Matahari Dan Bintang

Von sirhayani

384K 55.9K 2.7K

SELESAI ✔️ Bintang, cewek yang pernah tinggal di jalanan selama bertahun-tahun, tiba-tiba terbangun di sebua... Mehr

blurb & prakata
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
EPILOG
Time Paradox (Perjalanan Waktu Selanjutnya)

PART 40

4.1K 680 50
Von sirhayani

PART 40

Jawaban Bintang disertai tatapan yang kosong membuat Baskara tak memberikan respons untuk waktu yang lebih lama dari sebelumnya. Dia menjauh dari Bintang, menjaga jarak dari cewek itu dan melempar pistol di tangannya ke sebuah meja yang jauh dari tempat tidur hingga terdengar bunyi dua benda yang saling bertubrukan.

Bagaimana dia bisa punya pemikiran yang seperti itu? Kenapa? Dia juga tak punya siapa-siapa yang menjadi di dunia ini yang menjadi alasannya untuk hidup dengan damai? Di benak Baskara hanya ada pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dia tanyakan kepada Bintang secara frontal. Belum 24 jam bertemu, Bintang membuat Baskara merasakan sebuah ketidaknyamanan di hatinya.

Selain alasan ingin mendengar jawaban jujur Bintang mengenai bagaimana dia bisa menyusup, Baskara jadi tertarik membuat Bintang lebih lama berada di dekatnya. Baskara merasa antara dirinya dan Bintang ada sebuah kesamaan.

Baskara mengernyit setelah melihat Bintang meliriknya diam-diam, lalu Baskara menyunggingkan senyum misterius. Bintang langsung menyembunyikan wajahnya di atas kedua lututnya yang tertekuk.

"Jadi, lo siap mati? Kalau gitu kenapa lo berusaha untuk kabur?"

Bintang menatapnya sambil berdecak dan mata yang mendelik kesal. "Karena aku nggak punya alasan untuk lebih lama di sini. Aku nggak kenal Kakak siapa."

"Ah...." Baskara lalu memikirkan berbagai hal. Cara bicara cewek di dekatnya itu memang terlihat seperti anak yang jauh lebih muda darinya. Rasanya aneh bagi Baskara mendengar seorang cewek asing yang memanggilnya Kakak, tetapi di waktu yang bersamaan itu terdengar menyenangkan.

Sekarang Baskara tahu bagaimana bertindak di depan Bintang. Dia akan menghadapi Bintang seperti bagaimana Bintang menghadapinya.

Tak perlu ada ancaman siksaan fisik lagi. Namun, untuk penyiksaan mental Baskara akan tetap menggunakannya dengan cara yang halus. Pengurungan itu termasuk penyiksaan mental. Baskara tak akan membiarkan Bintang pergi sebelum memberikan jawaban yang memuaskan tentang bagaimana dia bisa muncul di apartemennya.

Bagaimana pun, kemunculan cewek itu di apartemennya membuatnya penasaran. Dibanding melibatkan orang lain seperti polisi atau pihak keamanan apartemen dalam pencarian jawaban itu, Baskara akan merasa lebih tertantang mencari jawaban dengan caranya sendiri sekaligus mengisi hari-harinya yang sudah cukup lama membosankan.

Bintang menatap Baskara dengan mata menyipit. "Lagi mikir apa?"

"Gue bakalan ngasih lo kesempatan untuk ingat gimana caranya lo ada di kamar gue." Baskara mendekat, lalu duduk di samping Bintang. "Tapi lo akan terus jadi tahanan di sini sampai lo bisa ingat apa yang sebenarnya terjadi."

"Aku nggak ingat. Aku nggak tahu." Bintang menggeleng.

"Pokoknya gue nggak akan ngebiarin lo lolos sebelum lo ngasih jawaban yang memuaskan kenapa lo bisa ada di apart gue." Baskara berdiri sambil mengayunkan tangan. "Coba ingat-ingat lagi."

"Tunggu!" Bintang menahan tangan Baskara dengan kedua tangannya. "Oke, aku setuju. Dari cara Kakak ngancem udah kentara Kakak itu orang jahat, tapi aku nggak punya pilihan lain. Ayo, Kakak dan aku gantian jelasin apa yang terjadi kemarin. Kakak jelasin aktivitas Kakak, aku juga bakalan jelasin aktivitas aku."

"Sebelum itu, kita belum kenalan." Baskara mengulurkan tangan. "Nama lo?"

"Bintang." Tatapan Bintang penuh harap saat memandang manik mata Baskara. "Tolong lepasin dulu soalnya aku mau jabat tangan Kakak."

"Nama gue Hari." Baskara menarik tangannya kembali dan merasa senang ketika melihat Bintang memutar bola mata. Baskara tahu Bintang menginginkan kesempatan untuk dilepaskan. "Matahari."

"Apa?" Bintang terkejut.

"Kebetulan, ya? Gue mau nuduh lo sengaja pakai nama Bintang, tapi lo duluan yang ngenalin diri dan nggak mungkin tahu nama Hari yang lo denger dari anak-anak cowok tadi itu dari kata Matahari."

"Aku nggak peduli, sih."

Baskara mendelik, kemudian tersenyum tipis. "Matahari itu bukan nama gue yang ada di semua kartu identitas."

Bintang melirik Baskara. Dia jadi lebih tertarik mendengarkan karena merasakan sebuah kesamaan pada dirinya dengan cowok itu. "Kenapa?"

"Penasaran?"

Bintang mengangguk antusias.

"Karena nama Matahari itu dari Papa."

Bintang mundur untuk menjauh. Tidak. Mereka tidak sama. Bintang membuang nama aslinya karena nama aslinya itu adalah pemberian dari papanya.

"Sebenarnya, nama asliku bukan Bintang...."

"Tapi?" Baskara menatapnya sambil menaikkan alis.

"Nggak tahu, nggak mau inget. Inisial N." Bintang mendekat lagi untuk mengalihkan pembahasan. "Oke, seperti yang aku bilang tadi. Kalau gitu aku duluan yang jujur soal aktivitas kemarin. Aku jawab, ya? Aku nggak ingat sama sekali apa yang terjadi kemarin. Aku nggak tahu gimana tiba-tiba bangun di dalam kamar itu. Harusnya aku sebelumnya tidur di halte bus atau di mana, ya? Beneran! Aku lupa! Aku jujur dan nggak mau nutupin lagi. Iya, aku gembel."

"Oh, jadi anak jalanan? Sekarang gue paham kenapa lo bisa masuk. Untuk ukuran anak jalan, lo itu jago menyusup juga, ya."

"ENGGAK!" teriak Bintang dengan wajah jutek. "Serius, Kak. Di sini yang harusnya curiga aku, kan? Kakak lagi nguji aku, ya? Aku tiba-tiba bangun di kamar orang yang nggak aku kenal. Sekarang giliran Kakak yang jelasin apa yang terjadi kemarin. Awas aja Kakak bohong."

Sudut bibir Baskara terangkat. "Oke. Simpel aja. Kemarin seharian gue bareng cowok-cowok yang lo lihat. Ingat respons mereka waktu ngelihat lo, kan?"

Bintang berpikir sejenak, lalu mengangguk.

"Nah, itu. Gue nggak perlu jelasin panjang lebar," tambah Baskara, lalu menaikkan seluruh tubuhnya ke tempat tidur dan berbaring di samping Bintang yang masih duduk dengan kedua tangan dan kaki yang tak bisa bergerak bebas.

Bintang sedikit menunduk untuk menatap Baskara. "Aku jadi tahanan di sini, kan? Katanya kalau jadi tahanan tetap dikasih makanan, tapi makanannya yang busuk?"

"Hah?" balas Baskara dengan mata terpejam. "Tenang aja. Lo tetap bisa makan di sini, tapi lo yang harus masak sekaligus buat gue."

"Aku nggak tahu cara masak," balas Bintang dengan suara pelan. "Tapi aku bisa belajar dengan cepat!" lanjutnya menggebu-gebu.

Baskara bangun. Dia mengambil sebuah kunci borgol dari saku celananya, lalu membuka kunci borgol di tangan Bintang. Mata Bintang sudah berbinar senang karena akan dibebaskan, tetapi yang terjadi selanjutnya adalah Baskara memasukkan borgol di satu tangannya.

"Apa?" Bintang hanya bisa bertanya satu kata itu sambil melihat Baskara memasukkan kembali kunci ke dalam saku celananya, lalu berbaring di samping Bintang.

Kini mereka tak bisa dipisahkan tanpa kunci itu.

"Gue mau tidur. Jangan ganggu gue."

Bintang tak membalas perkataan Baskara. Matanya terus tertuju pada saku celana cowok itu. Sebelah tangannya yang bebas bergerak mengincar kunci di dalam saku celana Baskara. Dia tahu itu akan sia-sia, tetapi tak ada salahnya mencoba.

Tiba-tiba kelopak mata Baskara terbuka dan melihat tangan Bintang berada di atas sakunya. "Lo tahu nggak akan berhasil, tapi lo pekerja keras juga, ya?"

"Aku bukannya mau kabur." Bintang mengangkat tangannya dan merasakan beban berat dari besi juga tangan Baskara. "Ini nggak bikin bebas. Terus, kenapa Kakak tidur di sini? Ini kamar tahanan!"

"Itu tujuan gue, kan? Buat lo nggak bisa bebas. Itu hukuman."

"Aku mau pipis."

"Bilang aja mau kabur."

"Ya udah, aku pipis di sini."

Baskara langsung bangun dengan mata berat. Dia membuka semua borgol dengan kuncinya, lalu turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar.

"Mulai hari ini lo bebas, tapi sebatas kamar ini aja. Kalau lo nggak buat kehebohan, ruang kebebasan lo bertambah. Kalau lo teriak gue nggak akan ngurung lo di kamar lagi, tapi di kamar mandi." Itu kalimat terakhir Baskara sebelum menghilang di balik pintu kamar yang terkunci dari luar.

***

Aska: Elvis. Dia yang naroh kamera itu dan disuruh sama cewek yang namanya Hanna

Aska mengirim foto.

Aska: nih yang lo minta. giginya bolong gila bau banget anjir . mau gue bawain besok?

Hari: buat lo. makan aja.

Aska: asi :)

Walau sudah menebak Hanna ada di balik semua itu, tetapi dia tetap ingin memberi pelajaran siapa pun yang membantu Hanna.

BRAK

BRAK

"BUKA! AKU MAU NANYA!"

Teriakan samar Bintang dan pukulan pintu dari dalam kamar itu membuat Baskara yang sedang berbaring di atas sebuah sofa panjang jadi terganggu. Dia akhirnya beranjak menuju kamar Bintang dan membuka pintu kamar itu sambil memikirkan hukuman apa yang paling tepat untuk Bintang dapatkan.

"Jawab! Apa yang terjadi sama aku?" Bintang menunjuk wajahnya. Pertanyaannya pun membuat Baskara mengernyit bingung. "Mukaku jadi lebih dewasa dan putihan. Ke mana mukaku yang sawo matang? Aku jadi kelihatan seumuran Kakak-Kakak SMA yang biasa aku lihat nongkrong di rumah makan cepat saji. Aku nggak tahu kenapa aku tiba-tiba jadi gede. Tinggiku juga harusnya nggak segini!"

Baskara hanya diam melihat Bintang terus bicara.

"Pantesan aja aneh waktu aku bawa badan. Harusnya aku yang nuntut jawaban dari Kakak. Apa yang Kakak sembunyiin dari aku?"

Baskara tertawa kecil. Dia jadi menikmati suasana apartemennya yang dipenuhi oleh suara cewek di depannya itu. Tangannya menyentuh tengkuk Bintang, jemarinya menyusuri rambut cewek itu dan memegangnya hingga Bintang berusaha untuk menjauh.

Lakon apa yang sedang dia mainkan? Baskara jadi menikmati apa pun yang dilakukan Bintang. Kata-katanya barusan entah kebohongan atau memang benar ketidaktahuan Bintang, Baskara tak peduli. Semakin banyak melihat tingkah Bintang, Baskara jadi semakin menikmati keseruan itu dan ingin Bintang berada lebih lama di sampingnya.

Senyum di bibir Baskara terlihat samar saat menatap Bintang lekat.

"Lepasin." Bintang mengernyit sembari memegang tangan Baskara di rambutnya.

"Gimana, ya? Gue makin takjub dengan tiap kata yang keluar dari lo."

Bintang menghindari tatapan Baskara. Tatapan itu membuatnya sedikit takut. Belum lagi senyum tipis yang menyimpan sebuah arti.

"Biar gue tanya, menurut lo ini tahun berapa?"

"2010," balas Bintang cepat. "Walaupun aku nggak bisa tiap hari lihat kalender, aku bisa tahu ini tahun berapa."

"2010?" Baskara menarik jemarinya dari helaian rambut Bintang, lalu menarik Bintang menuju kamarnya. Dia mengambil sebuah kalender kecil dari dalam laci dan memperlihatkannya kepada Bintang. "Ini tahun 2017."

"Bu—bukan 2010?" tanya Bintang. "Pasti salah cetak."

Baskara menyentil jidat Bintang. "Akting lo terlalu alami sampai gue hampir percaya lo terus."

"Hah." Bintang menatap Baskara sambil berdecak. "Aku nggak bohong. Aku lahir tahun 2000. Jadi, umur aku harusnya 10 tahun."

"Kalau lo kelahiran 2000 berarti kita seumuran. Sama-sama 17 tahun. Atau mungkin aja lo masih 16 tahun."

"Aku pusing." Bintang memegang pelipisnya yang berdenyut.

Sementara Baskara terdiam sesaat untuk mengamati bagaimana ekspresi wajah Bintang. "Lo nggak percaya ini 2017? Ayo kita keluar dan liat sekitar. Kalau lo ingat suasana 2010, lo pasti bisa bedain dengan sekarang. Gue bakalan ngajak lo keluar kalau lo ngasih sedikit petunjuk yang lo ingat. Dikit aja kalau lo nggak bisa ingat semuanya."

"Dikit aja? Aku udah cerita soal yang aku ingat tadi, kan?"

"Yang lain."

"Ya udah. Aku bakalan berusaha ingat." Bintang mengangkat tangannya yang dipegang Baskara, lalu meninju dengan pelan pipi Baskara beberapa kali menggunakan buku jarinya. "Lepasin tanganku. Aku mau ke penjara."

Baskara melepasnya. Bintang keluar dari kamar Baskara menuju kamar yang menjadi tempat Bintang dikurung. Baskara melihat Bintang menutup pintu kamar itu. Padahal bisa saja Bintang kabur. Baru saja Baskara ceroboh karena tak sigap mengikuti Bintang keluar kamar.

Saat terdiam merenung, tak sadar Baskara memegang pipi yang sebelumnya disentuh oleh Bintang. Padahal apa yang Bintang lakukan adalah hal biasa dan tak perlu dia pikirkan, tetapi Baskara merasa aneh.

Apa Bintang tidak merasakan hal yang sama setelah banyak sentuhan fisik yang dia lakukan kepada cewek itu?

***  

☀️⭐️

Extended Part 40 sudah dan hanya tersedia di https://karyakarsa.com/zhkansas

CUPLIKAN 1

CUPLIKAN 2

Cara baca:

thanks for reading!

love,

sirhayani

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

124K 5K 58
Alicea Lovez wanita yang di perkirakan sudah meninggal satu tahun yang lalu, akibat kapal pesiar yang di datanginya untuk mengikuti acara Amal intern...
106K 7.9K 41
[BELUM DIREVISI] Sejak kejadian lima tahun yang lalu, Rin dipaksa melihat sisi tersembunyi dari orang-orang di sekitarnya. Jeritan, tawa, tangisan, m...
Roomate [End] Von asta

Jugendliteratur

569K 38.6K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
87.5K 10.3K 60
Dunia itu penuh dengan orang orang manipulatif, terkadang kamu perlu bertindak bodoh untuk selamat. ~Felma Barbara Felma tidak pernah menyangka bahwa...