Kennand Perfect Boyfriend

BแปŸi _avocadish_

93.8K 6K 636

'๐ฌ๐ข๐ง๐ ๐ค๐š๐ญ ๐ฌ๐š๐ฃ๐š ๐ข๐ง๐ข ๐š๐๐š๐ฅ๐š๐ก ๐ค๐ข๐ฌ๐š๐ก ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐›๐ž๐ซ๐š๐ฐ๐š๐ฅ ๐๐š๐ซ๐ข ๐ค๐ž๐ฉ๐ฎ๐ซ๐š-๐ฉ๐ฎ๐ซ๏ฟฝ... Xem Thรชm

PROLOG
Part : 1
Part : 2
Part : 3
Part : 4
Part : 5
Part : 6
Part : 7
Part : 8
Part : 9
Part : 10
Part : 11
Part : 12
Part : 13
Part : 14
Part : 15
Part : 16
Part : 17
Part : 18
Part : 19
Part : 20
Part : 21
Part : 22
Special parts: Tentang Hazel
Part : 23
Part : 24
Part : 25
Part : 26
Part : 27
Part : 28
Part : 29
Part : 30
Part : 31
Part : 32
Part : 33
Part : 34
Part : 35
Part : 36
Part : 37
Part : 38
Part : 39
Part : 40
Part : 41
Part : 42
Part : 43
Part : 44
Part : 45
Part : 46
Part : 47
Part : 48
Part : 49
Part : 50
Part : 51
Part : 52
Part : 53
Part : 54
Part : 55
Part : 56
Part : 57
Part : 58
Part : 59
Part 60
Part : 61
Part : 62
Part : 63
Part : 64
Part 66
Part 67
Part 68
Part 69
Part 70 [Ending]

Part : 65

608 38 0
BแปŸi _avocadish_

Happy reading


Suasana menjadi sedikit lebih tenang sepertinya, tepat pada pagi hari setelah malam Hazel dinyatakan berhasil melewati masa kritisnya. Kini ia sudah ada di ruangan rawat biasa.

Meskipun belum sadar 100% bahkan saat sesekali siuman ucapannya melantur, sadarnya pun tak lama hanya beberapa menit kemudian tak sadarkan diri lagi. Ini proses yang cukup panjang, Anderson hanya mengatakan bahwa ini adalah hal yang normal.

Bahkan mungkin Hazel sampai saat ini belum menyadari kakak laki-lakinya ada disini.

Azlan tak pernah beranjak dari tempat duduknya di sebelah Hazel. Menunggu gadis itu memanggil namanya, sekali saja tak masalah. Mimpinya beberapa hari lalu, membuatnya tak tenang.

"Lan," Suara pintu terbuka terdengar. Abhi  segera masuk ke ruangan itu dengan niatan mengingatkan Azlan untuk makan. Lelaki itu benar-benar tak menjaga jadwal makannya sejak ada disini.

"Kenapa ayah?" Spontan Azlan bertanya dengan nada sopan.

"Makan dulu gih, udah jam segini kamu belum makan. Sarapan aja kamu lewatin pasti kan?"

"Alan gak lapar ayah." Jawabnya.

Abhi menggeleng. "Gak ada alasan kayak gitu, kamu harus makan sekarang. Mau ayah yang ambil atau kamu yang ambil?"

"Nanti biar Alan aja yang ambil." Balas Azlan lagi.

Abhi kembali menggelengkan kepalanya. "Gak ada nanti nanti, sekarang aja, biar Hazel ada ayah yang jaga, kamu makan dulu."

"Nanti malam Alan yang jaga ya ayah." Pinta Azlan, pasalnya beberapa malam kebelakang Abhi tidak memperbolehkan Azlan untuk ada di rumah sakit. Ia menyuruh Azlan untuk pulang dan istirahat di apartemen Hazel.

"Nanti malam pasti diambil sama om tante kamu, kamu istirahat aja kayak biasa."

Azlan membuang nafasnya kuat, cukup kesal tapi hal yang disuruh Abhi ada benarnya. Jika Azlan sendiri kurang istirahat, maka, jika ia sakit pasti akan merepotkan banyak orang. Jadi ia lebih baik menurut saja.

"Alan makan dulu dibawah ya ayah,"

"Gitu dong, gih sana. Hazel biar ayah yang jaga."

Akhirnya Azlan menurut. Ia membawa handphonenya kemanapun. Azlan tak bisa berbahasa Inggris, jadi bagaimanapun di tangannya harus ada fitur pembantunya selama disini, translate bahasa.

Beberapa menit berlalu..

Abhi mengganti kantung infus Hazel karena dirasa sudah habis. Abhi melihat bagaimana gadis itu menggeliat tak nyaman. Sepertinya Abhi melakukan itu terlalu berisik sehingga membangunkan gadis itu dari tidurnya.

Namun, Abhi heran mengapa Hazel tak melantur seperti biasanya. Hingga Abhi mengambil kesimpulan bahwa Hazel sudah 100% sadar.

"Ayah.." Panggil Hazel lemah.

Abhi terduduk, mendekati anak gadisnya. "Kenapa? Kamu mau apa? Ayah ambil sekarang."

"Hazel.. haus.. boleh Hazel minum?" Pintanya.

Abhi mengangguk kemudian mengambil sebotol air mineral baru di lemari kecil yang terletak tepat di sebelahnya.

"Kamu mau apa lagi?" Tawar Abhi.

Hazel menggeleng dan nampak sangat lemah. "Udah, gak.. ada lagi.."

"Mau dinaikin ininya?" Tanya Abhi dan dibalas anggukan kepala dari Hazel.

Abhi sedikit menaikkan tempat tidur Hazel tepat di bagian kepala hingga punggung, hingga Hazel ada di posisi setengah duduk.

"Ayah ada hadiah buat kamu." Abhi tersenyum sangat bahagia. Perasaannya kini tenang tak seperti dikejar oleh hal buruk yang membuatnya takut.

"Hadiah?"

Abhi mengangguk exited. "Heem, hadiah. Kamu pasti seneng kalau tau hadiahnya apa."

"Nazel? Nazel udah lama gak nemuin Hazel, kenapa ayah?"

"Bukan Nazel, dia setiap hari kesini cuma kamu lagi istirahat kalau dia datang. Katanya hari ini dia mau camping di rumah temannya."

Hazel mengangguk dengan wajah menekuk. Seperti kehilangan seorang teman jika tak bertemu Nazel satu hari saja.

Pintu masuk tiba-tiba saja terbuka tanpa ketukan. Ketika Azlan berbalik, akhirnya ia dapat melihat apa yang ingin ia lihat dari awal. Adiknya tersadar.

Mata gadis itu berbinar, lalu menatap Abhi takut-takut jika ia salah melihat, dan itu hanya instingnya saja.

"Hadiahnya." Ucap Abhi.

Tote bag yang dibawa Azlan jatuh begitu saja. Ia berlari, meskipun jaraknya begitu dekat ia tetap berlari. Hingga badannya sampai pada patokan. Ia memeluk, memeluk adik kesayangannya begitu erat.

Begitupun Hazel. Ia membalas hal yang sama, tenaganya masih sangat lemah, dan tangannya begitu sakit untuk hanya sekedar digerakkan sedikit saja. Tapi kali ini, ia tak menghiraukan itu, ia memeluk erat tubuh lelaki yang sudah lama ingin ia temui.

"Abang~" Akhirnya kaya itu terucap. Kata yang ingin Azlan dengar pertama kali dari mulut adik kesayangannya.

"Adek gak apa-apa? Sakit?" Azlan melerai pelukannya, menatap adiknya dalam. "Ada yang sakit?" Ulangnya.

Hazel menggeleng, ia menggosok matanya berniat menghapus jejak air matanya. Tak ingin air matanya sampai terlihat oleh Azlan.

"Adek.." Azlan ikut menghapus jejak air mata yang ada di pipi yang terlihat kurus itu. "Gak, gak boleh." Azlan menggeleng.

"Adek gak boleh nangis." Lanjutnya. "Gak boleh, coba liat Abang,"

Pandangan mata dari keduanya kini bertemu, bertaut dengan hangat bak memecahkan celengan rindu mereka berdua.

"Air matanya gak boleh jatuh, itu mahal. Gak boleh dibuang-buang gitu aja. Sayang.." Ucap Azlan penuh sayang.

"Abang— baru kesini... Acel— udah nunggu dari lama.." Timpal adik kesayangannya.

"Hadiah," Azlan tersenyum sumringah. "Hadiah karena adek hebat bisa ada di titik sekarang."

"Acel sembuh— ayo pulang.." Pinta adiknya dengan nada melirih.

Azlan mengangguk dengan tangan yang masih mengelus lembut surai hitam milik adiknya. "Nanti kita pulang, oke? Adeknya harus sembuh total dulu."

Gadis itu menggeleng. "Enggak. Nanti Abang harus kuliah, Abang pulang Hazel ditinggal lagi disini.."

"No.." Kini Azlan menggeleng. "Abang tungguin Adek disini, nanti Adek sembuh, Adek udah gak sakit lagi, kita pulang sama-sama."

"Ke rumah, bukan ke apartemen ya Abang pulangnya.."

Azlan lagi-lagi mengangguk. "Iya, ke Indonesia? Kita pulang bareng-bareng."

Setelah beberapa jam, kondisi Hazel sudah Anderson dan ayahnya nyatakan membaik cukup pesat. Namun untuk pulang, masih jauh dari kata boleh. Alias Hazel belum diperbolehkan pulang layaknya seperti keinginannya.

Bahkan Abhi sangat bersyukur Hazel sudah mau makan, Hazel juga sudah bisa makan dan minum secara normal tanpa lewat selang seperti sebelumnya lagi.

"Abang," Panggil Hazel dengan nada khas-nya.

"Hm? Kenapa Adek?"

"Ibu kemana?" Tanya Hazel yang membuat Azlan mengerutkan dahinya kebingungan.

"Ibu?" Azlan balik bertanya, dan dibalas anggukan kepala dari adiknya. "Iya, ibu. Ibu kemana Abang?"

"Kamu ini nyariin siapa, ibu siapa? Gak ada ibu disini." Balas ayahnya. Sepertinya Hazel kembali melantur pikirnya.

"Ibu. Ibu jagain Hazel disini ayah, kenapa sekarang gaada?"

"Adek~ ibu yang mana? Gak ada ibu disini. Ibu dokter? Atau ibu suster?"

Hazel menggeleng dengan cepat. "Bukan.. ibunya Hazel. Ibu Nindya, kemarin kemarin ibu disini, ibu duduk di kursi, katanya mau jagain Hazel."

"Kemarin-kemarin kan kamu gak sadar, gak ada ibu disini. Mungkin mimpi kamu aja."

Hazel menggeleng lagi. "Tapi— itu bukan mimpi. Ibu beneran disini kok." Kini nada perkataan Hazel menjadi lambat dan pelan.

Kini Azlan nampak seperti mengambil alih. Berusaha agar Hazel tak terkena situasi kepanikan disaat seperti ini.

"Adek--"

"Abang ini—"

"Sssttt, sssttt. Ibu gak disini, ibu kan di Indonesia, gak disini.." Ujar Azlan lembut.

"Ibu gak disini?" Tanya Hazel kembali.

Azlan menggeleng lembut. "Enggak. Yang disini Abang, ayah, om Michael, Tante Alana, Jio ada disini. Kalau ibu, ada di Indonesia, nanti kita pulang kita ke tempatnya ibu, oke?"

Akhirnya Hazel mengangguk setuju, mungkin pikirannya masih kalang kabut. Apapun yang ia alami selama koma mungkin ia sedikit ingat dan ia ceritakan. Ia sendiri tak tahu itu hanyalah sebuah mimpi bisa dibilang.


"... Mungkin pertemuan kita hanya sampai disini, dan Ellio—"

"Saya disini, pak!" Ellio mengangkat tangannya, untuk merespon panggilan sang dosen.

"Seperti biasa saya kirim materi sama kamu, kamu kasih ke Jio dan Kennand ya."

Ellio kini memasang pose hormat. "Siap, pak! Ellio siap jadi asisten bapak!"

"Tanpa digaji?" Tanya sang dosen menggoda.

"Kalau bisa sih ya gaji pak. Tapi, bercanda. Lio mah anaknya sangat sukarela, Lio sangat rela gak digaji, yang penting nilainya Lio terjamin." Balasnya.

"Iya terserah kamu."

"Siap pak! Lio mau ngebucin abis ini, bapak kalah sama Lio." Ujar Ellio membuat dosennya itu mengerutkan keningnya.

"Sebelum bapak pergi boleh saya nanya sama bapak gak pak?"

Dosennya itu pun mengangguk. "Kamu mau tanya apa?"

"Bapak umur berapa sekarang?" Tanya Ellio dengan ekspresi seolah-olah ia sangat penasaran.

"Empat puluh lima, kenapa memangnya kamu mau kasih bapak kado pas bapak ulang tahun? Bapak ulang tahun satu bulan lagi."

"Boleh, Lio kadoin jodoh aja ya pak. Soalnya Lio kasian sama bapak, Lio sembilan belas tahun udah tunangan, bapak empat puluh lima tahun gak nikah-nikah."

"ELLIO DENANDRA! SAYA GAK JADI KASIH KAMU NILAI TAMBAHAN!!"

"Aduh!! Ampun pak!! Niat Lio kan baik!!"


Angin sore begitu sejuk melerai tubuh, dengan langit berwarna oranye memberikan suasana yang sangat nyaman juga mendukung percakapan kedua insan yang bertemu hari ini.

"Apa kabar, Ken? Udah lama kita gak ketemu." Ujar Jio dengan tawa kecil nan renyah.

"Baik. Lo sendiri gimana?" Tanya Kennand balik.

Jio mengangguk memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Gue juga baik. Perasaan gue juga tenang denger Hazel katanya udah lewatin masa kritisnya."

Kennand tersenyum, menganggu mendengar itu. "Gue juga udah denger itu. Tapi tetep percuma, Hazel gak akan mau ketemu gue lagi."

"Why? Gak ada alasan buat dia gak mau ketemu sama lo."

"Lo udah tau masalah keluarga gue sama keluarganya Hazel kan? Hazel udah tau semuanya dan itu juga yang bikin dia koma waktu itu." Jelas Kennand. "Kenapa lo gak benci gue setelah tau cerita itu?" Lanjut Kennand bertanya.

"Kenapa gue harus benci sama lo? Cuma karena denger cerita yang... ya memang gue kaget dengernya waktu itu."

"Gue berasal dari keluarga pembunuh tanpa tanggung jawab." Ucap Kennand terdengar sangat kecewa.

Mereka berdua terdiam beberapa saat tanpa suara. Hanya suara pohon yang berderu karena angin dan suara burung yang melengkapi itu.

"Lo gak salah. Gue gak akan benci lo karena itu. Dan, kenapa lo mikir Hazel gak mau ketemu sama lo lagi?"

"Hazel punya impian buat ketemu ibunya kan? Dan gue hancurin itu, udah pasti Hazel gak akan mau ketemu lagi sama gue." Kennand tersenyum remeh, ia menendang kerikil kecil yang terletak tepat ada di depan kaki kanannya.

"Siapa bilang? Coba aja temuin dia sekarang, mumpung ada abangnya, ambil hati bang Alan biar restuin lo sama Hazel lagi."

"Sekalipun abangnya kasih lampu ijo, ayahnya gak lagi. Ayahnya Hazel sama papa gak akur."

"Gue akuin berat ada di posisi lo, Ken."

Kennand mengangguk setuju. Memang benar adanya, di posisi Kennand sekarang begitu sulit. Antara memilih orang tua atau orang yang ia sayang lainnya.

Jio nampak menepuk-nepuk pundak Kennand sebagai tanda semangat untuk sahabatnya itu. Kennand nampak menyerah, Jio tak bisa melihat sosok Kennand yang begitu ambisius akan menyerah.

"Selagi janur kuning dengan nama Hazel sama cowok lain belum melingkar, GASS TERUS BRO!!"

Kennand tampak tertawa kecil mendengar itu. Semangat dari sahabatnya yang satu ini memang tidak ada duanya. Apalagi Jio bisa dibilang orang dalam, yang menjadi comblang antara dirinya dengan Hazel.

"Yehh, ketawa lo. Baru gue denger lo ketawa. Gue mau mie instan euyy. Bagi ke hotel lo yaa.."


Ini sepertinya pertama kali Azlan bertemu dengan Nazel. Dan disana Azlan dapat melihat bagaimana anak itu terlihat baik meski lahir dari latar belakang yang buruk.

Cukup terlihat akur untuk pertemuan pertama.

"Kamu mau disuruh-suruh sama dia?" Tanya Azlan yang membuat Nazel terkejut dan terlihat seperti bingung akan menjawab apa.

Karena bingung, akhirnya Nazel mengangguk saja. "I-iya."

"Alasannya?"

"Hazel masih kehitung adik saya kak, saya punya kewajiban buat bantuin dia." Balas Nazel terdengar sangat gugup dan seperti ketakutan.

"Kamu gak usah takut ngobrol sama saya, saya gak gigit saya gak makan kamu. Santai aja, sama kayak kata kamu tadi, kamu juga masih kehitung adik saya, jadi kita masih satu darah, kita cuma beda ibu, tapi kita lahir di ayah yang sama. Jadi santai gak usah takut.." Jelas Azlan panjang.

Nazel nampak menarik nafasnya panjang dan menghembuskannya perlahan. Berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Calon dokter juga nih." Puji Azlan ketika melihat Nazel memakai almet kuliah seperti jas dokter.

Nazel mengangguk. "I-iya kak. Ayah yang suruh, katanya harus ada penerusnya."

"Betul, bagus itu. Saya waktu itu disuruh saya gak mau, makannya sekarang saya kuliah jurusan hukum."

"Semester berapa kak?" Tanya Nazel berusaha mencairkan suasana hatinya sendiri.

"Udah selesai sebenernya. Udah selesai dari mulai ujian, skripsi. Tinggal nunggu waktu wisuda aja."

Nazel mengangguk. "Kapan kira-kira kak?"

"Akhir tahun ini."

"Nazel ikut seneng dengernya."

"Saya juga ikut seneng denger ada yang mau terusin jejak ayah buat jadi dokter."


Gadis itu sudah terlelap tidur, Abhi memberikan sedikit obat penenang dalam cairan infus Hazel agar gadis itu menghilangkan pikiran yang membuat dirinya sendiri tak tenang.

"Ayah ngapain?" Tanya Azlan penasaran. Pasalnya sedari kemarin Abhi terlihat sangat sering mengecek nafas anak gadisnya.

"Ayah trauma. Ayah takut."

"Alan masih liat dia nafas kok ayah, tenang aja."

"Ayah ngerasa tenang kamu ada disini, Hazel mulai mau makan, dia mau tidur teratur, dan yang penting dia mau minum obat."

"Emangnya sebelum Alan kesini dia gak mau ngelakuin itu?" Tanya Azlan.

Abhi menggeleng tanda tidak. "Sama sekali gak mau. Padahal ayah udah jelasin itu yang bikin dia drop, tapi Hazel tetep Hazel, dia anaknya ngeyel."

"Ayah," Azlan memanggil ayahnya pelan, takut membuat adiknya itu terbangun.

"Alan mau cerita," Lanjutnya.

"Cerita aja."

Akhirnya Azlan menceritakan semuanya pada ayahnya. Apa yang Azlan ceritakan? Ia menceritakan pasal mimpinya yang alurnya masih ia ingat sampai sekarang.

"Dia akhir-akhir ini emang sering nyebut ibunya, lan."

"Alan takut, Alan takut ibu bawa Hazel."

"Kamu berdoa sama Allah semoga itu jangan terjadi."

"Alan bukannya jahat atau apapun itu Bu, tapi jujur aja, Alan belum siap kalau ditinggalin sama Adek. Maafin Alan ibu, tapi Alan gak ikhlas kalau semisal itu terjadi."




Hay Hay..
Selamat malam Jum'at, cieee bentaran lagi Minggu. Cuma mau ngasih tau aja sih, wkwk.

Maaf aku akhir-akhir ini update nya lama banget, karena aku sedang sibuk sekali. Banyak UH dan latihan soal di sekolah yang cukup membuat otak aku mau meledak..

Terus kemarin aku sempet demam tinggi dan badan ku sakit serasa remuk semua tu badan. Tapi Alhamdulillah, sekarang udah mendingan banget.

Jangan lupa vote dibawah ini yaa, terimakasih..

Dah dah see you minggu depan..

Follow Instagram wp.ayaa_
Follow tiktok dreamxayaa





ฤแปc tiแบฟp

Bแบกn Cลฉng Sแบฝ Thรญch

3.2M 518K 63
Nemu anak? Loh, yang tanggung jawab siapa dong? Putra Allard Aditama. Pangillanya Allard, bukan Putra maupun Tama. Si brandalan yang sialnya sangat t...
1.5M 30.8K 13
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2.9M 195K 35
"Pak tunggu!" Satria tidak mengubris laki-laki itu tetap berjalan tak mau menanggapi tingkah aneh Alya. "Sayang?!" Entah ide dari mana Alya malah ber...
1.4M 107K 67
[Masih Lengkap] Ini tentang bagaimana Adira menyukai Febby-kakak kelasnya yang mempunyai sifat dingin seperti es batu dan datar seperti triplek. Dia...