Matahari Dan Bintang

By sirhayani

386K 56K 2.7K

SELESAI ✔️ Bintang, cewek yang pernah tinggal di jalanan selama bertahun-tahun, tiba-tiba terbangun di sebua... More

blurb & prakata
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
EPILOG
Time Paradox (Perjalanan Waktu Selanjutnya)

PART 44

3.5K 672 52
By sirhayani

PART 44

Di dalam sebuah mobil sedan putih, seorang cewek berambut gelombang sedang duduk melipat kedua tangan di dada, paha kanannya menumpu paha kiri, kepalanya menyandar di sandaran jok penumpang yang diberi bantalan empuk. Sudah berkali-kali dia melirik jam tangannya dan waktu semakin terasa melambat.

"Bosen." Hanna mengeluh pelan. Tatapannya tak lepas pada lobi apartemen yang lokasinya jauh dari tempat sopirnya memarkirkan mobil. Hanna tak peduli dengan tanda larangan singgah di tempat itu. Sopir di depannya hanya bisa pasrah mengikuti keinginan anak majikannya yang keras kepala.

Terkadang ada orang yang terlihat berwibawa, tetapi pada dasarnya memiliki segudang sifat buruk yang dia sembunyikan. Seperti Hanna yang selalu terlihat seperti cewek anggun, terkadang memiliki ekspresi yang membuat siapa pun berpikir bahwa dia adalah cewek yang selalu menjaga perkataan, tetapi di depan keluarga besar dia akan menjadi tak terkendali jika keinginannya tak terkabul.

Memecahkan barang-barang berharga yang dimaklumi oleh kedua orangtuanya, menjatuhkan keramik dari lantai 2 dengan wajah datar tetapi ada amarah yang dia tahan, sengaja lewat dilantai yang sedang dibersihkan oleh asisten rumah tangganya dengan sepatu yang baru saja dia pakai dari luar rumah.

Kebiasan sedari kecil yang masih berlaku sampai sekarang.

"Non...." Nada pelan sang sopir sudah menjelaskan bagaimana hati-hatinya dia ketika berbicara pada anak tunggal majikannya itu. "Itu yang keluar dari taksi...."

Hanna langsung menolehkan pandangan pada satu-satunya taksi yang berhenti di depan lobi. Dia melihat Baskara keluar dari taksi itu, tetapi ada yang aneh. Baskara membuka pintu taksi satunya, menunduk sebentar, lalu mengangkat seseorang yang merupakan seorang cewek.

Cewek itu pasti pemilik suara tertangkap kamera tersembunyi yang dipasang oleh Elvis. Andaikan Elvis memasang kamera itu dengan baik, maka Hanna bisa melihat wajah cewek itu dan menandainya untuk memberi pelajaran.

Hanna keluar dari mobil dan berlari menuju apartemen dengan tatapan berapi-api. Dia bisa melihat bagaimana Baskara mengangkat cewek itu ke dalam gendongannya, tetapi kemudian cewek itu meminta turun dan mereka berjalan bersama memasuki apartemen. Hanna nyaris berteriak ketika bagian keamanan datang memblokir jalannya untuk masuk. Bagaimana pun dia sudah di blacklist dari sana.

Hanna tak bisa mengatakan apa-apa selain menggigit kukunya hingga ujung jarinya berdarah. Dia tak bisa melihat wajah cewek itu. Padahal Hanna ingin mencari tahu dan menghancurkan wajah yang berani menggoda Baskara.

***

Baskara membuka pintu apartemen, membuka sepatunya, lalu melangkah menuju pintu kamarnya yang terbuka. Ketika tiba di ambang pintu, dia melihat Bintang sedang meringkuk seperti bayi di atas tempat tidur dalam kamarnya.

Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian hari itu dan Baskara tak membiarkan Bintang untuk keluar. Pada dasarnya, semua kembali seperti awal. Tak ada tanda-tanda di mana Bintang ingin kabur bahkan cewek itu menikmati hari-hari yang dia lewati meski sempat sedih selama dua hari.

Ketika Baskara bertanya mengapa dia menangis, Bintang hanya menggeleng dan menjawab bahwa dia juga tak tahu mengapa sedih setelah melihat sebuah pesawat di langit.

Hari setelah kejadian itu juga berjalan tak mengenakkan karena saat di sekolah Hanna memaksanya untuk menjawab siapa cewek yang turun bersamanya dari taksi dan memasuki apartemen. Diam adalah hal yang dia lakukan selama ini untuk menghindari Hanna. Cewek itu tak tertarik padanya. Mengejar dan mengganggunya bukan karena menyukainya, tetapi karena Hanna ingin menjadi keluarga dengan Euginia yang tak lain ibu kandung dari Baskara. Entah bagaimana Hanna tahu fakta itu.

Dua hari yang dilewati Bintang dengan kesedihan itu juga menjadi waktu di mana Baskara memancing Bintang untuk bercerita tentang Arsa. Bintang menceritakan semuanya dengan detail. Sejak bagaimana Arsa mengambil kesempatan untuk memisahkan Bintang dari Baskara sampai kejadian saat Bintang yang melihat pesawat.

Baskara masih ingat jelas tangisan Bintang hari itu tak terlihat palsu.

Dia memasuki kamarnya dan menyimpan tasnya di atas sebuah meja. Dia mengurungkan niat membuka kemeja sekolahnya dan lanjut menatap wajah Bintang yang tenang.

Baskara tak punya bayangan apa yang terjadi di masa depan. Apa yang ingin dilakukannya sekarang hanyalah menikmati waktu yang mengalir apa adanya.

***

Ketika Baskara membuka matanya, cahaya pagi sudah terlihat. Dia bangun sedikit terlambat. Tak ada yang menarik di sekolah. Dia malas untuk pergi dan ingin bolos sehari lagi untuk bulan ini dan menikmati waktu santainya bersama Bintang. Baskara bangkit dari tempat tidurnya dengan ogah-ogahan dan menggerakkan otot lehernya yang terasa kaku akibat salah tidur. Pandangannya tertuju pada pintunya yang terbuka, lalu dia mengernyit ketika melihat Bintang berdiri dengan tangan gemetar dan mata yang bengkak.

Dengan cepat Baskara menghampiri Bintang, tetapi Bintang mengarahkan tangannya agar Baskara tak mendekat. Bintang tidak menangis, tetapi matanya yang sembab itu menandakan bahwa belum lama ini dia selesai menangis.

"Aku... aku ... ada darah...." Bintang bicara terbata. Suaranya pun bergetar. Dipandanginya Baskara yang menatapnya keheranan, lalu tiba-tiba saja Bintang menangis lagi sambil memeluk perutnya yang sakit. "Hueee, hiks hiks.... Perutku sakit. Keluar—hiks... ada darah yang keluar.... Ba—banyak dari ... dari semalam."

"Hah?" Baskara menatap Bintang dengan horor. "Ma—maksud lo?"

"Darahnya masih ngalir banyak." Bintang menunduk memeluk perutnya. "Sakit! Perutku sakit!"

Baskara menatap sesuatu berwarna merah yang mengalir di betis Bintang. Baskara mematung untuk beberapa saat dan merasakan degupan kencang di jantungnya yang berdegup luar biasa. Baskara mulai berspekulasi sendiri tentang kejadian sebenarnya malam itu.

Baskara langsung tersadar. Bukan waktunya dia berpikir banyak hal. Satu-satunya tujuan utamanya sekarang adalah membawa Bintang ke rumah sakit dengan segera.

"Lo ... keguguran?" Baskara bertanya dengan sangat pelan sambil mendekat. Kedua kakinya lemas saat menghampiri Bintang, tetapi dia menguatkan dirinya sendiri dan mengangkat Bintang ke dalam gendongannya. Seketika Bintang berteriak kesakitan dan semakin menangis sambil memegang perutnya.

Baskara kembali mengambil kartunya di dalam kamar sambil menggendong Bintang, lalu dia keluar dari kamarnya dan buru-buru menuju pintu keluar.

"Gue nggak tahu apa yang terjadi malam itu, tapi gue bakalan tanggung jawab," bisik Baskara sambil menatap Bintang yang tangisnya sudah mereda.

"Tunggu!" seru Bintang sambil memegang dada Baskara berharap cowok itu segera menghentikan langkah sebelum keluar dari pintu. Tangis Bintang mereda karena lebih takut ke rumah sakit. Dia tak ingin ke tempat-tempat resmi seperti rumah sakit. Sesakit apa pun yang dia rasakan di perutnya sekarang, dia tak mau ke tempat resmi yang bisa saja membuatnya ditemukan oleh papanya.

Itu jika papanya mencarinya. Bintang hanya ingin waspada.

"Jangan pergi! Aku nggak mau ke mana-mana," bisik Bintang. "Turunin aku!"

"Tapi lo keguguran...." Baskara lalu terdiam menatap Bintang yang masih ada dalam gendongannya. "Eh, lo nggak lagi ... keguguran?"

"Keguguran?" tanya Bintang dengan tatapan heran. "Keguguran itu ... bukannya kalau ibu hamil yang kehilangan anak?"

"Iya...."

Bintang lalu menatap Baskara dalam diam karena sedang berpikir. Sesekali memegang perutnya yang sakit.

"Bentar." Baskara memutar arah, lalu dia membawa Bintang ke kamar cewek itu sambil menggendongnya. Ketika tiba di kamar Bintang, dia melihat ada noda merah pada seprai putih di atas tempat tidur. Baskara lalu tertawa. Konyol. Dia baru saja khawatir pada sesuatu yang tak mungkin terjadi.

Bintang merasakan tubuhnya bergerak seirama dengan tawa Baskara, lalu merasakan sebuah keanehan pada dirinya. "Turunin aku!" teriaknya.

Ketika Baskara menurunkannya, Bintang langsung berbaring di atas tempat tidur sambil memegang perutnya yang sakit. Diliriknya Baskara tanpa mengatakan apa-apa. Bintang ingin menjaga jarak dari Baskara karena merasa sesuatu yang aneh dalam dirinya setelah Baskara tertawa. Perasaan itu belum hilang.

Baskara menyugar rambutnya. Ditatapnya Bintang dengan rasa lega. "Iya, juga, sih. Logikanya kalau lo keguguran, pasti lo lebih heboh. Gue keburu panik sampai ambil kesimpulan sendiri."

Bintang terkejut melihat noda merah, lalu mengacak-acak seprai itu untuk menyembunyikan warna terang darahnya dari pandangan Baskara. Setelah itu Bintang tak mengatakan apa-apa. Dia menarik selimut dan menyelimuti seluruh tubuhnya.

Tak ingin ditatap Baskara. Apalagi dekat-dekat dengan cowok itu.

"Emang lo baru pertama datang bulan sampai sekaget itu lihat darah?" Baskara menatap gumpalan selimut di atas tempat tidur. "Setelat itu, ya? Ah. Gue bakalan cari tahu cara ngurangin sakit kalau gitu."

Baskara menggaruk-garuk tengkuknya karena bingung, lalu pergi dari sana. Dia tak mendengar jawaban Bintang. Cewek itu diam saja setelah meminta untuk turun. Tatapan Bintang juga berubah sedikit waspada padanya.

***

Baskara kebingungan ketika memasuki supermarket dekat apartemennya. Dia tak bisa menyuruh Aska karena cowok itu sedang kuliah dan pasti akan memakan waktu lama karena perjalanan, sementara Bintang butuh dengan cepat.

Baskara akhirnya melihat seorang pegawai yang dia lewati, lalu Baskara berhenti di dekatnya dan bertanya dengan wajah datar. "Sesuatu untuk ngeredain sakit perut saat haid?"

Ditanya tanpa basa-basi seperti itu membuat pegawai perempuan tersebut sempat kaget. Beberapa detik setelahnya, dia paham dan langsung mengarahkan tangannya ke lokasi yang Baskara cari. "Silakan di sebelah sana."

"Kalau sesuatu yang dipakai saat haid?"

"Maksudnya ... pembalut?"

"Mungkin."

"Silakan di sebelah sana," kata pegawai tersebut sambil menunjuk arah lain.

"Thanks." Baskara lalu berjalan mendorong troli menuju etalase pembalut yang paling dekat. Dia berhenti dan melihat bungkusan pembalut yang berjejer banyak.

Ketika berhenti dia khawatir salah ambil, lalu melihat seorang pegawai perempuan yang sedang membereskan barang di etalase lain di sebelahnya.

"Yang bagus yang mana, ya?"

Pegawai itu tak tahu bahwa dia yang diajak bicara, tetapi dia merasakan seseorang memandangnya. Ketika menoleh dia terkejut.

Ngomong sama saya? Seolah itu arti tatapannya saat menatap Baskara.

"Merk yang ini bagus. Dipakainya nyaman...." Pegawai itu menunjuk sebuah pembalut. "Ini yang warna biru dipakai siang. Yang bungkusan hitam ini untuk dipakai malam."

"Beda jenis, ya. Oke. Thanks." Baskara lalu mengambil dua jenis pembalut tersebut, memasukkannya dengan asal ke dalam troli sampai membuat pegawai itu hanya bisa senyum-senyum sendiri.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Continue Reading

You'll Also Like

26.1K 2.8K 59
Britney tak pernah menduga, dirinya ini akan terlibat skandal dengan Nathan. Si pangeran sekolah yang hobi renang dengan segala kesempurnaannya. ...
Tahta By Dasya Lily

Teen Fiction

425K 31.6K 51
Tahta. Tahta adalah Ketua Osis dengan segala kelebihan sedangkan Melssa mungkin hanya remahan rengginang jika di bandingkan dengan Tahta. ...
5.3M 227K 54
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
2K 289 60
[PART MASIH LENGKAP] Menurutmu apa definisi keajaiban? Menurutku, keajaiban adalah bertemu kamu ditengah peliknya hari-hari yang ku lalui. . Neisha t...