Silence Of Tears (TERBIT)

Autorstwa bunnylovv

3.8M 304K 29.7K

📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis denga... Więcej

PROLOG
| Part 1 | Iblis
[ Part 2 ] Gagal
| Part 3 | Terungkap
[ Part 4 ] Dia Kembali
| Part 5 | Pertemuan
| Part 6 | Kemurkaan Kevan
[ Part 7 ] Dia lagi?
[ Part 8 ] Rumah Mama
[ Part 9 ] Mereka Tahu
[ Part 10 ] Pengungkapan Nara
[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah
[ Part 12 ] Married
[ Part 13 ] Satu Kamar
[ Part 14 ] Alexa Graceva
[ Part 15 ] Taruhan
[ Part 16 ] Rahasia Genan
[ Part 17 ] Hasrat Membunuh
[ Part 18 ] Cuek
[ Part 19 ] Ancaman
[ Part 20 ] Tuduhan
[ Part 21] Insiden Kolam Renang
[ Part 22 ] Pengungkapan Alexa
[ Part 23 ] Rindu Bunda
[ Part 24 ] Kecewa
[ Part 25 ] Luka Bagi Kevan
[ Part 26 ] Sisi Gelap Genan
[ Part 27 ] Bukan Tuduhan
[ Part 28 ] Pindah
[ Part 29 ] Teman?
[ Part 30 ] Kembali
[ Part 31 ] Peduli
[ Part 32] Ngidam
[ Part 33] Kesempatan
[ Part 34] Luka dan Masa Kelam
[ Part 35 ] Perhatian
[ Part 36 ] Kepulangan
[ Part 37 ] Malam Tragis
[ Part 38 ] Titik Terendah
[ Part 39 ] Selamat Tinggal
[ Part 41 ] Terbukti
[ Part 42 ] Maaf
[ Part 43 ] Deynal's Dream
[ Part 44 ] Harapan
[ Part 45 ] Hancurnya Genan
🌹VOTE COVER🌹
OPEN PRE ORDER
EXTRA CHAP
EXTRA CHAP 2
GIVE AWAY!
CERITA BARU | SEQUEL

[ Part 40 ] Karena Dia

73.6K 6.5K 1.7K
Autorstwa bunnylovv

Parah, part kemarin tembus 1k komen woy! Makasih bgt, nggak nyangka bisa seramai itu 😭❤

Ramein part ini juga sabi lah hehe.

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, FOLLOW DAN SHARE YA!

📌Tandai Typo!

|🌹HAPPY READING🌹|

.
.

"Shit!"

Sedari tadi Kevan tak henti-hentinya mengumpat. Kedua matanya masih fokus tertuju pada tayangan video di laptopnya. Flashdisk yang diberi Neron ternyata berisi video di mana Kevan dan Alexa melakukan itu. Lebih tepatnya Kevan yang terlihat memaksa dan mendominasi karena mabuk. Sedangkan Alexa terlihat beberapa kali berontak walau pada akhirnya ia tetap kalah.

Beberapa hari lalu Kevan sebenarnya sudah meminta bantuan Neron untuk mencari bukti di club yang pernah ia kunjungi saat itu. Ia yakin pasti ada kamera tersembunyi di kamar-kamar club yang mungkin di pasang oleh oknum tertentu.

Dan ia benar-benar tak menyangka bahwa selama ini memang Alexa yang dia lecehkan, bukan Nara.

"Ja-jadi selama ini Alexa hamil anak gue?" monolognya.

Kevan mengusak rambutnya frutasi seraya mengumpat. Tangannya menyuruk meraih ponsel, hendak menghubungi nomor yang beberapa bulan ini ia abaikan. Nomor Alexa.

Bugh!

Kevan meninju tembok dengan keras karena ternyata nomor Alexa sudah tidak aktif.

"Aku hamil, Kev. Anak kamu!"

"Please, percaya sama aku, Kev."

"Aku nggak pernah selingkuh! Aku hamil anak kamu!"

Kevan meremat rambutnya dan menjambaknya. Perkataan Alexa kala itu yang mengatakan bahwa dia hamil anaknya kini membayanginya, membuatnya semakin merasa bersalah.

"Jalang!"

"Lo munafik, Al. Kita putus! Gue benci pengkhianat!"

"Soal bayi yang lo kandung, itu terserah lo. Mau lo gugurin atau pertahanin itu bukan urusan gue!"

"ARGHH! Alexa maafin gue ...," lirih Kevan dengan mulut bergetar.

"Jaga diri baik-baik. Nggak perlu cari aku, karena aku yakin kamu juga nggak ada niatan buat cari aku. Terima kasih atas semuanya, Kev. Sekali lagi maaf. Aku pamit."

Lagi-lagi ucapan Alexa kala itu terngiang memenuhi isi kepalanya. Membuat Kevan semakin frustasi dan dilingkupi rasa bersalah. Alexa adalah satu-satunya perempuan yang berhasil membuatnya jatuh cinta. Bahkan setelah Alexa memutuskan pergi pun Kevan selalu merindukannya.

Sebenarnya ia tak rela Alexa pergi, Kevan masih menyayangi bahkan mencintainya. Setiap hari ia tak bisa lepas dari bayang-bayang perempuan itu. Setiap hari pula ada keinginan untuk mencari keberadaan Alexa, tapi rasa marah dan kecewa lagi-lagi berhasil memenangkan egonya.

"Gue bakal cari lo, Alexa. Di mana pun lo berada gue bakal cari lo," tekadnya.

"Sampai keliling dunia pun, gue nggak bakal berhenti sebelum lo balik ke sisi gue lagi."


•••

"Ghav, kalau seandainya gue ketemu lagi sama Alexa, apa dia mau maafin gue?"

"Tergantung."

Kevan mendengkus mendengar jawaban itu. Lagi-lagi ia memilih diam dan melamun memikirkan berbagai rencana yang akan ia susun.

Saat ini Kevan dan keempat sahabatnya sedang berada di markas. Sebenarnya ia malas ke sini, tapi mereka memaksa karena penasaran dengan isi flashdisk yang diberi Neron pada Kevan. Ghava yang bukan anggota Zervanos kini juga datang ke markas untuk pertama kalinya.

"Bos videonya masih ada?" tanya Aldo saat Kevan memberi tahu mereka bahwa video itu berisi ... Ya itulah. Hanya memberi tahu, tidak memperlihatkannya.

"Heh! Lo pasti mau nonton, kan!?" sorak Sagara. "Nggak ada akhlak lo!" Dia menggeplak bahu Aldo, lalu menatap Kevan, "Kev, bagi videonya dong. Kan gue penasaran sama cara lo bikin debay, kok bisa langsung jadi," bisiknya.

"Lo berdua nggak ada bedanya! Sama-sama nggak ada akhlak!" teriak Marcel geram saat mendengar bisikan Sagara.

Sagara dan Aldo berdecak dan melengos malas.

"Lo berencana buat cari Alexa?" tanya Marcel yang dibalas anggukan oleh Kevan. "Gue bisa bantuin lo."

"Orangtua gue deket sama orangtua Alexa. Alexa dulu juga temen masa kecil gue," ungkapnya.

Alexa memang teman masa kecil Marcel, bahkan orangtua mereka pun punya hubungan yang cukup akrab. Ia pikir Alexa pergi hanya karena ingin pindah sekolah. Dia tak tahu menahu bahwa selama ini Alexa kabur dalam keadaan hamil anak Kevan. Hal itu ditutup rapat oleh ayah Alexa sendiri.

Kevan yang mendengar itu seketika tersenyum haru. Kini setidaknya ia menemukan setitik harapan.

"Gue harus tahu Genan soal video ini," putus Kevan seraya menyambar jaket kulitnya.

"Ke mana?" tanya Ghava.

"Markas Rhatanox. Gue dapet info dari Neron kalau Genan di sana," balasnya.

"Kev, bahaya."

Perkataan Ghava seketika membuat Kevan menghentikan langkahnya. Dia menoleh menatap Ghava dengan satu alis terangkat dan tatapan heran.

"Perasaan gue nggak enak. Jangan ke sana," imbuh Ghava.

"Nggak bisa. Gue harus ketemu Genan secara langsung."

"Suruh dia aja yang ke sini kan bisa," balas Ghava jengkel.

"Segampang itu lo ngomong? Gue udah nyuruh dia dateng ke sini sejak sebelum lo dateng. Dan sampai sekarang dia belum ada. Bahkan dia block nomor gue," jelasnya, lalu memakai helm.

"Jangan bilang lo takut ketemu anak genk? Lo kan anak rumahan!" timpal Aldo seraya tertawa bersama Sagara.

"Bacot!"

"Yaudah lo ikut kagak, nih!?" tanya Sagara.

Ghava terdiam, tapi ia melangkah menghampiri motor sport miliknya dan memakai helm. "Buruan!"

Setelah beberapa saat mereka pun sampai di lokasi. Kevan sedikit terkejut karena markas Rhatanox sangat dijaga ketat oleh para anggotanya. Bahkan di gerbang ada empat orang yang berjaga.

Salah satu penjaga berjalan menghampiri gerombolan Kevan dengan mata memicing. Dilihatnya dengan lamat wajah Kevan yang sangat mirip dengan ketua mereka-Genan.

"Punten slur. Tolong buka gerbangnya, nanti gue traktir kalian kaepsi," pinta Sagara seraya menyugar rambutnya sok keren.

"Kalian anggota Zervanos, kan? Nyari mati lo ke sini?" bentak salah satu anak Rhatanox.

"Mati, kok, dicari. Mending jodoh yang dicari, ya nggak?" balas Aldo seraya menaik-turunkan alisnya.

"Buka sekarang sebelum gue hancurin gerbang karatan ini!" bentak Kevan.

"Kev," Ghava menegur cowok itu dengan menahan bahunya. Lalu ia mendekat pada pemuda yang ditugaskan berjaga tersebut.
"Kasih tahu Genan kalau kita pengen ketemu dia."

"Ghav! Lo pikir cara halus bisa bikin mereka luluh!?" sentak Kevan.

"Setidaknya kasih sogokan, Ghav," balas Sagara.

"Kalian buang-buang waktu!" sentak Marcel yang sedari tadi diam. "Kev," Marcel mengkode Kevan dengan arah mata ke pintu gerbang di hadapannya.

Brak!

Brak!

Brak!

Mereka menendang dengan brutal bahkan melempar batu dengan ukuran besar. Sagara dan Aldo juga ikut membantu, sesekali mereka juga melempari para penjaga dengan batu.

Sedangkan Ghava diam tak bergeming dengan tangan dimasukkan ke saku. Dia berdecak jengah. Sungguh ia benci keributan.

Saat gerbang itu hampir ambruk, barulah mereka menghentikan aksi brutalnya saat melihat Genan tengah berjalan ke arahnya. Tatapan tajam itu menusuk pada netra Kevan yang juga dibalas tajam olehnya.

"Lo nyerahin nyawa lo sendiri, Kev?" tanya Genan dengan menyeringai.

"Ada yang mau gue bicarain sama lo! Ini masih soal kesalahpahaman kita. Jadi gue mohon untuk kali ini lo-"

"Gue udah pernah bilang. Nggak perlu lo ngurusin hal itu, sialan!" potongnya.

"Sebelum lo nyesel lo harus tahu fakta soal anak Nara!" geram Kevan. "Selama ini yang hamil anak gue Alexa, bukan Nara. Jadi anak yang Nara kandung itu anak lo!"

Genan tampak tertawa kecil, terdengar sinis dan mengejek. "Udah berapa kali gue bilang, gu-"

"Gue punya buktinya!" potong Kevan dengan tatapan tajam.

Lagi-lagi Genan tertawa. Tawa yang menyeramkan. Andai saja kalian mendengar seberapa seramnya seorang psikopat seperti Genan jika tertawa.

"Udah nggak guna. Cewek sampah itu udah gue hancurin. Bayi itu juga mungkin udah mati, gue yang bunuh," seringainya. "Meskipun gue belum puas mainin dia, setidaknya gue seneng kar-"

Bugh!

"Bangsat!"

Genan mundur beberapa langkah saat mendapat pukulan keras hingga membuat luka sobekan akibat pukulan sang Opa kembali terbuka. Matanya melirik tajam ke arah Ghava. Ya cowok itu yang memukulnya.

"Beraninya lo mainin Nara! Bahkan bunuh anak lo sendiri!?"

"Kalo lo benci sama Nara, tinggalin dia! Jangan sakiti bahkan bikin dia hancur!?" lanjutnya.

Genan menatap nyalang pada Ghava, lalu menyeringai. "Satu luka yang lo bikin di tubuh gue, bakal gue balas sepuluh kali lipat," desisnya, tak mengindahkan ucapan Ghava tadi.

"Dan satu luka yang lo kasih buat Nara akan menjadi penyesalan tak termaafkan," balasnya tak kalah tajam.

Lagi-lagi Genan menyeringai, lalu membisikkan sesuatu pada Ghava, "nggak ada kata nyesel di kamus gue, bahkan setelah gue bunuh lo sekalipun."

Setelah membisikkan itu, Genan mendorong bahu Ghava. Ia tersenyum miring, satu tangannya meraih pisau lipat dari saku belakang yang hendak ia gunakan untuk melukai Ghava.

Sreet!

"Arghh!"

Mereka semua melotot ke arah seorang cowok yang kini tangannya tersobek karena tergores pisau Genan hingga mengalir banyak darah. Ghava mematung di tempat melihat seseorang yang berusaha melindunginya dari Genan.

Kevan. Lelaki itu yang menghalangi pisau yang hendak Genan arahkan pada Ghava. Dia menahan pisau lipat itu hingga melukai tangannya. Seketika Kevan melempar pisau yang dipenuhi bercak darah itu dengan tatapan tajam tertuju pada Genan yang justru tersenyum miring.

"Cukup, Nan! Lo udah terlalu banyak melukai orang-orang!" sentak Neron yang tiba-tiba datang dengan langkah emosi.

Neron melepas slayer yang terpasang di kepalanya, lalu memberikannya pada Kevan. Tapi justru Ghava yang meraihnya dan langsung ia balutkan pada telapak tangan Kevan hingga darah merembes pada kain tipis itu.

"Kev, sorry," ungkap Ghava.

"Gue oke," jawab Kevan lalu mengambil satu langkah ke depan, menatap Genan dengan tatapan marah dan kecewa. "Nan, lo ternyata bener-bener brengsek. Bahkan lebih brengsek dari gue."

"Iya! Gue akui itu!" sentaknya.

Setelah Genan mengatakan itu Kevan meremat dadanya yang lagi-lagi kambuh. "Ma-mamah bakal kecewa sama lo, Nan."

"Atas wasiat mamah, gu-gue pengen perbaiki hubungan persaudaraan kita. Gue juga pernah berlaku kasar ke Nara, tapi hal itu udah gue sesali. Tapi lo? Rasa iba pun lo nggak punya, Nan."

Genan mengusak rambutnya frustasi lalu menatap dingin Kevan. "Gue nggak peduli!"

"Genan. Sebelum gue pergi, kita masih bisa perbaiki semuanya! Setelah ini gue bakal cari Alexa dan tanggungjawab, dan lo-mungkin Nara nggak akan kasih kesempatan buat lo."

"Gue nggak butuh! Lo pikir gue bakal sujud di kaki dia untuk minta maaf dan ngemis satu kesempatan? Nggak akan! Cewek itu pasti udah mati!" Genan menatap tajam pada kembarannya dengan jari mengacung. "Dan lo, Kev, sebentar lagi lo juga mati karena penyakit lo itu. Jadi nggak usah belagu!"

"Nan, sadari kesalahan lo dan minta maaf ke Nara!" tegas Neron.

"Nggak sudi! Pergi lo semua sebelum gue habisin nyawa kalian satu persatu!"

"Jangan pikir kita diam aja setelah ini. Kita bakal balik ke sini dengan bukti yang lebih kuat," kata Marcell.

"Dan gue pastiin lo bakal nyesel dan nangis di bawah kaki Nara. Camkan itu!" lanjut Ghava, lalu memapah Kevan.

Dan mereka pun memilih pergi. Bukannya takut dengan ancaman Genan, melainkan kondisi Kevan semakin memprihatinkan. Bahkan cowok itu sudah terlihat menahan sakit dengan wajah yang sangat pucat.

"Ingat, penyesalan selalu datang di akhir," kata Neron lalu ikut pergi.

"Kalo di awal namanya pendaftaran," balas Aldo yang seketika langsung mendapat tatapan tajam dari Genan dan membuatnya kicep seketika.


°°°

Tiga hari kemudian.

Malam ini suara tangisan tak henti-hentinya terdengar dari seorang gadis dalam pelukan kakaknya. Banyak tisu berserakan dan suara tangis seolah menggema memenuhi ruangan itu.

"Mom, hiks Nara di mana?" tanya Mauren untuk yang kesekian kali.

Sudah tiga hari semenjak Nara ke rumah sakit menemui Afni, dan sejak tiga hari itu pula Nara menghilang. Saat tahu ada kecelakaan di depan rumah sakit, Afni langsung panik dan khawatir dengan Nara.

Dia takut kalau korban kecelakaan itu adalah Nara. Tapi tak disangka justru ia tak menemukan keberadaan perempuan itu. Yang dia temukan hanyalah banyaknya darah dari korban yang bercecer di jalanan. Setelah diselidiki ternyata memang bukan Nara yang menjadi korban kecelakaan itu, melainkan sang pengendara sendiri.

"Mom, ka-kasihan Nara. Di-dia hiks pasti butuh teman ...," lirihnya sesenggukan, lalu menatap sang kakak. "Abang ... ayo cari Nara hiks, gue yakin d-dia masih hidup."

Kenzo menghela napas lalu mengusap airmata sang adik dengan ibu jarinya. "Polisi udah melakukan pencarian sejak tiga hari yang lalu, Ren. Tapi sampai sekarang belum ada kabar."

"Deynal juga nggak bisa gue hubungin. Nomornya nggak aktif," lanjutnya.

Mendengar itu, semakin deras pula Mauren menangis dan meraung. Bahkan dia sampai menjambak rambut kakaknya, sedangkan Kenzo memilih pasrah walau kepalanya sudah terasa panas akibat jambakan brutal adiknya itu.

"Huaaa! Kalo gitu kita yang cari dia! Kalau kalian nggak mau, biar Mauren aja yang nyari!" putusnya lalu bangkit.

Bruk!

Mauren memekik saat terjatuh karena tersandung kaki meja. Bukannya bangkit, gadis itu justru berguling-guling di karpet dan menangis keras seraya memanggil nama Nara.

"Nara! Gue bakal cari lo hiks! Abang bantuin gue berdiri, dong!" sentaknya.

Kenzo bangkit lalu membantu adiknya untuk berdiri. "Sok-sok 'an mau nyari Nara sendiri, jatuh aja gue yang bantuin lo."

"Yaudah abang bantu gue lah nyari Nara!"

"Gak lo suruh 'pun gue bakal bantu nyari."

Drrr drtttt

Kenzo merogoh ponselnya saat bergetar. Saat melihat siapa yang menelponnya sontak matanya membola. Dengan mata yang berkaca-kaca dan tangannya yang bergetar dia menggeser ikon hijau itu, menerima panggilan.

"Siapa, Ken?" tanya Afni.

"Daddy," balasnya tanpa bersuara.

Mauren menutup mulutnya, menahan pekikan yang akan keluar. Ingin sekali ia merampas ponsel itu dari Kenzo supaya dia bisa berbincang dengan sang ayah yang sangat ia rindukan.

"Iya, Dad?"

"...."

"APA!? BENERAN!?"

"...."

"Oke, oke malam ini juga Kenzo bakal ke sana."

Setelah beberapa saat berbincang soal hal yang tak diketahui Mauren dan Afni, sambungan terputus.

"Mom, malam ini Kenzo pergi ke London nyusul Daddy."

"APA!? Ngapain!? Katanya lo mau bantuin gue nyari Nara! Kok lo malah pergi!" teriaknya seraya memukuli Kenzo.

"Mom." Kenzo melirik sang mamah dan menatapnya memohon. "Daddy nanti juga bakal kasih tahu kenapa nyuruh Kenzo ke sana. Ini penting."

Afni menghela napas lalu mengangguk. Dia lalu melerai Mauren yang sedari tadi memukuli Kenzo. "Au, abang lagi ada urusan penting sama Daddy. Nanti mommy yang bakal bantu kamu nyari Nara. Masih ada polisi juga yang sekarang masih melakukan pencarian."

Mauren terlihat cemberut. Kenzo lalu berlari menaiki anak tangga dengan terburu. Meninggalkan Mauren yang menatapnya sendu karena sebenarnya ia ingin berbicara pada ayahnya tadi. Tapi Kenzo tidak peka. Selain itu ia juga tak rela karena kakaknya akan pergi keluar negeri malam ini.

Langkah Kenzo terhenti, lalu menoleh ke belakang. "HP lo mana, bego! Daddy bilang dia nelpon lo!"

Mauren seketika kelimpungan mencari ponselnya. Seingatnya ponselnya masih berada di kamar tadi. Dia pun berlari ke kamarnya di lantai atas, sedangkan Afni kembali ke kamarnya sendiri.

Setelah menemukan ponselnya Mauren langsung berbincang dengan sang Ayah. Dia tampak bahagia bisa melepas kerinduannnya, walau dia tak bisa memeluk pria itu secara langsung. Tapi itu sudah cukup membuat rindunya terobati.

Setelah cukup lama berbincang, Mauren dibuat membeku saat sang ayah mengatakan sesuatu yang tak pernah ia duga.

"Mommy!"

Mauren berlari menuju kamar sang mamah. Bahkan ia tak segan menggedor pintu jati itu yang keras itu hingga membuatnya tangannya terasa panas.

Mendengar suara gedoran, Afni membuka pintu dengan wajah panik. "Kenapa? Ada apa? Jangan bikin mommy panik."

"Mom, ki-kita nggak usah cari Nara!"


°°°

Sepasang suami istri itu tampak bahagia menikmati kegiatan jalan-jalan mereka. Seorang gadis kecil berusia 3 tahun menggenggam erat jemari ibunya dengan senyum manis juga menghiasi wajahnya. Gadis itu Nara.

Sedangkan di sisi paling kiri ada Liam yang juga menggandeng istrinya. Sesekali ia tersenyum seraya mengusap lembut perut istrinya yang membuncit.

Melihat itu Nara kecil tersenyum. Sepertinya sang ayah sangat tidak sabar menantikan anak laki-lakinya.

"A-ayah ... Nala capek. Gendong ...," rengeknya.

Liam mencebik sebal, "ck, sudah ayah bilang kamu seharusnya tidak ikut. Merepotkan saja!"

"Mas!" sang istri menegur suaminya. Lantas beralih menatap putrinya. "Nara sayang, sini Bunda aja yang gendong."

Dengan mata berkaca-kaca Nara mengulurkan kedua lengan mungilnya. Tapi ia tersentak saat mendengar suara ayahnya. Dengan lesu ia menurunkan tangannya lagi.

"Kamu nggak lihat bunda lagi hamil? Kalo dia gendong kamu nanti dia capek!"

"Bisa nggak, sih, mas kalau ngomong sama Nara rendahin suara kamu. Dia takut."

"Aku tahu kamu memang tidak pernah mengharapkan anak perempuan, tapi Nara tetap anak kamu. Darah daging kamu sendiri. Dia butuh kamu sebagai ayahnya."

"Meskipun sekarang aku lagi hamil anak laki-laki, tapi nggak seharusnya kamu pilih kasih, Mas. Nara juga anak kamu," lirih wanita itu.

Nara kecil belum cukup memahami perkataan bundanya. Tapi kini ia menangis karena yang ia tahu mereka sedang bertengkar jika sudah menaikkan nada suara. Pertengkaran orang dewasa terdengar menyeramkan di telinganya.

"Kalau kamu nggak mau gendong Nara, biar aku aja. Nggak papa aku capek, yang penting Nara enggak," finalnya seraya mengangkat tubuh mungil putrinya dalam gendongannya.

Liam mendengkus lalu mengambil alih Nara dari gendongan istrinya. Akan bagaimana reaksi orang-orang saat melihat istrinya yang hamil tujuh bulan menggendong Nara, tetapi Liam membiarkan hal itu. Dia tak mau mereka berasumsi buruk, jadi lebih baik dia yang menggendong Nara demi mencegah penilaian buruk dari orang-orang.

Nara mengusap airmatanya saat sudah dalam gendongan ayahnya. Gadis kecil itu melingkarkan tangannya pada leher Liam dan menenggelamkan wajahnya di ceruk lehernya. Nara menginginkan pelukan yang sangat sulit ia dapatkan ini.

Mata Nara yang mengantuk kini terbuka saat di sebrang jalan ia melihat penjual cutton candy, "Nda ... Mau itu ...," rengeknya pada sang bunda dengan telunjuk tertuju pada penjual permen kapas.

Liam berdecak lalu menurunkan sang anak. Dia merogoh sakunya mencari dompet tapi tak kunjung ia temukan. "Ck, dompetku tertinggal mungkin saat ke toilet tadi."

"Yaudah kamu ambil. Biar aku yang beli itu buat Nara, nanti kamu susul."

"Ck, anak itu memang merepotkan," balas Liam.

"Lagi-lagi kamu mengatai Nara seperti itu, Mas? Tiap kali kamu berlaku tidak adil ke Nara, aku yang sakit hati."

"Maaf."

"Sebenarnya aku ingin marah. Tapi aku tidak mau membuat keributan di sini, jadi cepat ambil dompetmu. Biar aku yang mengantar Nara mem-"

Ucapan wanita itu terhenti saat tak melihat Nara di sisinya. Ia celingukan dan betapa terkejutnya saat melihat seorang gadis mungil sudah berjalan di jalan raya. Menuju tempat penjual permen kapas yang ingin dibelinya.

Meski jalanan tidak ramai, tapi hal itu jelas membuatnya khawatir. Hei! Nara hanya bocah tiga tahun yang belum mengerti seberapa bahayanya jalan raya.

Wanita hamil itu berjalan panik ke jalan raya seraya memanggil nama putrinya. Saat melihat sebuah mobil melaju kencang ke arah Nara, sontak ia berlari.

"NARA!"

BRAK!

Naluri seorang ibu yang ingin melindungi anaknya itu benar adanya. Wanita itu kini terlempar beberapa meter karena tabrakan keras yang menghantam tubuhnya. Sementara Nara terjatuh di trotoar saat sang ibu mendorongnya kuat hingga membuat telapak tangannya terluka.

Sedangkan Liam langsung menghampiri sang istri yang sudah terkulai lemas dengan banyak darah bercecer.

Pria itu memangku kepala istrinya yang sudah dipenuhi banyak darah. Dia menangis sesenggukan, "ku-kumohon bertahanlah ...."

"Mas ... Ja-jangan benci Nara, jangan be-benci Nara. Ja-jangan b-benci Na-"

Liam semakin meraung saat istrinya sudah tak bernapas. Bahkan pria itu mengabaikan putri kecilnya yang menangis keras diantara banyaknya orang yang mengerumuni.

Istri yang ia cintai dan anak laki-laki yang Liam harapkan sudah pergi. Dan itu karena Nara!

Nara pembawa sial!

Nara pembunuh!

Nara anak pembawa malapetaka!

Liam membenci Nara karena itu. Sejak awal ia sudah tak mengharapkannya. Istrinya yang tengah hamil anak laki-laki telah meninggal karena ingin melindunginya.

Lagi dan lagi perkataan terakhir sang istri kembali memenuhi kepalanya."Jangan benci Nara. Ja-"

"TIDAK!!!"

Liam terbangun dari mimpi panjangnya. Napasnya terengah dengan keringat bercucuran. Pria itu meraup wajahnya frustasi dan menghembuskan napas panjang.

Kenapa saat ia benar-benar membenci Nara, ucapan terakhir mendiang istrinya kini memenuhi kepalanya.

Liam membenci putrinya karena sudah membuatnya kehilangan istri sekaligus anak laki-lakinya. Karena ingin melindungi Nara, orang yang ia cintai harus pergi. Sama seperti Diandra yang juga meregang nyawa demi melindungi Nara.

Tanpa sadar airmata meluruh dari kedua mata layu pria keras itu. "Nara, a-ayah-arghhh!"

Yang selanjutnya Liam lakukan adalah meminum obat tidur agar bayang-bayang mengenai putrinya bisa terhapus walau hanya sementara.

.
.

- BERSAMBUNG -

Sudah terkuak alasan kenapa Liam benci Nara.

Yok ramein biar aku semangat ngetiknya😊

SPAM 'NEXT' JIKA KAMU PENASARAN SAMA KELANJUTANNYA 👉

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, FOLLOW, DAN SHARE JIKA KAMU SUKA CERITA INI😊

See u next lov <3

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

647K 61K 58
Kenal Zio Agraham? Pria yang berharap mewariskan segala sifat buruknya terhadap anak. Masa lalunya sebagai pria terkejam dengan satu kali tampar mamp...
52.2K 3.4K 84
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] #Teenfiction Blurb : "Nggak ada yang bisa jatuh cinta di antara kita, karena kita itu sahabat." Ujar Langit yang fokus pada...
7.4M 192K 22
[SUDAH TERBIT] Note: Belum revisi. Cerita ini ditulis ketika belum paham PUEBI, dll. *** Apa yang kalian rasakan ketika memiliki pasangan yang tidak...
40.6K 2K 55
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA AGAR BISA ENJOY READ DALAM VERSI LENGKAP] Terjebak cinta masa lalu, terjebak dengan orang yang telah pergi. Tidak bisa hidup...