianya lebih muda darinya dan agak tomboi itu memiliki banyak teman laki-laki dan pergaulannya jauh lebih luas. Namun Sri mengurungkan keinginan itu karena ia tahu Aji tak akan menyukainya. Aji tidak suka perempuan yang tomboi. Tomboi itu menyalahi kodrat. Perempuan itu harus lemah lembut, penyayang, pelayan. Entah apakah Aji masih memegang prinsip seperti itu sekarang.

Sesekali di tengah racauan komentator sepak bola, Sri menatap ke luar jendela, menunggu ada sesosok bayangan yang lewat di balik kaca berterali besi itu dan membukakan pintu rumah. Bukan berarti ia ingin segera pergi ke luar rumah. Ia tidak ingin pergi ke mana-mana, tidak pada jam segini. Ia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang tidak dikurung di dalam rumah oleh suaminya sendiri.

Bayangan itu tak juga muncul. Ia melirik jam dinding, ternyata sudah pukul tiga pagi. Dalam kepalanya sempat terlintas niat untuk mandi junub dan menunaikan salat malam, tapi sebelum niat itu terlaksana, matanya sudah menjadi terlalu berat. Ia tidak tahu lagi batasan antara tidur dan terjaga, sebab lama-kelamaan suara televisi menjadi semakin kabur dan memudar menjadi gumaman-gumaman tidak jelas. Kurang dari setengah jam kemudian, ia sudah terlelap di atas lantai.

Samar-samar, Sri dapat mendengar suara pintu yang berderik terbuka. Ada langkah kaki yang pelan-pelan mendekatinya, kemudian tubuhnya diangkat dan dibawa pergi.

Continue Reading

You'll Also Like

105K 15.6K 61
[BOOK #1 OF THE JOURNAL SERIES] Mendapatkan beasiswa selama setahun di Inggris pastinya diterima baik oleh Zevania Sylvianna, seorang gadis pecinta k...
15.1K 2.9K 33
ROMANCE-COMEDY | NOVELLA | END Lima gadis melakukan santet karena sebuah keisengan dan rasa penasaran. Namun santet mereka gagal dan justru mereka ha...
106K 11K 29
[WATTYS AWARD 2016 KATEGORI PENDATANG BARU] Pembunuhan aneh itu membuatku tak pernah tenang. Kenapa tidak? Semua korban pembunuhan itu bernama depa...
5.6K 1.5K 24
[Kelas X] Completed Synesthesia yang ia miliki, terus membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang. Murid-murid sekolah menjauhinya karena kesalahpahama...