Silence Of Tears (TERBIT)

By bunnylovv

3.8M 304K 29.7K

📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis denga... More

PROLOG
| Part 1 | Iblis
[ Part 2 ] Gagal
| Part 3 | Terungkap
[ Part 4 ] Dia Kembali
| Part 5 | Pertemuan
| Part 6 | Kemurkaan Kevan
[ Part 7 ] Dia lagi?
[ Part 8 ] Rumah Mama
[ Part 9 ] Mereka Tahu
[ Part 10 ] Pengungkapan Nara
[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah
[ Part 12 ] Married
[ Part 13 ] Satu Kamar
[ Part 14 ] Alexa Graceva
[ Part 15 ] Taruhan
[ Part 16 ] Rahasia Genan
[ Part 17 ] Hasrat Membunuh
[ Part 18 ] Cuek
[ Part 19 ] Ancaman
[ Part 20 ] Tuduhan
[ Part 21] Insiden Kolam Renang
[ Part 22 ] Pengungkapan Alexa
[ Part 23 ] Rindu Bunda
[ Part 24 ] Kecewa
[ Part 25 ] Luka Bagi Kevan
[ Part 26 ] Sisi Gelap Genan
[ Part 27 ] Bukan Tuduhan
[ Part 28 ] Pindah
[ Part 29 ] Teman?
[ Part 30 ] Kembali
[ Part 31 ] Peduli
[ Part 32] Ngidam
[ Part 33] Kesempatan
[ Part 34] Luka dan Masa Kelam
[ Part 35 ] Perhatian
[ Part 36 ] Kepulangan
[ Part 37 ] Malam Tragis
[ Part 38 ] Titik Terendah
[ Part 39 ] Selamat Tinggal
[ Part 40 ] Karena Dia
[ Part 41 ] Terbukti
[ Part 42 ] Maaf
[ Part 43 ] Deynal's Dream
[ Part 45 ] Hancurnya Genan
🌹VOTE COVER🌹
OPEN PRE ORDER
EXTRA CHAP
EXTRA CHAP 2
GIVE AWAY!
CERITA BARU | SEQUEL

[ Part 44 ] Harapan

73K 6.6K 1.3K
By bunnylovv

Selamat idul adha🙏. Ada nggak sih yang nggak suka makan daging kayak aku😭💔

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, FOLLOW DAN SHARE YA!

📌Tandai Typo!

Song : Dream - bolbbalgon4

|🌹HAPPY READING🌹|

.
.

Mata indah itu terlihat berbinar memandang hamparan danau buatan yang terlihat jernih. Terangnya bulan terpantul di atas permukaan airnya yang tenang. Angin malam berembus pelan, tak jauh dari danau terdapat kunang-kunang berterbangan ikut menerangi malam ini.

Acara yang Gavin katakan akan dilakukan di rooftop sekarang diganti di danau. Karena ia pikir selama beberapa bulan ini Nara terus berada di apartemen. Pastinya wanita itu suntuk dan ingin keluar menikmati waktu bersama.

Rencananya mereka akan membuat acara barbeque lalu dilanjutkan dengan acara melepas lampion. Selebihnya mereka akan menikmati malam indah kali ini dengan canda tawa.

"Kenzo tolong bantu bawa panggangannya!" teriak Gavin yang kini ikut mempersiapkan.

Kenzo mengambil alat pemanggang di bagasi, lalu melirik pada Mauren yang berdiri di sebelahnya. "Duren! Oy! Itu masih ada tiker satu lo bawa 'deh!"

Mauren melirik sekilas kakaknya itu, menghela napas panjang lantas mengambil tikar. Baru saja dia melangkah, tikar itu dia jatuhkan begitu saja saat melihat Nara yang sebenarnya sudah keluar lebih dulu bersama Deynal tadi.

Gadis itu pun berlari menghampiri Nara, mengabaikan kakaknya yang mencebik sebal.

"Nara!"

Nara yang sedang memandang indahnya danau seketika dibuat terkejut dengan teriakan dan tepukan di bahu yang dilakukan Mauren. "Ish, ngagetin aja."

"Hehe sorry," cengir Mauren. Pandangannya beralih mendongak pada langit malam yang dipenuhi bintang gemerlap dan satu bulan yang bersinar terang hingga memantul di permukaan air. "Wah ... Indah banget. Ternyata ada tempat secantik ini di sini."

"Ini danau buatan punya Daddy lo," kata Deynal yang datang membawa satu botol air dan memberikannya pada Nara.

Mauren seketika terhenyak mendengar ujaran Deynal. Memang ayahnya sudah lama tinggal di negeri ini, tapi dia tak tahu kalau ternyata danau ini milik ayahnya.

"Daddy gue ternyata sekaya itu sampe punya danau pribadi," sombongnya dengan senyum tengil.

Deynal mencebik sebal, sementara Nara tertawa kecil.

"Nara duduk di kursi itu aja, sedangkan lo ikut bantu masak," putus Deynal.

"Enak aja! Nggak mau lah! Gue mau nemenin Nara aja," tolak Mauren.

"Kak, gue mau bantu masak ju-"

"Nggak," potong Deynal saat tahu Nara akan mengucapkan apa.

"Ta-"

"Nggak boleh. Nanti kecapekan. Duduk di situ aja sama Mauren," selanya lagi.

Nara menghela napas lalu mengangguk. Deynal menepuk pelan pucuk kepala adiknya seraya tersenyum, lalu melangkah pergi untuk siap-siap memanggang.

"Abang lo sweet banget sih, Ra. Nggak kayak Abang gue! Boro-boro rambut gue dielus, yang ada malah dijambak!"

Lagi-lagi Nara tertawa. Selama beberapa bulan tinggal di Inggris ia merasa kesepian karena tidak punya teman selain Emy. Tapi tiap kali Mauren datang berkunjung Nara akan terus tersenyum dan tertawa mendengar curhatan dan ocehan nyeleneh Mauren yang tiada henti.

Bisa dibilang Mauren itu sahabat sekaligus moodbooster nya. Nara jadi merasa bersalah karena dulu selalu jengkel dengan Mauren yang banyak bicara. Nyatanya justru gadis itu yang selalu menghiburnya.

"Yaudah duduk aja, yuk, Ra. Pegel nih."

Keduanya pun duduk di kursi yang berada di tepi danau. Sementara yang lain sibuk memanggang, mereka memilih bersua foto, saling bercerita dan bercanda tawa sembari menikmati malam yang indah ini.

Setelah beberapa lama, akhirnya makanan mereka pun siap. Dengan binar bahagia mereka menikmatinya seraya berbincang dan bercanda ria dibawah langit malam ditemani oleh kunang-kunang yang berterbangan.

Senyum dan sorot bahagia itu tak luntur dari kedua mata Nara. Mata yang dulu hanya bisa memancarkan sorot luka yang berakhir meneteskan air mata kini berganti dengan pancaran kebahagiaan.

Kehangatan dan kebersamaan seperti ini adalah hal yang Nara inginkan selama belasan tahun hidup di dunia. Tuhan baru mengabulkannya sekarang, walau bukan dengan keluarga kandungnya Nara tetap bersyukur.

"Adek bahagia?" Nara seketika menoleh saat Deynal membisikkan sesuatu padanya.

"Jangan panggil 'adek', aneh dengernya," balas Nara ikut berbisik.

"Kan lo emang adek gue."

"Ya tapi lo nggak pernah manggil kayak gitu. Jadi aneh dengernya."

"Ta-"

"Apesih woy! Kok lo pada bisik-bisik?" sorak Kenzo kesal seraya mengigit daging panggang.

Deynal tak menjawab, melainkan langsung melanjutkan makannya.

"Tante Afni, Om Gavin, Mauren, Kak Kenzo dan Kak Deynal, makasih atas semuanya. Makasih sudah membuat keinginan Nara untuk merasakan kehangatan keluarga kini terkabul. Nara sangat bersyukur mempunyai kalian ...."

"Di saat ayah sendiri nggak pernah tunjukin kasih sayangnya ke Nara, justru kalianlah yang membuat Nara bisa merasakan kasih sayang itu. Nara bahagia," ungkap Nara tulus dengan mata berkaca-kaca.

"Sama-sama, Sayang. Kamu sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Jika kamu butuh pelukan dan sandaran kami selalu siap," balas Afni yang kini memeluk Nara.

Mauren sudah menitikkan air matanya karena memang ia yang paling cengeng. Kenzo yang berada di sampingnya mengusap air mata adiknya itu. Bukannya dengan cara halus, justru ia meraup seluruh wajah Mauren dengan telapak lebarnya.

Plak!

"Abang! Lo jadi kakak nggak ada manis-manisnya!" omel Mauren setelah menampar lengan kakaknya itu.

Mereka lagi-lagi tertawa melihat tingkah adik-kakak itu. Kenzo yang diluar itu sangat dewasa dan berwibawa. Beda lagi kalau di depan keluarga apalagi Mauren. Tingkahnya akan berubah menjadi tengil dan selalu menjahili adiknya itu.

"Muka lo jelek banget kalo nangis. Kayak monyet."

"Abang!" Lagi-lagi Mauren menggeplak lengan Kenzo karena kesal. "Huaaa Daddy masa Mauren dikatai monyet sih! Berarti Daddy sama Mommy juga monyet dong?" rengek Mauren yang kini bergelayut manja pada lengan ayahnya.

"Cuma kamu doang, sih, kayaknya. Soalnya Daddy emang mungut kamu dari kebun binatang," ungkap Gavin yang seketika membuat Mauren semakin meraung.

Dan selanjutnya yang terdengar adalah rengekan Mauren dan tawa mereka yang menggema. Begitupun dengan Nara yang juga ikut tertawa bahagia.

Setelah lelah tertawa, mereka saling berpelukan hangat layaknya keluarga. Ralat, memang sekarang mereka sudah saling menganggap keluarga.

Setelah acara makan dan peluk-pelukan selesai mereka pun bersiap berjalan ke tepi danau dengan membawa lampion di tangan masing-masing. Di lampion itu terdapat secarik kertas yang akan mereka tulisi dengan harapan dan permohonan.

"Apa yang lo harapin, Ra?" tanya Deynal.

"Rahasia. Biar Tuhan dan Nara aja yang tahu," balas Nara sendiri.

"Ck," decak Deynal. "Kalo harapan Kakak yang pertama adalah semoga Bunda bahagia di atas sana. Harapan yang kedua adalah supaya adek gue selalu bahagia dan diberi kesehatan. Dan harapan yang ketiga adalah ... supaya Emy ditakdirkan sama gue."

Deynal mengatakan kalimat terakhir itu dengan cengiran dan senyum malu-malu. Seharusnya Emy ikut acara ini, tapi wanita itu sedang tidak enak badan dan butuh istirahat. Dan jadilah ia tetap berada di apartemen, padahal Deynal berharap Emy bisa ikut.

"Aamiin," Nara membalas lalu terkekeh kecil.

Setelah sudah siap dengan lampion masing-masing dan harapan yang mereka utarakan kini saatnya lampion itu dilepaskan. Sebelum dilepaskan, mereka kompak mendongak ke langit malam yang terlihat begitu indah. Ada sorot harapan besar yang terpancar pada sepasang netra mereka.

Begitupun Nara yang kini menahan genangan air yang hendak jatuh. Wanita itu melirik gulungan kertas yang berisi harapan yang dia tulis. Lalu mendongak lagi kemudian setelah di aba-aba mereka pun melepasnya.

Lampion itu kini sudah terbang semakin tinggi menuju langit membawa harapan dan permohonan.

Nara mengelus pelan perutnya masih dengan tatapan tertuju pada lampion yang semakin mengecil dan jauh dari pandangannya. Nara tersenyum tipis dengan mata terpejam, membuat air yang menggenang di pelupuk matanya kini jatuh membasahi kedua pipinya.

Terimakasih Tuhan atas kebahagiaan kecil ini. Aku tetap bersyukur walau ini tak seberapa.

Kini aku berharap, berikan aku lebih banyak waktu untuk merasakan kehangatan ini. Berikan aku lebih banyak waktu dan kesempatan agar aku bisa menemani anakku nanti. Aku ingin mempertahankan apa yang membuatku bahagia.

Berikan aku kesempatan agar bisa menemani anakku tumbuh, menjadi seorang ibu yang selalu ada untuk anakku. Jikalau nanti aku pergi ke sisi-Mu, maka jadikan anakku sosok yang kuat walau tanpa seorang ibu.

Untuk yang kedua, aku berharap Ayah berubah. Sampai saat ini aku masih menginginkan pelukan hangat dan kecupan sayang dari ayah yang tak pernah aku rasakan selama ini.

Dan yang terakhir. Untuk Genan. Aku berharap semoga lelaki itu menyadari kesalahannya. Jikalau kita memang tidak bisa bersama, kumohon buatlah dia mengingat anaknya. Aku tak ingin anakku tidak mendapat kasih sayang dari seorang ayah sama sepertiku.

Nara menyeka air matanya, lantas memeluk Deynal dengan erat. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang sang kakak dengan terisak pelan. Sedangkan Deynal mengelus lembut rambut adiknya, sesekali juga mengecupnya sayang.

•••

Cowok dengan jaket kulit yang melekat di tubuhnya itu tak henti-hentinya tersenyum dengan pandangan tertuju pada secarik foto USG. Sesekali dia juga mengelusnya pelan, merasa tak sabar menunggu kelahiran anaknya.

"Sumpah ngeri gue, Kev! Lo kenapa sih!? Dari tadi senyum - senyum nggak jelas?" tanya Sagara seraya meneguk minuman soda.

"Mata lo buta!? Itu Kevan lagi lihatin bibitnya yang udah tumbuh. Bentar lagi mau jadi bapak dia," balas Marcel.

Sagara seketika merampas foto USG dari tangan Kevan. Sontak hal itu langsung mendapat tatapan tajam dari Kevan, namun ia hanya menyengir.

"Ini gambar apaan, yak? Kok kagak jelas bentukannya?"

"Tolol."

Seketika mereka kompak menoleh pada sebias suara itu. Suara Ghava. Cowok itu memang sedari tadi diam di sofa seraya memainkan ponselnya. Mereka terkejut saat mendengar Ghava mengatai Sagara.

"Parah lo, Ghav! Mulut lo makin nyelekit tiap harinya!"

"Gara-gara nongkrong sama kalian," balas Ghava.

Ghava kini berjalan menghampiri Kevan dan para temannya yang duduk lesehan di karpet. Dia duduk di samping Kevan dengan pandangan tertuju pada foto yang dipegang Sagara.

"Anak lo jantan atau betina, Kev?" Kini Aldo yang bertanya.

"Heh dodol! Lo pikir anak kucing apa!?" balas Sagara.

"Cowok atau cewek?" Ghava bertanya seraya merampas foto USG dari tangan Sagara. Dia tersenyum tipis memandang foto itu. Benar-benar tak menyangka bahwa Kevan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.

"Cewek," jawab Kevan. Lantas pandangannya beralih pada para sahabatnya. "Gue mau minta tolong sama kalian. Alexa ngidam-"

"NGGAK!" Kompak mereka menyela ucapan Kevan, kecuali Ghava.

Aldo, Sagara, dan Marcel menatap sengit pada Kevan. Masih teringat jelas dulu saat Kevan meminta bantuan untuk menuruti ngidam Alexa yang meminta seblak kuah rasa coklat.

Saat itu mereka mau membantunya dengan membeli seblak tapi kuahnya mereka ganti dengan coklat cair. Tapi setelah jadi, Alexa justru tidak mau memakannya dan meminta mereka memakan makanan yang terasa aneh itu. Mereka bertiga jelas menolak, tapi saat mendapat tatapan tajam Kevan, sontak ketiganya menurut dan mau melahap makanan itu dengan terpaksa.

"Kan itu anak lo, Kev. Masa kita yang harus nuruti ngidamnya Alexa!" kesal Sagara.

"Bener tuh! Emangnya kali ini Alexa ngidam apaan sampai lo minta bantuan kita lagi?" tanya Marcel.

Kevan menatap satu persatu temannya secara bergantian, "dia pengen lihat kepala kalian botak."

"Bangsul!"

"Kampret!"

"Tai!"

"Anak lo kok maunya aneh banget sih, Kev? Kenapa harus kita!? Kenapa nggak lo aja yang bapaknya! Kenapa!?"

"Jigong lo muncrat ke wajah tampan gue!" balas Sagara seraya mengusap wajahnya.

"Ya maap. Kesel banget gue," jengkel Aldo. "Gue nggak mau botak! Mending Ghava aja tuh!"

"Justru dia emang pengen Ghava yang botak."

Gelak tawa sontak memecah. Melihat wajah Ghava yang memucat dan terkesan jengkel membuat mereka tak bisa lagi menahan tawa, bahkan wajah mereka sampai memerah dan terbatuk-batuk.

"Gue mau pulang," putus Ghava yang kini berdiri, tapi sayangnya langsung ditahan.

"Eits, enak aja! Sejak kapan lo jadi pengecut?" cegah Marcel.

"Kev, ra-rambut gue ...," lirih Ghava dengan tatapan mengenaskan.

"Boleh ya, Ghav. Malam ini."

Lagi-lagi tawa itu menggema, membuat Ghava semakin dibuat jengkel setengah mati.

"Turutin aja lah Ghav. Kasihan nanti anaknya Kevan ileran," jawab Marcel yang lagi-lagi tergelak.

"Kenapa nggak lo aja!?" jengkel Ghava pada Kevan.

"Alexa maunya lo."

"Kalau gitu anak lo nanti pas lahir buat gue."

Perkataan Ghava itu seketika mendapat pelototan tajam dari Kevan, tapi dibalas tatapan datar oleh Ghava. Tapi kemudian Kevan menghela napas setelah teringat sesuatu. "Iya. Kalian semua juga bakal jadi ayah buat anak gue nanti. Bentar lagi kan gue pergi hehe," cengirnya seraya tersenyum lirih.

"Kalau seandainya nanti gue benar-benar pergi dan nggak bisa nemani dia tumbuh, masih ada kalian yang menjadi harapan gue. Jadi gue mohon kalau nanti gue udah nggak ada tolong jaga anak gue ya? Jangan buat dia kesepian dengan nggak adanya gue nanti. Kali-"

"Lo nggak akan pergi kemana pun," sela Ghava dengan nada dingin.

"Umur nggak ada yang tahu, Ghav. Penyakit gue udah masuk stadium empat kalau lo lupa," balas Kevan.

"Kev, gue mohon jangan bahas soal ini. Gue nggak mau jadi sahabat lo lagi kalau lo bahas beginian lagi," balas Marcel mengancam.

Kevan menghela napas panjang lalu menunduk. Kini mereka mendadak terdiam dengan pikiran masing-masing. Tapi saat mendengar suara isakan sontak perhatian mereka terlalih pada tubuh Kevan yang bergetar.

"Kev ...," lirih Ghava saat melihat Kevan yang menunduk dengan bahu bergetar diiringi isakan pelan.

"Gu-gue takut. Gue nggak sanggup terus menahan rasa sakit ini di depan Alexa, gue nggak mau bikin dia sedih."

"Gue masih pengen hidup, setidaknya sampai anak gue bisa bilang 'Papa'. Gu-gue-"

"Cukup, Kev. Lo ngomong soal itu lagi persahabatan kita bakal putus sampai di sini," sela Marcel.

Kevan mendongak, lalu mengusap air matanya. "Sorry. Gue jadi cengeng akhir-akhir ini."

Mereka mengangguk memaklumi.

"Oh iya. Lo udah pikirin nama buat anak lo?" tanya Aldo mencari topik pembicaraan.

"Hm."

"Yah, padahal gue mau kasih request nama," lenguh Aldo. "Emangnya namanya kek gimana? Spill dong bestie ...."

"Rahasia!"

"Nggak asik lo!"

"Eh btw Genan sekarang gimana kabarnya, Kev?" tanya Marcel.

"Kacau. Sebagai kakak gue kasihan lihat keadaan dia sekarang. Tapi gue nggak bisa bantu apa-apa, karena gue sendiri nggak tahu di mana Nara sekarang," jelas Kevan.

"Otw rumah sakit jiwa sih ini," balas Aldo.

Kevan terdiam setelah menghela napas. Bisa saja yang dikatakan Aldo menjadi kenyataan. Pasalnya baru kemarin dia menjenguk Genan, dan benar saja keadaaan saudaranya itu sangat mengenaskan. Bahkan ia sendiri sampai kaget dan tak mengenali sosok Genan yang semakin kurus dan pucat. Bahkan Genan mengabaikan sekolahnya selama beberapa bulan ini.

"Gue pengen bantu dia," putus Kevan.

"Caranya?"

"Gue bakal tanya sama ayah Nara atau Opa Deo. Mungkin Opa Deo juga tahu," jelasnya.

"Kita juga bakal bantuin."

•••

Dua bulan kemudian~

"Ayah, kita harus tinggal di mana?"

Liam tak menjawab pertanyaan Felly. Pria itu terus melanjutkan langkahnya seraya menyeret koper dan tangan satunya membawa tas. Begitupun dengan Felly yang terlihat lelah membawa barang-barangnya karena sejak pagi mereka terus menyusuri jalan tanpa tujuan.

Liam mengalami kebangkrutan dan kerugian besar. Para investor mendadak mencabut kerja samanya karena kinerjanya yang semakin menurun dalam mengurus perusahaan. Semua uang tabungannya juga habis untuk membayar gaji para karyawan. Selain itu dia juga harus kehilangan rumah dan mobilnya untuk membayar kerugian perusahaannya.

Dan kini dia hanya mempunyai sedikit uang simpanan untuk bertahan beberapa bulan saja. Wajah pria itu jelas menunjukkan rasa lelah dan kacau dengan pikiran bercabang ke mana-mana. Bahkan dia seolah mengabaikan Felly yang sedari tadi merengek kelelahan.

Setelah cukup lama perjalanan, akhirnya mereka sampai di sebuah kontrakan kecil. Felly yang merasa yakin mereka akan tinggal di tempat itu pun sontak membelak tak percaya.

"Ayah, jangan bilang kita bakal tinggal di sini."

"Ini masih mending daripada tinggal di bawah kolong jembatan."

Felly menghela napas panjang. Dia merasa mungkinkah ini karma karena perbuatan mereka dulu pada Nara? Sampai saat ini Felly masih tak tahu bagaimana keadaan Nara. Setiap malam dia terus dihantui rasa bersalah, begitupun dengan ayahnya yang tiap malam meracau menyebut nama Nara.

"Nara, mungkin hukuman yang Tuhan berikan ini nggak seberapa dengan rasa sakit yang pernah lo alami. Sekarang keadaan lo gimana, Ra? Gue harap lo mau maafin kita. Ayah kacau, dia butuh lo," gumamnya.

...


Sedangkan di sisi lain, kata maaf dan sesal terus bergumam dari bibir pucat cowok dengan keadaan kacau itu. Siapa lagi kalau bukan Genan.

Cowok itu kini berada di makam sang Mamah dengan mata sembab. Beberapa kali Genan terus meracau di depan makam mamahnya, sesekali dia juga terisak pelan. Tak ada lagi tempat dia mengaduh selain Tuhan dan mamahnya.

"Mamah ... Genan kacau. Mamah pasti udah tenang di sisi Tuhan, kan? Tolong minta Tuhan untuk mempertemukan Genan dengan Nara supaya Genan meminta maaf padanya. Genan nggak sanggup harus hidup dengan rasa penyesalan ini," lirihnya.

Setelah satu jam lamanya Genan berada di makam, kini cowok itu bangkit kemudian berjalan terseok keluar makam. Tubuhnya semakin ringkih dan lemah karena jarang mendapat asupan makanan. Belum lagi dengan banyaknya pikiran yang mengganggu, jelas mempengaruhi kondisi kesehatannya.

Dia berjalan terseok menuju halte untuk menunggu taksi. Setelah ini dia akan mencari Nara lagi. Meskipun dia tahu akan mendapat hasil yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Tapi tak ada kata menyerah sebelum dia bisa bertemu Nara untuk sekedar meminta maaf dan mengatakan bahwa dia menyesal.

Bruk!

Karena tubuhnya yang semakin melemah, Genan tak kuat lagi melangkah. Tubuhnya ambruk di tepi jalan dan tak sadarkan diri.

Sebuah mobil sedan berhenti di dekatnya. Dua bodyguard keluar lalu membawa tubuhnya masuk ke mobil itu kemudian dibawa pergi.

•••

Kedua mata sembab Genan terbuka perlahan. Mengerjapkannya perlahan menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Dia menatap ke sekeliling guna mengenali tempat dengan warna dominan putih dan bau obat-obatan yang menyeruak.

Matanya melirik ke arah tangan kirinya yang diinfus. Lalu beralih menatap pada sosok berwibawa yang tiba-tiba masuk.

"O-opa?"

"Bukankah saya sudah pernah mengatakan untuk jangan pernah memanggil saya dengan sebutan itu," balas Opa Deo dingin.

Genan terdiam. Kini pikirannya tertuju pada pertengkarannya dengan sang kakek beberapa waktu lalu.

"Manusia macam apa kamu ini, hah!? KAMU HAMPIR MEMBUNUH ANAK DAN ISTRIMU SENDIRI, NAN!"

Bugh!

"BIADAB!"

"JANGAN IKUT CAMPUR, OPA! PERGI SEKARANG SEBELUM GENAN NEKAT!" bentaknya.

"Kamu akan menyesal, Nan."

"Jangan panggil saya dengan sebutan Opa setelah ini!" putus Opa Deo sebelum beranjak pergi dari sana.

"Cih, buat apa gue nyesel."

Genan mengusap kasar wajahnya saat teringat dengan perkataannya yang tak mengatakan ia tak kan pernah menyesal. Nyatanya justru penyesalan itu benar-benar datang dan berhasil membuatnya semakin terjebak dengan rasa bersalah yang membelenggu hatinya.

"Saya tidak menyangka ternyata keadaanmu sekacau ini," balas Opa Deo yang kini duduk di samping bangsal. "Jangan pikir saya kasihan melihatmu begini, hanya saja saya tidak mau kamu meninggal sia-sia sebelum meminta maaf pada Nara."

Opa Deo meraih makanan di nakas lalu menyerahkannya pada cucunya yang sebenarnya sudah tak ia anggap itu. "Makan."

Genan menggeleng lemah. "Nggak. Genan harus cari Nara," tolaknya. Lelaki itu hendak mencabut infus yang terpasang, tapi langsung ditahan oleh Opa Deo.

"Mencari Nara juga butuh energi. Makan sekarang!"

Genan menghela napas lalu mulai menyendokkan makanan itu ke mulutnya yang terasa pahit. Sebenarnya Opa Deo merasa kasihan dengan keadaan Genan sekarang. Kepergian Nara benar-benar membawa pengaruh besar pada cucunya itu.

Dia kaget saat dokter tadi mengatakan bahwa Genan tak pernah makan dan hanya mengonsumsi vitamin. Selain itu Genan juga sudah ketergantungan dengan obat tidur dan obat penenang yang membuat kondisi kesehatannya semakin menurun.

Sebenarnya Opa Deo ingin memberi tahu keberadaan Nara sekarang. Apalagi saat Kevan pernah menemuinya dan meminta bantuan untuk mempertemukan Genan dengan Nara.

Prang!

"ARGHH!"

Baru beberapa suapan, Genan mendadak melempar piring itu hingga membuatnya tercecer. Lelaki itu kini menjambak dan memukul kepalanya dengan erangan frustasi yang memenuhi ruangan itu.

Dia tak henti-hentinya menampar wajahnya sendiri, menjambak rambutnya, memukul kepalanya yang dipenuhi oleh sosok Nara dan dadanya yang semakin terasa sesak. Opa Deo yang melihat itu jelas panik. Genan benar-benar persis seperti orang tidak waras.

"GENAN CUKUP!" cegah Opa Deo yang melihat Genan tak kunjung berhenti melakukan aksi melukai dirinya sendiri.

Genan menggeleng kuat masih dengan menjambak dan memukul kepalanya seraya meracau. "Nggak! Nara hiks! Genan butuh Nara, Opa."

Genan mencabut kasar lengannya yang diinfus, lalu dengan susah berdiri dan berjalan terseok hendak keluar dari ruangan itu. Tapi Opa Deo berhasil menahannya.

"Lepas! Genan harus cari Nara lagi!"

Opa Deo menarik lengan kurus Genan dan mendekap erat tubuh cucunya yang semakin ringkih. Dengan memeluk tubuhnya saja mampu membuat Opa Deo ikut merasa seberapa terpukulnya Genan.

Tubuh yang dulu gagah itu tak henti-hentinya bergetar dalam dekapan Opa Deo. Tangisan Genan sudah tidak bisa mengeluarkan suara, karena beberapa bulan ini ia sudah terlalu banyak menangis.

Tangisan tanpa suara itu membuat hati Opa Deo tersayat. Ia pikir sekarang sudah waktunya memberi tahu Genan soal keberadaan Nara. Genan benar-benar sudah tersiksa dengan rasa penyesalan yang menghantuinya.

"Opa tahu keberadaan Nara. Opa akan bawa kamu menemuinya. Selebihnya Opa tidak menjamin dia akan dengan mudah memaafkanmu."


.
.

-BERSAMBUNG-

Gantung lagi yeyy 🤡

📍WAJIB BACA! Kalau seandainya cerita ini terbit, kalian ada yang mau beli nggak? Pliss harus dijawab ya!

SPAM 'NEXT' JIKA KAMU PENASARAN SAMA KELANJUTANNYA 👉

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, FOLLOW, DAN SHARE JIKA KAMU SUKA CERITA INI😊

See u next lov <3

Continue Reading

You'll Also Like

5.6M 273K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...
19.4K 2.9K 44
"Sampe sini aja, ya, Nar. Jangan terusin lagi perasaan yang mustahil gue bales. Kalo emang lo bener-bener sayang sama gue, please lepasin gue." --- K...
19.4K 1.4K 47
"Kata siapa dia pacar gue?" Tanya Kavi yang masih belum melepaskan cekalan tangan nya pada tangan Khira. "Aku ngeliat sendiri tadi siang kakak senyum...
4.4M 399K 71
(Belum di revisi) Apa yang kalian pikirkan tentang Rumah sakit jiwa mungkin kalian pikir itu adalah tempat penampungan orang gila? Iya itu benar aku...