The Island | 00L ✓

By elxamplejn

8.6K 1.4K 162

On this island, run away is easy. The hardest part here is survive. ©elsanursyafira, 2021 More

00. Prologue
01. Begin
02. The island
03. 7-1=6
04. Fvvking invitation
05. Murder
07. Naive
08. The Predator
09. Epilogue

06. Strange

401 108 5
By elxamplejn

"Terus gimana lo mau jelasin ini, Lee Haechan?" Bomin memperlihatkan sebuah pisau di tangannya.

Haechan membelalak, bagaimana bisa pisaunya berada di tangan Bomin?!

Semuanya menatap Haechan seakan meminta penjelasan.

"Ini gue temuin di tas lo dan gue lihat ada noda darah. Ya walaupun cuma sedikit karena mungkin pisaunya udah lo bersihin."

Haechan mengernyit. "Darah? Lo gila?" Teriaknya. "Gue akuin itu pisau gue dan udah jadi kebiasaan gue buat bawa senjata ketika pergi ke tempat-tempat yang menurut gue ngancam nyawa. Tapi gue belum pernah pake pisau itu selama disini!"

Bomin terkekeh geli. "Jadi itu alibi lo? Lo bawa senjata karena ngerasa gak aman? Lo pikir itu masuk akal?"

"Ya logikanya aja lo nyamperin tempat dari orang gak dikenal dengan ancaman dibunuh dan semacamnya, lo yakin gak bakal antisipasi kayak gue?" Tanya Haechan.

"Dan darah di pisaunya? Bisa lo jelasin?" Pertanyaan Jeno menginterupsi.

Haechan meremas rambutnya, dia bisa gila. "Udah gue bilang gue belum pernah pake pisau itu selama disini!" Teriak Haechan tidak sabaran.

"Gak bisa gini, mendingan kita serahin ini sama polisi. Biarin mereka yang investigasi masalah ini." Sambung Haechan.

"Wah, apa-apaan nih? Padahal tadi lo semangat banget nyudutin orang-orang dan ketika lo yang merasa tersudut lo mau lari gitu?" Sindir Bomin.

Haechan mencengkram kerah baju Bomin hingga membuat mereka yang ada disana cukup tersentak.

"Gue ngomong yang sebenernya, anjing. You better shut your fucking mouth." Gertak Haechan.

Bomin tersenyum miring terlihat seperti meledek. "Well, lo gak sadar dengan bertingksh gini lo beneran jadi tersangka utama sekarang, Lee Haechan."

"Mana ada! Kalian tahu kan bukan gue pelakunya?" Tanya Haechan sembari mengedarkan pandangan kepada semua teman-temannya.

Reaksi mereka cukup membuat Haechan kecewa. Tatapan macam apa itu? Kenapa mereka memandang Haechan dengan sinis?

"Gue rasa emang lo pelakunya. Alibi lo lebih gak bisa dibuktikan daripada alibi gue, kan?" Kata Eric meledek.

Haechan sudah siap beralih kepada Eric jika saja tidak dihadang oleh teman-temannya.

"Stop. Menurut gue lo emang mencurigakan." Perkataan Yangyang tadi berhasil menjadi kata-kata terakhir sebelum Haechan memutuskan untuk pergi dari ruangan tempat mereka berada sekarang.

Haechan berjalan menaiki tangga, tujuannya saat ini adalah kamar dan juga telepon genggam miliknya yang tengah diisi daya di kamar.

Yang berusaha dia lakukan adalah menelepon polisi dan kabur. Itu saja. Haechan tidak mau menanggapi hal-hal sialan yang tengah dibicarakan teman-temannya di lantai bawah. Menurutnya itu membuang waktu. Lebih baik dia yang berinisiatif untuk membuat langkah pertama keluar dari pulau sialan ini.

Disisi lain, teman-teman Haechan yang lain terlihat makin gelisah melihat kepergian Haechan. Ayolah, interogasi ini sama sekali tidak membantu keluar dari masalah. Yang ada mereka benar-benar makin kacau sekarang!

"Ini semua gak membantu. Kita kacau banget sekarang." Kata Jeno. Kemudian dia berbalik, bermaksud kembali ke kamarnya. "Ayo, Ric." Ajaknya pada Eric.

Eric mengangguk dan segera mengikuti di belakang Jeno.

Yang lainnya pun seperti Bomin dan Shotaro memutuskan kembali ke kamar. Sepertinya Jeno memang benar. Ini semua tidak membantu. Lebih baik mereka berkemas dan bersiap-siap untuk pulang besok pagi.

Yangyang memijat dahinya pusing. Kenapa keadaan jadi begini? Ini sama sekali tidak ada di agendanya! Akhirnya dia kembali ke kamarnya dengan gelisah.

Hanya tersisa Jaemin dan Soobin sekarang.

Jaemin bahkan belum sempat mencerna semua kejadian yang terjadi, ini benar-benar cukup mengasah otaknya.

"Rokok?" Tawar Soobin sembari memperlihatkan satu bungkus rokok dari dalam saku celananya.

Jaemin tersenyum dan mengangguk. "Mau sambil jalan-jalan?" Tawarnya.

••••

Eric menutup pintu kamar dan menguncinya. Perlu dia akui jika kejadian yang terjadi membuatnya agak parno. Sekarang dia berpikir mungkin jika dia tidak mengunci pintu, mungkin dia yang akan dibunuh selanjutnya.

Saat berbalik badan, Eric mendapati Jeno yang mengisyaratkan untuk jangan berisik dengan jari telunjuk di bibir. Eric mengernyit, dia kan tidak berisik? Bahkan Eric rasa dia belum mengatakan sepatah katapun sejak tiba di kamar.

Jeno mengisyaratkan Eric untuk mendekat.

Eric menuruti dan duduk karpet berhadapan dengan Jeno.

Jeno menghela nafasnya sebelum mulai bercerita, "Lo tahu kan kalo gue percaya sama lo lebih dari gue percaya sama orang tua gue sendiri?" Tanyanya tiba-tiba.

Eric mengangguk. Tentu saja! Pertemanan mereka bahkan sudah terjalin sejak mereka SD dan SMP. Bahkan orang-orang berasumsi jika Jeno dan Eric itu saudara karena terlalu sering bersama.

"Gue gak tahu kenapa lo bawa-bawa nama orang tua buat ngebuktiin kepercayaan lo sama gue, yang jelas, apa yang mau lo omongin?" Tanya Eric.

Jeno membenarkan posisi duduknya dan berkata, "Udah makin jelas kalo temen-temen kita itu gak bisa dipercaya. Pembunuh Felix sama Renjun udah jelas salah satu dari kita." Ujarnya.

Eric mendengarkan dengan serius. Pasalnya memang benar apa kata Jeno, pasti pembunuh itu ada diantara mereka. Toh seperti yang terlihat, tidak ada siapapun di pulau ini selain mereka.

"Dan gue percaya itu bukan lo karena yang pertama gue percaya sama lo dan yang kedua, lo bareng terus sama gue. Gak mungkin lo pelakunya." Lanjut Jeno.

"Gue bersyukur banget lo percaya. Jadi, kita ini satu tim kan?" Tanya Eric.

Jeno mengangguk, "Lo kira kenapa gue cuma ngajak lo kesini dan gak ngajak yang lain?" Tanya Jeno serius.

"Karena lo suka sama gue?"

Pertanyaan Eric tadi sontak berhasil membuat pipi kanannya tertampar oleh telapak tangan dingin milik Jeno. Lagi.

"Gak gitu, setan!" Geram Jeno. "Gue mau ngajak lo kabur dari sini."

Eric yang masih merasa perih dengan pipi kanannya sekarang menatap Jeno tidak percaya. Tunggu dulu, kabur? Eric tidak salah dengar, kan?

"Sebenernya, gue nemu sesuatu di gudang waktu nyari bola volly sama Felix." Sambung Jeno.

Jeno kembali mengingat-ngingat kejadian saat mereka pertama kali sampai di pulau ini. Dia dan Felix sedang berkeliling villa saat itu dan menemukan ruangan, lebih tepatnya gudang penyimpanan.

Seperti gudang pada umumnya, disana hanya terdapat peralatan besi seperti gunting, tang, obeng dan juga ada pemotong rumput bertenaga mesin. Disana juga terdapat banyak kardus-kardus yang diberi tulisan sesuai dengan isi kardus.

Ada yang diberi tulisan 'Books', 'Toys' dan yang menarik perhatian Jeno adalah kardus dengan tulisan 'YG's Stuff'

Saat itu Felix sibuk membuka kardus-kardus yang lain dan sepertinya dia bahkan tidak menyadari keberadaan kardus dengan tulisan YG's stuff yang Jeno temukan di pojok ruangan.

Saat Jeno membuka isi kardus tersebut, terdapat banyak sekali macam barang. Ada buku-buku komik, handphone keluaran tahun 2015, bahkan ada sebuah jam tangan yang sudah tidak berfungsi.

Jeno berpikir mungkin barang-barang ini adalah kepunyaan Chenle saat dia sedang menetap di pulau ini. Ya, setidaknya itulah yang dia pikirkan sebelum menemukan sebuah akta tanah di antara buku-buku komik.

Kenapa orang-orang sangat ceroboh dengan menaruh dokumen penting seperti ini di gudang? Terlebih di dalam sebuah kotak kardus berisikan barang-barang lama.

Jeno mengambil akta tersebut dan membukanya. Dia sudah berpikir pasti terdapat nama Chenle di dalamnya, secara kan ini pulau yang dihadiahkan orang tuanya.

Ternyata, alih-alih mendapatkan nama Chenle, dia justru mendapatkan nama yang lain. Nama yang familiar.

Liu Yangyang.

Itulah nama yang tercantum dalam akta tanah tersebut.

Yangyang? Apakah ini Yangyang yang sama dengan yang Jeno kenal? Tapi bukankah Yangyang sendiri bilang jika pulau ini adalah kepunyaan Chenle?

"Tunggu dulu. Jadi maksud lo pelakunya itu Yangyang karena akta tanah pulau ini atas nama dia?" Eric mencoba memproses cerita Jeno yang panjang lebar.

Jeno menghela nafas kembali, "Awalnya gue gak curiga. Kalo ini liburan biasa, gue bakal kira dia cuma mau rendah hati aja dengan bilang pulau ini bukan punya dia."

Eric tiba-tiba tersentak bagaikan tersambar petir, "Tapi yang ngarahin kita kesini adalah orang yang ngirim kita undangan ancaman itu, kan? Jadi, bisa jadi kalo Yangyang itu orang yang ngirim kita undangan?"

Jeno mengangguk, "Yangyang juga jago IT, dia bahkan bisa ngehack akun selebritis, inget?"

Eric masih terbelalak, "Jadi, ini masuk akal kalo dia bisa ngirim kita pesan lewat handphone tanpa perlu ngetik pesan."

"Semuanya belum jelas. Tapi yang penting, kita berdua sadar kan sama situasinya? Kita gak bisa percaya temen-temen kita lagi." Ujar Jeno.

Eric sebenarnya masih terkejut dengan fakta yang terjadi. Walaupun dugaan dia dan Jeno tentang Yangyang masih belum bisa dikonfirmasi, tetapi ini tidak merubah fakta bahwa memang teman-temannya benar-benar berubah saat berada di pulau ini.

Dimulai dari Renjun. Eric akui Renjun memang tipikal orang yang sangat cerewet tapi dia tidak pernah berpikir jika Renjun bisa mengucapkan kata-kata tajam pada Jaemin dan Soobin waktu itu.

Dan juga Haechan. Orang yang sangat menyenangkan dan kadang menyebalkan itu juga berubah menjadi egois. Dia bahkan mempertanyakan kebenaran alibi Eric tadi. Sepertinya pertemanan mereka masih kurang untuk saling mempercayai.

"Eric!" Teriakan Jeno berhasil mengembalikan jiwa Eric pada badannya. Astaga, apakah Eric baru saja melamun?

"Lo ngerti kan?" Tanya Jeno sekali lagi.

Eric mengangguk, "Jadi, apa rencana lo?"

"Kita kabur dari sini. Yangyang bilang kalo dia udah ngehubungin yang punya kapal buat jemput kita kan? Setelah semua yang terjadi, gue gak percaya. Bisa aja dia boong." Ujar Jeno.

"Karena itu rencananya kita hubungin kapal yang lain buat jemput kita dan kita juga harus lapor polisi. Kalo kita bilang ada pembunuhan, itu artinya polisi juga bakal cepet-cepet dateng." Sambung Jeno. "Tapi, kita gak bisa nunggu disini. Seenggaknya kita harus keluar dari villa ini kalo mau pulang ke Seoul hidup-hidup."

Eric mengangguk setuju, "Gue percaya sama lo. Ayo kita kabur dari pulau sialan ini."

Jeno mengangguk mantap, "Kemasin barang-barang lo. Ini baru pukul setengah sebelas, kita harus nunggu sekitar dua jam setengah lagi buat bisa keluar. Jam satu pagi pasti semuanya udah istirahat."

•••

Bomin terlihat menuruni anak tangga dengan wajah datar. Yang memang sih dia jarang tersenyum, Bomin bukan tipikal orang yang emosinya bisa terbaca dari ekspresi wajah. Bahkan teman-temannya saja kesulitan mengetahui perasaan Bomin.

Ah, berbicara tentang teman-teman, sebenarnya Bomin sedang gelisah setengah mati. Hal ini dikarenakan salah satu teman sekamarnya. Lee Haechan.

Bomin yakin sekali jika Haechan itu pengkhianat disini. Jika bukan, kenapa pula dia membawa pisau sialan itu di tasnya? Alasan keselamatan? Omong kosong! Bukankah mereka datang ke pulau ini karena memang tidak percaya dengan undangan berisi ancaman itu?

Suasana di kamarnya sekitar satu jam yang lalu cukup canggung. Baik Bomin atau Haechan keduanya tidak ada yang ingin memulai percakapan dan alhasil Shotaro yang menjadi penengah diantara keduanya.

Bomin tidak nyaman berada di dekat-dekat Haechan, apalagi setelah interogasi tadi, sangat besar kemungkinannya jika Bomin mengincar Haechan sebagai target selanjutnya.

Karena itu dia memutuskan untuk turun ke bawah. Entahlah, mungkin dia bisa tidur di sofa atau meminta Yangyang untuk berbagi kamar dengannya untuk beberapa jam lagi, toh besok pagi mereka akan kembali ke Seoul.

Langkah Bomin tiba-tiba berhenti tepat di anak tangga paling bawah. Matanya terfokus pada sudut kanan atasnya, lebih tepatnya pada benda berbentuk tabung yang menempel pada dinding menuju lantai atas.

Itu adalah CCTV!

Tunggu dulu, apa hanya Bomin yang baru menyadari keberadaan CCTV di villa ini? Bahkan ukurannya terlalu kecil untuk sebuah CCTV dan lagi warnanya yang sama dengan tembok.

Sudahlah, itu tidak penting. Yang penting adalah sekarang sepertinya dia akan segera tahu pembunuh Felix dan Renjun! Itu artinya ini bisa menjadi barang bukti yang kuat.

Tanpa berpikir panjang Bomin langsung menuju ke kamar Yangyang. Dia yang punya kendali atas villa ini, Bomin berpikir pasti dia juga punya kendali atas CCTV itu.

Setelah mengetuk pintu dengan tidak sabar, akhirnya Yangyang muncul dengan wajah datar. Bomin berpikir mungkin Yangyang kesal karena Bomin mengganggu waktu tidurnya.

"Sorry ganggu tapi gue akses buat lihat kamera CCTV." Ujar Bomin langsung pada intinya.

Yangyang mengernyit, "Kamera CCTV apa sih? Udah gue bilang villa ini gak ada kamera CCTV." Ketusnya.

Bomin menunjuk pada sudut tempat CCTV berada.

Entah kenapa Yangyang terlihat sangat terkejut dan tiba-tiba wajahnya menjadi pucat pasi. Bisa Bomin lihat jika Yangyang ketakutan.

Bomin menghela nafas, "Lo udah lihat rekaman CCTVnya, kan?" Tanya Bomin.

Yangyang tersentak, "Hah? Oh itu..."

Bomin menepuk pundak Yangyang, "Kita ada di tim yang sama, lo gak usah takut sama pelakunya. Gue bisa jaga rahasia, lo gak harus nanggung beban ini sendirian." Ujar Bomin.

Yangyang tersenyum, "Lo bener, makasih." Katanya. "Lo mau lihat rekaman CCTVnya, kan? Yuk ikut gue." Yangyang menutup pintu kamarnya dan mendahului Bomin menuju ke belakang.

Bomin mengikuti langkah Yangyang. Dalam hati dia yakin sekali jika rekaman yang akan dia lihat nanti akan menampilkan sosok Lee Haechan. Dia yakin seratus persen.

Langkah mereka akhirnya sampai di depan pintu gudang. Sejujurnya Bomin agak gentar untuk masuk. Di dalam ada mayat Felix yang mereka simpan, itu masih cukup membuatnya trauma.

Yangyang memperhatikan gerak-gerik Bomin, "Kalo lo ngerasa gak siap gak apa-apa, gue bisa nanggung bebannya sendiri, kok." Ucapnya.

Bomin menggeleng, "Gak. Seenggaknya gue perlu tahu siapa yang ngelakuin ini sama kita." Bomin memantapkan dirinya.

Yangyang tersenyum miring dan membukakan pintu gudang.

Setelah mengumpulkan keberanian, Bomin masuk ke dalam gudang.

Seperti gudang pada umumnya, tidak ada hal-hal baru. Hanya ada perkakas, kardus-kardus dan juga mayat Felix yang ditutupi kain putih.

Masalahnya Bomin tidak melihat monitor komputer atau semacamnya disini. Walaupun dia tidak terlalu mengerti hal-hal seperti itu tapi dia cukup yakin jika monitor diperlukan untuk melihat rekaman CCTV, kan?

Bomin berbalik, bermaksud menanyakan hal ini pada Yangyang. "Ini kita lihat rekamannyaㅡ" belum selesai Bomin menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba dia merasakan benda tajam menembus lehernya.

Bomin menatap ke arah Yangyang atau lebih tepatnya orang yang menikamnya dengan pisau dapur. Tatapannya sangat dingin, bahkan dia tidak menunjukan empatinya saat Bomin sulit bernafas.

Bomin hanya menatap Yangyang, tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi pada dirinya.

Yangyang tersenyum sinis, "Lo lucu banget. Lo pikir gue udah lihat rekaman CCTV dan udah tahu siapa pelakunya tapi gue mutusin buat diem karena takut jadi target berikutnya? Gue aja gak mikir sampe sana, Min."

Yangyang mencabut pisau dari leher Bomin. Hal ini mengakibatkan darah keluar deras dari lehernya.

Bomin kesulitan bernafas dan berbicara. Yang dia rasakan hanya perih dan panas pada bagian lehernya.

Sebaliknya Yangyang hanya menatap Bomin datar tanpa ekspresi. "Nikmatin kematian pelan-pelan lo, Bomin. Karena gue juga bakal ikut nikmatin." Yangyang menggeser kursi yang ada di gudang dan benar-benar menonton Bomin.

Bomin menggeram dalam hatinya. Dia marah tentu saja. Tapi sekarang dia bisa apa? Bahkan untuk sekedar berteriak saja dia tidak mampu.

Ini adalah akhirnya. Dia akan mati di pulau ini.

The Island

Continue Reading

You'll Also Like

298K 22.9K 104
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
116K 10.2K 21
"DISINI SENANG DI SANA SENANG DIMANA MANA HETTY KOES ENDANG!"
124K 9.9K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
223K 33.5K 61
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...