Kennand Perfect Boyfriend

By _avocadish_

93.8K 6K 636

'๐ฌ๐ข๐ง๐ ๐ค๐š๐ญ ๐ฌ๐š๐ฃ๐š ๐ข๐ง๐ข ๐š๐๐š๐ฅ๐š๐ก ๐ค๐ข๐ฌ๐š๐ก ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐›๐ž๐ซ๐š๐ฐ๐š๐ฅ ๐๐š๐ซ๐ข ๐ค๐ž๐ฉ๐ฎ๐ซ๐š-๐ฉ๐ฎ๐ซ๏ฟฝ... More

PROLOG
Part : 1
Part : 2
Part : 3
Part : 4
Part : 5
Part : 6
Part : 7
Part : 8
Part : 9
Part : 10
Part : 11
Part : 12
Part : 13
Part : 14
Part : 15
Part : 16
Part : 17
Part : 18
Part : 19
Part : 20
Part : 21
Part : 22
Special parts: Tentang Hazel
Part : 23
Part : 24
Part : 25
Part : 26
Part : 27
Part : 28
Part : 29
Part : 30
Part : 31
Part : 32
Part : 33
Part : 34
Part : 35
Part : 36
Part : 37
Part : 38
Part : 39
Part : 40
Part : 41
Part : 42
Part : 43
Part : 44
Part : 45
Part : 46
Part : 47
Part : 48
Part : 49
Part : 50
Part : 51
Part : 52
Part : 53
Part : 54
Part : 55
Part : 56
Part : 57
Part : 58
Part : 59
Part 60
Part : 61
Part : 62
Part : 63
Part : 65
Part 66
Part 67
Part 68
Part 69
Part 70 [Ending]

Part : 64

555 43 0
By _avocadish_

Happy reading


Azlan terperanjat bangun dari tidurnya, itu hanya mimpi. Tapi ia begitu merasakan semuanya seakan-akan itu adalah sebuah kejadian nyata.

Matanya yang basah dan sembab, juga perasaan yang campur aduk karena mimpi anehnya itu.

"Jio, kita dimana?" Azlan menggosok-gosok matanya, dan bertanya pada sepupunya yang nampak berekspresi panik disebelahnya.

"Abang kenapa? Jio bangunin dari tadi, Abang mimpi apa? Sampai nangis-nangis?"

"Jio, Abang tanya kita dimana?"

"Kita kan udah sampe Amerika bang, kata Abang besok pagi baru kita temuin Hazel."

"Kita udah nyampe?" Tanya Azlan dengan wajah yang benar-benar seperti orang kebingungan.

"Dari tadi bang, Abang kenapa si? Kesambet?"

Azlan menggeleng. "Abang mimpi buruk." Jawabnya.

"Mimpi apaan bang? Sampai nangis, dikejar setan?"

Azlan kembali menggeleng. "Bukan, tapi mimpi Hazel dibawa sama ibu."

"Hah?" Jio kebingungan. "Maksudnya? Itu mah bukan mimpi buruk, bang."

"Buruk itu. Kamu tau kan Hazel lagi sakit, terus ibu udah gaada. Dan tiba-tiba mimpi Hazel dibawa sama ibu, kan mimpi buruk itu namanya."

Jio berusaha mencerna apa yang dimaksud oleh Azlan. Hingga memakan waktu yang cukup lama, untuk ia berpikir.

"Doa aja yang baik-baik bang. Mungkin Tante Nindya diatas lagi khawatir sama Hazel, atau emang abangnya aja yang kepikiran sampai kebawa mimpi."

"Iya kali ya," Azlan kini bernafas lega. "Tapi alur mimpinya bikin overthinking."

"Abang inget alur mimpinya dari awal sampai akhir?" Tanya Jio yang dibalas anggukan kepala dari Azlan.

"Katanya orang itu bisa inget alur mimpinya cuma tiga sampai lima persen. Kalau ingetnya dari awal sampai akhir, itu bukan mimpi namanya,—"

"Kalau bukan mimpi terus apa?"

"Pesan katanya,"

"Masa iya si? Emang itu fakta?"

Jio membaringkan kepalanya tepat pada bantal dibawahnya. "Katanya si, tapi Jio gak tau. Soalnya seumur hidup Jio di dunia, Jio gak pernah inget alur mimpinya Jio, beberapa menit sehabis bangun sih inget tapi lama kelamaan lupa deh."

Azlan kembali dengan tatapan malasnya. Tatapan itu ia lemparkan untuk sepupunya, siapa lagi.

"Terserah lah, mau lanjut tidur gak sabar ketemu adek besok."


"Bosen banget gila! Markas jadi sepi gini euy, Kennand gaada Jio juga sama. Mereka kenapa bisa barengan sih ke Amerika nya. Apa jangan-jangan mereka bikin cabang Azgerios baru di Amerika." Ujar Ellio yang sangat terlihat seperti orang yang kebosanan.

Langit berdecak. "Mana ada, anjir. Ya mereka ada urusan masing-masing lah. Ya kan Len?"

Elena mengangguk. "Jio kesana dipanggil om nya, disuruh om nya alias bapaknya Hazel. Gue kurang tau sih, kenapa mereka kesana."

"Tuh si Qila sama si Lia biasanya teleponan kan sama Hazel. Hazel baik-baik aja kan?"

Qila dan Lia menggelengkan kepalanya berbarengan. "Gue gak teleponan sama dia dari seminggu yang lalu, jangankan telepon chat gue aja gak dibuka-buka. Nih liat terakhir kali dia online tuh satu minggu yang lalu."

"Kita tuh overthinking tau, gausah mancing-mancing emosi!" Timpal Lia.

"Gue nanya doang, sumpah gaada niatan mancing emosi lo Lia, beneran gue mah. Suer tuh." Ujar Axel menunjukkan gaya tangan peace.

"Hazel baik-baik aja, cuma operasi nya ditunda. Kondisinya emang menurun, cuma balik lagi dia baik-baik aja." Jelas Elena singkat, ia tak mau memperpanjang perdebatan antara teman-temannya.

"Operasi tuh sakit gak si?" Pertanyaan yang terdengar cukup konyol terdengar dari Derry, cowok random yang emang agak aneh.

Ellio melemparkan bantal sofa tepat ke arah kepala Derry. Membuat lelaki itu sedikit marah, dan kembali membalas lemparan itu dengan hal serupa.

"Gak coy, kan dibius. Gak akan kerasa apa-apa." Balas Axel.

"Tapi yah kemaren teh kan gue tuh scroll tiktok nih, nah nemu tuh satu video ibu-ibu jelasin dia kan operasi sesar melahirkan kan, nah biusnya tuh gagal. Otomatis tu ibu-ibu operasi kagak make bius, sakit dong." Ujar Derry bercerita pengalamannya beberapa hari yang lalu.

"Itu mah ada kelalaian, gak semuanya yang operasi biusnya gagal." Timpal Qila.

"Gue kan kagak bilang semuanya, gue cerita doang." Balas Derry lagi.

"Berarti rasanya sama kayak waktu si Langit ditusuk itu. Kan sama-sama diperut, si Langit juga sama-sama gak dibius. Langit, sekarang lo ceritain gimana sakitnya." Perintah Ellio.

"Ya tapikan beda, lagian gue juga operasi waktu itu." Balas Langit.

"Tapi operasi lo mah berhasil, maksudnya mulus gitu lancar. Gue mintanya lo ceritain gimana sakitnya." Kekeh Ellio tetap meminta.

"Iya juga si, kan sama-sama diperut terus gak dibius." Kini teman-temannya yang lain juga jadi ikut penasaran.

Langit nampak bingung harus menjelaskan bagaimana. Pasalnya ia juga tak bisa mendeskripsikan rasa sakitnya pada saat itu.

"Ya intinya awalnya kayak linu-linu dingin gitu di bagian perut gue. Lama-lama sakit banget gila, perih, sakit, panas, dingin, linu pokoknya semuanya kerasa deh. Cuma yang paling gue inget ya yang paling kerasa tuh perihnya itu. Gila kayak mau mati gue." Akhirnya Langit menjelaskan sesuai apa yang ia ingat saja.

"Kan emang mau mati lo waktu itu. Cuma alhamdulilah masih dikasih umur sama Allah." Timpal Lia.

"Bener banget, gue kan pingsan ya waktu itu. Nah gue sadar tuh pas dokter-dokter itu mau cabut pisaunya dari perut gue juga kagak dibius anjir, gue posisi udah sadar waktu itu,"

"Rasanya gimana Lang? Pas tu pisau nanceb dicabut gitu aja?"

"Sakit plus perih banget anjir gue makin mau mati waktu itu, disitu gue cuma bisa syahadat gue cuma bisa baca apapun yang gue inget dalem hati. Dan akhirnya gue pingsan lagi kan.."

"Tapi lo di operasi juga kan?"

"Iya, tadi lo sendiri Lio, yang ngomong kalau operasi gue lancar."

"Iya gue lupa, sorry."

"Lo mau coba Lio?" Tawar Langit yang sudah dipastikan hanya bercanda.

Ellio menggeleng kuat. "Gak ya, ih. Mana mau gue, kena pisau kebeset dikit aja perihnya nauzubillah apalagi ditusuk. Amal gue belum cukup Lang, ah."


Tautan langkah kaki yang berlari terdengar silih berganti. Ketukan dan gesekan dasar sepatu dengan lantai menjadi nada yang menyertai lelaki itu.

"Ayah!" Azlan berlari lebih cepat dari sebelumnya, menghampiri ayahnya di depan pintu lift.

"Lan, kamu disini, kenapa gak istirahat dulu? Nyampe jam berapa kemarin?" Tanya ayahnya begitu Azlan sampai di hadapannya.

"Alan nyampe sorean kemarin, sekarang Alan mau ketemu adek, adek dimana?"

Abhi menarik nafasnya sejenak. "Tapi janji kamu harus terima apapun itu, harus sabar, gak boleh kecewa janji?"

Azlan dengan spontan mengangguk. Jika ada sesuatu hal yang tidak ia inginkan namun ia sendiri sudah memikirkan sebelumnya, ia jadi ingat mimpi semalam. Ia mendengar pesan ibunya bahwa ia harus menerima apapun yang terjadi.

"Hazel sebenernya ada di ruang ICU sekarang—"

"ICU? Adek kenapa?"

Abhi menghela nafasnya, bersiap untuk menjelaskan beberapa hal saja yang mungkin penting untuk Azlan tahu.

"Yaa... Dia drop lagi akhir-akhir ini. Dan beberapa hari lalu dia sempet kembali henti jantung—"

"Ayah," Azlan tiba-tiba memotong pembicaraan ayahnya kemudian tersenyum, hal yang tak abhi duga. "Gak apa-apa, ayah gausah takut ceritain sama Alan. Alan gak marah, itu takdirnya adek, gak apa-apa."

"Ayah ngerasa bersalah, kamu udah kasih kepercayaan kamu sama ayah, tapi– bahkan dokter disini udah angkat tangan sama kondisi Hazel sekarang.."

"Ayah tenang aja, Alan gak ngerasa gimana-gimana kok, dari sana Alan udah menyiapkan semuanya, udah berlapang dada, berlapang hati, buat nerima apa yang bakalan Alan denger hari ini."

"Kamu gak marah atau kecewa sama ayah? Kamu udah serahin semua kepercayaan kamu sama ayah, tapi ayah disini belum bisa kasih apa yang kamu harapkan.."

Azlan menggeleng tanda tidak. "Gak sama sekali, Alan udah serahin semuanya sama ayah bukan berarti Alan bakalan marah atau kecewa sama hasilnya. Adek kuat, Alan yakin dia bisa lewatin ini semua."

Tangan Abhi mendarat di pundak putranya, menepuk-nepuk pelan kagum dengan apa yang baru saja putranya katakan.

"Alan mau ketemu adek ayah, ICU di sebelah mana?"

"Ayah anter kamu kesana."

"Ji," Jio mengangguk saat ia dipanggil dengan singkat agar ia mengikuti kemana pasangan ayah dan anak itu pergi.


Dengan pakaian yang sudah berganti, berganti dengan pakaian khusus berwarna hijau medis lengkap dengan penutup kepala seperti hendak melakukan operasi. Azlan menghembuskan nafasnya perlahan, mencoba lebih tenang, lebih tenang, hingga ia bisa mengontrol emosi dan semuanya nanti.

"Abang gak sabar ketemu adek." Batinnya meyakinkan diri, dengan perasaan yang sudah bertekad kuat tak akan mengeluarkan air mata.

Perlahan ia membuka pintu ruang ICU. Matanya mulai berkaca-kaca, padahal ia sudah berjanji untuk tidak menangis tadi.

Jio dan ayahnya menyusul tepat dibelakang Azlan, hanya berjarak beberapa meter saja.

Azlan mulai menghampiri seorang gadis yang sebenarnya sangat ia rindukan. Sebelum berangkat ia sudah berangan-angan akan bercerita banyak pada adiknya itu, namun, gadis itu nampak terlelap begitu tenang.

"Dia udah besar," Azlan tersenyum dengan air mata yang begitu saja lolos meluncur di pipinya. "Dia tinggi sekarang."

Azlan mulai mengamati wajah gadis itu, walaupun tertutup alat bantu bernafas, tapi Azlan sangat yakin tak ada perubahan yang signifikan dari wajah gadis itu.

Seorang gadis kecil yang ia asuh setelah neneknya meninggal, tak ada terbesit sedikitpun pikiran Azlan akan mampu mengasuh gadis kecil itu di usia belasan tahun.

Azlan masih ingat bagaimana ia harus menitipkan Hazel pada tetangganya jika ia harus sekolah. Bisa dibayangkan betapa sulitnya masa itu, tapi Azlan mampu.

Masa sulit yang dulu kembali meski berbeda versi, melihat begitu banyaknya alat yang terpasang pada tubuh yang kurus itu, kedua tangannya penuh dengan plaster bekas suntikan atau bekas selang infus yang Azlan yakin itu akan sangat menyakitkan.

Azlan terduduk di kursi sebelah adiknya, menggenggam tangan dengan jari jemari lentik itu, lalu mengelusnya pelan.

"Adek.. Abang disini.." Lirihnya. "Abang udah susulin adek kesini, adeknya ayo bangun, Abang mau banyak cerita sama adek.."

Bahkan waktu berjam-jam lamanya berlalu, Azlan tak merasakan itu, ia hanya terlarut dalam pelepasan rindu yang selama ini ia tabung.

Tiba-tiba air mata lolos begitu saja dari mata dengan bulu mata lentik gadis yang terlelap nyaman itu.

Azlan segera menghapus jejak air matanya, membenahi posisi duduknya, dengan perasaan yang sangat campur aduk.

"Adek denger semua yang Abang ceritain kan?," Ujar Azlan begitu bersemangat. "Adek tau Abang ada disini kan?" Ujarnya lagi.

Azlan segera menghapus air mata gadis itu, meski hanya satu tetes tapi begitu terlihat berbekas.

"Adek gak boleh sedih, Abang disini.. adek aman. Adek dijaga sama Abang disini.."

"Adek gak mau pulang bareng Abang? Rumah sepi gak ada adek, Abang kadang tidur di kamar kamu, ngebayangin kamu ada disana temenin Abang kayak dulu."

"Kita pulang bareng-bareng kali ini ya.." Harap Azlan, semoga keinginannya ini bisa terjadi.

Mereka berdua kembali hidup bersama, tanpa ada kata perpisahan selain kematian.


"Ini keajaiban." Kata Anderson. Ia cukup takjub, dengan hal yang terjadi kali ini.

Abhi mengerutkan keningnya bingung. "Apa itu?" Tanyanya.

Anderson tersenyum sumringah dengan tangan yang ia simpan di dagunya. "Ikatan kakak dan adik itu memang benar-benar ajaib, Hazel sepertinya sangat menunggu kakaknya,"

"Apa maksudnya?" Tanya Abhi lagi.

"Anda lihat, sebelum kakak laki-lakinya datang, keadaan anak gadis itu benar-benar sangat menurun drastis,"

Abhi mengangguk. "Yaa, saya sendiri terkadang yang melihat dan memeriksa itu. Lalu?"

"Tapi sekarang, setelah kakak laki-lakinya datang, kondisinya membaik, bahkan di masa-masa kritis ini ia sudah bisa merespon dengan air mata, itu adalah peningkatan yang bagus." Jelas Anderson.

Abhi menghela nafas lalu mengangguk. "Tapi dia belum sadar bukan? Kita bisa memprediksi keadaan yang sebenarnya jika minimal ia sudah siuman."

"Ya meskipun begitu, kita dapat hilal yang baik, tanda-tanda baik. Semoga saja, dengan kakaknya datang hari ini ia bisa juga sadar secepatnya."

"Saya juga berharap yang sama." Abhi mengangguk setuju, dan berharap Hazel bisa sadar dengan hadirnya Azlan.

"Oh ya," Anderson memetik jarinya hingga berbunyi, mengingat sesuatu. "Apa anda tidak mau memberi tahu soal isi buku itu?"

"Buku? Buku apa itu?"

"Buku soal keinginan Hazel."

Abhi mengingatnya, tapi bukan kah ini akan menjadi pro kontra? Azlan bisa saja terbawa emosi atau semacam itu jika Abhi menceritakannya. Atau lebih baik Abhi memberikan buku itu pada Azlan?

"Saya akan mencobanya."

Azlan masih ada di ruangan itu, tak ingin pulang ke hotel lagi rasanya. Ia berniat akan menginap disini saja untuk hari ini, jadi ia mempersilahkan Jio untuk pulang ke hotel lebih dulu.

Azlan baru saja menyelesaikan shalat isya nya. Tetap berdoa seperti biasanya, berharap agar adiknya bisa sembuh, hanya itu yang ia mau kini.

Lelaki itu sedikit terkejut ketika melihat ayahnya yang sudah duduk di kursi sebelah ranjang Hazel. Entah kapan ayahnya itu masuk.

"Ayah disini? Ayah udah makan?" Tanya Azlan begitu melihat ayahnya terduduk, jujur saja pertama kali Azlan datang dan melihat ayahnya, ayahnya terlihat jauh lebih kurus dari sebelumnya, ia jadi khawatir.

"Ayah yang harusnya tanya sama kamu, kamu udah makan apa belum? Kamu dari tadi siang kan disini, gak keluar-keluar.."

"Alan? Gampang, Alan bisa turun, cari makanan di bawah, lagian ada restoran atau cafe gak jauh dari sini. Ayah belum jawab pertanyaan Alan, ayah udah makan atau belum?"

"Udah, barusan selesai bareng dokter-dokter yang lain." Balas Abhi yang dibalas anggukan kepala dari Azlan.

"Ayah mau kasih tau ini sama kamu." Abhi menyerahkan buku itu, masih lengkap fan tersusun lebih rapi dari sebelumnya.

Azlan mengerutkan keningnya bingung. "Ini buku apa? Kalau gak salah, ini bukunya adek kan?"

"Iya ini buku adek kamu, tapi kamu mungkin harus tau isi dari buku ini apa."

Alan sedikit ragu, karena sedari dulu Hazel selalu menyembunyikan dan merahasiakan isi buku ini. Jadi ia akan kerasa bersalah jika membaca isinya, ini privasi adiknya pikirnya.

"Kamu buka halaman paling terakhir dia tulis, bagian tengah kalau gak salah. Kamu baca, dan ayah butuh pendapat kamu soal itu."

Akhirnya Azlan menemukan tulisan itu. Ia begitu seksama membaca dari awal sampai akhir. Ia sangat terkejut dengan apa yang ia baca. Tak pernah terpikirkan adiknya akan memiliki keinginan seperti itu.

"Pendapat kamu gimana?"

Azlan melirik ke belakang, dimana adiknya terbaring lemah. "Gimanapun Alan maunya adek sembuh, adek bisa hidup bareng-bareng lagi sama Alan. Tapi Alan gak tau kedepannya akan gimana, tapi Alan setuju aja."

"Alan gak bisa tolak, Alan gak bisa larang, Alan baca alasan Hazel punya pikiran kayak gitu juga Alan kagum sama dia. Alan juga---"

"Ibu.."

Terdengar suara dari belakang Azlan. Ia segera berbalik ia sangat tahu darimana suara itu berasal.

"Ibu.."

Terdengar lagi, Azlan dan Abhi segera menghampiri Hazel. Abhi yang terlewat senang melihat hal itu buru-buru memanggil Anderson untuk memastikan bahwa gadis itu sudah bisa melewati masa kritisnya.

"Dek—" Azlan menggenggam tangan adiknya lembut. Bahkan tangan yang kini Azlan genggam itu, meremat membalas genggaman kakaknya, begitu erat.

".. Hazel mau— ikut... Ibu, tunggu.."

Genggaman pada tangan Azlan yang tadinya erat, kini melonggar.

Azlan yang kini kembali menggenggam erat tangan gadis itu, ia terduduk, ia menunduk, dan memejamkan matanya.

"Itu cuma mimpi, Adek jangan ikut ibu, oke? Adek temenin Abang disini aja ya.."

"... Abang masih butuh Adek ..."



Peace ✌️✌️
Padahal niatnya mau update hari Kamis, tapi baru sadar ulangan + tugas-tugas belum ku kerjain. Jadi mohon permaklumannya 🫂

Batu sadar ternyata udah 30k ++ readers. Thank you >3<

Sampai ketemu Minggu depan, babayy cingtahhh 😻

Follow Instagram: wp.ayaa_
Follow tiktok: dreamxayaa



Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 143K 89
Asyhila Ersya Arabell gadis manis dan lugu yang selalu terlihat ceria didepan semua orang. tetapi dibalik semua itu tidak pernah ada yang tahu tentan...
291K 1.6K 2
FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA... TERDAPAT BEBERAPA REVISI DAN PERUBAHAN Menikah muda mungkin saja menjadi impian dari banyak perempuan diluar sana. Bel...
2.6M 129K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET ๐Ÿšซ "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 29K 12
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...