Another Pain [END] âś”

By goresanlaraf

212K 13.8K 960

[COMPLETED] Mereka pernah berkata, jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Mereka juga pernah berkat... More

I •Hati yang terbalut luka•
II •Yang tak pernah teranggap•
III •Berjuang untuk diri sendiri•
IV •Keluh dan rasa sakit•
V •Terlalu sulit berdamai dengan hati dan keadaan•
Vl •Sosok yang mengingatkannya pada masa lalu•
VII •Khawatir•
VIII •Hari terpenting dan hancur•
IX •Diary depresiku•
X •Kisah tentang duka•
XI •Pulang untuk kembali terluka•
XII •Aku bukan pembunuh•
XIII •Tak berujung•
XIV •Semangat hidup yang di patahkan•
XV •Sembunyi di balik tawa•
XVI •Berkorban•
XVII •Tuhan masih menyayanginya•
XVIII •Hati nurani yang telah hilang•
XIX •Terlalu letih•
XX •Berarti•
XXI •Pupusnya sebuah asa•
XXII •Tak lagi bersama•
XXIV •Menghindar•
XXV •Hadir untuk di acuhkan•
XXVI •Masa sulit•
XXVII •Rasa yang terpendam•
XXVIII •Ketulusan hati•
XXIX •Kebahagiaan itu semu•
XXX •Sakit yang mendalam dan keputusan•
XXXI •Bukanlah segalanya•
XXXII •Tak akan sendiri•
XXXIII •Selalu salah•
XXXIV •Permainan tanpa garis finis•
XXXV •Opera Tuhan•
XXXVI •Masih disini merakit luka•
XXXVII •Rapuh yang terbalut indah•
XXXVIII •Dalam belenggu•
XXXIX •Setiap sesak mengandung luka•
XL •Mimpi itu tak lagi tentang kebahagiaan•
XLI •Untaian kata yang tak sampai•
XLII •Paksaan untuk tetap bertahan•
XLIII •Bunga merekah yang tak akan pernah layu•
XLIV •Berselimut dengan kenangan•
XLV •Untuk diri yang tak ingin terluka lagi•
XLVI •Luka yang telah pergi dan tak akan kembali•
EXTRA CHAPTER •Timbal balik kehidupan•
AYO KENALAN SAMA DHEGA
EXTRA CHAPTER •MEMORABILIA•

XXIII •Tak lagi utuh•

3.1K 256 12
By goresanlaraf

🎶 Playing Song : Tami Aulia ft Dhani Admaja - Aku yang terbuang 🎶

HAPPY READING

“Bagaimanapun juga kau harus terus berjalan. Sampai Tuhan sendiri-lah yang memintamu untuk berhenti.”

—Regi Sabiru

⚠️ Baca part sebelumnya agar tidak lupa ⚠️

     "Papa tidur aja, ya? Istirahat."

     Membantu Ayahnya untuk berbaring di atas kasur, Reyga menaikkan selimut tebal berwarna putih hingga setengah dada. Setelah kejadian tadi, tak ada yang berani berbicara selain Ayahnya yang terus mengumpat karena begitu kesal.

     Adli memijit pangkal hidungnya sembari memejamkan mata. Lalu berkata, "Makasih, Rey. Kamu juga tidur, besok sekolah."

     "Iya, Pa. Malam," pamit Reyga, mematikan lampu kamar sang Ayah. Lalu setelahnya, tak ada lagi perkataan yang terlontar dari mulut sang Papa.

     Reyga menghela napas panjang, ia lekas keluar dari kamar yang Ayah dan menutup pintunya pelan lalu kembali melangkahkan kakinya menuruni Anak tangga.

     Sejenak ia terdiam dalam beberapa detik di, sorot matanya tertuju pada ruang makan yang tadi sempat jadi saksi bisu atas pertengkaran Ayahnya dan Regi.

     Perlahan-lahan Reyga menghampiri meja makan, sesaat setelahnya rekaman ketika Regi menatapnya dengan ekspresi terkejut, kepergian lelaki itu—membuat Reyga merematkan jari jemarinya yang terkulai di sisi tubuhnya.

     Berjalan ke sudut meja makan, dengan mulut yang masih tertutup rapat, Reyga lekas berjongkok saat netranya menemukan sebuah kertas berwarna cokelat yang terlipat—tangannya lekas mengambil kertas itu dan mulai membukanya perlahan.

     Kedua mata Reyga bergetar, tangannya yang masih memegang lipatan kertas itu pun ikut bergetar. Jadi, sebelum pertengkaran tadi, saudaranya sudah menyiapkan semuanya dan memilih untuk pergi dari rumah ini?

     Sebelum pada akhirnya semua berjalan di luar ekspektasi, Ayahnya mengusir Regi dan bahkan mengancam akan mencoret nama Anak itu dari dalam datfar kartu keluarga.

     Air matanya tak dapat lagi ia bendung, Reyga meremat kertas tersebut terlampau erat. Ia menyesali perbuatannya, seharusnya ia tahu posisi Regi, seharusnya ia bisa memahami saudaranya lebih dalam. Tapi apa? Ia benar-benar bodoh sekarang.

     "Maafin gua Re, maaf." Reyga hanya mampu merancau di sela tangisnya yang tumpah. Ia tak tahu jika sesakit ini menjadi Regi.

•••

     Hujan rintik-rintik berhasil mengguyur kota malam, Regi mematikan mesin motornya tepat di depan sebuah pemakaman umum. Sesaat setelah turun dari atas motor, ia lekas melangkahkan kakinya jauh ke dalam dengan menenteng satu ikat bunga mawar putih yang tampak indah.

     Sepi, sunyi, tak ada siapapun selain hanya sapuan halus angin malam yang bergelayut mesra bersamaan dengan rintik-rintik hujan—menerpa wajah Regi yang nampak lelah.

     Regi lekas berjongkok saat netranya menemukan pusara berwarna putih bersih, senyumnya pun mengembang. Sontak saja, satu tangannya yang bebas mulai mencabuti satu persatu rumput liar yang tumbuh di sekitaran makam. Regi membersihkan makam itu dengan seksama.

     "Halo, Ma, apa kabarnya?" tukas Regi, meletakkan bunga mawar putih yang sempat ia bawa tadi tepat di dekat pusara. "Maaf, Regi baru jenguk Mama sekarang."

     Senyuman tipis itu tampak begitu tulus, di balik wajahnya yang tampak tirus dan tercetak guratan lelah. Tangan Regi mulai tertuntun, mengusap pusara Ibunya.

     Bibir yang tadinya terangkat ke atas—menciptakan sebuah senyuman indah, kini melengkung ke bawah dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.

     "Mama pasti kedinginan, ya?" gumamnya. "Apa senyaman itu tidur di sana, Ma?"

     Petir menyambar, hujan semakin lama semakin deras. Bunga yang Regi bawa tampak basah beserta makam sang Ibu juga Regi sendiri tentunya. Akan tetapi, seakan tak terjadi apa-apa, Regi tak sekalipun mengalihkan pandangannya dari makam sang Ibu.

     "Ma, kenapa Regi selalu salah di mata Papa?" bibirnya mulai bergetar, Regi semakin erat mencengekeram pusara sang Ibu. "Dulu Papa gak begitu, kan, Ma? Tapi, kenapa sekarang berubah?"

     "Semuanya udah gak sama kayak dulu waktu Regi kecil. Papa berubah jadi sosok Monster."

     "...Monster yang selalu buat Regi takut, Monster yang kapan saja bisa membunuh Regi," lanjutnya dengan suara yang terdengar pilu.

     Kepalanya tertunduk dalam, bahunya sedikit bergetar, tangannya masih setia mencengkeram erat pusara sang Ibu. Tubuhnya yang sudah basah kuyup, Regi benar-benar acuh dengan dirinya sendiri sekarang.

     "Tadi, tadi—bahkan Papa ngusir Regi dari rumah." mata itu, mata elang yang selalu menyorot tajam, kini tampak sayu.

     "Regi udah gak di inginkan lagi, Ma."

     Tak ada hal lain yang mampu Regi pikirkan saat ini. Jiwa dan raganya seakan keluar dari tubuhnya—seperti tak kuat menerima setiap cobaan yang selalu datang tanpa mau berhenti.

     Hati Regi tak lagi utuh—malah sudah hancur lebur, tak ada satupun orang yang berhasil menyembuhkannya.

     Regi kembali mendongakkan kepala, menatap makam sang Ibu dengan matanya yang sudah sembab di balik topi hitam yang bertengger di kepalanya.

     "Regi cuman mau merasakan kasih sayang Papa lagi. Apa itu susah, Ma?"

     "Apa Regi harus terus berjuang? Meneruskan hidup? Sampai nanti Tuhan benar-benar meminta Regi untuk pulang?"

     Tubuh Regi terjatuh di atas pasir hitam, kepalanya ia tundukkan—bertumpu di depan pusara sang Ibu.

     Tak ada yang tahu jika Regi juga manusia, dan bisa menangis dan rapuh kapan saja.

     "Tolong peluk Re, Ma... Tolong peluk, Regi."

•••

     "Bima, Papa mau ngomong sama kamu."

     Di kamarnya, Bima menolehkan kepala saat jari-jarinya bergerak—memetik setiap senar gintar yang tertumpu di atas pahanya di bawah lengan. Setelahnya, di letakkan gitar itu di sampingnya.

     "Mau ngomong apa, Pa?" tanya Bima yang mempersilahkan Fahmi duduk di sampingnya.

     Di sana Fahmi tersenyum tipis, lalu lekas mengambil duduk dengan pandangan yang menetap luar jendela yang sedang turun hujan.

     Bima masih terdiam, ia menatap Famhi lama—menunggu Ayahnya membuka suara dan memberitahunya apa yang hendak lelaki itu utarakan atau tanyakan padanya.

    Belum sempat berbicara dengan Bima, tahu-tahu sudut mata Fahmi sudah meneteskan air mata. Bima pun yang tahu mengernyit keheranan.

    "Papa nangis?" tanya Bima denga seksama.

     Fahmi yang menyadari hal itu buru-buru mengangkat tangannya dan lekas menghapusnya. "Ah, enggak, kok."

     "Papa ngak pandai bohong sama Bima," jawabnya dengan satu helaan terdengar.

     "Ada masalah, ya?"

     Fahmi menarik napasnya dalam, lalu ia keluarkan perlahan. Sebelum tangannya mengeluarkan sebuah amplop cokelat berukuran sedang dari dalam saku celananya.

     Di tatapnya lekat-lekat amplop itu, bahkan tangannya ikut bergetar.

     "Itu apa, Pa?" kedua dahi Bima saling bertautan, menatap penuh selidik amplot cokelat itu juga Ayahnya secara bergantian.

     "Bima boleh buka amplopnya," ujar Fahmi. "Tapi dengan satu syarat, Bima gak boleh marah ataupun sedih setelahnya."

     Bima yang tanpa pikir panjang lekas mengambil alih amplop itu dari tangan Ayahnya, membukanya perlahan yang ternyata di dalamnya ada satu kertas putih yang terlipat memanjang.

     Dan saat itu juga dunia Bima seakan runtuh dan hancur dengan sendirinya. Tenggorokannya tercekat, napasnya seakan mencekiknya erat. Berkali-kali juga Bima menelan ludahnya sendiri—mencoba meyakinkan jika apa yang kini dilihatnya bukanlah nyata.

     Bima mengalihkan pandangannya pada sang Ayah yang sudah menunduk dalam. "Papa bohong, kan, soal ini? Ini prank pasti."

     Kepala Fahmi menggeleng lemah, "Maaf."

     Bima terus menggeleng cepat, di tatapnya lagi kertas di tangannya dengan tangan yang bergetar juga kedua mata yang berkaca-kaca. Sejauh ini Bima tak pernah menangis, ia selalu mencoba terlihat kuat di hadapan orang.

     Terkecuali kali ini, ia benar-benar seperti ajalnya sudah di depan mata. Yang mana tak mampu membuatnya berkata-kata.

     Diagnosa ananda Regi Sabiru
     Kanker lambung stadium 2

     "Ini gak mungkin, Pa. Selama ini dia selalu baik-baik aja. Bahkan gak pernah ngeluh yang aneh-aneh sama Bima."

     "Tapi Tuhan berkata lain, Bima," ungkap Fahmi lirih.

     Dan air mata yang tadinya tertahan, kini berhasil keluar begitu deras. Melihat hal itu, Fahmi lekas meraih tubuh Anaknya dan membawanya ke dalam pelukan. Di peluknya erat tubuh Anak itu yang kini sudah bergetar hebat.

     Fahmi tahu seberapa sayangnya Bima pada Regi.

     Bima tak mampu lagi berkata, selain hanya menangis di pelukan Ayahnya.

•••

     Bersamaan dengan hujan yang sudah berhenti beberapa jam yang lalu, Motor itu berhenti tepat di salah satu cafe di pinggiran kota. Regi membuka helm full face miliknya, saat di pintu kaca cafe itu tertempel sebuah kertas putih.

     Cafe kami sedang membutuhkan
     waiters/karyawan
     Untuk shif sore hingga malam
     Silahkan hub no ini 082346xxxx

     Regi menarik napas panjang, sebelum pada akhirnya kakinya bergerak maju menghampiri cafe yang tampak sepi karena hari sudah semakin larut. Sebelum benar-benar masuk, Regi berdoa dalam hati agar kali ini keberuntungan berpihak padanya.

     Cling...

     Bunyi lonceng yang tergantung di pintu cafe, membuat atensi pejaga cafe teralihkan. Setelahnya, sapaan ramah pun Regi terima.

     "Selamat datang di cafe kami." tak urung Regi tersenyum, lalu lekas mendekati kasir. "Mbak, maaf apa di sini bener lagi buka lowongan kerja?" Regi bertanya.

     Wanita muda itu berkedip berkali-kali saat melihat Regi, sebelum pada akhirnya berdeham kecil dan lekas membalas pertanyaan Regi.

     "Ah, iya, Mas... Cafe kami sedang membutuhkan karyawan," ungkap wanita itu ramah. "Apa Masnya mau lamar kerja di sini?"

     Regi mengangguk cepat, "Iya, Mbak... Saya ingin lagi nyari kerjaan."

     "Ah, baik kalau begitu sebentar, saya panggilkan atasan saya dulu. Mas bisa tunggu di situ."

     Dan selepas kepergian wanita tadi ke belakang, Regi lekas berbalik dan mengambil tempat duduk yang tak jauh dari kasir. Sembari menunggu, Regi mengedarkan pandangannya ke segala penjuru cafe. Cafe itu tidak besar juga tidak kecil, melainkan sedang.

     Nuansa klasik yang mereka usung, mampu membuat suasana cafe menjadi lebih nyaman. Selain itu, hiasan lampu-lampu kecil serta pepohonan kecil di sudut—menambahkan kesan yang indah untuk di pandang.

     "Masnya mau lamar kerja di sini, ya?"

     Lamunan Regi terpecah saat ia mendengar sebuah suara, ia lekas mendongak dan berdiri saat menemukan sosok seorang lelaki paruh baya—tersenyum ramah padanya.

     "Iya, Pak, saya mau lamar kerja di sini," jawabnya antusias.

     Lelaki paruh baya itu mengangguk di balik senyumnya, "Duduk aja lagi, Mas," pinta lelaki itu sembari ikut mendudukkan tubuhnya di depan Regi.

     "Iya, jadi begini... Beberapa hari lalu karyawan saya mengundurkan diri, dan membuat kami sedikit kewalahan menangani pembeli," ujar lelaki itu sedikit bercerita.

     Setelahnya, matanya menatap Regi dengan seksama. Regi yang di tatap merasa gugup.

     "Masnya umur berapa?" tanya lelaki itu.

     "Saya masih SMA, Pak." Regi menjawabnya dengan cepat. "Saya bisa kalau untuk shif sore."

     Lelaki itu mengangguk lagi. "Sebelumnya apa sudah pernah bekerja sebagai karyawan cafe juga?"

     Regi mendadak semakin gugup, tapi mana mungkin ia berbohong. Jadi ia akan menjawab seadanya.

     "Belum, Pak. Tapi saya usahakan saya tidak akan mengecewakan Bapak ataupun pihak Cafe," jelasnya.

     Lamat-lamat Regi menatap wajah lelaki paruh baya itu. Terbesit satu pertanyaan di otaknya, apakah ia kan di tolak?

     "Baik, kamu saya terima jadi karyawan saya." lelaki itu berujar sangat mantap tanpa ada satupun keraguan di wajahnya. Regi yang mendengar hal itu tampak terkejut bukan main.

     "Bapak serius?" tanya lagi tak percaya. "Apakah tidak ada persyaratan untuk melamar, Pak?"

     Lelaki itu malah terkekeh, "Saya melihat ada kegigihan di mata kamu. Dan saya yakin jika kamu bersungguh-sungguh memiliki niat untuk bekerja. Dengan usiamu yang masih belia."

     Tak percaya dengan jawaban yang lelaki itu lontarkan, Regi lekas menunduk dan menjabat tangan lelaki itu.

     "Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak. Sebisa mungkin saya akan bekerja keras dan tidak mengecewakan cafe Bapak."

     "Iya, besok kamu boleh mulai bekerja, ya," tukas lelaki itu. "Kamu bisa ke sini jam tiga sore sampai jam sepuluh malam."

     "Ah, terima kasih, Pak. Terima kasih sekali lagi." Regi berkali-kali berterimakasih pada lelaki itu. "Kalau begitu saya pulang dulu, Pak. Besok saya akan ke sini tepat waktu."

     Kepala lelaki itu mengangguk, senyumnya bahkan tak pernah luntur. Ia menepuk bahu Regi sejenak, sebelum benar-benar membiarkan Anak itu pergi dari cafe miliknya.

     "Kegigihannya benar-benar luar biasa. Rasanya, ingin sekali mengangkatnya sebagi Anakku."

•••

     Regi benar-benar berterima kasih pada Tuhan, karena telah mengabulkan doanya. Ini pertama kali dalam hidupnya, ia memilih untuk pergi dari rumah dan mencoba untuk hidup mandiri.

     Tak ada maksud lain dari Regi, Regi hanya mau membuktikan pada Ayahnya jika ia bukanlah Anak pembawa sial, ia juga bisa hidup mandiri meski ia juga tak tahu bagaimana alur jalan hidupnya di waktu selanjutnya.

     Mulai sekarang, Regi akan terus memperjuangkan hidupnya—membuka mata Ayahnya jika ia juga bisa di andalkan seperti saudaranya yang lain.

     Selepas itu, Regi benar-benar tak ada tujuan selanjutnya—kemana ia akan berlabuh dan singgah karena memang dia sudah tak memiliki rumah untuk pulang. Ingin pulang ke rumah Bima, tapi Regi sadar jika tak selamanya ia merepotkan orang—sekalipun itu saudaranya sendiri.

     Regi harus bisa hidup mandiri, karena dia lelaki—lelaki yang tak boleh lemah—itu kata Ibunya.

     Lama berjalan pelan, hingga membawa Regi pada sebuah masjid yang tampak ada satu orang lelaki yang sedang mengaji. Regi masuk aula masjid—memberhentikan motornya dan melepas helmnya.

     Seperti yang sudah Regi pikirkan sebelumnya, jika mungkin tak masalah untuk bermalam di masjid. Karena ia memang sedang ingin sendiri sekarang, menyembuhkan hatinya yang terluka.

     Ia tak mau orang lain tahu soal asam manisnya hidup yang ia jalani, cukup dirinya dan Tuhan saja yang tahu.

     "Ah, seenggaknya tidur di sini gak masalah."

     Regi melepas jaket denim hitamnya yang sudah sedikit mengering—ia tari di atas dinginnya lantai masjid.

     Setelahnya ia berbaring di sana—mencoba mengistirahatkan otak dan tubuhnya yang sudah lelah karena permasalahan-permasalahan yang hari ini datang secara tiba-tiba.

     "Sshh..."

     Tiba-tiba saja Regi merintih saat di rasa perutnya begitu sakit. Apakah Gerd nya kambuh lagi? Dan sialnya ia belum mengisi perutnya ataupun membawa obat penghilang rasa sakit.

     Regi hanya mampu meringkuk sembari memegang perutnya, "Gak apa-apa Gi, cukup lo buat tidur aja. Pasti besok udah sehat lagi."

     "Sekarang lupakan masalah-masalah tadi. Lo harus istirahat, karena besok akan ada hal baru yang harus lo jalani."

Jangan lupa untuk follow goresanlaraf
Tiktok : goresanlaraf

Continue Reading

You'll Also Like

890 58 10
Menceritakan tentang 7 orang laki-laki penguasa kampus yang bertemu dengan 7 orang gadis istimewa yang merubah hidup mereka menjadi lebih baik.7 oran...
520K 25.7K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
3.1K 462 25
5 sekawan 1000 masalah 1 solusi ~Semesta Yang Sama~
12.2K 2.5K 44
đź’˘Stop plagiat Bercerita tentang perjuangan seorang remaja penginap Alzheimer, di mana hal itu membuat ingatannya bisa hilang kapan saja. Dan di per...