Silence Of Tears (TERBIT)

By bunnylovv

3.8M 304K 29.7K

📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis denga... More

PROLOG
| Part 1 | Iblis
[ Part 2 ] Gagal
| Part 3 | Terungkap
[ Part 4 ] Dia Kembali
| Part 5 | Pertemuan
| Part 6 | Kemurkaan Kevan
[ Part 7 ] Dia lagi?
[ Part 8 ] Rumah Mama
[ Part 9 ] Mereka Tahu
[ Part 10 ] Pengungkapan Nara
[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah
[ Part 12 ] Married
[ Part 13 ] Satu Kamar
[ Part 14 ] Alexa Graceva
[ Part 15 ] Taruhan
[ Part 16 ] Rahasia Genan
[ Part 17 ] Hasrat Membunuh
[ Part 18 ] Cuek
[ Part 19 ] Ancaman
[ Part 20 ] Tuduhan
[ Part 21] Insiden Kolam Renang
[ Part 22 ] Pengungkapan Alexa
[ Part 23 ] Rindu Bunda
[ Part 24 ] Kecewa
[ Part 25 ] Luka Bagi Kevan
[ Part 26 ] Sisi Gelap Genan
[ Part 27 ] Bukan Tuduhan
[ Part 28 ] Pindah
[ Part 29 ] Teman?
[ Part 31 ] Peduli
[ Part 32] Ngidam
[ Part 33] Kesempatan
[ Part 34] Luka dan Masa Kelam
[ Part 35 ] Perhatian
[ Part 36 ] Kepulangan
[ Part 37 ] Malam Tragis
[ Part 38 ] Titik Terendah
[ Part 39 ] Selamat Tinggal
[ Part 40 ] Karena Dia
[ Part 41 ] Terbukti
[ Part 42 ] Maaf
[ Part 43 ] Deynal's Dream
[ Part 44 ] Harapan
[ Part 45 ] Hancurnya Genan
🌹VOTE COVER🌹
OPEN PRE ORDER
EXTRA CHAP
EXTRA CHAP 2
GIVE AWAY!
CERITA BARU | SEQUEL

[ Part 30 ] Kembali

62.2K 6.3K 854
By bunnylovv

Helo🌚. Kalian ngerti emot ini kan? 🌚

Happy 55K++ reads yeeyy🎉

Spill darimana kalian bisa dapet cerita ini. Jawab dong👉

Koreksi kalo ada typo 🙏

|🌹HAPPY READING🌹|
.
.

Gadis yang sudah lengkap dengan seragamnya itu menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menata rambutnya dan memberi polesan liptint pada bibir tipisnya. Setelahnya ia keluar kamar, dan pandangannya langsung tertuju ke meja pantry di mana Nara tengah membuat roti bakar di sana.

"Morning," sapanya seraya mengambil roti bakar yang sudah siap.

"Punya gue!" sorak Nara.

Mauren yang sudah terlanjur memakannya memasang wajah sendu. "Gue kan mau sekolah, Ra. Gapapa kali. Biasanya juga gue yang masak buat lo."

"Iya, bawel," dengus Nara lanjut dengan kegiatannya.

Sudah terhitung satu minggu Mauren menginap di vila bersama Nara. Katanya dia malas pulang dan bolak-balik ke sini karena jaraknya jauh. Jadi dia memilih menginap di sini setelah mendapat izin dari Kenzo dan mamahnya. Lagipula dengan adanya dia, Nara jadi punya teman. Iya, kan? 

Mauren meneguk susu putih yang dibuat Nara. "Asal lo tahu, Ra," Mauren kembali menggigit rotinya dan mengunyahnya pelan, "masa baru kemarin," dia kembali mengunyah dan tanpa disadari Nara benar-benar merasa jengkel melihatnya. Kenapa tidak langsung mengatakannya saja!?

"Kalo makan, ya, makan! Kalo ngomong, ngomong! Jangan makan sambil ngomong!" teriak Nara karena kesal.

Wajah Nara tampak berubah dingin karena jengkel. Mungkin karena hormon kehamilannya membuat emosinya tidak stabil.

"Lo kalo ngamok serem, hehe," kikuk Mauren seraya menelan makanannya susah payah.

"Oke gue ulang. Masa baru kemarin gue tahu kalo Genan punya kembaran!"

Ucapan Mauren seketika membuat Nara menatap gadis itu. Mauren tahu Genan?

"Genan temen SMP gue," balasnya seolah tahu apa yang ingin ditanyakan Nara.

"Yaudah gue berangkat dulu ya. Kalo ada apa-apa telpon gue atau Bang Kenzo," pungkas Mauren kemudian beranjak keluar.

"Hati-hati."

Mauren mengacungkan jempolnya ke atas tanpa menoleh ke belakang.

Setelah kepergian gadis itu Nara pun menyantap sarapannya. Sesekali pandangannya mengedar ke sekeliling ruangan itu yang tampak hampa dan sepi. Nara bertanya-tanya, kapan hidupnya dipenuhi canda tawa dan kebahagiaan? Mengapa setiap harinya dia selalu merasa sepi? Tak ada kehangatan dan semuanya terasa hampa.

Selesai dengan sarapannya Nara memutuskan untuk beranjak. Namun belum sempat dia melakukan hal itu mendadak perutnya terasa nyeri lagi. Gadis itu meringis sakit dengan tangan mencengkram perutnya. Pikirannya terus berkelana, kenapa akhir-akhir perutnya sering terasa sakit?

"Shh awh ...."

"Akh! Ke-kenapa sa-kit banget?" rintihnya. Nara sampai terduduk lemas dengan keringat dingin yang mulai mengucur di pelipisnya.

Tanpa disadari buliran bening meluruh dari kedua matanya. Nara menangis menahan rasa sakit. Bibirnya tampak pucat, wajahnya kian menjadi pucat pasi. Pikiran negatif yang berhubungan calon anaknya mulai bermunculan pada benaknya.

"Tu-tuhan ...  jangan ambil anakku. A-aku sudah menyayanginya."

Itulah sederet kalimat yang Nara ucapkan sebelum dia tergeletak lemas dengan kegelapan yang perlahan menghampirinya. Nara tak sadarkan diri.

"NARA!"

°°°

Wanita yang terduduk lemas di bangsal itu perlahan membuka matanya. Dia mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Dan setelah kesadarannya perlahan kembali barulah Nara menyadari bahwa sekarang dia berada di rumah sakit. Tunggu, siapa yang membawanya?

"Eh, sudah bangun ternyata." Seorang dokter menghampiri Nara dan membantunya duduk bersandar di bangsal.

"Do-dokter ... siapa yang bawa saya ke sini?" lirihnya.

"Putra saya. Kenzo," ungkap dokter bernama Afni. "Setelah mengantarkan kamu tadi Kenzo langsung pergi karena ada urusan mendadak."

Nara tersenyum tipis. Dia bersyukur atas kedatangan Kenzo yang membawanya ke rumah sakit, kalau tidak, mungkin Nara takkan tahu akan bagaimana nasibnya. Kalau nanti dia bertemu lelaki itu Nara pasti akan berterima kasih padanya.

Sang Dokter memilih duduk di kursi samping bangsal agar bisa berbicara dengan nyaman bersama pasiennya itu. Tanpa diduga oleh Nara, dokter bernama Afni yang merupakan ibu Kenzo itu mengelus rambut panjangnya sayang. Napas Nara tertahan, tiba-tiba dia teringat dengan sang Bunda. Nara mendadak merindukan wanita itu.

"Kamu pasti kuat. Saya yakin," ujar dokter Afni. Afni sudah tahu tentang masalah gadis di hadapannya karena Kenzo sering bercerita padanya tentang Nara. Sebagai sesama perempuan tentu dia mengerti bagaimana perasaan Nara.

"Dokter... anak sa---"

"Dia baik-baik saja," potong dokter itu. Nara bernapas lega. Sungguh dia takut terjadi apa-apa dengan calon buah hatinya.

Dokter Afni mengambil beberapa foto berwarna hitam putih dan menyerahkannya kepada Nara. Nara mau tak mau pun menerimanya dengan kening mengernyit. "Ini ...."

"Itu calon anak kamu, usianya sudah 18 minggu dan jenis kelaminnya laki-laki," jawab sang dokter.

Nara menatap wanita di sebelahnya dengan tatapan tak percaya. Kemudian kembali menatap foto USG yang terlihat tak begitu jelas bentuknya, tapi Nara tahu bahwa itu adalah bayinya. Nara tersenyum haru, hatinya menghangat terbayang suatu saat nanti tangan mungil akan menggenggam jemarinya erat. Saat wajah menggemaskan dan rengekan bayi akan menghiasi hari-harinya. Nara tak sabar menantikan hal itu.

"Mau dengar detak jantungnya?"

Nara mengangguk antusias. Dokter Afni pun menyiapkan alat untuk mendeteksi jantung si janin. Hati Nara berdebar tak sabar untuk mendengarkannya.

"Siap?" Nara mengangguk menanggapi.

Seperkian detik berikutnya suara aneh yang terdengar seperti detak jantung mulai menyapa gendang telinganya. Lama-kelamaan suara itu membuat hati Nara menghangat. Nara mengepalkan tangannya yang berkeringat, matanya terpejam menikmati alunan detak jantung sang anak yang berdetak dengan tempo teratur. Nara juga meminta rekamannya supaya dia bisa mendengarkannya lagi nanti.

"Kenapa kamu tidak pernah check up? Padahal usia kandunganmu sudah lebih dari empat bulan."

Wajah Nara tampak merasa bersalah. Bersalah kepada calon anaknya karena dia tak pernah pergi ke dokter guna memeriksakan kondisinya.

"Maaf," Nara menunduk dan mengelus perutnya dengan perasaan bersalah.

"Nara."

Dia menoleh menatap dokter di sampingnya yang menatapnya sendu. "Iya, Dok?"

"Bayi kamu sehat, tapi ... ada hal buruk yang harus saya katakan mengenai kondisimu."

Nara mengernyit heran. Wajah dokter itu kini berganti menjadi sendu. Atmosfer yang dia rasakan disekitarnya mendadak menjadi dingin dan perasaanya tiba-tiba tak enak.

Dokter Afni mengatur napasnya sebelum mulai berucap, "Nara ... apa kamu tahu kalau kamu hanya punya ... satu ginjal?"

Deg!

Nara terhenyak mendengar apa yang baru saja dikatakan dokter Afni. Dan kini semua pikirannya langsung tertuju pada kondisinya yang akhir-akhir ini sering merasa sakit pada bagian perut dan pinggangnya. Jadi ... karena itu? Dia pikir itu hanya kram biasa, tapi tak dipungkiri rasanya benar-benar sakit dan menyiksa.

Nara mengangguk pelan. "Sa-saya pernah mendonorkan ginjal saya satu tahun lalu. Tap---"

"Usia kamu sekarang berapa?" Nara sedikit jengkel saat dokter itu menyela ucapannya.

"Tujuh belas."

"Kalau satu tahun lalu berarti saat itu usiamu enam belas tahun? Kamu belum cukup umur mendonorkan ginjalmu saat itu. Kenapa kamu bersedia?" tanya Dokter Afni.

"Keadaannya sedang genting. Saya terpaksa. Saya didesak. Dan saya tidak bisa menolak," balas Nara dengan mulut bergetar. "Tapi ... selama ini saya bisa hidup normal meski cuma punya satu ginjal, Dok."

"Memang benar, seseorang bisa hidup normal meski hanya dengan satu ginjal. Tapi di sini kasusnya beda. Kamu hamil, dan itu sangat beresiko. Itulah sebabnya kamu sering mengeluh sakit pada pinggangmu."

"Apalagi di sini kamu hamilnya mendadak dan tanpa ada konsultasi terlebih dahulu. Ditambah kondisimu masih terlalu dini untuk mengandung. Itu sangat beresiko untukmu dan bayimu," imbuhnya.

Dada Nara sesak. Matanya memerah menahan tangis. Baru saja dia mendengar detak jantung sang anak, baru saja dia membayangkan wajah menggemaskan bayi yang ia kandung akan segera lahir, tapi mengapa seperti ini? Apakah memang dia tak pantas untuk bahagia?

"Te-terus saya harus bagaimana, Dok."

"Semakin lama, kandunganmu akan semakin membesar. Resiko yang ditimbulkan juga semakin tinggi bahkan bisa menyebabkan kematian. Apalagi kamu memang belum cukup umur untuk mengandung, hal it---"

"Stop berbicara soal resiko, Dokter! Katakan solusinya!" desak Nara dengan air mata di ujung pelupuknya yang akan siap terjatuh.

"Maaf, Nara, saya harus mengatakan ini. Satu ginjalmu sudah mengalami penurunan fungsi. Jika kamu tetap mempertahankan bayimu maka nyawamu bisa terancam," jelasnya.

"Jadi dokter menyuruh saya untuk menggugurkannya? Iya!?" teriak Nara dengan airmata yang mulai meluruh. "Terus kenapa dokter memperlihatkan foto USG juga detak jantung bayi saya!?"

Nara mengusap kasar airmatanya, dengan susah payah gadis itu bangkit. "Saya akan tetap mempertahankannya."

Hendak pergi tapi langkahnya tertahan saat dokter Afni memegang lengannya. Dokter Afni menatapnya sendu dengan dada yang ikut terasa sesak saat menatap wajah Nara. Wajah cantik yang tersirat akan luka.

Dan tanpa diduga, wanita itu menarik Nara ke dalam pelukannya. Nara sedikit terkejut saat dia mendadak dipeluk. Namun perlahan dia membalas pelukan hangat itu.

"Sa-saya ingin mempertahankannya, Dok...," lirihnya dalam pelukan dokter itu.

Dokter Afni merasa sesak saat merasa Nara menangis tanpa mengeluarkan suara. "Bisa. Kamu pasti bisa. Tapi kamu harus jaga kesehatanmu dan rutin periksa tiap bulan. Oke?" katanya setelah pelukan mereka lepas.

Dokter Afni menghapus airmata Nara dengan jemarinya. "Pasti dada kamu sesak ya karena nangis tanpa suara?"

Nara mengangguk. "Sesak banget hiks. "Bo-boleh saya peluk lagi?" pinta Nara.

Sang dokter mengangguk dan tersenyum dengan tangan terbuka lebar menandakan bahwa dia bersedia. Nara tentu langsung mendekapnya, rasanya hangat seperti pelukan bundanya walau tak sehangat dan senyaman saat dia benar - benar mendekap sang Bunda.

•••

Cowok dengan keadaan telanjang dada itu menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Tetes demi tetes air yang membasahi wajah tampannya mulai meluruh menuruni rahang tegas dan dagunya. Genan mengepalkan tangannya erat dengan mata terpejam berusaha untuk menetralkan pikirannya yang kacau.

"Shit! Lo dimana, sialan!"

Saat tahu Nara pergi, Genan masih bersikap biasa saja dan tak peduli. Karena dia pikir, bagaimana bisa gadis itu kabur dan hidup seorang diri. Apalagi saat mengetahui dari Opa Deo bahwa Nara tidak kabur ke rumah orangtuanya. Entah pergi ke mana.

Tapi akhir - akhir ini pikirannya kembali kacau saat teringat ucapan Nara tempo lalu yang mengatakan bahwa dia mengandung anaknya. Bahkan tiap malam Genan tak bisa tidur nyenyak karena pikirannya dipenuhi oleh ungkapan Nara kala itu.

"Arghh!" Genan mengacak rambutnya frustasi. "Beraninya lo bikin gue sekacau ini!"

Cowok itu menggertak marah menahan emosinya. Untuk pertama kalinya pikirannya benar-benar kacau hanya karena kepergian sang istri yang tak pernah dia anggap.

Genan membasuh wajahnya lagi dan menatap ke cermin. Tapi bukan pantulan dirinya yang dia lihat, melainkan sebuah ilusi wajah Nara dan seorang bayi menggemaskan yang menatapnya. Melihat itu dia memukul kepalanya frustasi berusaha melupakan bayang-bayang itu.

"Arghh sial!" Hendak memukul kaca di hadapannya, tapi dia urungkan dan lebih memilih keluar dari kamar mandi.

Mengeringakan rambutnya dengan handuk, Genan berjalan ke arah nakas saat terdengar dering ponselnya. Ada beberapa panggilan tak terjawab di sana dari orang kepercayaannya. Genan pun segera mengangkat panggilan teleponnya.

"Cepat katakan," pinta Genan to the point.

"Saya sudah berhasil melacaknya, Tuan."

Mendengar hal itu, Genan tersenyum puas. "Bagus. Kirim lokasinya sekarang."

"Baik, Tuan."

Selama kurang lebih dua minggu Nara kabur, Genan sudah melacaknya sejak awal. Itu lah sebabnya dia terlihat santai dan biasa saja. Karena baginya, menemukan Nara tidak akan sulit.

Setelah sambungan terputus, Genan pun segera memakai bajunya. Tak lupa dia juga melapisi tubuh tegapnya dengan jaket kulit. Cowok itu kemudian menyambar kunci mobilnya. Iya, dia sengaja membawa mobil, bukan motor.

Menuruni tangga dengan terburu berhasil mengambil alih atensi anggota keluarganya yang sedang makan siang. "Genan! Mau ke mana kamu?" tanya sang Papah.

Genan tak menggubris dan tetap melanjutkan langkahnya. Tapi ucapan Opa Deo mendadak membuat langkahnya terhenti. "Apa kamu sudah menemukan Nara?" tanya Opa Deo yang membuat Genan menoleh menatap kakeknya sekilas.

"Hm," dehemnya.

•••

Nara sudah sampai di vila. Dia tadi diantar pulang oleh supir pribadi dokter Afni, karena tak mungkin juga dia kembali ke vila seorang diri dengan keadaan masih lemah. Apalagi jaraknya sangat jauh. Gadis itu lagi-lagi merenung. Pikirannya berkelana. Perasaan takut itu lagi-lagi muncul tanpa diminta.

Siang ini Nara sendiri lagi karena Kenzo tak bisa ke vila hari ini. Begitupun dengan Mauren yang katanya ingin pulang sementara waktu. Dan... perasaan sepi itu kembali Nara rasakan.

Nara menghela napas lalu mengelus pelan perutnya dengan perasaan hati yang kacau. "Kamu harus sehat. Kita berjuang sama-sama, ya?"

Selepas mengatakan itu Nara berjengit kaget saat bel pintu berdenting beberapa kali. Nara tersenyum tipis dan mengira pasti itu Kenzo atau Mauren.

Ceklek

Deg!

Nara membeku, napasnya tertahan bahkan jantungnya seolah berhenti berdetak. Di hadapannya bukan Kenzo maupun Mauren, melainkan ... Genan. Suaminya.

Bagaimana bisa lelaki itu tahu dia ada di sini? Sekilas seperti itu yang Nara herankan.

Nara menatap dingin pada cowok itu dan segera menutup pintu. Namun, Genan justru menahannya dengan tangan kekarnya.

"Keynara."

Nara membeku mendengar suara berat Genan yang menyebut namanya.

"Pergi atau gue panggil security?" tukas Nara dingin.

Genan tak bergeming, justru pandangannya tertuju pada perut Nara. Cukup lama Genan menatap perut yang sudah membuncit itu seolah ada yang menariknya untuk tetap menatapnya.

Menyadari akan tatapan Genan pada perutnya, membuat Nara terheran. Memilih tak peduli ia pun hendak menutup pintu lagi. Namun lagi-lagi Genan menahannya dan justru ikut masuk ke dalam ruangan.

"Apa-apaan, sih, Nan! Keluar!"

"Balik sama gue."

Nara melotot tak percaya mendengarnya. "Biar apa? Biar lo bisa nyiksa gue lagi? Iya!?"

"Balik.sama.gue," tekan Genan dengan tatapan dinginnya.

"Jangan harap! Gue nggak bakal sudi tinggal sama lo lagi! Lo jahat! Kejam! Nggak punya hati! Gue tertekan tinggal sama lo!" bentaknya penuh emosi.

Wajah Genan tampak lebih dingin. Cowok itu mendekat pada Nara dan mempertipis jarak diantara keduanya. Nara refleks mundur mendapat tatapan menyeramkan dari suaminya itu. Seperkian detik napasnya tertahan saat Genan meraih dagunya, tidak kasar seperti dulu. Tapi mampu membuat Nara membeku saat wajah Genan tepat berada di hadapannya.

"Lep--- emphh." Nara melotot saat merasa benda kenyal membungkam bibirnya. Kakinya melemas sangking terkejut dengan apa yang Genan lakukan.

Genan mendaratkan bibir hangatnya pada bibir ranum Nara, awalnya tak ada pergerakan. Namun lama-lama ciuman itu menjadi lumatan. Seperti memori rusak, mendadak sebuah ingatan yang tak begitu jelas memenuhi benaknya.

Tangan Genan menyusup pada tengkuk Nara dan mendorongnya pelan untuk memperdalam ciumannya. Dan lagi. Ingatan rancu itu kembali datang. Rasanya tak asing saat ia mencium bibir tipis namun berisi milik Nara. Sebuah pertanyaan mendadak muncul dalam benaknya mengenai apakah dia pernah mencium Nara sebelumnya?

Memilih mengabaikan pemikirannya, cowok itu kembali melumat kasar bibir berisi sang istri bahkan mengigit bibir bawahnya kuat hingga membuat Nara memekik tertahan. Bahkan kini terasa anyir darah yang keluar dari bibir Nara yang terluka.

Nara memukul dada Genan karena merasa oksigen yang dia hirup semakin habis karena ciuman rakus dari Genan yang tak memberinya akses hanya untuk sekedar bernapas.

"Enghh---"

Genan melepas ciumannya. Matanya tertuju pada perempuan di hadapannya yang bernapas terengah, mata Nara tampak memerah dengan kilat amarah terpancar dari sana.

PLAK!

Satu tamparan keras Nara berikan, tak hanya itu dia juga mendorong dada Genan seolah merasa jijik dengan laki-laki itu.

"PERGI! PERGI DARI HADAPAN GUE, BRENGSEK!"

Nara mengusap bibirnya secara kasar. Tak peduli akan rasa sakitnya karena bibirnya berdarah. Wanita itu berjalan ke arah meja di mana ponselnya tergeletak di sana. Tujuannya adalah untuk menelepon seseorang yang sekiranya bisa membantunya.

"Hal---"

Pyar!

Nara melotot saat ponselnya dibanting oleh Genan. Dia menatap nanar ponselnya yang hancur berkeping, kemudian beralih menatap tajam Genan. Nara yang sudah benar-benar marah pun hendak melayangkan tamparan lagi pada rahang tegas Genan. Tapi sialnya, Genan justru dengan sigap menangkapnya.

Genan sebenarnya tak ada niatan untuk menghancurkan ponsel Nara. Dia refleks melemparnya begitu saja karena kesal.

Laki-laki berwajah tampan itu mendekat lalu menarik pinggang Nara hingga tubuh mereka benar-benar dekat bahkan menempel. Genan juga merasa perut buncit Nara menempel pada perut sixpack nya.

Tangan cowok itu menyusup ke dalam baju Nara guna menyentuh perut yang membuncit itu dan mengelusnya. Entahlah, Genan juga bingung kenapa dia melakukan itu. Seperti ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan hal demikian.

Hal itu benar-benar membuat Nara membeku bahkan tanpa sadar napasnya tertahan. Ada perasaan aneh yang Nara rasakan saat tangan kekar Genan menyentuh perutnya. Seperti ... dia ingin tangan itu terus mengelus perutnya lembut dengan penuh kasih sayang dan mengakui bahwa yang di dalam sana adalah anaknya.

"Lo bilang ini anak gue?"

"L-lo udah percaya?" tanya Nara terbata.

"Pulang sama gue kalo lo mau tahu jawabannya," balasnya.

Nara mendorong bahu Genan kuat. "Nggak ada jaminan gue bisa aman kalo tinggal sama lo lagi!"

"Ada. Lapor sama Opa kalau gue jahatin lo. Gue nggak bisa ngapa-ngapain kalau Opa Deo sudah bertindak."

"Gue nggak mau!" ulang Nara masih dengan pendiriannya.

Genan menatap dingin pada istrinya itu. Tatapan itu juga terkesan mengintrupsi bahwa Nara harus menurut. Dia maju mendekat, tapi lagi-lagi Nara mundur. Tapi dengan cepat Genan berhasil menarik lengan Nara, kemudian menarik pinggang ramping gadis itu semakin dekat dengan tubuhnya.

"Genan! Lepas! Gue nggak mau!" Nara berontak, tapi Genan justru semakin menarik pinggangnya dan menahannya kuat.

"Nggak mau?" ujar Genan menunduk menatap wajah takut Nara.

"Enggak akan! Lo---"

"Nurut atau gue cium lo sampai pingsan?"

Nara melotot mendengar penuturan lelaki di hadapannya. Bulu kuduknya meremang saat netranya bertubrukan dengan iris tajam milik Genan. Dari sorot matanya yang dingin tersirat ada permohonan sekaligus paksaan.

Lagi-lagi Nara berontak dengan berusaha memukul dada Genan agar menjauh darinya. Namun tanpa disangka, Genan justru terlihat kesal dengan tindakannya itu. Cowok itu melepas tangannya dari pinggang Nara dan beralih menangkup rahang ramping perempuan itu dan membungkam bibir Nara. Lagi.

"Emphh," lenguh Nara saat bibir Genan mendarat pada bibirnya lagi.

Genan semakin menarik tengkuk Nara dan memperdalam ciumannya. Tidak seperti tadi yang kasar dan rakus, kini ciuman itu terasa lebih lembut dan hati-hati.

Di sela ciumannya, Genan merasa bahwa Nara tampak bergetar ketakutan. Dia pun melepas ciumannya, lalu kedua tangan kekarnya menangkup wajah kecil Nara. Atensinya tertuju pada kedua netra gadis di hadapannya yang memerah dengan airmata yang siap meluncur. Nara hendak melayangkan tamparan pada rahangnya, tapi lagi-lagi dengan Genan menahannya.

"Pulang."

Nara tak menjawab, dia masih berusaha melepas tangannya yang digenggam kuat oleh Genan dengan airmata yang meluruh. Saat Genan menciumnya, memori tentang malam buruk itu langsung datang memenuhi pikirannya. Nara takut. Dan mungkin merasa trauma.

"I beg you, please."

Nara membeku, matanya tertuju pada netra Genan yang kini lebih menghangat dari sebelumnya. Tidak dingin dan tajam seperti tadi. Dari sorot mata dan nada bicaranya juga terkesan ada sebuah permohonan.

Nara mengusap kasar bibirnya yang kembali berdarah karena ciuman Genan "Gue nggak mau! Lo kasar, Nan."

Wajah Genan tampak berubah menjadi sendu. Tangannya hendak menyentuh bibir Nara yang terluka, tapi langsung ditepis kasar oleh pemiliknya. "Now i beg you, please leave me," mohon Nara.

Genan menggeleng,  "nggak. Anak itu butuh gue. Iya, kan?"

Napas Nara tertahan. Semua kemungkinan kini berkelana dalam benaknya. Apakah Genan sudah percaya padanya? Apakah Genan sudah mengingatnya? Apakah Genan sudah menyadari bahwa itu anaknya? Dan masih banyak lagi kemungkinan yang mucul di benak Nara.

"Key ...," Genan mengusap lembut bibir Nara yang berdarah sebab kegiatannya tadi. "Maaf."

Nara kembali membeku saat jemari Genan menyentuh bibirnya lembut. Apalagi saat mendengar lelaki itu memanggilnya dengan nama 'Key'. Tak hanya itu, ucapan 'maaf' yang keluar dari bibir Genan juga membuat Nara diam membatu.

Nara menepis jari Genan dari bibirnya lantas menatap tajam suaminya itu. "Gue---

"Kalo lo bilang 'nggak mau' gue bakal bikin lo pingsan saat ini juga," potong Genan santai tapi terlihat penuh penekanan dan ancaman.

Nara membelak kaget. Ancaman Genan terlihat tak main-main. Ingin sekali Nara menendang Genan jauh-jauh dari hadapannya. Menatap wajahnya saja membuatnya muak.

"Key, pulang, ya?" sahut Genan.

Nara sedikit merasa aneh saat Genan memohon dengan suara lembut. Tapi dia tetap menggeleng kekeuh. "Kenapa lo nyuruh gue pulang?"

"Gue kacau." Hanya itu yang Genan ucapkan. Tanpa menjelaskan hal apa yang membuatnya kacau.

Hal yang selanjutnya membuat Nara seperti tersengat listrik adalah saat Genan tiba-tiba merengkuhnya, tak hanya itu dia juga mengelus lembut surai panjangnya. "Balik lagi ke gue," mohonnya lagi dengan suara pelan.

Nara terdiam tak bergeming dalam pelukan Genan. Untuk pertama kalinya dia dipeluk hangat oleh suaminya sendiri. Seharusnya dia menolak dan mendorong lelaki itu, tapi entah kenapa hatinya justru menghangat. "L-lo udah inget? Lo udah percaya, kan, kalau gue hamil anak lo?"

"Dia butuh gue?" tanya Genan lagi yang dibalas anggukan kaku oleh Nara. Tak munafik, Nara sadar bahwa anaknya butuh figur seorang ayah dan mendapat kasih sayang darinya.

"Kalo gitu pulang sama gue." Genan semakin mengeratkan pelukannya, tapi dia juga berusaha agar tak membuat perut Nara tertekan.

Setelah melepas pelukannya, Genan kemudian meraih dagu Nara pelan. Menatap mata sayu itu sejenak, seraya menyingkirkan helai rambutnya ke belakang telinga. Lalu pandangannya jatuh pada bibir ranum gadis itu.

Cup.

Satu kecupan mendarat lembut di bibir Nara. Hanya kecupan ringan, tak ada lumatan kasar seperti tadi, tapi mampu membuat Nara membeku tak bergeming.

"Key ... comeback home with me," mohonnya lagi.

"Jangan sakiti gue lagi ...," lirih Nara.

Genan mengenggam jemari gadis itu dengan lembut, hal itu membuatnya tersentak. "Enggak akan," kata Genan sebelum dia membawa Nara keluar dari sana.

Genan tersenyum karena berhasil membawa istrinya kembali padanya. Dan tanpa disadari terdapat CCTV yang merekam semuanya.

.
.
.

- BERSAMBUNG-

Coba tebak Nara pernah donorin ginjalnya ke siapa? Tulis tebakan kalian di sini👉

Udah ada cluenya loh di part sebelum-sebelumnya 😌

Kalian pengen Genan bucin? Kalian juga pengen Genan nyesel? Jawabannya BISA! Nikmati aja dulu alurnya😎. Penyesalan Genan yang sesungguhnya juga akan ada nanti 😌. Sampe nangis kejer sambil guling-guling dia. Eh. #plak

SPAM 'NEXT' YANG BANYAK 👉

Kalian semangat komen, aku juga semangat nulis 🔥

See u next <3

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 182K 36
ᴹᵃʳⁱ ᴺᵍᵃᵏᵃᵏ ˢᵃᵐᵖᵃⁱ ᴮᵉⁿᵍᵉᵏ "Diam atau gua sleding!" ujar Libra tegas. Tidak ingin bernasib buruk, Embun diam mematung sambil menunduk. Dia sangat kece...
19.4K 2.9K 44
"Sampe sini aja, ya, Nar. Jangan terusin lagi perasaan yang mustahil gue bales. Kalo emang lo bener-bener sayang sama gue, please lepasin gue." --- K...
4.4M 399K 71
(Belum di revisi) Apa yang kalian pikirkan tentang Rumah sakit jiwa mungkin kalian pikir itu adalah tempat penampungan orang gila? Iya itu benar aku...
646K 61K 58
Kenal Zio Agraham? Pria yang berharap mewariskan segala sifat buruknya terhadap anak. Masa lalunya sebagai pria terkejam dengan satu kali tampar mamp...