Silence Of Tears (TERBIT)

By bunnylovv

3.8M 304K 29.7K

📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis denga... More

PROLOG
| Part 1 | Iblis
[ Part 2 ] Gagal
| Part 3 | Terungkap
[ Part 4 ] Dia Kembali
| Part 5 | Pertemuan
| Part 6 | Kemurkaan Kevan
[ Part 7 ] Dia lagi?
[ Part 8 ] Rumah Mama
[ Part 9 ] Mereka Tahu
[ Part 10 ] Pengungkapan Nara
[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah
[ Part 12 ] Married
[ Part 13 ] Satu Kamar
[ Part 14 ] Alexa Graceva
[ Part 15 ] Taruhan
[ Part 16 ] Rahasia Genan
[ Part 17 ] Hasrat Membunuh
[ Part 18 ] Cuek
[ Part 19 ] Ancaman
[ Part 20 ] Tuduhan
[ Part 21] Insiden Kolam Renang
[ Part 22 ] Pengungkapan Alexa
[ Part 23 ] Rindu Bunda
[ Part 24 ] Kecewa
[ Part 25 ] Luka Bagi Kevan
[ Part 26 ] Sisi Gelap Genan
[ Part 27 ] Bukan Tuduhan
[ Part 28 ] Pindah
[ Part 29 ] Teman?
[ Part 30 ] Kembali
[ Part 31 ] Peduli
[ Part 32] Ngidam
[ Part 33] Kesempatan
[ Part 34] Luka dan Masa Kelam
[ Part 35 ] Perhatian
[ Part 36 ] Kepulangan
[ Part 38 ] Titik Terendah
[ Part 39 ] Selamat Tinggal
[ Part 40 ] Karena Dia
[ Part 41 ] Terbukti
[ Part 42 ] Maaf
[ Part 43 ] Deynal's Dream
[ Part 44 ] Harapan
[ Part 45 ] Hancurnya Genan
🌹VOTE COVER🌹
OPEN PRE ORDER
EXTRA CHAP
EXTRA CHAP 2
GIVE AWAY!
CERITA BARU | SEQUEL

[ Part 37 ] Malam Tragis

70.1K 6.2K 642
By bunnylovv

Jangan lupa kasih voment😉. Tandai typo jugak.

Judulnya bikin overthinking. Siapkan mental baca part ini😌

Harus ramein part ini. Aku update ini pas kuota lagi sekarat😭.

VOTE, KOMEN, FOLLOW, DAN SHARE!

|🌹HAPPY READING🌹|

.
.

"Lagi-lagi Kau ambil kebahagiaanku, Tuhan."
-Keynara Zhivanna-



"Ra, sudah hampir satu minggu kamu tinggal di sini. Kamu nggak kasihan sama suamimu?"

Ucapan Diandra seketika membuat Nara menoleh sekilas, lalu kembali fokus menyirami bunga bersama sang Bunda di sampingnya. "Udah izin, kok, Bun. Lagian belum satu minggu, baru lima hari. Nara masih kangen Bunda sama Kak Dey," balasnya.

"Bunda juga masih pengen habisin waktu sama kamu sebelum pergi," timpal Diandra masih asik menyiram bunga.

Pergi? Nara tersenyum miris mendengarnya. Dalam sejenak, perempuan itu terdiam sebelum akhirnya ia menyadari ada yang aneh dengan ucapan Bundanya.

"Pergi ke mana, Bun?"

"Maksud Bunda, kamu setelah ini pasti pergi dari sini, kan? Kamu punya suami, kasihan kalau ditinggal lama-lama. Nanti Genan kangen," balasnya tergigi.

Nara tertawa kecil. Mendengar kalimat terakhir itu Nara terpikir apakah Genan merindukannya selama dia tidak bersamanya? Sepertinya tidak. Justru Nara sendiri yang merindukan lelaki itu. Ia juga tak tahu mengapa akhir-akhir selalu memikirkan Genan, setiap dekat dengan cowok itu jantungnya akan berdegup kencang, lalu rasa nyaman akan menyelimutinya.

Tanpa disadari olehnya, sebenarnya Nara sudah menaruh rasa pada Genan. Nara berusaha keras mengelak akan hal itu, karena dia takut akan merasa sakit hati jikalau tahu sikap Genan selama ini ada maksud terselubung. Tapi apalah daya, perasaan itu muncul begitu saja.

'Kok gue kangen Genan, sih,' batin Nara seraya menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan sosok Genan pada pikirannya.

"Sudah, Ra, kita istirahat."

Nara mengangguk singkat. Setelah selesai dengan kegiatan menyiram, mereka memutuskan istirahat di gazebo samping rumah.

Sementara Diandra mengambil minum untuk meredakan dahaga, Nara memilih duduk terlebih dahulu sembari menikmati embusan angin yang menerpa wajahnya pelan.

Lima hari ini, hari-harinya cukup menenangkan karena tidak diusik oleh Felly. Semenjak kejadian di mana Deynal memarahinya kala itu, Felly lebih memilih diam. Begitupun dengan Liam yang bersikap cuek padanya. Padahal dalam lubuk hati Nara, ia ingin menghabiskan waktunya bersama saudara perempuan dan ayahnya. Tapi hal itu hanya akan menjadi kata 'seandainya' karena mengingat sikap mereka.

Ingin sekali ia memiliki keluarga yang harmonis. Ayahnya yang menyayanginya, dan Felly yang mau menganggapnya sebagai saudara. Entah kapan keinginan itu akan terkabul. Tapi Nara selalu berdoa, sikap mereka akan berubah sebelum dia pergi suatu saat nanti.

Terutama Liam, Nara sangat ingin suatu hari nanti Liam akan memberinya pelukan hangat dan mengatakan bahwa dia menyayanginya.

Nara mengalihkan pandangannya pada Diandra yang kini berjalan ke arahnya diikuti oleh Deynal di belakang.

"Ra, nanti sore mau jalan-jalan?" tawar Deynal selepas duduk di samping adiknya.

Nara jelas berbinar mendengarnya. Selama ini ia jarang sekali membuat momen bersama sang kakak. Mendengar tawaran itu tentu membuat Nara sontak menerimanya dengan anggukan dan senyuman lebar.

"Boleh, kan, Bun?" tanya Nara.

"Boleh. Tapi jangan sampai kecapean," balasnya, lalu beralih menatap sang putra. "Inget, Dey, Nara itu lagi hamil. Nanti hati-hati, ya. Jagain adik kamu."

"Siap, Bunda," timpal Deynal seraya menghormat.


•••


Nara yang sudah bersiap dibuat mendelik kaget saat keluar rumah ia mendapati Deynal sudah bertengger di motor. Nara mengernyit karena merasa asing dengan motor yang ditunggangi kakaknya itu. Pasalnya Deynal hanya memiliki motor sport dan itu pun jarang sekali digunakan, cowok itu juga tidak ada wacana membeli motor baru.

"Itu motor siapa, Kak?"

"Motor Kenzo," singkatnya.

Deynal sengaja meminjam salah satu koleksi motor antik milik Kenzo. Karena Deynal pikir tidak mungkin dia membawa Nara jalan-jalan dengan motor sport miliknya. Takut jika Nara kesusahan nanti.

"Buruan naik."

Tersenyum lebar, Nara melangkah lalu bersiap menaiki motor itu dengan mudah. Setelah naik, ia langsung melingkarkan tangannya pada perut Deynal dan menyandarkan kepalanya pada punggungnya.

"Udah pamit sama Bunda?"

"Udah."

Deynal mengangguk singkat lalu mulai melajukan motor itu keluar dari pekarangan rumah.

Cuaca sore ini sangat mendukung, tidak terik juga tidak mendung. Di jalanan yang lengang itu Nara tak henti-hentinya mengukir senyum sembari menikmati embusan angin yang menerpa wajahnya. Entah ke mana Deynal akan membawanya, yang pasti ia sangat menikmati perjalanan ini karena tidak ada kemacetan.

Deynal sengaja melajukan motornya dengan kecepatan sedang supaya dia bisa menikmati momen ini. Senyuman hangat terukir di wajah dinginnya saat melirik ke spion ia melihat wajah Nara yang berseri. Percayalah, raut wajah seperti itu sangat jarang Nara tunjukkan.

"Kakak! Nara bahagia! Terimakasih!" teriak Nara seraya mengangkat satu tangannya ke udara.

Deynal tertawa mendengarnya. Lihatlah, ia hanya mengajak adiknya berkeliling seperti ini Nara sudah sangat bahagia. Kebahagian Nara tidak muluk-muluk. Sangat simpel, hanya menikmati waktu bersama orang tersayang sudah mampu membuatnya bahagia dan bersyukur.

"Pegangan yang erat, Ra!" suruhnya kerena Nara masih mengangkat tinggi - tinggi tangannya.

Nara memergik kaget, lalu mendekap punggung Deynal erat. Lagi-lagi senyuman hangat terukir, sangat nyaman berada di pelukan laki-laki yang selalu mempedulikannya itu.

"Kak, berhenti!" Nara mendadak berteriak seraya menepuk punggung kakaknya.

Deynal tersentak, tapi tak ayal ia menuruti Nara dan menepikan motornya.

"Kenapa?"

"Mau itu ...," telunjuk Nara tertuju pada pedagang kelapa muda di pinggir jalan. Melihat itu Nara mendadak teringat dengan Genan.

"Tunggu di sini. Biar gue yang beli," putus Deynal lalu mulai menyebrang untuk membeli sesuatu yang Nara inginkan itu.

Nara mengangguk. Tak berselang lama Deynal datang kembali dengan dua buah kelapa muda yang sudah dikupas ujungnya dan siap untuk dinikmati.

"Mau diminum sekarang atau nanti pas sampe di tempat tujuan?"

"Emangnya kita mau ke mana?" tanya Nara seraya mengambil alih satu kelapa dari tangan Deynal.

"Ke tempat favorit lo."

Nara mengerjapkan matanya pelan, "pantai?"

Deynal mengangguk dengan senyum tipis. Mengusak pelan puncuk kepala Nara lalu bersiap menaiki motor lagi.

Nara mengangguk senang. Sejak dulu dia memang suka pantai, apalagi saat sore hari, semburat kemerahan akan menghiasi langit dan tampak indah jika dilihat sembari menikmati embusan angin pantai.

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Mengenai pantai, Nara mendadak teringat dengan Genan yang saat itu rela menuruti ngidamnya di tengah malam. Menggelengkan kepalanya pelan, Nara berusaha melupakan sosok Genan dari pikirannya. Sedari tadi selalu sosok itu yang Nara pikirkan.

Sesampainya di pantai, mereka langsung mencari tempat duduk untuk menikmati senja sembari minum kelapa muda.

Nara berdiri menghadap laut, sepasang netranya terlihat berbinar menatap pada langit jingga yang begitu indah. Perempuan itu merentangkan tangannya sembari menikmati embusan angin laut yang menyejukkan.

Tak berselang lama, dia justru mencebik sebal. Kenapa di saat ia ingin menikmati waktu bersama sang kakak, justru Genan yang terus berada di pikirannya.

"Kok gue mikirin Genan terus, sih!" gumamnya pelan, lalu menunduk pada perutnya. "Adek kangen sama Ayah?" tanyanya pada sang anak.

Ada perasaan aneh saat Nara mengucapkan kalimat terakhir itu.

Nara sendiri yakin, sejak kemarin ia selalu memikirkan Genan mungkin juga karena sang anak.

"Ra, kenapa?" Nara tersentak saat Deynal menepuk bahunya.

"Ish, ngagetin!"

Deynal tertawa lalu mengajak Nara duduk. Mereka pun kembali menikmati waktu sore ini. Di bawah senja sore yang menyorot begitu indah, Nara mengeluarkan segala keluh kesahnya pada sang kakak. Bercerita mengenai banyak hal yang membuat hari-harinya terasa berat dan semua hal yang ia lalui selama ini.

Meski Nara sudah mempunyai Mauren sebagai teman berkeluh kesah, tapi baginya Deynal adalah tempat berkeluh kesah terbaik. Tempatnya menumpahkan segala hal yang ingin ia ceritakan. Laki-laki itu akan mendengarnya dengan baik, memberi sedikit nasihat dan menyemangatinya.

•••

Malam ini saudara kembar itu memutuskan untuk bertemu guna membicarakan suatu hal. Saat ini Kevan dan Genan sedang berada di club.

Mereka memilih duduk di sofa pojok dengan minuman alkohol sudah tersedia di meja. Bukan Kevan yang memesannya, melainkan Genan. Setelah Kevan pikir, kesehatannya semakin menurun, dia tak mau semakin membuatnya tersiksa dengan minum minuman beralkohol yang bisa berpengaruh untuk kesehatannya.

Malam ini Kevan yang mengajak bertemu, lebih tepatnya memaksa. Karena Genan cukup sulit untuk dibujuk.

Kevan berniat ingin memperbaiki hubungan persaudaraannya dengan Genan karena mengingat pesan terakhir sang Mamah sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Sebuah pesan yang berisi bahwa mereka sebagai saudara kembar harus saling menjaga dan menyayangi setelah kepergian sang mamah.

Setelah Kevan merenungi lebih dalam, hubungan keduanya semakin merenggang semenjak tuduhan mengenai hamilnya Nara yang ia tujukan pada Genan.

"Setelah pulang ke Indonesia, lo tinggal di mana?" tanya Kevan langsung ke topik.

"Penting gue jawab?"

"Penting! Ini ada hubunganya sama Nara."

Genan mendelik kaget, tak paham dengan maksud Kevan. Mengapa cowok itu membawa nama Nara segala?

"Apartemen," singkatnya seraya menggoyangkan pelan gelas yang berisi minuman alkohol.

"Selama ini hubungan kita semakin merenggang karena Nara yang bilang kalau lo hamilin dia. Dan lo mikirnya gue ngancem dia untuk mengakui kalo lo itu pelakunya. Padahal ... gue nggak pernah nyuruh dia untuk bilang 'Genan' waktu itu," jelas Kevan.

Genan terdiam sejenak, mencerna kata-kata Kevan sebelum ia meletakkan gelasnya hingga terdengar bunyi hentakan. "Nggak usah bertele-tele."

Lagi-lagi Kevan mendengkus sebal, "waktu itu Nara yang bilang sendiri, Nan. Gue nggak pernah nyuruh dia untuk nyebut nama lo," tegasnya.

"Jadi, mak-"

"Gue nggak pernah nidurin Nara. Selama ini dia mungkin bilang jujur soal-"

"Nggak ada buktinya!" selanya.

Kevan mencoba sabar kali ini. Kalau ia emosi, sakitnya jantungnya bisa saja kambuh mendadak. "Apa Nara pernah bilang sesuatu ke lo soal siapa ayah dari anak yang dia kandung?"

Genan terdiam. Pikirannya tertuju saat Nara mengungkapkan hal yang membuatnya terkejut saat itu. Pengungkapan yang mengatakan bahwa selama ini Nara mengandung anaknya, bukan anak Kevan.

"Pernah. Dia bilang itu anak gue."

Bola mata Kevan membola. Jadi Nara sendiri sudah mengungkapkan hal sebenarnya pada Genan? Kini seratus persen Kevan yakin bahwa malam itu yang ia tiduri bukan Nara melainkan Alexa. Berarti anak yang dikandung Alexa itu anaknya?

"Tapi gue nggak percaya," lanjutnya seraya tertawa sinis.

Kevan menatap bingung pada kembarannya itu. Terdiam sejenak, ia mencoba mencerna kalimat itu? Genan tak percaya bahwa itu anaknya, berarti Genan juga masih menganggapnya sebagai penuduh?

"Lo sama sekali nggak ingat apa yang udah lo lakuin setelah pulang dari Amerika?" tanya Kevan, mengintimidasi.

"Coba inget-inget, Nan! Setelah pulang ke Indonesia, lo pasti pernah nidurin cewek, kan?" imbuhnya. "Dan gue yakin, cewek itu pasti Nara!"

Genan lagi-lagi menghentakkan gelas minumnya, dengan tatapan dingin ia menatap tajam pada saudara kembarnya. "Gue nggak inget! Dan gue ngerasa nggak pernah nidurin cewek apalagi Nara! Stop nanya hal nggak penting itu ke gue. Buat apa? Lo berniat nyari bukti? Nggak perlu!" sentaknya.

"Nara bukan urusan lo lagi. Mau lo tetep kekeh bilang lo nggak pernah hamilin dia, gue nggak akan percaya! Cewek itu ... udah jadi mainan gue sejak awal. Jangan pernah usik hidup gue, urus sendiri diri lo yang penyakitan itu!"

Kevan menggeram marah, tangannya terkepal erat menahan agar tak melayangkan pukulan pada sang kembaran. "Gue cuma pengen meluruskan kesalahpahaman ini, Nan! Sampai kapan kita gini terus? Gue udah nggak punya siapa-siapa selain lo yang masih punya hubungan darah sama gue!"

"Apa selama ini lo nggak pernah ingin berdamai? Sampai kapan hubungan persaudaraan kita terus begini?" lanjut Kevan lebih lirih.

Genan yang hatinya sudah membeku dan diselimuti kebencian, tak mengindahkan ucapan Kevan. Dengan raut wajah tak bersahabat, cowok itu berdiri dari sofa. Lalu beranjak pergi meninggalkan Kevan yang geram.

•••

Wanita yang tengah hamil muda itu membuka matanya perlahan. Dia menyipit melirik ke arah jam di nakas yang menunjukkan pukul 00.10 tengah malam.

Nara menghela napas, lalu beranjak dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Tiba-tiba ia ingin minum jus wortel di tengah malam ini. Padahal selama ini ia tak suka dengan sayur berwarna oranye itu, apalagi dibuat jus.

Nara menuruni anak tangga dengan mata yang sedikit mengantuk. Tapi ia memaksakan dirinya untuk membuat jus karena dia benar-benar menginginkannya.

Sesampainya di dapur, wanita itu langsung melakukan kegiatannya. Yang awalnya kedua matanya terasa berat dan mengantuk, kini mendadak terbuka lebar. Dengan hati yang senang Nara pun membuat minuman yang ia inginkan ralat yang anaknya inginkan.

Prang!

"Awh!"

Nara memergik kaget saat mendengar suara sesuatu yang pecah dari ruang tengah. Hal itu membuatnya terkejut hingga tangannya terluka karena tergores pisau saat ia sedang memotong wortel menjadi beberapa bagian.

Nara meniup lukanya, lalu membersihkan darahnya di wastafel. Setelah itu dia berjalan mencari ke sumber suara. Entah suara pecahan apa itu, mungkin jendela atau guci? Tapi kenapa tiba-tiba pecah?

Berjalan mengendap-ngendap, napasnya tertahan saat netranya mendapati segerombolan orang berpakaian serba hitam dengan topeng menutupi wajahnya. Terhitung jumlah mereka empat orang. Masing - masing dari mereka membawa senjata, membuat Nara semakin dibuat panik.

Nara menyembunyikan tubuhnya di balik tembok saat salah satu perampok melirik ke arahnya. Perempuan itu terlihat panik, ia menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya berharap agar embusan napasnya yang menderu tak didengar oleh mereka.

Keringat dingin menyusuri pelipis dan membasahi anak rambutnya. Nara benar-benar panik. Apa yang harus ia lakukan? Apakah harus tetap diam bersembunyi di sini? Tapi bagaimana jika mereka melakukan hal buruk pada keluarganya?

"Aaaa!" Nara memekik saat salah satu perampok berhasil menemukannya.

Perampok itu tersenyum miring di balik topengnya, lalu menarik secara kasar tangan Nara. Jelas, Nara memberontak hingga membuat pergelangan tangannya memerah.

"Lepas! Siapa kalian!?" teriaknya saat kini ia dipaksa duduk dan mereka mengikat tubuhnya dengan tali yang dililitkan pada kursi.

Perempuan itu berteriak kencang, berharap agar keluarganya bangun. Kepanikan Nara kini bertambah saat perampok itu mengikat tubuhnya terlalu erat hingga menekan perutnya. Dia terus berusaha berontak, tapi tak cukup tenaga.

"Akh! Lepasin ikatan tali ini dari perutku!" racaunya. "Awh! Please jangan sakiti anakku. Jangan! Kalian terlalu erat mengikat bagian perutku!"

Plak!

"Diam, sialan! Teriakanmu bisa membangunkan keluargamu yang tengah tertidur nyenyak."

Nara meringis nyeri saat pipinya ditampar keras. Airmata tak bisa ia tahan lagi, kini ketakutan benar-benar melandanya. Perutnya benar-benar terasa kram karena mereka mengikatnya begitu erat.

Kepala Nara menggeleng lemah dengan airmata berderai saat perampok itu hendak melakban mulutnya. Tapi apalah daya, justru ia mendapat jambakan kasar pada rambutnya, dan perampok itu lalu melakban mulutnya dengan kasar.

"Emmphh," dengan kondisi tubuh terikat erat dan mulut yang dilakban, pekikan Nara seolah tertahan.

Ia terus menggeleng kuat dengan airmata yang meluruh deras. Apakah hidupnya akan berakhir seperti ini? Nara tidak mau! Masih ada keinginan yang belum terkabul. Nara masih ingin hidup, ia memiliki keinginan kuat untuk melihat anaknya sebelum dia benar-benar pergi nanti.

Para perampok itu kini memencar ke seluruh penjuru rumah untuk mengais harta mereka. Tersisa satu yang berdiri di samping Nara.

'Tuhan ... kumohon. Jangan akhiri hidupku seperti ini. Aku belum menemukan kebahagiaan' batinnya lirih.

Pria bertubuh besar itu menatap Nara dibalik topengnya, mendekat lalu mencengkeram dagunya dengan kasar. "Jangan coba-coba melepaskan diri, atau aku akan membunuhmu," ancamnya sebelum dia berjalan ke toilet.

Masuknya perampok itu ke toilet, membuat Nara memiliki peluang untuk melepas ikatannya. Cukup sulit untuk melepasnya, setidaknya ia ingin membuatnya mengendur, apalagi di bagian perut.

"Nara ...."

Matanya membelak mendengar suara yang terdengar seperti bisikan itu. Dengan gerakan kaku, kepalanya menoleh dan mendapati sang Bunda kini berjalan ke arahnya.

Sebenarnya Diandra juga ke dapur tadi. Dia dikejutkan dengan keberadaan Nara di sana yang akan membuat jus. Wanita itu hendak menghampiri putrinya, tapi ia urungkan saat terdengar bunyi benda yang pecah.

Diandra hendak mengecek, tapi lagi-lagi dia urungkan saat empat pria berhasil masuk. Dia langsung bersembunyi di bawah tangga karena takut perampok itu melihatnya.

Beberapa saat Diandra tetap bersembunyi seraya menahan napasnya. Perasaan takut semakin besar saat ia sadar perampok itu berhasil menangkap Nara dan mengikatnya. Diandra juga mendengar teriakan dan isakan pilu putrinya itu.

Setelah para perampok berpencar, Diandra keluar dari persembunyian dan menghampiri Nara.

"Tenang, Bunda di sini," katanya pelan, nyaris seperti bisikan.

Diandra dengan hati-hati mengambil pisau dan memotong tali yang mengikat kuat tubuh putrinya. Ia ikut meringis melihat Nara yang tampak kesakitan karena bagian perutnya terikat begitu kencang.

Dengan tangan gemetar, Diandra berusaha melepas ikatan itu. Lakban yang menutup mulut Nara sudah ia lepas tadi. Diandra juga menyadari putrinya tengah menahan untuk tidak terisak dengan menggigit bibir bawahnya bahkan sampai berdarah.

"HEI!"

Keduanya membelak saat mendengar suara teriakan yang menggelar itu. Salah satu perampok sudah kembali dan kini tengah berjalan ke arah mereka seraya mengacungkan pistolnya.

"Beraninya kau! Apa kau menyerahkan nyawamu sendiri!?" bentak sang perampok dengan pistol tertuju pada Diandra.

Diandra membeku, kegiatan tangannya yang tengah berusaha melepas ikatan di tubuh Nara juga sontak berhenti saat ujung pistol mengarah tepat pada kepalanya dalam jarak satu jengkal.

Bugh!

"Arghh!"

Kaki Nara yang sudah terlepas dari ikatannya ia tendangkan pada bagian inti pria itu dengan keras hingga membuatnya mengerang kesakitan. Pria itu mundur beberapa langkah seraya memegang selangkangannya yang berdenyut.

"Bu-bunda ...."

Atensi Nara kemudian tertuju pada Diandra yang kini membantunya lepas. Tanpa disadarinya sang perampok terlihat semakin marah. Dia berdiri, mengacungkan pistolnya ke arah Nara dan bersiap menekan pelatuknya.


DOR!

DOR!


Senyum tipis terukir di bibirnya, airmata meluruh seiring ia menahan rasa sakit dan panas akibat peluru yang berhasil menembus tubuhnya.

Dengan tubuh yang hampir limbung, wanita itu berujar lirih, "Bu-bunda sa-yang Na-nara ...."

Tubuh Nara membeku dalam pelukan bundanya yang kini mulai mengendur setelah mengatakan sederet kalimat itu.

Seharusnya peluru itu mengenai Nara, tapi Diandra dengan sigap melindungi tubuh putrinya dengan memeluknya erat. Alhasil peluru itu justru mengenai dirinya.

Tanpa diminta, buliran bening mengalir pada kedua mata indah Nara. Suara desingan peluru masih terekam jelas di telinganya. Seiring dengan pelukan bundanya yang mulai melemas dan ambruk, Nara ikut bersimpuh menatap pilu tubuh lemah Diandra yang napasnya mulai tersendat.

"Bunda! Hiks, Bunda nggak boleh pergi! Bunda bangun!" racaunya seraya mengguncang tubuh Diandra yang bersimbah darah.

Nara menatap nanar telapak tangannya yang kini dipenuhi cairan kental berwarna merah pekat. Ia kembali memeluk sang Bunda dan menangis tersedu. Meraung memanggil sang bunda yang kini sudah menutup matanya.

"Arghh! Bunda! Jangan pergi hiks! Maafin Nara, maaf. Bunda bangun!"

Semuanya terjadi begitu cepat saat peluru itu sudah menghantam punggung Diandra hingga darahnya memercik ke lantai dan bajunya. Menyadari sang bunda rela menaruhkan nyawanya demi melindunginya membuat Nara semakin sesak dan kembali menangis tersedu.


Nara merengkuh tubuh Diandra erat, tak peduli pada banyaknya darah yang mengotori pakaiannya. Perempuan itu menangis deras hingga membuat napasnya tersendat.

Bahkan Nara seolah lupa bahwa sang perampok masih berdiri tak jauh darinya dengan pistol juga terarah padanya.

DOR!

Mata Nara terpejam saat suara tembakan dan desingan peluru kembali menggema. Kali ini suara itu bukan berasal dari pistol milik perampok, melainkan dari salah seorang polisi yang menembak kaki perampok itu.

"ANGKAT TANGAN!"

Suara itu membuat Nara seketika menoleh. Segerombolan polisi memasuki rumahnya dan langsung menangkap perampok tadi. Sedangkan yang lainnya menaiki tangga untuk mencari perampok yang lain.

Beberapa saat kemudian, Liam, Deynal, dan Felly berlari menuruni tangga. Wajah Liam tampak babak belur, begitupun dengan Deynal yang bagian lengannya terlihat luka sobekan yang cukup panjang hingga darah merembes pada piyamamya. Sedang Felly yang berada paling belakang tampak kacau dengan rambut acak-acakan dan luka pada sudut bibirnya.

Mereka tidak kunjung turun ke bawah tadi karena kewalahan melawan perampok dan memutuskan bersembunyi saat menyadari mereka membawa senjata tajam dan pistol. Mereka juga berusaha menghubungi polisi dengan hati-hati agar tak ketahuan oleh para perampok itu.

"DIANDRA!" Liam berteriak seraya berlari ke arah istrinya yang sudah meregang nyawa.

Deynal dan Felly dengan wajah paniknya juga berlari mengikutinya. Mereka menangis dan ikut bersimpuh memeluk tubuh kaku sang Bunda.

"Bunda, hiks, jangan tutup mata bunda! Buka, Bun. Jangan tinggalin Nara, Bunda!" Nara masih meraung dengan wajah kacau seraya mengguncang pelan tubuh tak bernyawa itu.

Ingatannya tertuju pada perkataan Diandra tadi pagi. 'Bunda juga masih pengen habisin waktu sama kamu sebelum pergi'

Jadi ini kah 'pergi' yang dimaksud sang bunda? Pantas saja Nara merasa tak enak saat mendengarnya tadi.

Liam mendorong kasar tubuh Nara, lalu mengambil alih Diandra. "Jangan sentuh istri saya! Dasar pembunuh!"

Mendengar kalimat terakhir itu, hati Nara seolah diremas. Isakannya kian menjadi saat Nara menyadari Diandra begini karena berusaha melindunginya.

"DASAR PEMBAWA SIAL! LIHATLAH!! KAMU MEMANG PEMBAWA MALAPETAKA!"

PLAK!

"PEMBUNUH!"

Hati Nara semakin sesak. Rasa sakit pada pipinya yang ditampar keras tak seberapa dengan rasa sakit di hatinya. Airmata semakin meluruh deras, mata dan wajahnya sudah memerah karena terlalu banyak menangis.

Liam tahu, memang bukan Nara yang menembak istrinya. Tapi karena Nara, lah, istrinya rela menjadi tameng dan berakhir nyawanya terenggut demi melindungi Nara.

"Hiks, Na-nara bukan pem-"

"DIAM! Seharusnya kamu tidak pernah kembali ke rumah ini! Karena kehadiranmu hanya membawa kesialan!"

DAK!

Liam menendang bahu Nara keras hingga membuat perempuan itu terjatuh. Nara kembali terisak saat rasa sakit pada perutnya kembali terasa. Apalagi ditambah tamparan dan tendangan keras membuat tubuhnya kian tak berdaya.

"Asal kamu tahu, IBU KANDUNGMU MENINGGAL KARENA KAMU! DAN SEKARANG BUNDAMU MENINGGAL JUGA KARENA KAMU!"

"MEREKA MENINGGAL HANYA KARENA INGIN MELINDUNGI ANAK SIALAN SEPERTIMU!"

Setelah meluapkan emosinya, atensi Liam tertuju pada beberapa polisi yang kini menghampiri jenazah istrinya yang akan dibawa untuk diautopsi. Pria itu meraung dan mengacak rambutnya frustasi, lalu berjalan mengikuti para polisi yang membawa tubuh istrinya di dalam kantung berwarna jingga.

Sedangkan Felly menatap tajam Nara dengan airmata meluruh deras. Lalu menjambak rambut Nara dan melayangkan tamparan keras pada pipinya.

Plak!

"PEMBUNUH! ENYAH LO, SIALAN!" Felly mendorong kepala Nara dengan kasar, lalu melangkah pergi mengikuti sang ayah.

Deynal berdiri menjulang tinggi di depan Nara dengan memegang lengannya yang terluka. Cowok itu hanya menatap adiknya dengan ekspresi dingin dan datar. Nara benci tatapan itu. Wajah hangat Deynal yang biasa ia tujukan padanya kini seolah lenyap.

Dalam keadaan tersungkur di lantai yang dipenuhi bercak darah, Nara menangis pilu. Dengan airmata berlinang, ia mendongak menatap sendu kakaknya, berharap lelaki itu mau merengkuhnya, memberinya sedikit kalimat penenang dan tidak ikut menuduhnya 'pembunuh'.

Tapi tidak seperti yang dibayangkan, justru Deynal hanya diam, meneteskan airmata lalu meninggalkan Nara yang meringkuk tengah menatap kepergiannya dengan tatapan memohon.

"Tuhan ... Kau ambil kebahagiaanku lagi?" lirih Nara.


.
.

-BERSAMBUNG-

3600 kata.

Spill emot yang menunjukkan perasaan kalian pas baca part ini 👉

Bentar lagi kita akan memasuki inti konflik. Jadi siapkan mental untuk next part😌

Sekarang udah tahu kan kenapa Liam benci sama Nara. Untuk lebih detailnya, kawal cerita ini sampai ending😊

SPAM 'NEXT' YANG BANYAK BIAR NOTIFKU JEBOL👉

SPAM APA AJA BOLEH👉

SEE U NEXT LOV-♡!






Continue Reading

You'll Also Like

95.7K 8.3K 59
Tentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya ju...
5.6M 273K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...
5.1K 368 50
End✔ "Cewek baik-baik kok ngajak pacaran!"
1.4M 182K 36
ᴹᵃʳⁱ ᴺᵍᵃᵏᵃᵏ ˢᵃᵐᵖᵃⁱ ᴮᵉⁿᵍᵉᵏ "Diam atau gua sleding!" ujar Libra tegas. Tidak ingin bernasib buruk, Embun diam mematung sambil menunduk. Dia sangat kece...