FINDING MOMMY

Da mgicboba

63.3K 5.5K 757

[ Complete ] 𝐟𝐭. π‰πžπ§π¨ & π‰πšπžπ¦π’π§ ❝Daddy sayang kalian berdua, sangat. Lebih dari yang kalian tahu.❞... Altro

Introduce; Kisah ini bermula disini
Prelude; Jaedan RH. dan kucing
Prelude; Narendra RH. dan kopi
First page; Patah lagi
Second page; Rumit
Third page; Action figure
fourth page; disappointed
fifth page; Hari yang buruk
sixth page; The Reason
seventh page; Sebelas action figure
eighth page; Sakit sekali rasanya
ninth page; Teganya Kamu
tenth page; Perang dingin
eleventh page ; Tanpa sebuah 'tapi'
twelfth page : Only love can hurt like this
thirteenth page ; Memangnya mau pergi kemana?
fourteenth page; Lebih dekat untuk bertemu mama
fifteenth page; Anak 'kita' ya?
sixteenth page; Kakak mau foto keluarga
seventeenth page; Tell me the truth
eighteenth page; Bagaimana kalau aku tidak baik baik saja?
nineteenth; Jaedan's birthday
twentie-first page; Cemburu
twentie-second page; Cukup jadi anak yang bahagia
twentie-third page; 'Nanti' itu sesaat sebelum mati
twentie-forth page; Kita tidak punya pilihan lain
twentie-fifth page; Jadi siapa yang jahat?
twentie-sixth page; Last goodbye?
twentie-seventh; Kakak bisa pulang dengan tenang
twentie-eight page; We all need someone to stay
Outro; Kisah ini berakhir disini
Extra; The letter
Alternative Ending
For you!
Spin Off (edited)

twentieth note; Ini bukan salah siapa siapa

1.2K 142 5
Da mgicboba

-𝐅𝐈𝐍𝐃𝐈𝐍𝐆 𝐌𝐎𝐌𝐌𝐘-
© mgicboba, 2022

**

Jeffrey
Datang ke kantor jam 11 siang.

Jeffrey
📍location

Jeffrey
Aku perlu bicara serius, eye to eye sm km

Christie Julia
Soal apa?

Jeffrey
Soal Nana. Dia udah tahu semuanya.

Setelah membaca balasan chat dari Jeff melalui pop up notifikasi-Christie langsung mematung. Apakah karena hal ini, kemarin ketika makan malam di rumah Jeff, anak itu tidak ikut bergabung, dan atau karena ini juga wajah Jeff berubah drastis saat keluar dari kamar anak bungsunya kemarin malam?

Dan apakah karena ini juga-chat dari Christie tidak dilihat ataupun dibaca oleh Nana sejak kemarin, padahal keadaan cowok itu sedang online?

Christie langsung berdiri, tanpa menggunakan baju formal, ia hanya menggunakan kulot panjang bewarna putih, kaos dan ditutup dengan mantel panjang bewarna cream. Ia tidak peduli jika orang orang akan menatapnya sinis ketika masuk ke dalam ruangan pribadi Jeff nanti.

Tidak butuh waktu yang lama untuk wanita itu tiba di loby kantor pusat perusahaan milik Jeff. Awalnya dia ragu, seorang pria penting seperti Jeffrey Hale bisa bertemu orang asing tanpa sebuah perjanjian temu terlebih dahulu? Namun tanpa disangka-sangka ternyata saat ia menyebut nama pria itu di depan resepsionis, mereka langsung menjawab dengan...

"Christie Julia? Bapak Jeffrey sudah menunggu di ruangannya, ada dilantai dua puluh satu." Ucapnya sambil tersenyum. Christie sempat berterima kasih sebelum akhirnya ia bawa kaki jenjangnya untuk berlari menuju lift dan langsung menekan angka dua puluh satu tanpa berpikir panjang.

**

"Oh, jadi mereka udah tahu ya?"

"Sepertinya cuman Narendra yang mengetahui itu."

Theodore berdiri. Berjalan ke arah piramida kecil yang ia letakkan diatas meja kerjanya, menyentuh puncak piramida tersebut dan menyunggingkan senyum miring. "Gue mau jadwal ujian masuk perguruan tinggi Narendra sekarang juga."

Bawahan Theodore yang berdiri tidak jauh dibelakang pria itu mengangguk setelah mengerutkan kening, tentu tanpa sepengetahuan Theodore. "Baik, tapi untuk apa?"

"Gagalkan ujian masuknya, dia nggak boleh masuk ke perguruan tinggi impiannya, dia nggak boleh masuk ke jurusan yang dia impikan."

"Eung-tapi Narendra siswa ber-"

Theodore menoleh dan memotong ucapan bawahannya dengan cepat, "I don't fucking even care! Anak gue juga siswa berprestasi, dia bahkan jauh lebih unggul daripada Jaedan si bocah ingusan itu! Tapi cuman karena kesalahan kecil saja, sebuah kesalahan yang umum dilakukan oleh para remaja seusianya... hanya karena itu saja, seluruh perguruan tinggi memblokir namanya, seluruh fakultas hukum menolak namanya!!"

Theodore melangkah maju perlahan, mendekati seorang pria paruh baya yang menjadi bawahan sekaligus orang terpercaya nya yang saat ini sedang menunduk ketakutan. "Kalau keluarga gue hancur berantakan, keluarga Jeffrey juga nggak boleh bahagia. You know why? Because he's the one who ruined my dream, he's the one who ruined the family I dreamed of with Julia!!"

[Lo tahu kenapa? Karena dia lah yang ngerusak impian gue, dia yang merusak keluarga yang gue impikan sama Julia!!]

"B-baik, akan saya cari jadwal ujiannya. Anda membutuhkan apa lagi?"

Theodore memiringkan sedikit kepalanya sambil tersenyum jahat seperti seorang iblis. "Melihat Narendra hancur tentu saja bikin Jeffrey hancur juga, tapi gue bukan cuma sekedar mau bikin dia hancur, gue mau bikin dia melebur jadi debu."

"...."

"Bunuh mereka."

"Mereka-siapa?"

"Singkirkan dua anak haram tidak berguna itu! Gue benci lihat mereka bersinar layaknya bintang."

"T-tapi mereka tidak bersalah, apa-" Pria itu menjawab gugup, di dalam lubuk hatinya, hati nurani pria itu mengatakan 'tidak!'. Membunuh kedua anak tidak bersalah itu adalah sebuah kesalahan besar, tentu dia tidak tega melihat nyawa tidak bersalah itu harus ia habisi.

BRAK!

Theodore menggebrak meja kaca di dekatnya dan membuat pria tadi tersentak.

"Bunuh mereka atau lo yang gue bunuh! Yang dihukum tidak harus siapa yang bersalah. Ingat itu!"

Sepertinya sekarang masuk akal, kenapa orang orang, masyarakat sekitar dan media publik mengatakan bahwa keluarga Theodore memang bukanlah para pengacara yang adil, dan tidak pantas menjadi seorang jaksa.

**

Ares baru saja keluar dari tempat les nya yang pertama pukul sembilan malam, dan setelah ini ia harus pergi ke daerah kelapa gading, ke tempat les nya yang kedua. Hari ini Nana bolos les lagi, tidak biasanya dia seperti itu tetapi melihat ekspresi dan tingkahnya selama di sekolah tadi-Ares tidak yakin kalau cowok itu sedang baik-baik saja.

Oke, Ares sudah menanyakannya kalau kalian bertanya tanya. Namun seolah ia adalah anak gadis yang sedang pms, laki laki itu hanya menjawab singkat dengan, 'nggak apa-apa.'

Jadi karena ia harus pergi sendirian, dan karena ia malas jika harus antar jemput dengan mama atau papanya, akhirnya Ares memilih untuk naik mrt. Lagipula jadwal sekolahnya sekarang tidak terlalu padat, mengingat mereka bakal melakukan ujian akhir dua hari lagi setelah itu wisuda kemudian... ujian masuk perguruan tinggi. Jadi Ares bisa berangkat ke tempat les pada jam empat sore, dan.. mana mungkin orang tuanya luang saat jam empat sore.

Ia duduk sendirian, hanya ada satu sampai empat orang di sekitarnya, diantaranya adalah seorang anak kecil laki laki sekitar usia tujuh sampai delapan tahun Ares kurang paham, duduk bersama Ibunya. Sedikit berbahaya seorang wanita berdandan sangat glamor seperti itu diluar saat hari sudah gelap seperti ini, apalagi ia hanya bersama anaknya.

Namun bukan itu maksud Ares. Karena mereka duduk berhadapan dan lumayan sepi, Ares bisa mendengar samar percakapan mereka.

"Mama.. mama!" Si anak memanggil, yang disambut dengan senyuman tulus oleh wanita disampingnya, Ibunya.

"Ya? kenapa??"

"Tadi nilai matematika aku dapet delapan puluh loh! Aku keren, kan? Soalnya kata orang dewasa... matematika itu sulit!" Anak itu bercerita dengan begitu antusias, Ares memperhatikannya.

"Wah.. anak mama hebat! Anak mama yang hebat ini mau hadiah apa dari mama??"

"Eum... aku mau-es krim! Boleh nggak??"

"Ya boleh dong, mau beli selain es krim juga boleh, apa aja boleh."

"Beneran, ma??"

"Of course."

Ares berdiri, bukan tidak mau mendengar obrolan hangat dan harmonis mereka lagi, kalau boleh sih Ares mau dengerin mereka ngomong dan ikut mereka beli es krim, tapi sayangnya Ares harus turun, karena ia sudah sampai di tempat yang ia tuju.

Kata orang dewasa.. matematika itu sulit. Orang-orang dewasa dulu tidak pernah mengatakan hal itu pada seorang Ariesta. Ares tidak pernah mumet dengan materi sin cos tan yang hampir membuat kepada Giselle meleduk, tapi ia memang sedikit bodoh di pelajaran fisika.

"Ares! Nilai matematika kamu buruk sekali! Masa cuman dapat sembilan puluh, seharusnya seratus dong! Ini cuman soal gampang!" Ares ingat, Alyssa berbicara seperti itu saat ia duduk dibangku kelas empat sekolah dasar, saat hasil ulang harian materi kpk dan fpb nya dibagikan.

Dan detik itu, ketika kakinya sampai di depan pintu ruangan tempat ia belajar-Ares baru menyadari sesuatu.

Ibunya tidak pernah menyebut dirinya sebagai anak yang hebat karena telah mendapatkan nilai diatas kkm di setiap pelajaran, Alyssa tidak pernah puas dengan angka yang Ares raih, bahkan wanita itu tidak mengatakan apapun atau bahkan menatap matanya yang berbinar saat Ares berhasil mendapatkan nilai sempurna. Bukan hanya itu, Ares baru menyadari jika... ibunya tidak pernah punya waktu seluang itu untuk membelikan dirinya es krim. Dia tidak pernah punya waktu sebanyak itu karena pekerjaan yang jadwalnya tidak menentu, bisa sangat mendadak.

'Anak mama hebat!' Kalimat yang belum pernah Ares dengar sejak dulu.

"Well done, Ariesta."

Dan ia juga baru saja sadar jika satu satunya orang yang mampu melakukan itu semua adalah dirinya sendiri. Mengapresiasi usahanya, menatap matanya melalui cermin, dan membeli es krim seorang diri menggunakan uang nya sendiri.

**

"Nana udah tahu semuanya dan sekarang-" Jeff menunduk, memejamkan mata dengan kedua tangannya bertumpu pada meja kerja. "-Sekarang dia nggak mau ngomong sama aku." Sambungannya setelah mendongakkan kepala, menatap Christie.

"Dia bilang kalau dia tahu semuanya habis dari rumah kamu, dan nemuin ini." Jeff menaruh beberapa lembar foto dan juga surat yang kertasnya sudah tak lagi putih diatas meja. "Aku udah pernah kasih peringatan kan sebelumnya? Kasih tahu kalau emang kamu mau ngomong yang sebenarnya sebelum mereka berdua tahu lebih dulu atau mereka makin terluka karena merasa dibohongi, dan sekarang itu udah terjadi."

"Aku udah bilang kalau kita bakal terus terang ke mereka kemarin malam, tapi kamu juga kelihatan buru buru pengen aku pergi dari rumah kamu. Aku juga nggak tahu kalau akhirnya bakal kaya gini.."

Christie tiba tiba teringat akan ucapan Jason saat anak itu pertama kali mengetahuinya semuanya. Bagaimana jika itu memang benar? Bagaimana jika Nana benar benar tidak mau bertemu dengannya karena merasa sakit hati?

"Kita harus ketemu Jeje secepatnya sebelum-"

"Sebelum aku tahu? Nggak perlu, aku udah denger semuanya. Kalian nggak perlu jelasin apa-apa lagi."

Jeff menoleh dengan gerakan cepat, diikuti oleh Christie. Mereka sama sama tidak tahu sudah sejak kapan Jaedan berdiri di ambang pintu ruangannya bersama Sam dibelakangnya membawa maket serta tas ransel anak itu. Tanpa berpikir lagi-Jeff melangkah cepat menghampiri putra sulungnya yang kini menatapnya dengan tatapan datar.

"Kakak, Daddy bisa jelasin semuanya ke kamu nanti di rumah ya? Ini nggak seperti apa yang kamu pikirin, daddy enggak bermaksud buat-"

"Kenapa sih semua orang suka banget bohong ke aku? Kenapa semua orang selalu nutupin semuanya dari aku?! Kenapa aku nggak berhak tahu siapa ibuku?? It hurts to know the truth this way.. karena harusnya aku tahu semuanya langsung dari kalian, bukan dari mulut ke mulut yang sumbernya bukan kalian."

"Jaedan-"

Jaedan reflek mundur saat Christie ingin mendekatinya, tatapan kecewa nya terpancar secara jelas yang ditujukan kepada Christie maupun Jeffrey.

"Aku ke sini bukan mau denger ini, aku ke sini mau denger kalau yang Nana bilang itu semuanya bohong. Aku cuman berharap dia lagi pengen bercanda, tapi ternyata dia serius.."

"...."

"Enggak, aku bukan nggak suka kalau ternyata tante adalah mama, aku cuman kecewa kenapa kalian harus nutupin ini, kenapa kalian nggak bilang dari awal dan kenapa mama harus pura-pura nggak denger betapa seringnya aku bilang secara terang terangan kalau aku kangen sama mama."

Jaedan menjelaskan perasaannya cukup jelas sehingga membuat Jeff sedikit lega, setidaknya dia tahu apa yang harus ia lakukan untuk membujuk anak sulungnya, berbeda dengan Nana yang memilih diam. Tetapi tetap saja.. kecewa adalah kecewa, dan Jaedan tetaplah Jaedan, anak yang hanya akan menangis saat sedang merasa sangat marah dan kecewa.

Tanpa berpamitan, Jaedan langsung berbalik dan pergi begitu saja, Sam sampai berjalan dengan sedikit kewalahan dibelakangnya karena langkah kakinya sedikit lebih pendek daripada Jaedan.

"Loh, Jeje..!!!"

Jaedan berhenti mendadak, membuat Sam di belakangnya ikutan berhenti mendadak, ia hampir saja menubruk punggung Jaedan dan membuat maketnya rusak. Jaedan melihat Shavelia berlari menghampiri dirinya.

Oke, setelah bertahun tahun lamanya tidak bertemu, Jaedan akui-perempuan itu mengalami banyak sekali perubahan. Ya memang sejak kecil Jaedan tahu anak itu selalu tampil cantik dan manis, tapi melihatnya di usia dewasa seperti ini... dia kelihatan lebih-menawan.

Rambutnya yang tergerai indah terombang ambing saat ia berlari menghampiri Jaedan dengan jepit warna warni pada rambutnya memberikan kesan manis. Senyumnya tidak berubah, Jaedan masih mengingat betul bagaimana wajah perempuan itu saat tersenyum.

"Gue mau ketemu mama, lo habis dari ruangan bokap lo kan? Ada mama gue nggak?" Dia bertanya, sedikit ngos ngosan karena berlari.

Jaedan berkedip, menyadarkan dirinya sendiri dari lamunannya. "Hng.. nggak ada."

"Lo mau ke kampus?"

"Iya, harus ngumpulin tugas terus ke toko buku, buku yang gue cari beberapa hari lalu ngga ada, jadi mau gue cek lagi." Ucap Jaedan setengah bercerita.

"Bareng deh, lo mau ngumpulin tugas doang kan? Gue juga mau ke toko buku nih."

"Boleh, mau nyari buku kuliah lo?" Jaedan iseng bertanya sambil terus berjalan, sejajar dengan Shavelia.

"Kagak, nyari buku terbarunya Rick Riordan, hehehe"

Sejenak-Jaedan tertegun melihat wajahnya saat cewek itu terkekeh. Jaedan merasa... selama ini dia kemana saja ya, kok baru menyadari kalau Shavelia ternyata memang.. cantik. Pantas saja dulu yang ngejar dia bejibun, dan bodohnya Jaedan merasa heran saat itu.

"Jepit rambut lo yang warna pink bagus" Jaedan memuji.

"Emang bagus, harganya mahal!" Shavelia reflek menyentuh jepit rambutnya sambil tersenyum bangga.

Sementara Jaedan malah teringat pada seseorang saat melihat jepit rambut tersebut. 'Mirip punya Karina, gue yang beliin dia waktu itu.' Lagi-lagi soal Karina, hanya hal sepele seperti itu saja bisa langsung membuat Jaedan teringat lagi akan perempuan itu dan hatinya kembali terasa sakit, bayang bayang nya yang sedang berciuman dengan mantan pacarnya malam itu terus berputar di kepala Jaedan.

**

Suatu hal yang biasa bagi Karina menjadi pusat perhatian sejak ia menjalin hubungan asmara dengan seorang Jaedan Hale. Semua orang menatapnya iri ketika tangan kekar milik Jaedan mengelus surai panjangnya, ketika senyuman manis itu ditujukan kepadanya, semua orang iri padanya.

Namun sekarang semuanya telah berubah, Karina masih menjadi pusat perhatian, namun kondisinya berbeda. Dahulu, semua orang menatapnya iri sebagai seorang kekasih dari Jaedan, tetapi sekarang-semua orang menatapnya dengan penuh kebencian, mereka memandangnya sebagai seorang gadis tidak tahu diri yang berani berselingkuh dari Jaedan, sebagai gadis tidak tahu diri yang kembali berpacaran dengan Louis, mantan pacarnya setelah melukai perasaan Jaedan, si bintang fakultas teknik.

Mereka hanya tahu itu. Mereka tidak tahu apa-apa, mereka tidak pernah tahu kebenarannya.

Karena sekali lagi, semua pasti punya alasan.

Karina baru saja keluar dari perpustakaan saat tiba tiba semua anak yang melewati koridor berbisik bisik heboh bahkan ada yang sampai memekik. Ia hanya mengerutkan kening memperhatikan mereka yang balik menatapnya dengan tatapan remeh.

"Sorry, ini ada apa, ya?" Karina menghadang salah satu adik tingkatnya yang kebetulan lewat, sebenarnya ia tidak begitu peduli namun melihat banyak orang yang menatapnya dengan remeh-Karina menjadi khawatir jika ini ada sangkut pautnya dengan dia.

"Oh? Kakak mantannya kak Jaedan ya? Wah.. kayanya dulu kak Jaedan salah milih cewek." Perempuan berkacamata itu terkekeh dan terkesan sedang menertawakan Karina saat ini.

Oh, soal Jaedan..

"Sorry bisa langsung jawab aja nggak, ada apa? Jaedan kenapa?"

"Kak Jaedan bawa cewek ke kampus, tapi yang ngagetin bukan itu sih.. cewek itu anaknya sekretaris ayahnya kak Jaedan. Cantik sih, bahkan lebih cantik dari kakak." Dia tersenyum sinis, kemudian berbisik-"Kayanya mereka dijodohin, orang tuanya kan udah lama kerja bareng bareng." Setelah mengatakan hal yang cukup membuat Karina merasa sakit hati dengan ucapannya-ia melenggang pergi, sedikit menubrukkan antara bahunya dengan bahu Karina.

Jujur, selama berpacaran dengan Jaedan, Karina tidak pernah tahu kalau sekretaris Jeffrey punya anak perempuan yang seumuran dengan mereka.

Hingga kemudian Karina melihat dengan mata kepalanya sendiri. Mereka berdua, Jaedan bersama dengan seorang perempuan cantik dengan rambut panjang yang tergerai indah berjalan beriringan keluar dari koridor yang menuju ke arah pintu keluar kampus bersamaan dengan Karina yang juga baru saja berbelok. Mereka memang tidak bergandengan tangan tetapi cara mereka tersenyum satu sama lain sambil mengobrolkan sesuatu yang Karina tidak tahu apa itu-membuat dada nya sesak entah mengapa.

Yang bisa ia lakukan hanyalah memperhatikan keduanya berjalan semakin jauh darinya, hingga akhirnya keduanya tak dapat lagi dijangkau oleh penglihatannya.

Seandainya Jaedan tahu.

Seandainya dia bisa mengatakan semuanya secara gamblang pada laki laki itu. Seandainya ia bisa mengatakan kalau dirinya masih sangat mencintai dan menyayangi laki-laki itu tanpa sebuah efek samping nantinya.

Seandainya ia bisa mengadu, bahwa bibirnya ditarik paksa oleh seorang laki laki tidak tahu diri yang tiba tiba datang kembali ke kehidupannya dengan ancaman ancaman konyolnya yang tidak tahu mengapa-meski konyol, Karina takut-sangat takut itu terjadi.

"Putusin Jaedan bajingan itu sekarang juga atau keluarganya bakal dalam bahaya."

Air matanya menetes kembali. Ia mengusapnya dengan buru buru saat menyadari hal itu.

"Lo yang bajingan, Louis!" Karina berteriak di dalam benaknya.

**

"Tolong dengerin Daddy, sekali aja. Kali ini aja, tolong kasih kesempatan buat jelasin semuanya ke kamu."

Jeff menatap sendu pada punggung kecil anak bungsunya yang tengah membelakangi dirinya, Nana sama sekali tidak menjawab ucapan Jeff, ia menunduk, tangannya yang menggenggam pen Pad bergerak gusar diatas layar.

"Nana.. tolong hadap sini." Jeff meminta sekali lagi, dengan nada sehalus mungkin.

"Nana."

"...."

"Adek."

"....."

"Narendra."

"....."

Namun berkali kali pria itu memanggilnya, anak itu sama sekali tidak peduli, seolah ia tidak mendengar, seolah kehadiran sang ayah di dalam kamarnya tidak ada. Jeff menghela napas, kesabarannya benar-benar sudah diujung tanduk.

"NARENDRA LETAKKAN PAD MU!!" Jeff berdiri sambil membentak cukup keras, sampai berhasil membuat Nana tersentak dan terkejut setengah mati, tangannya langsung berhenti bergerak dan telinganya berdenging selama tiga detik karena bentakan Jeff yang lumayan keras. Bagi Nana itu adalah kali pertama ayahnya berteriak sekuat itu.

Akhirnya, mau tidak mau Nana harus balik badan. Ia mendongak, menatap Jeff yang menatapnya marah dengan tatapan datar. Jujur saja-Nana merasa begitu takut melihat ayahnya marah, ia merasa takut melihat alis tegas pria itu menukik tajam, tetapi saat ini ia lebih marah.

"Bisa dengerin daddy dulu nggak?!"

"...."

"JAWAB!"

Untuk kesekian kalinya Nana berusaha menetralkan detak jantungnya yang sudah tidak beraturan sejak Jeff berteriak tadi-namun kini tidak bisa lagi. Ia biarkan jantungnya berdegup dua kali lipat lebih kencang sehingga dadanya terlihat naik turun dengan cepat, yang tadinya ia tatap mata ayahnya dengan tatapan datar.. kini berubah menjadi tatapan takut. Dia ketakutan.

Butuh sekitar beberapa detik lamanya saat Jeff menyadari jika anak bungsunya sedang merasa ketakutan karena intonasi suaranya yang berkali kali lipat lebih tinggi dari biasanya. Pria itu lantas menghela napas sambil memijat pelipisnya dan memejamkan matanya. Menyesal dengan perbuatannya barusan, ia berjalan mendekat, lalu duduk berlutut di samping Nana sambil menggenggam tangan kanan Nana yang sedikit bergetar.

"I'm sorry..I'm so sorry.." Ucap Jeff.

"Daddy tahu, cepat atau lambat, sengaja atau tidak disengaja-kamu sama Jeje bakal tahu semuanya. Tapi sebelum Daddy jelasin semuanya.. can you trust me?" Jeff bertanya, menatap wajah Nana dengan lembut. Nana hanya menganggukkan kepalanya pelan.

"Daddy nggak pernah berniat buat bohongin adek atau kakak, daddy nutupin semuanya karena daddy takut kalian bakal terluka kalau tahu keseluruhannya. Kejadian itu terlalu pahit buat diingat, terlalu sakit buat kalian."

Situasi mulai mendingin.

"Aku berhak tahu. Aku udah dewasa dan aku harus tahu, aku pernah bersusah payah cari tahu soal mama biar aku bisa cari dia dimanapun dia berada, tapi kalian malah-kalian sengaja nutupin semuanya, kalian bohong.. aku cuman pengen ketemu mama, itu aja.."

"Ya I know, I'm so sorry.."

"....."

"Daddy ketemu sama mama bukan di tempat yang baik, bukan dalam keadaan yang baik juga. Kita sama-sama punya masalah dan milih buat pergi ke club. Waktu itu.. mama baru bertengkar sama pacarnya dan Daddy baru pusing sama skripsi. We made a big mistake, kalian berdua hadir tanpa sengaja." Jeff mendongak hanya untuk mendapati wajah terkejut dari anak bungsunya yang baru saja melepaskan tangan kanannya dari genggaman Jeff.

"Aku sama kakak-kita bukan... kita bukan anak dari hasil pernikahan yang sah???"

Jeff menggelengkan kepalanya sangat pelan.

"Daddy rebut mama dari pacarnya waktu mereka bertengkar? Kalian berselingkuh dan-" Nana menangis, tidak sanggup menyudahi kalimatnya. Ia benar benar tidak menyangka, dia benar benar terkejut. Setelah kembali menetralkan napasnya, Nana kembali bersuara, dia menatap wajah ayahnya dengan tatapan terluka kemudian berkata-

"Aku sama kakak... kita anak haram?"

Jeff langsung berdiri dan menarik tubuh Nana ke dalam dekapannya sambil menahan tangis. "No.. no. You're not. Of course not.. jangan bicara kaya gitu.. kalian bukan-kalian.. bukan anak haram." Ucapnya sambil mendekap erat tubuh Nana, ia menggigit bibir bawahnya kuat kuat agar isakan tangisnya tidak terdengar saat air matanya mulai menetes.

Sementara sejak sekitar lima belas menit yang lalu, tepatnya sejak suara bentakan Jeff yang sangat menggelegar-Jaedan sudah berdiri disamping pintu kamar Nana. Cowok itu baru saja pulang dari toko buku sejalan dengan mengantarkan Shavelia pulang ke rumahnya, dia masih membawa paper bag berisi buku buku yang ia butuhkan, bahkan kunci mobil masih berada di genggamannya, begitu masuk ke dalam rumah-ia disambut dengan suara lantang dari ayahnya.

Karena merasa penasaran dan heran-sebab Jeff tidak pernah sampai sekeras itu membentak, akhirnya ia berjalan ke arah kamar Nana tanpa meletakkan barang bawaannya terlebih dahulu.

Jaedan tahu, sejak kemarin Nana memang lebih banyak diam, dia bahkan mengabaikan semua orang di rumah. Jaedan juga tahu itu karena kenyataan yang mengejutkan soal Ibu mereka.

Kenyataan itu memang sedikit membuatnya sakit hati karena ia merasa sedang dibohongi oleh ayah dan ibunya sendiri, namun ternyata kebenaran yang lain lebih menyakitkan. Kebenaran tentang-ternyata hubungan ayah dan ibunya adalah hubungan terlarang, Ibunya berselingkuh dari pacarnya saat mereka bertengkar, mereka berdua berhubungan sampai membuat dirinya dan adiknya hadir tanpa sengaja, hadir tanpa sebuah rencana.

Jaedan memegangi dadanya yang terasa begitu sesak.

Apakah ini yang disebut sebagai karma?

Dia yang selalu disakiti oleh perempuan yang dia cintai, dia yang melihat pacarnya berciuman dengan laki laki lain saat masih berpacaran dengannya, dia yang selalu diputuskan secara sepihak oleh perempuan yang dia cintai. Apakah itu semua adalah karma dari perbuatan kedua orang tuanya di masa lalu?

"Makasih udah berani cerita semuanya, meski terdengar sangat menyakitkan." Jaedan berbicara dalam hati sambil membuka mulutnya untuk berusaha meraup oksigen disana, dadanya terasa sangat sesak sehingga rasanya menarik napas saja sulit.

**

"Harry!

Mahen berlari menghampiri sahabatnya yang sudah berada di ujung lorong sembari menyerukan namanya.

Harry menoleh dan menepuk tangannya, "Nah, ini dia! Lo gue cariin kemana mana ngga ada, kemana aja sih? Jangan lupa ya janji lo mau traktir gue makan di Kemang!"

Memang sejak siang tadi mereka berdua tidak bertemu karena adanya urusan masing masing yang lumayan padat, malam ini kebetulan mereka berdua bertemu saat sedang sama sama ingin pulang.

Mahen masih dengan napas ngos ngosannya menjawab, "Iya inget, ini juga gue mau ngajak lo kesana sekalian cerita soal Jeje. Sumpah, ry, ini plot twist banget, gue yakin seratus satu persen lo bakalan cengo dengernya!"

**

Harry dan Mahen tiba di sebuah restoran langganan mereka bertiga-dengan Jaedan, lima belas menit kemudian. Bukan karena jarak kampus dan tempat makan ini jauh, tapi karena jalanan macet sehingga mengulur waktu mereka.

Lalu, kenapa Mahen tidak memilih burjo untuk mengatakan berita plot twist ini kepada Harry? Karena hal ini terlalu mengejutkan dan sedikit berbahaya jika orang asing mendengarnya, jangan lupa kalau ini adalah berita soal keluarga dari Jeffrey Hale. Restoran ini lumayan mahal untuk ukuran anak kost, tapi kalau anak kost nya kaya Mahen ya nggak berarti apa-apa.

"Jadi ini soal nyokap nya si Jeje?"

"Iya, dan lo tahu? Pagi ini gue nggak fokus ngerjain kuis cuman gara gara berita plot twist ini ry, serius! Gue rasanya mau pulang ke Canada buat mastiin ke bokap gue kalo ini tuh dia nggak bohong ke gue, karena-" Mahen menarik napas panjang, dari ekspresi nya sih memang dia kelihatan sangat tidak menyangka. "-Karena sekali lagi, gue nggak expect kalau ternyata nyokapnya Jeje adalah dia."

"Dia saha sih?! Ngomong yang jelas anjrit, gue penasaran juga ini...!" Harry gregetan.

Namun bukannya menjawab, Mahen malah memberikan-lagi lagi sebuah kotak kepada Harry. Cowok itu langsung membukanya tergesa gesa, dan betul saja. Ekspresi Harry langsung berubah drastis, ia hanya mampu ternganga, membuka mulutnya lebar lebar saat dia menemukan dua buah foto dengan lampiran surat lengkap dengan nama si penulisnya.

"Christie Julia Pamela??!?!"

Mahen mengangguk, "Iya, itu emang ngagetin banget soalnya kita lihat dia udah berbulan bulan kan deketin si Jeje sama Nana mulu, lo tahu kan parfum yang di beli Jeje buat Karina dikasih ke dia, mereka ketemu di toko es krim sama parfum juga, dan-"

"Ada yang lebih ngagetin, Hen." Harry memotong cepat.

"Hah? Apa?"

"Kayanya gue tahu kenapa waktu SMA dulu, Leon hobi banget gangguin Jeje. Nyokapnya ehem-ehem sama om Jeffrey waktu dia masih pacaran sama bokapnya Leon anjir, parah banget.. mungkin orang tua Leon waktu itu cerai karena om Theo gagal move on dari nyokapnya Jeje."

Kening Mahen berkerut dalam, "Lah, itu berarti mereka selingkuh dan.. Jeje sama Nana bukan anak dari hasil pernikahan?"

Harry mengangguk ragu, "Iya, bukan."

"Nggak, ini-ini... sumpah, gue kaget banget."

"Om Theo orangnya serem, dia jaksa. Gue kira dia bakal balas dendam ke om Jeffrey karena ini." Celetuk Harry asal yang langsung dibuahi pukulan kecil di punggung tangannya oleh Mahen.

"Kalo ngomong hati-hati, di amin in malaikat tahu rasa lo!" Mahen menegur.

**

21.25

"Aku udah denger semuanya kok, Daddy nggak perlu jelasin apa-apa lagi." Ucap Jaedan ketika ia tidak sengaja memergoki ayahnya yang bergerak tidak nyaman di hadapannya. Dia tahu pria itu pasti juga ingin mengatakan semuanya kepada dirinya.

"Makan malam dulu, ngomongin itu nya nanti aja, lagipula aku fine-fine aja kalau aku sama Nana bukan-" Jaedan menunduk, memelankan suaranya, "-bukan anak yang lahir dari sebuah pernikahan." Meski dia mengatakan dia baik baik saja dengan itu, namun tetap saja-dadanya sesak saat mengatakan bahwa dia baik baik saja.

"Maaf karena udah hadir diantara kalian, maaf udah ngerusak semuanya. Ngerusak hubungan mama sama mantan pacarnya, ngerusak hubungan daddy sama mama, ngerusak masa muda Daddy. Kalau aku sama Nana nggak ada.. hidup kalian nggak bakal serumit ini, kalau aku sama Nana nggak lahir.. masalah kalian bertiga mungkin bisa selesai dengan sedikit mudah." Sambung Jaedan.

Jeff meletakkan alat makan yang sejak ia duduk di kursi meja makan tadi hanya ia pegang, tidak digunakan sama sekali karena gelisah. Ia berdiri dan duduk di kursi sebelah Jaedan, kursi yang biasa dipakai oleh Nana, tapi anak itu sekarang masih tidak ingin keluar dari kamar.

Jeff duduk dan memegang kedua pundak tegap milik anak sulungnya, membawanya berputar menghadap ke arahnya. Ia menatap dalam netra bening itu, seolah dia mengerti ada rasa sakit melalui tatapannya yang tidak dapat Jaedan ungkapkan, tatapannya kelihatan sayu.

Hatinya sangat sakit mendengar penuturan anaknya, membuat Jaedan menyalahkan diri sendiri karena kesalahannya membuat dadanya seperti ditusuk tusuk.

"Nggak, ini sama sekali bukan salah kakak sama adek, ini semua salah daddy. Daddy minta maaf sama kakak ya? Maaf karena daddy belum bisa jadi orang tua yang baik buat kakak, belum bisa memenuhi ekspektasi kakak, maaf karena harus punya masa lalu yang kelam."

Jaedan menggeleng kuat. "Ini bukan salah siapa siapa. Ini cuman... takdir buat keluarga kita."

**

【 08.56 】

"Jadi lo emang udah tahu???!"

"Iya."

"Kok nggak ngabarin kita sih?!! Gue khawatir banget sama lo waktu tahu kalau sebenernya tante Christie yang suka lo ceritain, yang kata lo orangnya baik banget itu ternyata... nyokap lo sendiri yang selama ini lo tunggu tunggu kehadirannya."

Jaedan memutuskan untuk pergi ke caffe tempat biasa anak anak satu fakultas nya nongkrong, dia bertemu dengan Harry dan Mahen disana. Memang sengaja dia pergi kesini karena Jaedan merasa tidak bisa menyimpan semuanya sendirian.

Namun ternyata-kedua temannya juga sudah mengetahui soal siapa Ibunya yang sebenarnya, Jaedan tahu cepat atau lambat ayah Mahen bakal menemukan kebenarannya.

"Gue harus gimana?"

"Gimana apanya njing?!" Harry mengumpat, yang langsung dihadiahi geplakan spesial dari Mahen, sampai bunyi 'mak gedebug!'

"Ya gue harus gimana setelah ini? Gue ngerasa kecewa sama mereka, tapi di sisi lain gue juga seneng akhirnya bisa ketemu sama mama, akhirnya gue bisa lihat wajahnya secara langsung, gue bisa nyentuh dia, gue bisa peluk dia sepuasnya sekarang."

Mahen dan Harry bertatap tatapan sebentar sebelum kemudian Mahen membuka mulut untuk berbicara. "Gue paham gimana perasaan kecewa lo sama mereka, gue juga paham kalau mereka-terutama om Jeffrey menjaga perasaan kalian berdua banget, lo pasti lebih tahu dari gue kalau dia sayang banget sama lo, dia sendiri juga nggak mau kok lo kecewa sama mereka."

Jaedan hanya diam saja.

"Terlepas dari semua ini, are you okay, Je?"

Jaedan mendongak, menatap Harry yang barusan bertanya, kemudian mengangguk pelan dan tersenyum yang memiliki kesan terpaksa. "I'm.. fine. Nggak pa-pa, takdir emang kadang suka main main."

"Apapun itu.. lo nggak usah khawatir soal apa apa, Je. Kita berdua selalu berdiri di samping lo kok, kita nggak akan kemana mana." Mahen menepuk pundak Jaedan sebanyak tiga kali.

"Makasih ya."

**

To be continued

Selamat malam!
Semoga part ini bisa jadi pengantar tidur hahahaha ✌🏻

Continua a leggere

Ti piacerΓ  anche

991K 59.9K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
266K 21.1K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
154K 24.3K 44
- apakah semakin bertambah umur, akhlak Rafan akan semakin bertambah baik atau malah semakin menipis saja? saksikan kesengsaraan bapak Rafansyah Ali...
103K 8.7K 84
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...