Silence Of Tears (TERBIT)

By bunnylovv

3.8M 304K 29.7K

📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis denga... More

PROLOG
| Part 1 | Iblis
[ Part 2 ] Gagal
| Part 3 | Terungkap
[ Part 4 ] Dia Kembali
| Part 5 | Pertemuan
| Part 6 | Kemurkaan Kevan
[ Part 7 ] Dia lagi?
[ Part 8 ] Rumah Mama
[ Part 9 ] Mereka Tahu
[ Part 10 ] Pengungkapan Nara
[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah
[ Part 12 ] Married
[ Part 13 ] Satu Kamar
[ Part 14 ] Alexa Graceva
[ Part 15 ] Taruhan
[ Part 16 ] Rahasia Genan
[ Part 17 ] Hasrat Membunuh
[ Part 18 ] Cuek
[ Part 19 ] Ancaman
[ Part 20 ] Tuduhan
[ Part 21] Insiden Kolam Renang
[ Part 22 ] Pengungkapan Alexa
[ Part 23 ] Rindu Bunda
[ Part 24 ] Kecewa
[ Part 25 ] Luka Bagi Kevan
[ Part 26 ] Sisi Gelap Genan
[ Part 27 ] Bukan Tuduhan
[ Part 28 ] Pindah
[ Part 29 ] Teman?
[ Part 30 ] Kembali
[ Part 31 ] Peduli
[ Part 32] Ngidam
[ Part 33] Kesempatan
[ Part 34] Luka dan Masa Kelam
[ Part 35 ] Perhatian
[ Part 36 ] Kepulangan
[ Part 37 ] Malam Tragis
[ Part 38 ] Titik Terendah
[ Part 40 ] Karena Dia
[ Part 41 ] Terbukti
[ Part 42 ] Maaf
[ Part 43 ] Deynal's Dream
[ Part 44 ] Harapan
[ Part 45 ] Hancurnya Genan
🌹VOTE COVER🌹
OPEN PRE ORDER
EXTRA CHAP
EXTRA CHAP 2
GIVE AWAY!
CERITA BARU | SEQUEL

[ Part 39 ] Selamat Tinggal

82.1K 6.5K 1.8K
By bunnylovv

Brutal sekali kalian😭. Baru semalem loh aku update, tapi targetnya udah melebihi😳

Awas nangis bombay!

Jangan lupa vote, komen, follow, dan share ya!

Tandai typo📌

|🌹HAPPY READING🌹|

.
.

Perempuan yang semalaman duduk sembari menelungkupkan kepalanya pada lututnya kini mendongak. Kedua matanya terlihat begitu sembab dan memerah. Wajahnya tampak kacau dengan helaian rambut basah yang menutupi sebagian wajahnya dan bibirnya yang membiru karena kedinginan sebab hujan deras semalam.

Dengan susah payah, Nara berdiri. Semalaman ia tidak tidur. Hanya duduk sembari memeluk lututnya, bersandar pada kaca pembatas balkon yang membuat tubuhnya terasa semakin remuk.

"Awh shhh," ringisnya saat berdiri merasa bagian intinya terasa nyeri.

Ingatan kejadian tadi malam muncul kembali memenuhi kepalanya. Nara lagi-lagi memukul kepalanya dan menjambaknya brutal. Berusaha menghapus ingatan itu. Trauma, dia kembali merasakannya.

Untuk sekedar menangis, Nara sudah tak sanggup lagi. Terlalu melelahkan, hingga membuat dadanya begitu sesak.

Dengan berjalan tertatih ia menuju pintu balkon. Mengintip guna memastikan Genan masih di sana atau tidak. Nara yakin Genan pasti pergi ke sekolah mengingat libur akhir semester sudah berakhir.

Nara bernapas lega saat tidak mendapati Genan berada di kamarnya. Matanya melirik pada kunci yang masih tergantung di pintu balkon. Lantas ia meraih sebuah pot berukuran sedang dan dengan susah payah ia melempar pot itu ke kaca pembatas. Tidak cukup satu kali membuatnya pecah. Nara kembali mengangkat pot berat lain dan melemparnya lagi hingga membuat kaca itu seketika pecah.

Prang!!

Tangannya yang bergetar menyuruk masuk pada bagian kaca yang berlubang dan memutar kuncinya. Pintu pun akhirnya terbuka.

"Awh!"

Lagi-lagi Nara meringis saat tak sengaja menginjak pecahan kaca. Ia menunduk lalu mencabut dengan mudah pecahan kaca yang menancap pada telapak kakinya. Seolah rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dengan rasa sakit pada hatinya.

Dengan berjalan tertatih, Nara masuk ke kamar mandi. Mengguyur tubuhnya yang terasa remuk di bawah air hangat dari shower.

"ARGHHH!!"

"GUE CAPEK!"

"Bunda ... sa-kit hiks, sakit banget, Nara pengen nyerah bunda ...," lirihnya.

Nara meraih pecahan kaca yang ia bawa tadi, lalu menggoreskannya pada lengannya. Sayatan demi sayatan ia buat dengan brutal membuat kulit putihnya sobek dan berdarah. Darah itu mengalir deras bercampur dengan air shower.

Tlak!

Nara menjatuhkan pecahan beling itu. Lalu berjalan terseok ke depan cermin. Perempuan itu menatap jijik pada tubuhnya yang dipenuhi tandakemerahan karena perbuatan Genan semalam.

Tangannya terarah menggosok dengan kuat bagian lehernya yang memerah. Berharap bisa menghilangkan jejak perbuatan Genan semalam. Namun nihil. Bekas itu sulit hilang dan justru membuat lehernya semakin merah dan panas karena terlalu kuat ia gosok.

Nara menunduk seraya menggigit bibir bawahnya. Tangannya terkepal erat. Pandangannya tertuju pada perutnya. Tersenyum miris, Nara berujar lirih, "kamu masih kuat? Dunia ini kejam, keinginan bunda untuk lihat kamu lahir sekarang udah hilang."

Nara keluar kamar mandi kemudian bersiap untuk pergi. Perempuan itu memakai hoodie dan memasang tudungnya.

Sebelum benar-benar pergi dari kamar yang menjadi saksi biksunya dengan kejadian semalam, Nara melirik ke arah nakas. Lebih tepatnya ke arah foto Genan yang difigura.

Tatapan kebencian ia nyalangkan. Giginya mengerat menahan emosi mengingat perbuatan Genan yang selama ini mempermainkannya. Perasaan kecewa dan benci menumpuk di dadanya, membuatnya terasa sesak. Namun rasa benci itu lebih besar, bahkan untuk melihat wajah Genan ia benar-benar muak.

"Gue udah kasih kesempatan buat lo, Nan. Tapi dengan mudahnya lo menyiakan hal itu. Setelah ini jangan harap lo bisa dapat kesempatan itu lagi."

"Bahkan permintaan maaf lo nggak akan gue terima walau lo sujud di kaki gue dan nangis darah sekalipun," imbuhnya.

•••

"Dokter Afni  ...."

"Ya ampun, Nara. Kok kamu ke sini nggak bilang-bilang, Nak."

Nara tersenyum miris lalu menghampiri wanita berjas putih itu. Ya, Nara memutuskan untuk pergi ke rumah sakit karena merasa bagian perutnya semakin terasa kram dan menyiksa. Bahkan dalam perjalanan Nara sedari tadi menahan sakit pada perutnya, membuatnya semakin takut jika terjadi sesuatu dengan anaknya.

Nara melepas tudung hoodienya, menampakkan wajah kacau nan pucat yang berhasil membuat dokter Afni terkejut.

Kedua mata dokter Afni membola saat melihat wajah Nara. Benar-benar kacau dengan wajah merah dan mata sembab. Juga keringat dingin yang membasahi anak rambutnya.

"Nara ... kenapa, sayang?" tanyanya seraya menyingkirkan helai rambut Nara.

"Sa-kit, a-anak sa—"

Bruk!

Dokter Afni langsung panik saat Nara mendadak pingsan. Dengan cekatan ia memanggil suster dan menidurkan Nara ke brankar.

"Nara, kamu pasti kuat, Nak."

...

Beberapa jam sudah berlalu sejak Nara pingsan tadi. Kedua matanya yang sembab perlahan terbuka, mengerjapkannya beberapa kali guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya.

Jantungnya berdetak lebih cepat, rasa takut kembali menyergapnya saat merasa tubuhnya terasa kosong. Perlahan pandangan Nara menurun pada perutnya. Detik itu juga Nara menutup mulutnya dan terisak. Begitu pula tangisan yang tak bisa ia tahan, dadanya terasa diremat hingga membuatnya sesak.

Perut yang tadi pagi masih membuncit, kini tidak ia lihat.

"ARGHHH!!"

"TUHAN! KAU AMBIL ANAKKU JUGA!? KENAPA!?"

Perempuan itu meraung mengacak dan menjambak rambutnya dengan brutal. Mengusak sprei putih itu, memporak-porandakan nakas hingga hingga barang-barang berjatuhan.

Prang!

"Kembalikan Bundaku! Kembalikan anakku! Kembalikan mereka!"

"ARGHHH!"

Infus yang terpasang di pergelangan tangannya seketika terlepas. Wanita itu meraup wajahnya kasar dan terisak. Sesekali ia juga berteriak keras, mengeluarkan tekanan batin yang menyiksanya. Hatinya sakit. Sangat sakit bahkan untuk menghirup udara rasanya sudah muak.

Ceklek!

"Ya ampun, Nara!" Dokter Afni datang terburu-buru. Lantas langsung memeluk tubuh Nara yang bergetar hebat.

Di ruangan serba putih itu hanya ada suara isakan Nara yang terdengar menyesakkan.  Bahkan dokter Afni pun ikut menangis mendengarnya. Wanita itu mengelus punggung Nara pelan guna menenangkannya.

"Hiks, a-anak saya. Dokter ... anak saya hiks. Di-dia satu-satunya penguat saya, ta-tapi dia juga pergi ...."

"Nara ... Kamu pasti kuat menerima cobaan ini. Masih ada saya, Ken—"

"Ada kalanya saya merasa lelah. Hiks salah saya apa hingga Tuhan memberikan hukuman seperti ini  ...," lirihnya dengan bibir bergetar.

"Memang benar, pembawa sial akan selalu sial hidupnya," lanjut Nara tersenyum miris.

"Nara ... jangan berbicara se—"

"Saya akan pergi, Dok," putus Nara seraya bangkit.

"Nggak. Kamu harus istirahat dulu, Nak."

Nara menggeleng lemah. Kini yang ingin ia lakukan adalah pergi. Entah pergi ke mana, yang pasti ia tak mau sampai Genan menemukannya, menyeretnya pulang dan kembali menyiksanya.

Rasa benci semakin bergerumul dalam dada Nara mengingat anaknya tiada juga karena Genan. Nara benci. Sangat benci pada pembunuh itu.

"Saya pamit, Dok. Terima kasih sudah baik sama saya. Setelah ini mungkin kita tidak akan bertemu lagi," putusnya.

Lalu Nara berjalan terseok menyusuri koridor rumah sakit ditemani dengan airmata yang masih setia menyertainya.

"Nara! Tunggu!" Dokter Afni mengikuti Nara yang berjalan di koridor.

"Dokter! Dokter Afni! Pasien di ruang Mawar 12 harus dioperasi sekarang."

Mendengar teriakan seorang suster, Dokter Afni menghentikan langkahnya, ia menoleh ke belakang, lalu menoleh lagi ke arah Nara yang perlahan menjauh dari pandangannya.

Dia ingin mengejar Nara, tapi di sisi lain dia tak bisa mengabaikan tugasnya sebagai dokter saat pasien sedang membutuhkannya.

Merogoh ponselnya, wanita berjas putih itu hendak menghubungi seseorang. "Kenzo, Mauren! Kenapa kalian lama sekali!?"

Sebenarnya ia sudah meminta kedua anaknya untuk ke rumah sakit, tapi sampai saat ini mereka belum juga datang.

"Macet, Mom!" Terdengar Mauren yang membalas di sebrang sana.

"Cepat ke sini. Nara pergi, mommy takut dia kenapa-napa!"

"Dokter!"

Dokter Afni sedikit berdecak saat suster memanggilnya lagi dengan wajah panik. Ia putuskan sambungan telponnya secara sepihak lalu berlari menangani pasien yang membutuhkannya.

Di sisi lain, Nara berdiri di tepi jalan menatap nanar pada jalanan yang ramai siang ini. Akan bunuh diri? Tidak. Dia hanya ingin menyebrang.

Melihat jalanan, Nara kembali teringat dengan pertemuan pertamanya dengan Genan. Andai saja saat itu Genan tidak menyelamatkannya, mungkin ia tidak akan semakin menderita seperti ini.

Saat terlihat jalanan sudah lumayan lengang, Nara menyeret kakinya yang terasa berat untuk menyebrang. Sedangkan satu tangannya meremat perutnya yang masih terasa nyeri.

Lagi-lagi buliran bening luruh dari kedua mata sembabnya saat merasa perutnya kosong. Tak ada sosok bayi mungil yang ia nantikan kehadirannya. Tak ada harapan lagi untuk melihat wajah menggemaskan dan tawa kecil sang anak. Sekarang semuanya hanya akan menjadi angan dan bayangan.

"Hiks malaikat kecil bunda juga pergi ninggalin bunda sendiri di sini?" monolog Nara seolah berbicara pada bayang-bayang sang anak yang memenuhi kepalanya.

Dengan menangis, Nara berjalan agak tertatih karena luka sobekan akibat kakinya yang terkena pecahan kaca tadi pagi semakin terasa sakit. Meskipun sudah diobati dokter Afni tadi.

Karena pikirannya yang kacau dan berkelana ke mana-mana membuatnya menjadi tak fokus. Bahkan dia tak sadar terdapat dua mobil melaju kencang dari arah berlawanan ke arahnya.

"NARA AWAS!"

BRAK!

Saat itu pula, Nara berterima kasih pada Tuhan.


•••


Brak!

"Nara! Lo di mana, sialan!"

Genan mendorong pintu kamar mandi dengan kuat hingga menimbulkan suara gebrakan. Cowok itu terlihat emosi saat sepulang sekolah ia tak mendapati Nara. Ia tambah terkejut saat pintu balkon yang terbuat dari kaca itu pecah.

Genan sudah mengecek seluruh ruangan dan masih tak melihat keberadaan Nara. Hal itu membuatnya yakin bahwa Nara kini kabur.

"Anjing! Awas aja lo! Lo nggak akan bisa kabur dari gue!"

Ting! Tong!

Bel apartemen berbunyi. Genan berdecak kesal lalu mengatur napas dan menyugar rambutnya sebelum membukanya.

"O-opa?"

BUGH!

Satu pukulan keras Opa Deo berikan pada cucunya itu. Genan seketika tersungkur karena belum siap mengelak.

"BRENGSEK! APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN PADA ISTRIMU, GENAN!?"

BUGH!

BUGH!

DAK!

Genan memekik saat lagi-lagi mendapat pukulan bertubi dari kakeknya. Napasnya tercekat saat Opa Deo meremat kerahnya dengan kuat hingga membuatnya tercekik. Belum lagi tatapan tajam bagai belati yang menusuk pada retinanya. Seumur hidup ia tak pernah melihat tatapan seperti itu dari Opa Deo.

"Jangan pikir Opa diam saja saat kamu memilih tinggal di apartemen berdua dengan Nara," desisnya.

"Opa selalu mengawasimu, Genan," tegasnya.

Tanpa diketahui oleh cucunya, Opa Deo sejak awal sudah mematai Genan. Beberapa pegawai di apartemen ini juga orang suruhannya. Bahkan ia juga memasang beberapa kamera tersembunyi di sudut-sudut tertentu. Terdengar nekat memang. Tapi ia lakukan itu untuk mengawasi Genan jika ia berlaku kasar lagi pada Nara.

Dan benar saja, ia pikir Genan sudah benar-benar berubah. Tapi justru semakin kejam dengan Nara.

"Manusia macam apa kamu ini, hah!? KAMU HAMPIR MEMBUNUH ANAK DAN ISTRIMU SENDIRI, NAN!"

"BIADAB!"

DAK!

Genan lagi-lagi meringis ngilu merasakan sakit akibat pukulan dan tendangan dari kakeknya. Wajahnya sudah babak belur dengan ujung bibirnya yang sobek dan berdarah. Dengan susah payah lelaki itu berdiri seraya mengusap kasar darah di sudut bibirnya.

Bukannya terlihat menyesal, justru ia terlihat marah karena baru tahu selama ini sang kakek mematainya.

"JANGAN IKUT CAMPUR, OPA! PERGI SEKARANG SEBELUM GENAN NEKAT!" bentaknya.

Opa Deo tak terlihat takut, justru dia tertawa miris, "jadi seperti ini kah didikan Papahmu?"

"Jangan harap setelah ini iblis sepertimu bisa masuk ke dalam keluarga Deovannes."

Mendengar itu sorot mata Genan semakin terlihat marah. Tangannya terkepal erat ingin menghadiahi pria tua di hadapannya dengan pukulan beruntun. Namun sekuat tenaga ia tahan.

"Sekarang Opa tanya. Di mana Nara!" sentaknya.

Genan membelak. Dia pikir sang Opa lah yang membawa Nara pergi.

"Genan nggak tahu! Mungkin cewek itu berniat bunuh diri," balasnya seraya terkekeh.

"Jangan main-main, Genan! Cepat katakan Nara di mana!? Pasti kamu menyembunyikan keberadaannya, kan!?"

"Dia kabur! Dan gue harap cewek sialan itu mati sekalian."

Bugh!

"Kamu akan menyesal, Nan."

"Jangan panggil saya dengan sebutan Opa setelah ini!" putus Opa Deo sebelum beranjak pergi dari sana.

Genan menatap punggung Opa Deo, tertawa sinis seraya mengusap kasar hidung dan bibirnya yang mengeluarkan darah.

"Cih, buat apa gue nyesel," decihnya.

...

Sore ini Kevan dan Ghava tengah berada di kafe. Kevan yang meminta Ghava datang karena ia ingin membicarakan sesuatu dengan cowok itu. Bukan hanya Ghava, dia juga memanggil Neron—sepupunya. Tapi sampai saat ini Neron belum juga menunjukkan kedatangannya.

"Ghav, bantuin gue."

Satu alis tebal milik Ghava terangkat. Menatap heran pada Kevan yang tengah menatapnya serius. Tak membalas ucapan Kevan, namun hanya menatap matanya seolah bertanya 'apa?'

"Sebelumnya gue mau jujur sama lo." Kevan menarik napasnya dalam-dalam sebelum berujar, "gu-gue hamilin cewek. Dan dengan brengseknya gue nggak mau mengakui kalau itu anak gue."

Deg!

Tatapan mata Ghava semakin dingin dan tajam. Dari sorot matanya ia menegaskan bahwa dia benar-benar marah dan kecewa pada sahabatnya.

"Mamah lo bakal kecewa, Kev," lirih Ghava dengan nada kecewa.

Kevan menatap sendu cowok di hadapannya. Dia pikir Ghava akan marah, memakinya karena kebrengsekannya atau bahkan melayangkan pukulan. Lebih baik Kevan menerima itu daripada mendengar satu kalimat yang baru saja dilontarkan Ghava dengan tatapan kecewanya.

"Jangan pikir gue nggak marah. Gue marah," ujarnya dengan tatapan menusuk pada netra Kevan.

"Siapa?" Ghava bertanya mengenai cewek yang dimaksud Kevan.

"Gue pikir Nara, ta—"

"Lo—" Mendengar nama Nara, Ghava sontak berdiri. Menatap nyalang pada Kevan dan meremat kerahnya. "Jadi anak yang dikandung Nara anak lo!?"

"Ghav, dengerin gue du—"

"Jawab, bangsat!"

Kevan melotot seraya berusaha melepas rematan tangan Ghava dari kerahnya, lehernya terasa tercekik karena itu. Mereka berdua juga menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung. Untung saja kafe tidak terlalu ramai. Hanya segelintir orang.

Baru pertama kali ia melihat Ghava semarah ini.

"Gue belum selesai ngomong!" sentak Kevan sembari menepis kasar tangan Ghava.

"Dengerin gue baik-baik, Ghav. Gue pernah hamilin cewek dan gue pikir cewek itu Nara, awalnya. Karena sebelumnya gue inget pernah ngelakuin itu sama cewek dan Nara tiba-tiba dateng ke gue dan bilang dia hamil anak gue. Timingnya tepat. Tapi nggak lama dari itu, Alexa pacar gue juga bilang kalau dia hamil anak gue."

"Gue bingung. Siapa yang benar di sini? Nara atau Alexa? Dan di sini gue minta bantuan sama lo untuk cari tahu hal itu," jelasnya.

"Kalo seandainya yang bener Alexa. Terus Nara hamil anak siapa?" tanya Ghava dingin.

"Genan. Gue yakin Genan."

Terhenyak. Ghava menyugar rambutnya ke belakang seraya membuang napas panjang. Yang benar saja! Dua saudara kembar sama-sama menghamili seorang gadis!?

"Kalian berdua orang paling brengsek yang pernah gue kenal. Tante Almira udah berusaha mendidik kalian berdua, tapi ini apa? Gue sebagai sahabat lo aja kecewa, Kev, gimana sama Mamah lo di atas sana?"

Tatapan Kevan berubah menjadi lirih teringat sang Mamah. "Untuk itu, Ghav, gue pengen perbaiki semuanya. Persaudaraan gue sama Genan juga udah hancur, gue pengen meluruskan kesalahpahaman ini. Jadi gue mohon bantuin gue."

Ghava menghela napas lantas mengangguk singkat. Membuat Kevan tersenyum.

"Kita juga bakal bantuin lo!"

Suara itu seketika membuat keduanya menoleh. Betapa terkejutnya mereka saat mendapati Marcel, Sagara, dan Aldo yang kini menghampiri mejanya. Jadi sedari tadi mereka menguping pembicaraan keduanya?

"Kalian!" Kevan hendak berdiri dari kursinya namun langsung ditahan Ghava.

"Ampun, Bos," balas Aldo seraya menangkupkan kedua tangannya.

"Lo marah, Kev?" tanya Marcel yang kini ikut duduk.

"Menurut lo! Emangnya pantes nguping pembicaraan orang!?" tanyanya sewot. Pasalnya ia sangat berhati-hati membahas persoalan ini agar tak diketahui yang lainnya. Bahkan dia sengaja memilih tempat yang sepi ini. Eh ternyata mereka justru menguntit dan mengupingnya.

"Menurut lo emangnya pantes hamilin anak orang?" balas Ghava membalikkan perkataan Kevan tadi yang berhasil membuat Kevan membisu.

"Kev ...," panggil Sagara sendu. "Gue kecewa sama lo. Ralat, bukan gue doang tapi kita. Kecuali Ghava, kita bertiga berkali lipat lebih kecewa karena nggak pernah lo anggap. Sahabat lo cuma Ghava ya?" tanya Sagara sendu.

"Padahal kita udah temenan sejak kelas satu SMP."

"Masih mending. Lah gue temenan sama dia sejak bocil," balas Aldo menatap tak suka pada teman masa kecilnya itu.

"Gue nggak butuh banyak orang untuk dengerin keluh kesah gue. Cukup satu orang."

"Dengan begitu lo cuma menganggap Ghava, kan?"

"Bukan gitu! Kalo gue cerita sama lo pada, yang ada malah lo ghibahin! Lo semua kan ember!" sungutnya.

Mereka saling melirik satu sama lain. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ucapan Kevan. Karena kadang mereka tidak bisa mengontrol mulutnya. Beda lagi dengan Ghava yang cuek dan mampu menjaga rahasia dengan baik.

"Sorry, Kev," kata Sagara.

"Gue emang suka ghibah, tapi nggak ghibahin lo juga kali, Kev!" timpal Aldo.

"Kita minta maaf kalau selama ini sikap kita bikin lo nggak nyaman." Marcel bersuara.

Kevan melengos malas. "Sekarang kalian juga udah tahu kebrengsekan gue. Kalian masih anggap gue sahabat?"

Mereka terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk mantap.

"Kita bakal bantuin lo untuk cari bukti."

"Soal Genan tadi. Apa Genan udah tahu kalau anak yang dikandung Nara anaknya?" tanya Marcel.

"Katanya Nara udah kasih tahu dia. Tapi Genan bilang dia nggak percaya karena nggak ada bukti."

"Okey! Kita sepakat bakal cari bukti itu!" balas Sagara bersemangat.

"Apa untungnya buat lo pada?" tanya Kevan yang seketika mendapat tatapan jengkel.

"Lo harusnya berterima kasih kita bantuin!"

"Gue nggak minta."

Mendengar itu semakin jengah dan jengkel mereka. "Sebagai sahabat kita harus saling membantu. Jadi kita bakal bantu. Titik," tegas Sagara.

Kevan terdiam beberapa sebelum berujar. "Thanks," balas Kevan seraya tersenyum tipis.

Tlak!

Mereka kompak menoleh pada seseorang yang mendadak menaruh sebuah flashdisk ke meja. Tubuh tegap berlapis hoodie dengan tangan masuk ke celana, serta wajah datar Neron 'lah yang mereka lihat.

"Jangan ditonton di sini," singkat Neron kemudian pergi tanpa menjelaskan apa isi dari flashdisk yang diberikannya.

Kevan meraih benda kecil itu, memasukkan ke celananya. Kemudian beranjak dari sana.

.
.

- BERSAMBUNG -

Kira-kira keadaan Nara gimana? Yang neriakin dia tadi siapa? Apakah dia bakal nyusul anak dan bundanya?

Selamat overthinking!

Karma apa yang cocok buat Genan?

SPAM 'NEXT' JIKA KAMU PENASARAN SAMA KELANJUTANNYA👉

YOK RAMEIN KAYAK PART KEMARIN😁

SEE U NEXT PART LOV -♡!

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 3.6K 15
Ingin cerita lebih lengkapnya lagi, Silahkan klik Link di profil saya... 🙏🙏😊
DAIVA By ai

Teen Fiction

7.6K 447 25
[⚠️MENGANDUNG KATA KASAR, KEKERASAN, DAN BERBAGAI HAL NEGATIF LAIN] ------- Daiva Tishya Xaviera, putri cantik pasangan Althan dan Rembulan. Gadis de...
40.7K 2K 55
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA AGAR BISA ENJOY READ DALAM VERSI LENGKAP] Terjebak cinta masa lalu, terjebak dengan orang yang telah pergi. Tidak bisa hidup...
95.7K 8.3K 59
Tentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya ju...