Love For Eleanor

By FatimahIdris3

1.1K 807 528

Kutulis kisah ini untuk banyak orang. Untuk mereka yang pernah terluka dan ragu untuk kembali membuka hatinya... More

BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 19
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24.1
BAGIAN 24.2
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 30
BAGIAN 31

BAGIAN 29

3 1 0
By FatimahIdris3

Hidup memang penuh misteri. Tidak ada yang bisa menebak jalannya. Terkadang apa yang kita anggap benar, belum tentu benar menurut orang lain. Kadang apa yang terlihat sulit ternyata mudah jika dijalani. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Seperti dia yang saat ini menatap pedih wanita yang terbujur lemah diatas ranjang rumah sakit. Ada infus yang terpasang disalah satu lengan sang wanita, membuat kepedihannya makin mendalam. Menyesal tentu sudah tidak berarti lagi. Yang terjadi tidak bisa diubah kembali.

"Ma'af..." Satu kata itulah yang keluar dari lisan Roy.

Matanya menatap nanar pada sosok berwajah pucat itu. Karna dialah, wanita itu kini terbaring tidak berdaya. Karna dialah senyum diwajah wanita itu menghilang. Juga karna dialah kekacauan ini terjadi.

Tadi saat Diaz memintanya masuk kedalam, bukan Roy tidak mau. Tapi entah kenapa hatinya resah. Ada rasa bersalah yang teramat besar yang dirasakannya. Lalu kata-kata Aro menyadarkannya.

"Daripada kau berbuat bodoh seperti itu, lebih baik kau menjenguk Sikha. Daripada kau menyesal nantinya"

Ya, Aro benar. Tidak seharusnya dia diam menyesali perbuatannya. Dia hanya punya Sikha dihidupnya. Walau terkadang dia dan Sikha sering bertentangan. Saat ini, melihat wanita itu terbaring dengan infus ditangannya membuat Roy ikut sakit. Jika saja posisinya bisa ditukar, Roy rela menggantikan tempat Sikha.

"Buka matamu, Sikha.... Beritahu aku yang sebenarnya. Katakan apa yang tidak aku ketahui, agar aku tidak terus dilanda gelisah, ayo buka matamu" Lirih Roy sambil terus menggenggam tangan Sikha.

Tapi hanya suara alat-alat medis yang terpasang disamping tempat tidur Sikha yang terdengar.

"Kau tau Sikha.... Kau satu-satunya yang kuingin selalu ada disampingku. Kau adalah satu-satunya yang kubutuh saat aku rapuh seperti sekarang dan kau satu-satunya yang kuharap tetap memihakku walau banyak orang menyudutkanku"

Roy berhenti sebentar demi mengatur nafasnya yang mulai tidak beraturan. Roy ingin menangis, namun terlalu gengsi jika dia menangis didepan seorang wanita. Walau Sikha tidak akan mengetahuinya, tapi entahlah.

"Bolehkah aku jujur padamu akan satu hal?" Roy melanjutkan meski tau itu akan sia-sia.

"Aku tidak tau apa yang aku rasakan ini. Jujur ada rasa tidak suka saat kutau kau bekerja di perusahaan Pradipta. Bukan, bukan hanya karna ada Diaz atau karna dendamku padanya. Tapi lebih pada rasa tidak rela jika kau bertemu dengan pria-pria berdasi dan berjas rapi, sementara aku hanya pegawai biasa yang tidak ada apa-apanya" Roy berhenti sejenak. Dielusnya pipi pucat Sikha.

"Ada rasa takut saat itu. Takut kau memiliki kekasih dan tidak lagi peduli padaku. Takut kalau kau tidak ada waktu lagi untuk menemuiku. Aku takut kehilanganmu, Sikha. Aku..." Roy menghentikan perkataannya sebentar.

"Aku rasa kau sudah mengambil sepenuhnya hatiku, Sikha. Entah sejak kapan rasa ini tumbuh. Tapi aku ragu untuk mengatakannya. Aku tidak yakin kau memiliki perasaan yang sama denganku. Apalagi saat kau dekat dengan Diaz. Kalian sangat dekat dan kufikir kau menyukainya"

"Aku memilih untuk memendam rasa ini, tidak apa-apa. Jika kau bahagia, akupun turut bahagia untukmu. Tapi Sikha, apa hatimu baik-baik saja melihat Diaz dengan orang lain? Kalaupun kau butuh seseorang untuk pelampiasanmu, aku bersedia. Bukankah sudah kubilang, jika kau bahagia, akupun bahagia. Sekarang bolehkah aku meminta satu hal, bukalah matamu. Tolong sadar Sikha" Roy menundukkan kepalanya. Isak tangis terdengar diruangan sepi itu.

Sementara tanpa sepengetahuan Roy, diluar ada Sharga dan Ahra yang baru saja ingin menjenguk Sikha usai memeriksakan kandungan Ahra, tidak sengaja mendengar semua perkataan Roy. Sharga dan Ahra mengurungkan niat mereka untuk menjenguk Sikha.

"Ck... Kenapa dia berkata begitu, harusnya dia memperjuangkan cintanya bukannya menyerah begitu" Gerutu Ahra setelah Sharga menutup pintu ruangan Sikha perlahan.

Sharga tersenyum melihat wajah cemberut istrinya. Sharga mencubit pipi Ahra yang mengembung lucu.

"Istri siapa ini? Lucu sekali"

"Ish... Sakit, kak Giu" Ahra makin cemberut dan berusaha melepaskan tangan Sharga dipipinya.

Akhirnya Sharga melepas tangannya dipipi Ahra. Sekarang berganti mengelusnya lembut.

"Ah aku suka kau memanggilku begitu, tapi aku lebih suka kau memanggilku sayang"

Ahra memutar matanya jengah. Kemana wajah tegas pria didepannya ini.

"Ayo pulang, aku lelah. Malam ini aku ingin tidur memelukmu" Kata Sharga lagi sambil merangkul pundak Ahra.

"Tapi..."

"Tidak ada tapi, sayang. Cukup untuk hari ini. Besok masih ada waktu untuk menyelesaikan semua" Sharga terus membawa Ahra menjauh dari ruang rawat Sikha.

"Baiklah, aku harap besok Sikha sadar dan semua terselesaikan" Kata Ahra penuh harap.

Sharga hanya mengangguk sebagai jawaban. Bukan tidak peduli, rasanya terlalu lelah hari ini. Yang terjadi seolah menguras semua energi dan fikirannya. Saat ini yang Sharga khawatirkan hanya Diaz. Sahabat sekaligus saudaranya itu pasti memikul beban fikiran yang jauh lebih berat. Semoga semua akan kembali normal dan tidak ada salah paham lagi juga Sikha kembali seperti sedia kala.

🌺🌺🌺

"Istirahatlah dulu, besok kita ke rumah sakit lagi melihat perkembangan Sikha" Kata Diaz sesaat setelah mobil yang dikendarainya berhenti tepat didepan rumah ibu El.

El menghela nafas, lalu tanpa mengatakan apa-apa tangannya meraih pintu mobil, berniat membukanya. Sadar El tidak seperti biasanya, Diaz mencegah El turun dari mobilnya.

"Katakan, apa ada yang kau fikirkan?" Tanya Diaz.

"Bohong jika kujawab sama sekali tidak ada yang kufikirkan. Hari ini tepat dihari pertunanganku, banyak hal terjadi. Aku tidak tau harus percaya padamu atau pria itu yang mengatakan penyebab kematian adiknya adalah tunanganku. Lalu kau, dengan mudahnya berjanji akan bertanggung jawab jika yang pria itu katakan benar. Apa kau tidak memikirkan bagaimana nasibku? Perasaanku? Ibu dan orang-orang yang tadi menyaksikan pertunangan kita? Apa itu sama sekali tidak ada difikiranmu?" El meluapkan semua hal yang sejak tadi berusaha dipendamnya.

Diaz diam. Dia tau tidak mudah melalui masalah ini. Tidak mudah juga membuat El percaya begitu saja padanya. El pernah terluka karna pria yang dulu dicintainya. Pernah kecewa karna perceraian orang tuanya. Tentu banyak hal yang akan membuat El berfikiran negatif tentang kelanjutan dari hubungan mereka. Tapi ini masih awal dan Diaz yakin bisa menyelesaikannya.

"My queen, apa kau meragukanku?" Tanya Diaz dengan suara lembut. Matanya menatap dalam kearah El.

"Bukan aku meragukanmu, tapi..."

"Tapi apa, hmm...?"

El tidak bisa menjawab pertanyaan Diaz. Ada rasa takut dihatinya. Takut semua tidak sesuai harapannya. Takut kebahagiaannya direnggut kembali dan hidupnya kembali sunyi.

Diaz menangkup wajah El dengan kedua tangannya. Mengarahkan wajah cantik El menghadap kearahnya. Mata keduanya saling beradu. Saling menyelami satu sama lain.

"Tolong percaya padaku, akan kubuktikan bahwa ini hanya salah paham" Kata Diaz masih menatap kedua mata El.

Sungguh El ingin percaya pada Diaz. Namun tidak bisa dipungkiri setengah hatinya meragu. El mengenal Diaz belum begitu lama. Sama seperti saat dia memulai hubungannya dengan Billy dulu. El bimbang dan akhirnya memilih diam.

Diaz menghembuskan nafas. "Tidak apa saat ini kau belum seratus persen mempercayaiku, aku mengerti karna kau pernah mempercayai seseorang namun dibuat kecewa" Diaz memaksakan tersenyum. Walau jauh dari lubuk hatinya, ada rasa sakit. Ada sebagian dari hatinya yang terluka. Biarlah cukup dia dan Tuhan yang tau.

"Aku ingin percaya padamu Diaz, tapi aku takut semua yang dikatakan orang tadi benar. Lalu kau pergi meninggalkanku" Setetes air mata jatuh dipipi El. Dengan cepat, Diaz mengusapnya.

"Ma'af El, bukan maksudku untuk membuatmu sedih atau membuatmu berfikir negatif, aku hanya mengikuti hatiku. Dari dulu, orang tua angkatku selalu mengajariku dan Sharga untuk selalu yakin dengan hati kita. Jika hati kita meyakini itu benar, maka jangan pernah takut karna semua akan baik-baik saja. Saat ini hatiku merasa tidak melakukan apa yang pria itu katakan itulah sebabnya aku berani berjanji padanya"

"Tapi bagaimana jika itu benar dan kau melupakannya?"

"Seperti yang kukatakan, aku akan bertanggung jawab, namun aku tidak akan meninggalkanmu" Diaz terus meyakinkan El.

"Bagaimana kau bertanggung jawab tanpa pergi dariku?" El masih terus mencecar Diaz dengan pertanyaan yang memenuhi otaknya. Dia tidak akan puas hingga mendapat jawaban yang mampu membuatnya tenang.

Diaz menarik nafas panjang. Lalu menyandarkan punggungnya disandaran kursi.

"Entahlah, mungkin aku akan melakukan apa yang pria itu inginkan" Diaz tampak pasrah.

"Kalau dia minta kau meninggalkanku bagaimana?"

"Kecuali itu, aku tidak akan menyetujui hal itu" Diaz menjawab tegas.

Beberapa saat keduanya saling diam. Sampai suara dering ponsel Diaz memecah suasana hening itu. Diaz menatap ponsel miliknya. Tertera nama Sharga dilayarnya. Diaz tidak langsung menerima panggilan itu.

"Kenapa tidak dijawab?" Tanya El yang sedikit melirik kearah ponsel Diaz.

"Sharga pasti menanyakan keberadaanku" Jawab Diaz sambil memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celana.

"Dia pasti mengkhawatirkanmu"

Diaz mengangguk "Heum... "

"Kalau begitu pulanglah, jangan membuatnya semakin khawatir" El baru akan membuka pintu, namun lagi-lagi ditahan oleh Diaz.

Diaz mencium kening El cukup lama. El menutup matanya, meresapi ciuman hangat yang diberikan Diaz.

"Sampai jumpa besok, jangan tidur terlalu malam dan berhenti memikirkan yang belum tentu terjadi, salam untuk ibu" Kata Diaz.

El hanya mengangguk lalu turun dari mobil Diaz. Tanpa menoleh lagi, El langsung masuk kedalam rumah. Diaz pasrah melihat sikap dingin El. Bagaimanapun ini salahnya dan sudah seharusnya dia juga yang menerima akibatnya.

🌺🌺🌺

Fai baru saja akan menutup matanya menyambut alam mimpi. Namun kegiatannya terganggu saat ponsel dimeja berdering.

Fai menghembuskan nafas lelah sambil meraih ponselnya. Menatap layar pnsel yang tertera nama El disana.

"Ya El?" Fai menyapa lebih dulu. Namun tidak ada jawaban dari seberang sana. Fai mengernyit penuh tanya. Kembali dilihatnya layar ponsel yang masih digenggamnya. Sambungan teleponnya masih menyala.

"Kalau tidak ada yang ingin kau katakan, kututup teleponnya" Kata Fai sedikit mengancam.

Baru saja Fai benar-benar akan menutup panggilan teleponnya, suara parau El terdengar.

"Fai...."

Kembali Fai mendekatkan ponselnya ketelinga. Menunggu dengan sabar apa yang akan dikatakan El.

"Apa yang harus kulakukan sekarang? Salahkah jika sekarang aku mulai ragu dengan kelanjutan hubunganku dan Diaz? Aku tidak tau siapa yang salah disini. Hanya saja.... Hanya saja...." El tidak bisa melanjutkan perkataannya. Suara tangisnya pecah.

Fai sangat paham bagaimana El. Wanita itu meski lebih tua darinya dan Ahra serta terlihat lebih tangguh, percayalah hatinya rapuh. Terlalu sering disakiti dan berusaha memendamnya sendiri nyatanya tidak mampu membuatnya setegar karang dilautan. Dia tetaplah wanita biasa.

"Aku tidak akan membela siapapun disini. Tidak akan menyalahkan siapapun juga. Dari awal hatimu sudah yakin pada Diaz. Maka cobalah untuk percaya padanya. Tidak mudah memang, tapi aku yakin semua yang dimulai dengan baik-baik saja, pasti akan berakhir baik-baik juga. Setiap kenaikan kelas ada ujian untuk kekelas berikutnya. Begitu juga hubunganmu dengan Diaz. Ini baru pertunangan belum kejenjang pernikahan. Jika kalian bisa melaluinya berarti cinta kalian naik kekelas yang lebih tinggi. Saat itu tiba, pasti ada ujian-ujian lain yang pastinya lebih sulit dari ini. Tenangkan hatimu, perbanyak berdo'a dan yang terpenting percaya Diaz" Kata Fai panjang lebar.

El terdiam. Dari semua yang dikatakan Fai, satu yang El ingat. Percaya Diaz, kata-kata itu mengingatkan El pada permohonan Diaz. Pria itu juga meminta hal yang sama. Apa dia harus percaya pada pria yang berstatus tunangannya itu. Inginnya begitu, namun sulit sekali. Lagi-lagi rasa takut akan kehilangan membuatnya ragu.

"Keraguanmu akan suatu hal yang belum terbukti kebenarannya bisa jadi bumerang bagimu sendiri. Jika Diaz bersalah, setidaknya kalian belum sampai ketahap pernikahan dan Tuhan sudah menunjukkan bahwa bukan Diaz pria yang tepat untukmu" Kembali Fai menasehati sahabatnya itu. Fai seolah tau kalau El saat ini dipenuhi rasa ragu dihatinya.

"Aku ingin percaya padanya, tapi kenapa begitu sulit?"

"Itu karna kau tidak mau kecewa dikemudian hari, kau terlalu takut untuk mengambil resiko terburuk dikemudian hari. El... Kau masih memiliki Tuhan untukmu bersandar. Kembalikan semua pada-NYA. Yakin Dia akan memberikan yang terbaik untukmu"

Bersyukurlah El memiliki sahabat seperti Fai. Kenapa El melupakan sang penciptanya. Jika bukan karna Fai yang mengingatkannya, mungkin El tidak akan mengingat siapa pemilik kehidupannya. Mungkin terlalu lama dia meninggalkan sang pencipta hingga tidak ada ketenangan dalam hatinya.

"El... Apa kau masih disitu? Kau baik-baik saja?" Tanya Fai khawatir.

Diseberang El tanpa sadar mengangguk.

"Aku baik-baik saja, terima kasih Fai. Kau benar"

"Perkataanku yang mana yang menurutmu benar? Aku rasa malam ini aku terlalu banyak bicara"

"Semuanya, semua perkataanmu benar, terima kasih" El tersenyum walaupun tau Fai tidak bisa melihatnya.

"Iya sama-sama, hooooaaaaaaam... apa sekarang aku boleh menutup teleponnya?" Tanya Fai sambil menguap menahan kantuk yang sudah tidak tertahan lagi.

"Tentu, selamat malam Fai dan terima kasih karna bersedia kuganggu" Jawab El.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Fai segera mematikan ponselnya. Merebahkan tubuhnya kekasur empuk yang dulu dipakainya tidur bersama Ahra. Rasanya baru kemarin dia sekasur dengan Ahra. Sekarang hanya dirinya yang bergelung dikasur yang tidak terlalu besar itu.

🌺🌺🌺

"Nyonya, apa tidak sebaiknya anda tidur saja, tuan Sharga dan tuan Diaz pasti masih lama didalam sana" Kata Mila menasehati istri sang majikan.

"Hoaaaaaaaaam iya nyonya, saya juga sudah mengantuk" Sambung Lila sambil menguap lebar.

Nyonya muda yang tidak lain Ahra itu langsung cemberut. Sejak kepulangan Diaz, Sharga langsung mengajak pria itu kekamarnya. Ahra yang tingkat keingintahuannya tinggipun meminta dua pelayannya untuk menemaninya menguping. Namun sayang, Ahra sama sekali tidak bisa mendengar apa yang tengah Diaz dan Sharga bicarakan.

"Huh, apa sebenarnya yang mereka bicarakan? Apa kamar Diaz kedap suara sampai dari luar tidak bisa mendengar suara didalam?" Gerutu Ahra membuat dua pelayannya menahan senyum.

"Ayo kembali ke kamar nyonya, tuan Sharga pasti akan marah jika tau nyonya belum tidur saat kembali ke kamar nanti" Kembali Mila mengingatkan.

Dengan pasrah, Ahra akhirnya bersedia kembali ke kamarnya dan Sharga.

"Kalian istirahat saja, aku tidak apa-apa sendiri disini" Perintah Ahra setelah sampai didepan kamar.

"Apa anda yakin, nyonya?" Tanya Lila ragu.

Ahra mengangguk sebagai jawaban.

"Baiklah, selamat malam nyonya, pastikan anda sudah terlelap saat tuan Sharga kembali nanti" Kata Mila yang lagi-lagi menasehati istri majikannya itu.

"Iya, terima kasih atas nasehatnya" Ahra tersenyum tulus.

Sejak awal Ahra datang ke rumah ini, dua pelayan Sharga itu memang sudah seperti keluarga. Mereka selalu mengingatkan bahkan menasehati Ahra tentang apapun. Ahra mensyukuri hal itu.

Sepeninggal Mila dan Lila, Ahrapun merebahkan tubuhnya dikasur. Menunggu Sharga kembali dari kamar Diaz.

"Ah, semoga saja Sharga bisa membantu Diaz menyelesaikan masalahnya. Semoga hubungan El dan Diaz bisa bertahan hingga akhit hayat mereka" Gumam Ahra penuh harap.

Lalu perlahan, kedua matanya mulai menutup dan Ahra siap bergelung dengan mimpi indahnya. Sejak hamil, Ahra memang mudah sekali terlelap.

🌺🌺🌺

Sharga dan Diaz sama-sama menatap langit-langit kamar bernuansa putih itu. Dibawah selimut yang sama dan kasur yang sama, keduanya tampak menikmati kebersamaan mereka. Entah sudah berapa lama keduanya tidak pernah berada diposisi seperti saat ini. Dulu semasa remaja, keduanya sering tidur dengan posisi sekarang.

"Aku rindu hidup kita dulu" Gumam Diaz tanpa mengubah posisinya yang menatap langit-langit kamarnya.

"Aku tidak" Sahut Sharga yang membuat Diaz langsung menoleh kearahnya tidak suka.

"Karna dulu, aku terlalu banyak kehilangan bahkan aku hampir frustasi karna memikirkan Ahra" Lanjut Sharga.

"Ck, dasar budak cinta" Diaz berdecak malas sambil beranjak dari tempat tidur.

"Kau mau kemana? Jangan kabur, aku sudah rela meninggalkan Ahra sendiri demi menemanimu, sekarang kau malah ingin pergi" Sungut Sharga.

"Menemaniku? Aku bukan anak kecil yang harus kau temani, pergilah" Kata Diaz sedikit mengusir Sharga dari kamarnya.

"Kau yakin tidak butuh aku?" Tanya Sharga sambil menatap Diaz.

"Huh... Untuk saat ini belum, tapi nanti pasti aku membutuhkanmu" Jawab Diaz menghembuskan nafas lelah.

Sharga beranjak dari tempat tidur. Melangkah menghampiri Diaz. Ditepuknya beberapa kali bahu kekar Diaz.

"Kapanpun kau membutuhkanku, aku selalu siap"

"Iya aku tau, sekarang pergi sana. Istrimu menunggumu" Kembali Diaz mengusir Sharga.

"Padahal aku masih ingin bernostalgia denganmu, kapan lagi kita bisa tidur bersama diatas kasur dan selimut yang sama" Gerutu Sharga.

"Yakin tidak akan menyesal jika kau tidur disini denganku? Lalu Ahra bagaimana? Kau tega membiarkannya tidur sendirian, apalagi dia sedang hamil"

"Ah mana tega aku, Ahra segalanya bagiku, kau juga sama berartinya"

Diaz memasang wajah jijik mendengar perkataan Sharga.

"Beruntung hanya ada kita dikamar ini, kalau tidak pasti orang yang mendengar perkataanmu itu bisa salah paham"

"Dimana letak salahnya?" Tanya Sharga polos.

Diaz menghela nafas lelah. Entah karna Sharga memang polos atau hanya pura-pura.

"Sudah sana pergi, aku ingin istirahat" Lagi-lagi Diaz mengusir sahabatnya itu.

Sharga terpaksa mengalah. Diaz tidak semudah itu menceritakan masalahnya. Walau mereka sudah bersama-sama sejak remaja, nyatanya untuk berbagi kisah bagi Diaz itu sulit. Butuh waktu untuknya menyendiri dan jika sudah tenang, barulah dia bercerita sendiri.

"Baiklah, aku pergi. Kau tau aku akan selalu mendukungmu. Aku selalu ada dibelakangmu" Kata Sharga seraya melangkah keluar dari kamar Diaz.

Diaz tersungkur dilantai. Rasanya bebannya terlalu berat kali ini. Punggungnya Diaz sandarkan didinding. Memejamkan kedua matanya guna mencari ketenangan. Namun bukan itu yang Diaz dapat. Wajah ragu El, wajah marah El dan wajah sedih El terus membayang difikirannya.

Diaz mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mengacak rambutnya yang sudah tidak serapi tadi pagi. Kenapa sesulit ini kisah cintanya. Ingin rasanya menghilang sebentar. Namun itu bukan dirinya. Hanya lelaki pengecut yang lari dari masalah yang dihadapinya.

Diaz yakin ini hanyalah masalah sepele dan akan selesai seiringnya waktu. Diaz yakin tidak mengenal gadis yang dimaksud pria bernama Roy itu. Jadi mana mungkin dia menjadi penyebab kematian gadis yang bahkan namanya saja Diaz tidak tau.

Sikha.... Ya satu-satunya orang yang menjadi saksi kunci dari masalahnya saat ini. Hanya wanita itu yang bisa mengembalikan rasa percaya El padanya kembali. Diaz harap besok Sikha membuka matanya. Menjelaskan semuanya hingga tidak ada lagi kesalah pahaman.

🌺🌺🌺

Tunggu bagian selanjutnya ya guys.... See you!!!!
Jangan lupa vote and komentnya ya guys.... Terima kasih.

Continue Reading

You'll Also Like

9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
677K 5.8K 19
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
467K 39.8K 60
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...