Another Pain [END] âś”

By goresanlaraf

213K 13.8K 960

[COMPLETED] Mereka pernah berkata, jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Mereka juga pernah berkat... More

I •Hati yang terbalut luka•
II •Yang tak pernah teranggap•
III •Berjuang untuk diri sendiri•
IV •Keluh dan rasa sakit•
V •Terlalu sulit berdamai dengan hati dan keadaan•
Vl •Sosok yang mengingatkannya pada masa lalu•
VII •Khawatir•
VIII •Hari terpenting dan hancur•
IX •Diary depresiku•
X •Kisah tentang duka•
XI •Pulang untuk kembali terluka•
XII •Aku bukan pembunuh•
XIII •Tak berujung•
XIV •Semangat hidup yang di patahkan•
XV •Sembunyi di balik tawa•
XVI •Berkorban•
XVII •Tuhan masih menyayanginya•
XVIII •Hati nurani yang telah hilang•
XIX •Terlalu letih•
XX •Berarti•
XXI •Pupusnya sebuah asa•
XXII •Tak lagi bersama•
XXIII •Tak lagi utuh•
XXIV •Menghindar•
XXV •Hadir untuk di acuhkan•
XXVI •Masa sulit•
XXVII •Rasa yang terpendam•
XXIX •Kebahagiaan itu semu•
XXX •Sakit yang mendalam dan keputusan•
XXXI •Bukanlah segalanya•
XXXII •Tak akan sendiri•
XXXIII •Selalu salah•
XXXIV •Permainan tanpa garis finis•
XXXV •Opera Tuhan•
XXXVI •Masih disini merakit luka•
XXXVII •Rapuh yang terbalut indah•
XXXVIII •Dalam belenggu•
XXXIX •Setiap sesak mengandung luka•
XL •Mimpi itu tak lagi tentang kebahagiaan•
XLI •Untaian kata yang tak sampai•
XLII •Paksaan untuk tetap bertahan•
XLIII •Bunga merekah yang tak akan pernah layu•
XLIV •Berselimut dengan kenangan•
XLV •Untuk diri yang tak ingin terluka lagi•
XLVI •Luka yang telah pergi dan tak akan kembali•
EXTRA CHAPTER •Timbal balik kehidupan•
AYO KENALAN SAMA DHEGA
EXTRA CHAPTER •MEMORABILIA•

XXVIII •Ketulusan hati•

3.1K 240 26
By goresanlaraf

↺ Playing song : Yang Yoseob - couldn't cry because i'm a man ↺

HAPPY READING

“Rasanya seperti kehilangan oksigen untuk bernapas. Begitulah hidup yang aku jalani.”

—Regi Sabiru


     "Saya mau kamu donorkan ginjal kamu sama Reyga."

     "Kalau kamu mau mendonorkan ginjal kamu sama Reyga, kamu boleh pulang ke rumah dan apapun yang kamu mau... Saya akan berikan."

     Pembicarannya dengan sang Ayah masih terngiang-ngiang di kepala Regi, bahkan hingga membuat kakinya bergetar—hampir saja terjatuh jika ia tak mampu menyeimbangkan tubuhnya sendiri.

     Regi berjalan sedikit terseok, pandangannya pun juga sedikit buram. Syukurnya, ia masih mampu melihat sekitar meski tak begitu jelas.

     Hingga ia sadar jika di ujung sana—di tapi jalan ada sosok laki-laki yang menyandarkan punggungnya di sisi kap mobil sembari bersedekap dada. Tatapannya yang datar terkesan jika laki-laki itu begitu dingin.

     Bang Alan.

     "Bisa gak lo sehari aja gak nyusahin orang?" tukas Alan dengan wajah datar seakan acuh akan kondisi lawan bicaranya saat ini.

     Regi berusaha mendekat, lalu ia tersenyum getir. Kakinya sudah tak mampu lagi menopang berat tubuhnya.

     Di tatapnya sendu sang Kakak lalu berkata lirih, "Maaf abang, maaf."

     Bruk

     Tepat saat Regi berbicara beberapa patah kata mata itu tertutup rapat dan berakhir jatuh ke dalam pelukan Alan. Alan sedikit tertegun, ini pertama kali setelah sekian lama ia tak memeluk sang adik. Tubuh itu hangat—begitu hangat, Alan bisa merasakannya.

     "Bandel," cicitnya lirih saat mengetahui jika Regi pingsan.

     Setelahnya Alan menuntun Regi—membawa adiknya ke dalam mobil menaruh tubuh sang Adik se-pelan mungkin lalu kakinya segera bergerak menuju kursi kemudi.

      Sebelum melajukan mobilnya, sekali lagi Alan memperhatikan wajah sang adik yang selama ini tak ia tatap. Seakan begitu rindu akan sosok itu, sosok yang selalu ia abaikan, ia acuhkan—kini berhasil ia tatap sedikit lama dengan rautnya yang begitu pucat.

     "Maafin abang Re, abang pengecut."

     Tangan Alan yang bebas lekas bergerak—mengusap wajah adiknya, lagi-lagi untuk pertama kali setelah sekian lama.

     "Abang sayang kamu."

     Alan sadar jika air matanya jatuh, sesegera mungkin ia menghapusnya dan kembali menarik tangannya—mencengkeram setir kemudi. Sebelumnya menarik napas dalam dan mengeluarkanya perlahan.

     Lalu mobil itu pun melaju meninggalkan area kafe yang mulai sepi. Menyisakan sejuta luka yang menyelubungi hati.

•••

     "Lo apain lagi Regi, hah?! Lo gak tau dia lagi sakit!"

     Alan membuang napas kasar, menatap datar Bima yang kini tahu-tahu sudah menghadangnya saat dirinya baru saja keluar dari mobil.

     Seakan tak mengindahkan Bima yang saat ini sudah menampilkan wajah yang memerah karena tersulut emosi—Alan lekas membuka pintu mobil dan hendak membawa adiknya ke dalam.

     Bima menahan pintu mobil Alan dengan tangannya. "Jangan bikin gua emosi Lan," tukasnya penuh penekanan sembari menatap Alan tajam.

     Lagi-lagi Alan membuang napasnya dan kali ini ia menatap Bima sedikit lebih lama.

     "Lo gak liat adek gua lagi gak baik-baik aja?"

     Pintu mobil berhasil terbuka lebar sehingga Bima bisa melihat jika di sana terdapat Regi dengan mata tertutup dan wajah pucat. Bima tertegun, tangannya mengepal erat.

     Sebelum Bima menerjang laki-laki itu dengan bogeman mentah, Alan sudah buru-buru menggendong Regi.

     "Ya ampun Den Regi kenapa Mas?" tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang dengan ekspresi terkejut saat manik matanya menatap siapa yang kini Alan gendong.

     "Bi, tolong panggilin Dokter, ya. Sama siapkan air anget di baskom sekalian handuk kecil," jelasnya. "Aku bawa Regi ke kamar dulu."

     "I-iya Mas i-iya."

     Wanita itu lekas melengos pergi, menyisakan Bima yang masih berdiri di sana—sedikit membanting pintu mobil Alan dan mengumpat kecil sebelum mengikuti lelaki membawa Regi ke dalam.

•••

    "Regi sayang Reyga, kan?" pertanyaan itu keluar dari seorang anak lelaki. Kakinya yang tadi sedang menendang bola seketika berhenti—berbalik menatap sosok anak lelaki lain yang sedikit mirip dengannya.

     "Sayang dong! Masa gak sayang. Kata Mama sebagai saudara kita harus akur gak boleh berantem terus apalagi sampai musuhan." Regi mendekat ke arah Reyga—membisikkan sesuatu di sana. "Nanti Tuhan marah loh."

     "Emang Re tau gimana Tuhan marah?"

     "Enggak." Regi menggeleng.

     Reyga menghela napas lalu lekas duduk di pasir-pasir lapangan yang sedikit tandus—menatap sang senja yang mulai tenggelam. Lalu di susul Regi di sampingnya.

     "Reyga kenapa? Ada yang ganggu pikirannya ya? Kok tiba-tiba nanya gitu sama Regi?"

     Reyga menggeleng cepat, ia menatap Regi. "Reyga cuman takut kalau nanti Regi pergi ninggalin Reyga."

     Bukan malah memeluk Reyga dan meyakinkan anak itu jika hal itu tak akan pernah terjadi, Regi malah tertawa lantang membuat Reyga mendengus kesal.

     "Regi kenapa ketawain?! Regi gak serius!"

      "Hehe maaf maaf. Ngak bukan gitu Rey."

     "Rey dengerin nih ya." kini giliran Regi yang menatap Reyga, lalu kembali berkata, "Gimanapun keadaannya nanti Regi gak akan kemana-mana, Regi bakal tetep di sini sama Reyga, sama Mama, Papa, Bang Alan. Rey gak perlu takut tau!"

     Mendengar hal itu Reyga sayup-sayup menatap Regi. "Re bener begitu? Janji kan?"

     Kepala Regi mengangguk cepat. "Janji dong!"

     "Kalau Re ingkar hukumannya apa?" tanya Reyga.

     Regi pun tampak berpikir. "Hm apa ya?"

     "Kalau Re ingkar hukumannya nanti Rey bakal pukul pantat Regi sepuluh kali!"

     "Kok gitu?" Regi tampak tak terima.

     "Kenapa takut ya? Yeee cemen dasarr!"

     "Gak! Oke siapa takut! Tapi..." Regi menggantungkan ucapannya. "Kalau Reyga ingkar Re juga bakal pukul pantat Reyga. Gimana? Deal?"

     "Oke deal!"

     Reyga terbangun. Mimpi itu datang lagi. Kedua matanya terbuka lebar serta napas yang terengah-engah—menatap atap-atap ruang inap yang sedikit terpancar cahaya bulan dari bilik jendela.

     Tak lama lelehan air mata keluar dari sudut matanya. Reyga lekas bergerak ke samping dan meringkuk. Ia menutup mulutnya rapat-rapat saat tangisnya semakin lama semakin menjadi-jadi.

     Ia merindukan Regi, ia merindukan saudaranya, ia merindukan momen-momen indah yang dulu terjalin sebelum semuanya berubah 180 derajat.

     Sakit, sakit rasanya. Sesak, sangat teramat sesak setiap kali melihat sang Ayah yang tanpa segan melayangkan pukulan pada Regi—yang mana ia sendiri tak bisa melindungi saudaranya sendiri.

     "Re maafin gua, maafin gua Re..."

     "Maafin gua yang selama ini gak bisa jagain lo, gak bisa nepatin janji Mama buat jagain lo. Maaf Re."

•••

     Kelopak mata itu bergerak perlahan, setelahnya terbuka lalu menatap sekitar kamar dan tak salah lagi kamar yang saat ini ia tempati ialah kamarnya. Regi mencoba mengingat kembali kejadian sebelumnya.

     Bertemu Ayah di kafe, ada yang bermasalah dengan ginjal Reyga, donor ginjal, Alan.

     "Shh, ah," erangnya saat Regi mencoba untuk duduk menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.

     Helaan napas kecil terdengar teramat lirih saat memorinya kembali mengingat perkataan sang Ayah.

     "Papa mau kamu mendonorkan ginjal untuk Reyga."

     Regi menunduk—meremat kedua tangannya. "Ma, apa yang harus Regi lakuin?" tukasnya lirih.

     "Udah bangun?"

     Buru-buru Regi menghapus air matanya yang tiba-tiba saja mengalir sebelum pada akhirnya ia mendongak—menatap sesosok lelaki yang muncul. dari balik pintu.

     Regi tersenyum kecil. Bang Alan.

     Alan ikut tersenyum kecil lalu berjalan mendekati ranjang Regi—duduk di sisi ranjang. Regi masih terdiam menatap Alan. Tidak, tidak, ia hanya sedikit canggung karena sudah begitu lama ia tidak berinteraksi seperti ini dengan Alan.

     Tangan Alan bergerak, Regi sedikit beringsut mundur. Alan tersenyum pias sebelum akhirnya menjatuhkan tangannya di atas kepala Regi—mengusap surai hitam itu lembut.

     Regi tertegun.

     "Abang?"

     Alan belum angkat bicara, tangan kanannya masih setia mengusap surai hitam Regi. Hingga mata itu bergetar dan mengeluarkan air mata.

     "Maafin abang ya Re," ucap Alan dengan nada bergetar. "Harusnya abang sadar jika di sini ada adek abang yang lagi ngak baik-baik aja."

     "Abang....

     Alan menarik napas. "Harusnya abang nepatin janji abang ke Mama buat jagain adek-adek abang."

     Regi langsung menarik tubuh Alan—memeluk lelaki itu erat.

     "Abang Regi gak apa-apa. Adek abang ini kuat!"

     Bukan malah tertawa, tangislah yang terdengar. Kamar itu semakin lama semakin terasa sesak seperti tak ada ventilasi udara.

     Dengan gerakan cepat, Alan membalas pelukan Regi—memeluk tubuh hangat itu seerat mungkin. Tubuhnya bergetar hebat, tangisnya semakin lama semakin menjadi-jadi.

     Entah sudah berapa lama ia tak memeluk tubuh adiknya. Sungguh hati Alan terasa sakit saat ini. Ia sadar jika selama ini ia adalah kakak yang buruk.

     "Kenapa, kenapa kamu masih begitu baik setelah apa yang abang lakuin ke kamu Re... Kenapa?"

     "Harusnya kamu juga benci abang, harusnya kamu juga ngelawan."

     Regi tersenyum di balik pelukan Alan, mengusap-usap lembut punggung kokoh abangnya berkali-kali.

     "Abang lupa ya kalau Mama selalu ajarin kita untuk tidak pernah menaruh kebencian kepada saudara kita sendiri. Apapun itu."

     Regi menjeda perkataannya. Menarik napas dalam-dalam lalu menutup rapat matanya—menjatuhkan dagunya di bahu Alan.

     "Regi gak akan benci kalian, sekalipun itu membuat Regi sakit banget di sini."

     Alan semakin mengeratkan pelukan, tangisnya pun semakin terasa pilu. Alan tidak tahu jika adiknya sekuat itu—menahan rasa sakit selama ini seorang diri.

     "Maafin abang Re, maafin abang, maafin abang."

     Kepala Regi mengangguk.

     "Makasih udah kembali abang. Setidaknya Regi udah rasain pelukan abang sebelum nanti Regi pergi dan gak bisa kembali lagi."

•••

     "Bang Re makan yang banyak ya... nih aku ambilin telurnya."

     "Sayurnya juga harus banyak biar stamina kamu tetap terjaga."

     Ukiran senyuman manis, raut bahagia terpancar di wajah Regi saat netranya menangkap Alan dan Aubrey secara bergantian meletakkan beberapa laut di piringnya.

   Tak pernah terpungkiri jika ia akan kembali duduk di sini—di meja makan bersama keluarganya. Momen yang selama ini ia rindukan. 

     "Ehem!"

     Atensi mereka terhenti termasuk Regi saat deheman itu memasuki gendang telinga—terlihat sosok pria paruh baya menuruni anak tangga. Regi meremat sendok yang kini ia pegang, jantungnya berdegup begitu kencang.

     "Pagi Pa." tidak, hanya Aubrey yang menyapa. Alan pun terlihat acuh sedangkan Regi hanya menunduk.

     Adli mengangguk lalu duduk di kursi makan paling ujung. Netranya kini tertuju pada Regi, lalu seulas pun nampak.

     "Apa kamu sudah memikirkannya Re?"

     Adli angkat bicara, Alan dan Aubrey saling adu pandang. Baru Regi mendongak—menatap sang Ayah ragu.

     "Temui papa di ruang kerja nanti habis makan," talak Adli sebelum akhirnya mulai menyantap makanan.

     "I-iya Pa."

     "Ada apa?" Alan angkat bicara saat ia merasa ada yang aneh di antara sang Ayah dan adiknya. Akan tetapi, bukannya menjawab pertanyaannya Regi buru-buru mengukir senyuman.

     "Ngak Bang bukan apa-apa kok," jawabnya tanpa ragu.

     Adli pun terkekeh. "Sudah dengar, kan? Jadi cepat lanjutkan makan kalian."

     Dengan berat hati Alan mengalah dan hanya menghela napas. Meski jauh di dalam lubuk hatinya merasakan ada hal yang di sembunyikan oleh Regi sang Ayah.

     Gua gak yakin kalau gak ada apa-apa. Tunggu sampai Abang sendiri tahu apa yang kamu sembunyiin Re.

•••

     Langkah kakinya perlahan memasuki sebuah ruangan yang tampak klasik dan rapi. Ruang yang mana selalu menjadi tempat favorit Ayahnya, ruang yang membuat sang Ayah begitu sibuk dengan dunianya.

     Perlahan tangannya menutup pintu ruang kantor Ayahnya yang kini telah ia pijak. suasana ruang itu masih sama dengan beberapa tahun silam. Dan entah sudah berapa lama Regi tidak mempijakkan kakinya di sini.

     Hingga netranya tertuju pada sebuah bingkai berukuran sedang menghadap ke arah nya. dua anak lelaki dan satu nak gadis, Regi tersenyum getir.

     Tak ada foto dirinya di dalam ruang sang Ayah.

      "Jangan berharap lebih Gi, inget lo itu cuman parasit di keluarga ini." begitu tukasnya seraya mengusap lembut bingkai foto itu.

     "Oh sudah di sini kamu?"

     Sedikit terkejut saat mengetahui bahwa sang Ayah sudah memasuki ruangan. Entah kapan bahkan ia sendiri tidak mendengar suara pintu terbuka. Mungkin karena Regi terlalu larut dalam suasana haru yang kini sedang melanda hatinya.

     langkah kaki begitu mantap menuju kursi—tempat dimana biasanya ia duduki. Sedangkan Regi hanya berdiri—menunggu Ayahnya berbicara kembali padanya.

     "Gimana?" Alan menatap Regi dengan menopang kedua tangannya di bawah dagu. "Apa kamu sudah memikirkannya?"

     Regi tahu kemana arah pembicaraan sang Ayah. Tak lain dan tak bukan ialah persoalan donor ginjal untuk Reyga.

     "Pa..." Regi menggantungkan ucapannya. sedikit menelan ludah sebelum kembali bersuara. "Apa selama ini gak ada sedikitpun ruang di hati Papa untuk Regi?"

     Adli hanya terdiam, seperti tak ada sekalipun hasrat lelaki itu untuk berbicara ataupun sekedar menenangkan Regi—anaknya—darah dagingnya sendiri.

     "Apa yang harus Regi lakuin biar Papa sedikit aja luangkan waktu Papa buat Regi."

     Bahkan tangan Regi mulai bergetar. "Selama ini Papa menempatkan posisi Regi seakan Regi yang paling hina, Regi parasit di keluarga ini."

     "Apa salah Regi Pa?"

     Adli buru-buru berdiri—menghadap ke arah kaca jendela—seakan menghindari kontak antara Ayah dan Anak. Tidak, Adli bahkan tidak merasakan apa-apa saat mata itu berkaca-kaca seakan merindukan pelukannya.

     "Jika kamu di sini hanya berbasa-basi, tidak ada gunanya bukan? Bukan ini pembicaraan kita," jawab Adli datar.

     Di sana Regi mengangguk sembari mengusap kasar pipinya yang basah karena air mata meleleh begitu saja.

     "Papa mau Regi donorin Ginjal Regi sama Reyga, kan?" kepala itu kembali mengangguk. "Regi bakal turutin kemauan Papa."

     Adli terjengit saat Regi berkata serupa. Sayup-sayup telinganya mendengar langkah kaki yang mendekat.

     "Jika dengan itu kalian lebih bahagia... Sekalipun tanpa kehadiran Regi di antara kalian, Regi akan lakukan."

     "Untuk apa Regi hidup jika tak lagi di inginkan."

     Setelahnya Regi berbalik dan lekas melangkah pergi meninggalkan ruangan Ayahnya. Sesaat setelah kepergian Regi, hanya helaan napas yang terdengar—keluar dari mulut Adli.

•••

     Langkah kaki Regi berhenti di pekarangan belakang rumah. Ia menunduk saat merasakan dadanya yang terasa begitu sesak, bahkan untuk sekedar bernapas pun teramat sakit.

     Mungkin benar jika usaha apapun yang Regi lakukan untuk mencuri perhatian Ayahnya tidak akan berujung baik. Atau mungkin dengan hilangnya ia dari bumi pun juga tak akan menyadarkan Ayahnya jika ia kini butuh perhatian.

     Ia juga sakit.

     Bahkan bukan hanya fisiknya, tapi mental juga hatinya. Yang mana tak ada satu orang pun tahu jika selama ini pundak yang ia pikul begitu berat.

     Tes, tes, tes, tes

     Satu tetes, dua tetes hingga beberapa tetes darah berhasil mengalir deras—keluar dari lubang hidungnya. Rasanya sungguh sakit, tapi sesakit apapun yang kini ia rasakan tak akan ada satupun orang yang merelakan tubuhnya untuk ia dekap.

     Regi sadar jika dirinya begitu kesepian.

     "Sakit, kenapa sesakit ini?"

     Regi muak dengan semuanya. Muak dengan keadaan tubuhnya, muak dengan hidupnya.

    Ia abaikan darah yang terus mengalir deras dari kedua lubang hidungnya. Kakinya terus berjalan maju dengan langkah terseok-seok.

     BYUR

     Regi menenggelamkan dirinya ke dalam dinginnya air kolam.

     "Pa, kalaupun nantinya Regi tetap kalah. Tolong jagain mereka untuk Regi Pa."

     "Pa, apa Papa mau peluk Regi? Regi kedinginan Pa. Sakit rasanya."



Jangan lupa untuk follow goresanlaraf
Untuk info lainnya kunjungi Tiktok : @goresanlaraf

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 249 31
Laut itu? Yang membuat nya merasakan kesedihan, ketika dia harus melihat orang yang dia sayang, hilang.. "Ayah jahat, al rindu bunda.." Dan laut itu...
1K 147 12
"Sakit dibayar maaf itu curang. Sakit dibayar karma itu impas." -Maharaja-
73.4K 4.6K 25
Mereka terlahir sebagai saudara kembar. Niko dan Niki adalah kakak-beradik dengan wajah yang identik tetapi memiliki cerita hidup yang berbeda. Sejak...
1K 189 9
" Satya pengen pinter biar di sayang mama sama papa " - 𝑻𝑹𝑰𝑺𝑨𝑻𝒀𝑨 𝑩𝑨𝒀𝑼𝑵𝑨𝑾𝑨𝑹𝑨 " kata papa Satya harus ganti uang yang udah Satya pake...