Silence Of Tears (TERBIT)

By bunnylovv

3.8M 304K 29.7K

📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis denga... More

PROLOG
| Part 1 | Iblis
[ Part 2 ] Gagal
| Part 3 | Terungkap
[ Part 4 ] Dia Kembali
| Part 5 | Pertemuan
| Part 6 | Kemurkaan Kevan
[ Part 7 ] Dia lagi?
[ Part 8 ] Rumah Mama
[ Part 9 ] Mereka Tahu
[ Part 10 ] Pengungkapan Nara
[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah
[ Part 12 ] Married
[ Part 13 ] Satu Kamar
[ Part 14 ] Alexa Graceva
[ Part 15 ] Taruhan
[ Part 16 ] Rahasia Genan
[ Part 17 ] Hasrat Membunuh
[ Part 18 ] Cuek
[ Part 19 ] Ancaman
[ Part 20 ] Tuduhan
[ Part 21] Insiden Kolam Renang
[ Part 22 ] Pengungkapan Alexa
[ Part 23 ] Rindu Bunda
[ Part 24 ] Kecewa
[ Part 25 ] Luka Bagi Kevan
[ Part 26 ] Sisi Gelap Genan
[ Part 27 ] Bukan Tuduhan
[ Part 28 ] Pindah
[ Part 29 ] Teman?
[ Part 30 ] Kembali
[ Part 31 ] Peduli
[ Part 32] Ngidam
[ Part 33] Kesempatan
[ Part 34] Luka dan Masa Kelam
[ Part 35 ] Perhatian
[ Part 36 ] Kepulangan
[ Part 37 ] Malam Tragis
[ Part 39 ] Selamat Tinggal
[ Part 40 ] Karena Dia
[ Part 41 ] Terbukti
[ Part 42 ] Maaf
[ Part 43 ] Deynal's Dream
[ Part 44 ] Harapan
[ Part 45 ] Hancurnya Genan
🌹VOTE COVER🌹
OPEN PRE ORDER
EXTRA CHAP
EXTRA CHAP 2
GIVE AWAY!
CERITA BARU | SEQUEL

[ Part 38 ] Titik Terendah

71.9K 6.3K 1.1K
By bunnylovv

Maaf buat kalian nunggu 😔

Siapkan hati dan tisu baca part ini.

Lagu disarankan : Kamu dan Kenangan 🎵

Atau kalian bisa setel lagu sad andalan kalian biar makin nyess 💔

JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN FOLLOW!

[Kolom hujatan untuk tokoh dakjal dibuka]

|🌹HAPPY READING🌹|

.
.

Hari ini jenazah Diandra sudah dibawa pulang dan hendak dimakamkan. Mengetahui hal itu Nara yang semalaman menangis memilih keluar dari kamar. Tadi malam dia dibawa Bi Arum untuk istirahat di kamar bawah karena tubuhnya terasa berat hanya untuk melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.

Di ruang tengah sudah banyak pelayat yang berkumpul. Tubuh seorang wanita terbaring kaku di tengah-tengah, membuat Nara lagi-lagi meluruhkan airmata.

Nara ingin memeluk bundanya untuk terakhir kali, ingin melihat wajah malaikat pelindungnya sebelum dia benar-benar tidak akan memeluknya nanti.

"BUNDA!"

Nara datang, langsung duduk bersimpuh dan memeluk bundanya dengan tubuh bergetar. Hal itu hanya berlangsung beberapa detik karena setelahnya dia ditarik oleh Liam dengan kasar.

"Ayah! Hiks, lepas, Yah! Nara cuma pengen peluk Bunda untuk terakhir kalinya. Jangan larang Nara kali ini, Ayah!" pekik Nara berusaha melepas cengkraman Liam dari tangannya.

Liam tak menggubris, justru lelaki itu membawa Nara menjauh dari para pelayat. Sedangkan Nara terus berontak dengan mata berlinang. Sejak semalam ia tidak bisa tidur dan terus menangis, dia berharap setelah jenazah bundanya dipulangkan ia bisa memeluk wanita itu untuk terakhir kalinya.

Wajah Nara yang memerah dan kacau tidak membuat Liam bersimpati. Dengan kasar ia menghentakkan tubuh putrinya hingga hampir terjatuh. Hampir. Karena Nara masih bisa menahan keseimbangannya dan belum benar-benar terjatuh.

"Tidak tahu malu kamu! Setelah membuat istri saya kehilangan nyawa kamu tetap bersikeras menemuinya!?" bentaknya.

"Sebentar saja, Yah! Sebentar aja, hiks. Nara mohon ...."

Bugh!

Bukan lagi tamparan, melainkan pukulan yang kini melayang tepat mengenai rahang tirus Nara. Perempuan yang tampak kacau itu seketika terjatuh, ia memegang pipinya yang teras panas dan kebas. Bahkan kini terasa anyir darah dari bibirnya yang sobek.

Dengan kepala yang semakin terasa pening, Nara memberanikan diri menatap manik tajam milik ayahnya.

"A-ayah ... Nggak papa pukul Nara. Ayo pukul lagi. Tapi setelah ini izinin Nara peluk Bunda. Sebentar saja ...." lirihnya dengan bibir bergetar.

"Berhenti memanggil saya dengan sebutan ayah! Saya bukan ayah kamu! Saya tidak sudi mengakui pembunuh sebagai anak saya! Kamu pembunuh, bukan anak saya!"

"Anak sialan! Tidak tahu diri! Mati saja kamu!"

Liam mengatakan emosinya seraya menarik rambut Nara, lalu mendorong kepalanya dengan kasar. Setelah itu dia keluar dengan langkah emosi, meninggalkan putrinya yang meraung kacau.

Nara seketika menunduk dengan tubuh bergetar. Tangannya yang berkeringat meremas ujung bajunya hingga lecek. Punggung rapuhnya bergetar hebat diiringi dengan isakan memilukan.

Saat merasa ada seseorang karena sebuah bayangan mengenai tubuhnya, Nara mendongak. Di ambang pintu ia mendapati Deynal, menatapnya datar.

Tersenyum pilu, Nara seolah berharap lelaki itu menghampirinya lalu memeluknya.

"Ka-kakak ...."

Deynal menghela napas, lalu menutup pintu dan menguncinya.

Melotot tak percaya, Nara dengan susah payah bangun. Berjalan menyeret kakinya yang terasa lemas ke arah pintu dan menggedornya kuat-kuat.

"Kakak! Kak Dey! Buka pintunya, hiks. Lo bilang lo sayang sama gue, Kak! Balik lagi dan peluk gue! Ka-kakak! Hiks gue butuh lo! Kak!"

Percuma. Nara meraung sampai suaranya terasa tercekat pun Deynal tak kunjung kembali. Tubuhnya merosot, meringkuk dibalik pintu dengan menelungkupkan kepalanya di lutut. Punggungnya bergetar diiringi dengan tangis pilu yang terdengar menyesakkan.

Keinginan Nara yang ingin memeluk sang Bunda dan mengantarkan ke peristirahatan terakhirnya kini pupus begitu saja.

Dan kini hidupnya semakin kacau. Tak ada sang Bunda untuk selamanya, juga tidak ada sang kakak yang bersedia merengkuhnya.

"Ibu kandungmu meninggal karena kamu, dan sekarang bundamu meninggal juga karena kamu!"

"Mereka meninggal hanya karena ingin melindungi anak sialan sepertimu!"

Perkataan Liam malam itu kembali terngiang. Kini Nara tahu kenapa pria itu tak pernah menganggapnya, tak pernah menunjukkan kasih sayang bahkan sekarang benar-benar membencinya.

Hadirnya dia hanyalah pembawa sial yang berhasil merenggut satu-persatu orang yang disayangi Liam.

"Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!" Nara meraung seraya memukul kepalanya, mengacak rambutnya bahkan menjambaknya.

Kini bukan hanya mereka, melainkan ia sendiri juga ikut membenci dirinya. Untuk pertama kalinya ia akhirnya tahu bahwa ibu kandungnya meninggal karena dia, dan kini bundanya juga meninggal karena dia.

"Arghh! Pembawa sial! Pembunuh!" Nara kembali meracau seraya mengacak rambutnya, mengobrak-abrik isi kamar hingga membuatnya porak-poranda.

Cukup lelah dengan batinnya, kini ia kembali meringkuk saat merasa perutnya kembali terasa sakit. Isakan pilunya diiringi dengan tubuh rapuhnya yang bergetar.

Karena tak sanggup menahan rasa sakit yang menggerogoti hati dan tubuhnya, Nara melemas. Perempuan itu tergeletak, matanya yang sembab kini terpejam.

Nara kini berharap bahwa Tuhan akan berbaik hati mengambil nyawanya untuk membebaskan dirinya dari derita ini.

•••

Pemakaman Diandra sudah selesai siang ini. Keinginan Nara untuk mengantarkan sang Bunda ke peristirahatan terakhirnya kini sudah tak ada lagi harapan. Berjam-jam Nara dikurung di kamar dalam keadaan lemah dan kacau.

Nara yang masih tergeletak di lantai kini membuka matanya perlahan. Karena matanya yang sudah sangat sembab, membuatnya terasa berat untuk membukanya.

Ceklek

Nara memergik saat pintu dibuka. Dengan kepala yang begitu pusing dan mata yang berkunang-kunang ia mendongak ingin mengetahui siapa yang datang.

Ia berharap Deynal yang datang, tapi justru Felly yang kini berdiri di hadapannya. Wajah gadis itu juga terlihat sembab. Nara tahu, Felly juga sama kehilangannya seperti dirinya.

"Lo itu emang pembawa sial! Bukan hanya pembawa sial, lo juga pembunuh!" sarkas Felly seraya mendorong kepala saudarinya.

Nara tersenyum dan tertawa pilu, dengan mata yang terasa berat ia menatap Felly. "Gu-gue pembunuh? Tapi gue yang nyelamatin lo sampai sekarang lo bisa hidup sehat," tukasnya.

Kernyitan muncul pada kening Felly, tak paham dengan ucapan Nara ia menatap seseorang dibawahnya itu dengan heran. "Maksud lo apa!?"

"Mungkin ini waktu yang tempat untuk kasih tahu lo." Nara tersenyum pilu, lalu berusaha bangkit. Setelah berdiri, dia menopang tubuhnya dengan berpegangan pada dinding.

"Gue benci ada di keluarga ini. Benci banget. Gue hidup cuma untuk menuruti keinginan ayah. Dan lo tahu apa keinginan ayah yang bikin gue makin benci dengan keluarga ini?"

Nara menarik napas dalam-dalam sebelum berujar, "Gi-ginjal gue cuma satu, dan satunya lagi ada di tubuh lo! Ayah cuma manfaatin gue, dia paksa gue untuk donorin ginjal padahal saat itu gue belum cukup umur!"

"Dan lo, Felly! Lo orang yang nggak tahu berterima kasih setelah gue rela ginjal gue diambil demi nyelamatin lo yang saat itu sekarat!"

Felly yang mendengar ungkapan itu dibuat tak bergeming. Gadis itu terdiam, mencerna dengan baik deretan kalimat yang diucapkan Nara. Namun, sedetik kemudian dia justru tertawa hambar.

"Kalaupun yang lo omongin bener, gue nggak peduli!" tukasnya.

Nara tertegun mendengar respon Felly. "Lo tahu kenapa gue nggak pernah kasih tahu hal itu? Karena percuma! Ginjal gue nggak akan bisa balik lagi, bahkan sekarang setelah gue kasih tahu kebenarannya, pun, sikap lo tetep sama!"

Felly tertawa sinis lalu kembali menatap tajam pada saudarinya, "justru saat tahu salah satu ginjal gue milik lo, gue ngerasa nggak sudi! Kenapa harus perempuan sialan kayak lo!"

Plak!

Satu tamparan mendarat keras pada pipi Felly. Nara yang menamparnya. Sungguh ia dibuat geram dengan gadis itu.

"Pantaskah lo disebut sebagai manusia!?" sorak Nara. "Lo nggak tahu menderitanya gue hidup dengan satu ginjal! Lo nggak tahu rasanya dihadapkan dengan dua pilihan antara milih egois milih nyawa sendiri atau mempertahankan anak gue! Lo nggak tahu rasanya!"

"Lo emang nggak pantes disebut manusia! Bahkan rasa simpati, pun, lo nggak punya!" imbuhnya menggebu.

Felly terhenyak seraya memegang pipinya. Ini pertama kalinya Nara menyerangnya, biasanya saudarinya itu akan terdiam dan cuek jika dia usik. Tapi kali ini, Nara berhasil membuatnya bungkam dengan tamparan dan deretan kalimat yang ditujukan padanya.

"Pergi dari hadapan gue!" bentak Nara mendorong kasar bahu Felly.

"GUE BENCI LO! GUE BENCI KALIAN SEMUA! ARGHHH!!" Nara berhasil mendorong Felly keluar, kemudian ia meraung, menjambak dan mengacak rambutnya seraya memporak-porandakan barang-barang di kamarnya.

Prang!

Satu cermin dengan ukuran sedang, berhasil Nara pecahkan. Perempuan itu berjalan terseok dan mengambil serpihan kaca. Dengan senyuman tipis yang terukir di wajah kacaunya, dia mulai menggoreskan kaca itu pada lengannya.

Tetes demi tetes darah mulai berjatuhan ke lantai. Rasa perih itu sudah muncul dan justru membuat Nara tersenyum lebar. Bukannya berhenti, ia justru semakin bersemangat membuat banyak sayatan pada lengannya.

Satu fakta dan masa kelam Nara, ia dulu mengidap selfharm karena hidup dalam tekanan Liam. Apalagi setelah dia dipaksa ayahnya untuk mendonorkan ginjalnya pada Felly. Belum lagi berbagai tuntunan untuk menjadi sempurna yang membuat Nara semakin tertekan. Karena hal itu, melukai dirinya adalah kegiatan yang menyenangkan baginya.

Dulu Nara sudah berhasil sembuh, tapi sekarang keinginan untuk melukai dirinya kembali muncul. Bukan lagi melukai, bahkan kini ia benar-benar ingin mengakhiri hidupnya.

Nara tersenyum miris, menatap nanar lengannya yang kini dipenuhi luka sayatan. Ingin sekali ia menggores pecahan kaca yang tajam itu pada nadinya. Tapi dia tak sanggup saat bayang-bayang wajah bayi menggemaskan memenuhi kepalanya.

Di saat ia ingin mengakhiri semuanya, justru satu keinginan dan harapan besar untuk melihat sang anak kembali membuatnya ragu.

Perempuan itu menjatuhkan pecahan kaca yang ia genggam, lalu menangis lagi. Namun ia sedikit tersentak saat seseorang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Deynal. Lelaki itu yang kini masuk dengan membawa nampan makanan.

Deynal menaruh makanan itu di nakas, lalu mengambil tisu beserta wadahnya. Cowok itu membawa Nara untuk duduk di ranjang, lalu dengan hati-hati ia membersihkan lengan adiknya yang sudah dipenuhi darah sebab luka sayatan.

Nara tertegun, senyuman tipis terukir di bibir pucatnya. Dia sungguh tak menyangka bahwa Deynal ternyata masih menaruh rasa peduli padanya.

Setelah selesai mengobati luka Nara. Tanpa mengucap sepatah kata, Deynal pergi keluar meninggalkan sang adik yang masih berharap ia memeluknya.

Seperginya Deynal, Nara menghela napas kecewa. Cowok itu kembali seperti dulu. Dingin dan irit bicara. Jangan heran karena sikap Deynal yang asli memang seperti itu.

Nara kecewa karena tak lagi menemukan kehangatan pada sikap kakaknya. Meski Deynal masih bersikap peduli, tapi Nara kembali merasa kehilangan dengan perubahan Deynal yang dingin.

Kedua tangan Nara yang dipenuhi luka sayatan terulur mengambil makanan yang ditaruh Deynal di nakas tadi. Lagi-lagi ia menghela napas sebelum mulai memasukan suap demi suap makanan ke mulutnya.

Meski Nara tak tahan dengan semua hal yang menyiksa batinnya, bahkan tidak nafsu makan, tapi dia sadar bahwa kini ia tak sendiri. Nara harus tetap memedulikan anaknya yang buat asupan.

Di sela makannya, perempuan itu menangis. Ia terus memaksakan makanan untuk masuk ke mulutnya diiringi dengan airmata berderai. Menyesakkan sekali makan sambil menangis.

"Sekarang cuma kamu alasan bunda untuk tetap bertahan. Kita harus lebih kuat setelah ini," gumam Nara pada anaknya seraya tersenyum pilu.

Setelah menyelesaikan makanannya, Nara bersiap akan pergi ke makam bundanya. Baru saja ia akan keluar, pintu sudah didobrak lebih dulu oleh seseorang.

Brak!

"A-ayah."

Liam menarik tangan anaknya dengan kasar, menyeretnya dengan kuat keluar dari sana. "Pergi kamu dari sini! Saya tidak menerima manusia pembawa sial menginjakkan kakinya di rumah ini!"

"A-ayah sa-kit," rintihnya saat sang ayah terlalu kuat mencengkram pergelangan tangannya.

Setelah sampai di pintu depan, Liam menghentak dengan kasar tangan Nara, lalu menatap benci pada perempuan yang terlihat kacau itu. "Pergi! Pergi jauh-jauh dari hidup saya dan jangan pernah kembali!"

Brak!

Setelah mengatakan itu Liam menutup pintu hingga terdengar bunyi hentakan yang mengagetkan Nara.

Nara tersenyum miris menatap pintu dihadapannya yang tertutup rapat. Tak ada lagi celah untuknya masuk ke keluarga ini. Bahkan ayahnya pun membuangnya.

"Bunda ... Nara butuh Bunda. Ayah jahat hiks ayah jahat, Bunda ...."

Dalam keadaan kacau tanpa alas kaki, Nara menjauh dari bangunan yang pernah ia sebut neraka itu. Airmata yang meluruh menemani perjalanannya menuju pemakaman umum.

Tak sengaja di perjalanan ia bertemu Kevan yang menunggangi motor sportnya. Namun Nara memilih cuek dan tetap melanjutkan langkahnya yang terasa berat.

"Lo mau ke makam?" tanya Kevan yang kini mengendarai motornya dengan sangat pelan di sampingnya.

Nara masih tak bergeming, ia tetap melanjutkan langkahnya menyusuri jalanan tanpa alas kaki.

"Naik."

Seketika Nara berhenti, lalu menoleh menatap Kevan yang kini menghentikan motornya di sampingnya. Kening Nara mengernyit mendengar ucapan Kevan tadi.

"Gue juga mau ke makam," kata Kevan.

Nara mencebik lalu melanjutkan langkahnya. Apakah ke makam harus mengendari motor sport segala? Lagipula letak makam tidak terlalu jauh dari rumah. Meski telapak kaki Nara terasa sakit karena menginjak banyak kerikil, ia tetap memilih berjalan tanpa menghiraukan Kevan.

Sesampainya di makam, mata yang terlihat layu itu langsung tertuju pada gundukan tanah yang masih basah. Dengan langkah berat, ia menghampiri makam yang ia yakini bahwa itu makam sang bunda.

Sedangkan Kevan menghampiri makam sang mamah yang tak jauh dari makam ibunda Nara.

"Bunda ...."

Nara jatuh bersimpuh di samping makam Diandra. Perempuan itu menatap miris pada nisan yang bertuliskan nama sang bunda. Nara memeluk gundukan tanah yang basah itu dengan dada yang semakin terasa sesak. Lagi-lagi ia menangis, namun untuk mengeluarkan suara tangisnya, rasanya sudah tak sanggup. Terlalu sesak.

"Maafin Nara, Bunda. Maaf, maaf, maaf."

Nara terus bergumam kata 'maaf' di hadapan makam wanita yang sangat ia sayangi itu.

"Bunda, Nara harap ini semua hanya mimpi."

Nara menitikkan airmatanya saat menyadari ini bukan mimpi buruk semata. Ini kenyataan.

"Kalau Nara menyerah nanti, Nara akan susul bunda...."

Tersenyum miris, Nara memandang lekat nisan Diandra. Mengusap airmatanya kasar, lalu berdiri saat sadar kini awan berubah menjadi kelabu gelap. Bahkan tetesan hujan mulai berjatuhan disertai dengan angin dingin yang menusuk kulit.

Nara berlari kecil di bawah gerimis yang perlahan menjadi hujan deras. Ia keluar dari area pemakaman dan mencari tempat meneduh. Begitupun dengan Kevan yang kini sudah berdiri di sampingnya ikut berteduh di depan toko kecil yang sudah terbengkalai.

Sembari menunggu hujan reda, Nara berusaha menelpon Genan. Karena pikirannya yang sejak kemarin kacau, ia sampai melupakan untuk menghubungi Genan. Sebenarnya tadi malam ia sudah mengabari Genan bahwa bundanya meninggal, tapi ia tadi tak mendapati cowok itu datang ke rumahnya untuk melayat.

Bahkan kini berkali-kali Nara berusaha menelpon dan mengirimnya banyak pesan, tapi tak mendapat balasan sama sekali.

Menghela napas Nara, memilih berjongkok. Kakinya terasa sakit dan nyeri karena berjalan tanpa alas kaki yang membuatnya menginjak kerikil tajam.

Pandangan Nara mendongak pada Kevan yang berdiri tak jauh darinya. Cowok itu sedari tadi hanya diam seraya menatap hujan. Melihat Kevan, Nara tiba-tiba ingin meminta maaf karena pernah menuduh cowok itu soal kehamilannya.

"Kev," panggilnya, namun tak mendapat jawaban. Mungkin karena suaranya teredam oleh suara hujan. "Kevan!"

Kevan seketika menoleh ke bawah, alisnya terangkat satu seolah bertanya 'apa?'

"G-gue mau minta maaf. Maaf karena pernah nuduh lo soal kehamilan gue," katanya pelan.

Kevan menghampiri wanita yang terlihat kacau itu, ia ikut berjongkok menyamakan tingginya dengan Nara. "Lo tahu? Karena tuduhan lo yang gegabah itu hubungan persaudaraan gue sama Genan semakin merenggang."

Nara menggigit bibir bawahnya, dadanya kembali terasa sesak mendengar ucapan Kevan. "Maaf ..., Kev."

Kevan menghela napas, tangannya menyingkirkan helai rambut Nara. Lalu mengusap darah di ujung bibir gadis itu. Hal itu sontak membuat Nara membeku, merasa aneh dengan sikap lembut lelaki tempramen di hadapannya.

"Lihat lo kayak gini, gue keinget Mamah gue. Dulu mamah gue juga sering dipukul papah." Kevan menarik napas sebelum berujar, "gue juga minta maaf sama lo karena pernah kasarin lo, bahkan ... hampir bunuh bayi itu. G-gue minta maaf."

Nara menitikkan airmatanya melihat ketulusan Kevan. Mereka sama-sama salah, dan mereka kini juga saling memaafkan.

"Ra, bantu gue untuk berdamai sama Genan. Itu wasiat mamah gue sebelum meninggal. Bisa?"

"Hidup gue juga udah nggak lama lagi. Setidaknya sebelum gue benar-benar pergi nyusul mamah, gue pengen peluk Genan sebagai seorang kakak," imbuhnya.

Nara tertegun mendengar permintaan Kevan. Sepasang netranya bertemu dengan netra Kevan yang berubah sendu. Kevan seperti bukan Kevan yang dulu kejam dan tempramen, justru ia kini terlihat seperti memendam sesuatu yang menyesakkan dadanya.

"Gue bakal coba," balasnya seraya tersenyum.

Nara mendongak pada hujan yang kini sudah mulai reda. Tapi langit masih terlihat begitu gelap, apalagi kini sudah sore. Nara berdiri, bersamaan dengan itu sebuah taksi berhenti di depannya. Nara sebenarnya sudah memesan taksi online tadi.

Dengan berjalan tertatih, ia memasuki taksi. Kini tujuan Nara adalah Genan. Nara membutuhkan lelaki itu untuk menjadi penenangnya saat ia merasa sedang tak baik-baik saja. Sama seperti yang ia lakukan dulu saat Genan kehilangan sang mamah, Nara juga berharap Genan melakukan hal sama saat ia kehilangan bundanya.

•••

Sudah berjam-jam lamanya Nara berada di apartemen ditemani hujan yang terus turun, kadang reda lalu turun deras lagi. Matanya melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul 12 malam, ia tampak gusar dan khawatir karena Genan belum menampakkan batang hidungnya sedari tadi.

Kedua mata Nara sudah terasa berat dan masih sembab karena terlalu banyak menangis. Beberapa kali ia juga menguap menandakan ia benar-benar mengantuk.

Sejak kejadian malam tragis itu, ia belum tidur hingga membuat bagian bawah matanya membentuk lingkaran hitam. Mengingat malam itu, membuat Nara merasa sesak di dada. Lagi-lagi dia teringat sang bunda yang rela mempertaruhkan nyawanya demi melindunginya.

"Bunda ... Maafin Nara. Hiks Nara anak pembawa sial ya? Maaf ...." Perempuan itu membekap mulutnya menahan isakan yang keluar dari bibirnya.

Tak tahan lagi, Nara berusaha untuk yang kesekian kalinya untuk tidak menangis. Tapi percuma, ketika mengingat sang bunda dadanya sesak dan airmata meluruh tanpa diminta.

Nara membaringkan tubuhnya di ranjang, menarik selimut sebatas dada lalu memejamkan matanya yang berair. Ia lelah terus-menerus menangis, membuat matanya terasa berat dan perih.

"Bunda ... Nara harap besok kalau bangun, Nara bisa dengar suara bunda," lirihnya, masih berharap bahwa ini semua mimpi.

Tiga puluh menit kemudian, Nara yang sudah memasuki alam mimpi dibuat berjengit kaget saat merasa kasurnya bergoyang. Perempuan itu juga merasa seseorang tengah mengungkungnya dari atas.

Mata Nara membelak saat mendapati kini tepat di hadapannya Genan menatap dirinya disertai dengan senyum miring. Jantungnya bergemuruh hebat, bukan karena perasaan itu mendadak muncul, melainkan rasa takut yang kini menyergapnya.

"Ge-genan, lo-"

Belum sempat Nara menyelesaikan ucapannya, Genan sudah lebih dulu menarik lengannya dengan kasar. Membuat Nara seketika memekik karena kaget.

"Lo kenapa? Lo mabuk?" tanya Nara saat mencium bau alkohol dari tubuh suaminya.

"The main game is starting tonight, Keynara," bisiknya tepat di hadapan telinga Nara dengan menyeringai. [Permainan utama di mulai malam ini]

Nara membelak merasa aura di sini semakin mencekam, "maksud lo-akh!"

Nara memekik saat Genan tiba-tiba menjambak rambutnya hingga membuatnya mendongak. Ia merintih menahan panas dan perih pada kulit kepalanya akibat jambkan kuat dari Genan.

"Genan, lo-"

"Lo pernah bilang, kalo lo selama ini ragu soal perhatian gue itu tulus atau enggak. Maka malam ini gue akan menghilangkan keraguan itu."

Genan membawa Nara dengan menjambak rambutnya lalu menghentakkan kepala perempuan itu ke dinding beberapa kali. Jelas membuat Nara memekik kesakitan.

Dugh!

Dugh!

"Awh! Nan! Sa-kit!"

"Kalo lo pikir gue lagi mabuk saat ini. Lo salah besar. Gue nggak mabuk," selorohnya.

Cowok itu mendorong Nara ke tembok hingga Nara terkurung. Tangan kekar itu menyusuri leher Nara dan mencekiknya kuat. Mendengar Nara memekik kesakitan, justru membuat Genan semakin puas.

"Agh! Nan-hiks gu-gue-"

Genan melepas tangannya yang mencekik leher Nara. Lalu menyeret wanita itu dan dengan tak berperasaan ia menghempaskan tubuh lemahnya ke ranjang. Genan meraih gunting di nakas lalu merangkak ke atas kasur, membuat tubuh Nara berada di bawah kungkungannya. Senyum miring terukir saat melihat perempuan sudah menangis.

"Lo pikir gue udah percaya sama omongan lo soal anak ini?" katanya seraya menyingkap piyama Nara yang menampakkan perutnya yang buncit. "Gue nggak percaya."

"Gue udah pernah bilang, lo itu mainan gue, Nara. Dan gue nggak nyangka ternyata semudah itu mempermainkan lo," ujarnya seraya terkekeh, terdengar menyeramkan. "Sebegitu mudahnya lo percaya sama iblis kayak gue? Bodoh."

"Sekarang lo masih ragu, hmm?" lanjutnya.

Nara menggigit bibirnya seraya terisak. Kini tidak ada keraguan lagi mengenai sikap Genan. Lelaki itu selama ini tidak tulus dan hanya mempermainkannya.

"Kenapa lo ngelakuin ini sama gue, Nan!" bentak Nara seraya berontak saat Genan menahan tangannya.

"Karena gue suka mainin korban gue, Key," bisiknya tepat di telinga Nara.

Genan menyeringai bahkan tertawa. "Gue muak harus pura-pura peduli sama lo dan anak ini," arah matanya tertuju pada perut Nara. "Dia bukan anak gue, seharusnya dia nggak pernah hadir karena hadirnya dia bikin hidup gue kacau."

"Tapi dia hadir karena lo!"

Genan menatap tak suka pada Nara, "lo tetep kekeh bilang ini anak gue?" Genan mengarahkan guntingnya pada perut Nara. Menempelkan ujung benda tajam yang terasa dingin itu ke perut Nara.

"Lo yakin anak itu bisa lahir?"

Kini pikiran Nara tertuju pada perkataan Genan tempo lalu. Apakah ini yang dia maksud? Genan akan membunuh anaknya sendiri?

"Genan, g-gue mohon. Ja-jangan sakiti dia. Hiks dia anak lo!" bentak Nara seraya mendorong tubuh tegap itu agar menjauh darinya. Tapi percuma, dia tak cukup tenaga.

"Bukan anak gue bangsat!"

Genan mengangkat tinggi-tinggi gunting tajam itu. Berniat menusuk Nara, juga sekaligus membunuh anaknya. Hasrat membunuh lagi-lagi sudah menggebu dan tak bisa ia kontrol. Ia sudah menantikan momen ini sejak lama.

"GENAN, JANGAN!"

Jleb!

Mata Nara tertutup erat membuat bulir demi bulir cairan bening meluruh dari sana. Tangannya yang berkeringat dingin meremat sprei. Perlahan ia membuka matanya saat tidak merasa gunting itu menusuk perutnya. Ia melirik ke bagian kasur di mana benda tajam itu tertancap di sana.

"Nan, hiks berhenti mainin gue kayak gini ...," lirihnya.

Genan mencabut gunting yang tertancap di kasur, lalu kembali mengarahkan ujung runcing pada perut Nara, mengacung tepat di depannya dalam jarak beberapa senti.

Nara menggeleng kuat dengan airmata berderai. Sungguh ini ketakutan terbesar yang pernah ia alami. Genan benar-benar terlihat seperti iblis berwujud manusia.

"Lucu," Genan tertawa kecil seraya mengacak pelan rambut Nara yang berkeringat dingin. "Gue suka lihat lo tersiksa kayak gini."

Tlak!

Dia lempar gunting itu ke sembarang arah hingga terjatuh ke lantai. Kemudian menyeringai, mendekatkan tubuhnya pada Nara dan mengelus rahang tirusnya dengan pelan. Membuat Nara semakin dibuat takut.

Nara tak bisa melakukan apa-apa karena Genan mengukungnya, bahkan kedua tangannya ikut dicengkram dengan kuat.

"Genan, hiks gue mohon ...."

"Keynara Zhivanna, gue bakal bikin lo semakin tersiksa malam ini," seringainya.

Nara semakin berontak saat setelah mengatakan itu, bibir Genan membungkam bibirnya. Memanggutnya kasar bahkan menggigitnya kuat sampai berdarah.

Trauma itu seketika muncul saat Genan kini melepas kaosnya, menampakkan dada kirinya yang terdapat tato burung gagak. Nara ingat betul tato itu, bahkan kejadian malam itu seolah terulang kembali saat ini.

"Lo tahu kenapa ini gagak?" tanyanya seraya menyentuh tato di dadanya. "Karena gagak itu melambangkan kematian."

Setelah mengatakan itu Genan kembali membungkam bibir Nara. Membuat Nara terus berontak dengan airmata meluruh deras. Apalagi saat tangan Genan kini menjelajahi tubuhnya hingga menanggalkan pakaiannya.

Malam itu Genan benar-benar seperti iblis. Benar-benar tidak punya hati.

Sepanjang malam Nara hanya bisa menangis dan meraung di bawah kungkungan Genan yang bermain kasar. Bibirnya ia gigit sampai berdarah guna menahan suara menjijikkan saat Genan melakukan itu dengan brutal.

Iblis itu bahkan menjambak dan menamparnya beberapa kali. Mencekik hingga menindih perutnya dengan kuat, membuat Nara benar-benar tersiksa dengan rasa sakit dan takut.

Tak sampai di situ, setelah puas menggempur Nara guna menyalurkan nafsunya Genan menyeret tubuhnya yang kacau ke balkon. Mendorongnya kasar dan menyuruhnya tidur di sana tanpa busana, hanya selimut yang membalut tubuh polosnya.

"ARGHHHH!!"

"TUHAN! SAYA HANYA INGIN BAHAGIA! KENAPA SESULIT ITU!? KENAPA!"

Di tengah malam itu Nara berteriak frutasi di bawah guyuran hujan yang memercik sampai ke balkon.

Nara menjatuhkan tubuh polosnya yang hanya dibalut selimut ke lantai balkon yang dingin. Bersamaan dengan angin kencang disertai petir yang menggelegar, ia menangis dan meraung. Mengacak dan menjambak rambutnya kuat-kuat guna menyalurkan kekacauannya.

Kini ia benar-benar berada di titik terendahnya.

"Hiks bunda ... Tolong minta Tuhan untuk ambil nyawa Nara. Nara lelah berada di dunia yang kejam ini. Hiks sangat lelah ...."

.
.

-BERSAMBUNG-

ARGHH NGGAK KUAT AKU NGETIK PART INI😭🖕

Maaf kalo kurang ngefeel😞

Gimana perasaan kalian pas baca part ini?

Selamat buat kalian yang tebakannya benar soal ginjal Nara yang ternyata didonorin ke Felly.

Dan selamat juga untuk kalian yang sudah ketipu sama Genan🤣. Kebanyakan psikopat itu licik, cerdik, genius, susah ditebak dan manipulatif.

SPAM 'NEXT' YANG BANYAK👉

SPAM 'KARMA UNTUK GENAN' 👉

Aku tantang tembusin 500 vote dan 500 komen😌

3950 kata

See u next ♡

Continue Reading

You'll Also Like

14.5M 1.4M 69
"Papaaaaa!!" Sontak mata Damares membulat sempurna saat gadis kecil itu meneriaki nama 'Papa' menatap mata mungil itu. Ranayya menjadi mengingat apa...
1.4M 182K 36
ᴹᵃʳⁱ ᴺᵍᵃᵏᵃᵏ ˢᵃᵐᵖᵃⁱ ᴮᵉⁿᵍᵉᵏ "Diam atau gua sleding!" ujar Libra tegas. Tidak ingin bernasib buruk, Embun diam mematung sambil menunduk. Dia sangat kece...
5.2K 368 50
End✔ "Cewek baik-baik kok ngajak pacaran!"
101K 8.5K 71
Spin Off TRAVMA Kesalahpahaman di masa lalu membuat Darma ingin membalaskan dendam atas kematian sang pacar. Darma pun membentuk geng motor demi memb...