Silence Of Tears (TERBIT)

Da bunnylovv

3.8M 303K 29.7K

📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis denga... Altro

PROLOG
| Part 1 | Iblis
[ Part 2 ] Gagal
| Part 3 | Terungkap
[ Part 4 ] Dia Kembali
| Part 5 | Pertemuan
| Part 6 | Kemurkaan Kevan
[ Part 7 ] Dia lagi?
[ Part 8 ] Rumah Mama
[ Part 9 ] Mereka Tahu
[ Part 10 ] Pengungkapan Nara
[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah
[ Part 12 ] Married
[ Part 13 ] Satu Kamar
[ Part 14 ] Alexa Graceva
[ Part 15 ] Taruhan
[ Part 16 ] Rahasia Genan
[ Part 17 ] Hasrat Membunuh
[ Part 18 ] Cuek
[ Part 19 ] Ancaman
[ Part 20 ] Tuduhan
[ Part 21] Insiden Kolam Renang
[ Part 22 ] Pengungkapan Alexa
[ Part 23 ] Rindu Bunda
[ Part 24 ] Kecewa
[ Part 25 ] Luka Bagi Kevan
[ Part 26 ] Sisi Gelap Genan
[ Part 27 ] Bukan Tuduhan
[ Part 29 ] Teman?
[ Part 30 ] Kembali
[ Part 31 ] Peduli
[ Part 32] Ngidam
[ Part 33] Kesempatan
[ Part 34] Luka dan Masa Kelam
[ Part 35 ] Perhatian
[ Part 36 ] Kepulangan
[ Part 37 ] Malam Tragis
[ Part 38 ] Titik Terendah
[ Part 39 ] Selamat Tinggal
[ Part 40 ] Karena Dia
[ Part 41 ] Terbukti
[ Part 42 ] Maaf
[ Part 43 ] Deynal's Dream
[ Part 44 ] Harapan
[ Part 45 ] Hancurnya Genan
🌹VOTE COVER🌹
OPEN PRE ORDER
EXTRA CHAP
EXTRA CHAP 2
GIVE AWAY!
CERITA BARU | SEQUEL

[ Part 28 ] Pindah

60.8K 5.6K 583
Da bunnylovv

Anyeong👋

Satu minggu nggak up apakah terlalu lama bagi kalian? 😭

Nggak nyangka ternyata ada yang nunggu cerita ini up😳

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN. FOLLOW AKUN INI JUGA BIAR NGGAK KETINGGALAN INFO UPDATE!

SPAM '🤡' 👉

|🌹HAPPY READING🌹|

.
.

"Kev, woy!” sorak Sagara.

“Alexa,” ucap Kevan masih tetap memandang Mauren dari kejauhan.

Sagara begitupun yang lainnya kompak menatap Kevan dengan pandangan bertanya. Lalu pandangan mereka juga kompak beralih menatap murid baru itu, menatapnya cukup lama dan meneliti wajahnya sembari membandingkan dengan Alexa.

Setelah beberapa saat Aldo menoleh pada Kevan, “mata lo katarak kali, Kev. Tuh cewek sama sekali nggak mirip sama Alexa,” pungkasnya.

“Matanya,” pungkas Marcel. Kompak mereka menoleh lagi pada Mauren dan mengamati matanya, dan benar! Mata gadis itu sangat mirip dengan Alexa.

“Wow, iya anjir. Lo udah punya Alexa, Kev. Matanya doang yang mirip, jangan terpesona lo. Atau lo lagi kangen kali ya? Bucin juga lo,” Sagara tergelak.

Kevan tak menanggapi ucapan Sagara. Ia menunduk lalu kembali menyantap makannya. Sebenarnya para sahabatnya tak tahu kalau ia sedang ada masalah dengan mantan kekasihnya—Alexa, masalah yang cukup rumit hingga membuat Alexa memilih untuk pergi.

“Murung lagi, dah. Lo kenapa, sih, Kev!? Lagi ada masalah sama kembaran lo? Atau sama Alexa?” Aldo berujar.

“Bacot.” Kemudian Kevan beranjak seraya menghirup batang rokok yang ujungnya sudah dinyalakan.

Namun baru beberapa langkah, Kevan dihentikan oleh Ghava yang kebetulan lewat seraya membawa sebotol air mineral dan susu kotak coklat. Kevan menatap datar Ghava saat rokoknya dirampas, dibuang, lalu diinjak oleh cowok itu. Sementara Ghava menatap datar dengan aura kekesalan pada wajahnya.

“Lo beneran mau cepet mati?” tekan Ghava pelan.

“Jangan ngerokok lagi. Penyakitan nggak usah belagu,” lanjutnya kemudian pergi.

Ucapan pedas Ghava seolah menyadarkan Kevan bahwa memang ia memiliki penyakit yang tidak bisa dikatakan sepele. Kevan tertawa sumbang seraya mengacak rambutnya. Kemudian menoleh ke meja kantin di mana para sahabatnya menatapnya heran di sana.

“Kalian nggak denger omongan Ghava, kan?” tanyanya kemudian pergi sebelum mendapat jawaban.

Sementara mereka hanya bisa menatap punggung Kevan yang perlahan menjauh dengan tatapan terheran.

“Gue denger.”

“Gue juga.”

“Kevan penyakitan? Dia sakit apa?”

∆∆∆

Karena masih waktu istirahat kelas masih sepi, hanya beberapa murid yang memilih stay di kelas. Cowok minim ekspresi itu menarik kursi di sebelah Nara lalu duduk.  Kemudian ia menyodorkan satu botol air mineral dan susu kotak rasa coklat di meja Nara.

"Nih."

Nara yang baru menyelesaikan memakan bekalnya pun menerima air mineral yang sudah dibuka segelnya oleh Ghava. Kemudian meminumnya. Lalu pandangannya beralih pada Ghava yang sedari tadi tersenyum menatapnya.

"Kenapa senyum?" jawab Nara sedikit ketus.

"Lo udah mendingan?" tanya Ghava tak mengindahkan pertanyakan Nara.

"Hm."

"Muka lo udah nggak sepucat tadi. Jadi lebih kelihatan cantiknya," terangnya seraya merapikan anak rambut Nara dengan senyum manis di wajah datarnya.

Nara menepis pelan tangan Ghava dari rambutnya. Jujur ia tak suka jika cowok itu menyentuhnya. Apalagi saat teringat kemarahan Genan tempo lalu yang terjadi hanya karena Ghava melakukan kontak fisik dengannya.

Setelah menepis tangan Ghava, Nara meraih susu kotak rasa coklat di hadapannya. Rasanya seperti sudah lama sekali ia tak menikmati minuman favoritnya itu.

Nara segera meminumnya, namun baru sedikit yang masuk ke mulutnya tiba-tiba ia merasa mual. Apalagi bau susu itu terasa tak nyaman pada indra penciumannya sehingga membuatnya semakin merasa mual. Perempuan itu pun meletakkan susu coklatnya seraya menutup mulutnya.

"Kenapa? Ini minuman kesukaan lo."

"Nggak enak. Bikin mual," jawab Nara.

Ghava mengernyit, ia meraih susu kotak itu dan mencari tanggal kadaluwarsanya. Akan tetapi di bungkus itu tercatat bahwa tanggal kadaluwarsanya masih lama. Ia sempat mengira susu itu basi hingga membuat Nara mual, tapi nyatanya tidak.

"Padahal ini minuman kesukaan lo. Kenapa tiba-tiba nggak suka?"

"Ck, nggak tahu," decaknya. "Jangan tanyain gue terus, kepala gue pusing sejak pagi. Jangan nyentuh gue seenaknya juga, gue nggak nyaman," dengus Nara lalu menjatuhkan kepalanya ke meja dan menggunakan tangannya sebagai bantalan.

Sementara Ghava mengehela napas. Cowok itu masih berada di kursi samping Nara seraya memandang wajah cantik gadis itu yang sedang memejamkan matanya. Namun beberapa detik kemudian Ghava dengan cepat mengalihkan pandangnya karena Nara mendadak membuka matanya hingga kedua netra kecoklatan Nara beradu pandang dengannya.

Menyadari Ghava masih berada di sampingnya, Nara kembali menegakkan tubuhnya seraya memandang Ghava jengkel. "Pergi, Ghav."

"Ke--"

"Nggak usah tanya kenapa! Gue risih sama lo!" selanya.

Ghava terkejut dengan Nara yang tiba-tiba menyela ucapannya. Jika perempuan itu sudah mulai mengeluarkan kekesalannya dengan suara lantang, berarti Nara memang benar-benar sudah kesal. Ghava lagi-lagi menghela napas, tersenyum tipis lalu beranjak.

"Gue udah kasih peringatan buat lo, Ghav. Jangan deketin gue lagi atau lo sendiri yang akan terluka nanti," gumamnya pelan yang tidak didengar Ghava yang sudah pergi.

∆∆∆

Sekolah sudah semakin sepi karena banyak yang sudah pulang. Termasuk Genan yang diawasi Nara sampai cowok itu keluar gerbang. Nara tak mau kalau sampai Genan nanti melihatnya pergi membawa koper, dan kemungkinan terburuknya adalah cowok itu akan mengikuti kemana ia akan pergi.

Nara meminta koper yang ia titipkan pada satpam tadi pagi dan berterima kasih padanya. "Makasih, Pak."

"Iya sama-sama, Neng."

Nara tersenyum tipis lalu berjalan menuju taxi yang sudah dipesannya. Namun, belum sempat ia benar-benar pergi dari sana mendadak suara Mauren menghentikannya.

"Wah, wah, mau ke mana, nih? Liburan? Pindah?" tanya Mauren yang dibalas tatapan kesal oleh Nara.

"Bukan urusan lo."

"Iya juga, sih. Yaudah hati-hati--eh nama lo siapa ya? Lo orang yang pertama kali gue ajak kenalan, tapi sampai sekarang gue belum tahu nama lo," ujar Mauren.

Nara tak menggubris, gadis itu langsung masuk ke taxi. Kemudian melaju meninggalkan Mauren yang kesal.

Setelah beberapa jam perjalanan, sampailah Nara ke sebuah vila yang sudah dikirim alamatnya oleh Deynal. Vila itu berada jauh dari perkotaan. Tempat itu menawarkan pemandangan pedesaan dan pegunungan. Suasana di sini juga terasa lebih dingin dan sejuk.

Dari luarnya saja sudah tampak jelas bahwa vila itu sangatlah mewah. Nara benar-benar tak menduga sebelumnya bahwa Deynal menyuruhnya tinggal di sini. Sebenarnya dia ingin pergi ke kos-kosan saja, tapi Deynal melarang dan menyuruhnya ke vila itu supaya ia lebih nyaman. Apalagi tempatnya yang jauh dari perkotaan, yang sekaligus menjadi tempat bersembunyi yang aman untuk Nara. Dan soal biaya, kakaknya sudah mengirimnya cukup uang untuk menghidupinya sementara waktu.

Nara disambut oleh penjaga. Kemudian dia diantar ke lantai atas menuju ruangan yang akan ia tinggali untuk sementara waktu.

"Silahkan ... ini ruangannya, Nona. Dan ini kuncinya," ujar petugas itu ranah seraya menyerahkan kunci ruangannya.

"Terima kasih," jawab Nara. Petugas itu mengangguk sopan sebagai balasan, lalu melenggang pergi.

Nara membuka pintu itu, lalu pandangannya langsung mengedar menatap ke sekeliling. Tempat ini terlihat begitu luas dan nyaman. Nara tersenyum dan bernapas lega mengingat ia tidak akan lagi tidur di balkon kamar Genan dan kedinginan di sana.

Drrt... Drrt...

"Udah ke vila?"

Nara mengangguk dan tersenyum tipis. "Udah. Makasih, Kak Dey."

"Hm. Vila itu punya temen gue. Kalo butuh apa-apa jangan sungkan bilang ke dia atau bilang ke gue."

Senyum Nara semakin melebar. Sungguh ingin sekali ia memeluk kakaknya itu. "Pengen dipeluk Kakak ...," pelannya, Deynal justru tertawa mendengar adiknya memohon.

"Tunggu gue pulang. Bentar lagi. Nanti lo bisa peluk gue sepuasnya."

Nara tertawa sejenak mendengarnya. Ah, ia benar-benar merindukan lelaki itu.

"Gue tutup telponnya, ya, Ra?"

Nara mengangguk karena ia tahu pasti kakanya itu sedang sibuk. Setelah telepon dimatikan, pandangan Nara langsung tertuju pada pintu. Terdengar seseorang memencet belnya berkali-kali yang membuat Nara mau tak mau membukanya.

Ceklek

"Selamat siang, cantik. Adeknya Deynal, kan?" sapa seorang cowok seumuran dengan kakak Nara. Nara mengangguk menimpali pertanyaan cowok itu.

"Kenalin gue Kenzo. Temen SMA Deynal sekaligus pemilik vila ini," katanya sembari menyodorkan tangannya.

Nara menerima uluran tangannya dan tersenyum hangat, "Nara, Kak."

Kenzo tersenyum lalu melangkah masuk ke dalam. Di tangannya ia membawa makanan. Cowok itu berjalan menuju meja pantry dan menyiapkan makanannya.

"Duduk dulu. Gue siapin makanan."

Nara menurut lalu duduk di sofa. Setelah beberapa menit Kenzo datang dengan dua piring spaghetti. Ia pun meletakkan makanan itu di depan Nara dan menyuruhnya untuk makan. Kenzo juga menikmatinya. Namun setelah beberapa saat ia terheran karena cewek di hadapannya tak kunjung menyentuh makanannya. Kenzo menatap spaghetti miliknya yang sebentar lagi akan habis, sedangkan milik Nara masih utuh.

Kenzo meletakkan piringnya lalu menatap Nara. "Kenapa? Lo nggak suka? Mau gue beliin ma--"

Huek!

Nara dengan terburu berlari ke arah wastafel seraya menutup mulutnya, lalu Nara memuntahkan isi perutnya. Akhir-akhir perut Nara sering bergejolak dan ingin mual tiap kali dia mencium bau tertentu. Bahkan tadi saat di sekolah saat Ghava menawarkan susu kotak yang merupakan minuman kesukaannya pun Nara juga merasa mual dan mendadak tak suka.

Setelah beberapa saat Nara selesai dan membersihkan mulutnya. Wajahnya tampak lebih pucat dan lesu. Nafsu makannya tiba-tiba hilang begitu saja. Padahal ia tadi merasa lapar.

"Duduk dulu," tuntun Kenzo. Nara pun menurut dan duduk di sofa. Kenzo menyingkirkan piring makanan di sana agar Nara tidak mual lagi.

"Lo pasti sensitif sama bau makanan ya? Deynal bilang lo ... hamil," pungkasnya pelan.

Nara seketika menatap cowok itu, tersenyum getir lalu mengangguk. "Kenapa Kak Dey kasih tahu?"

"Katanya biar gue bisa lebih jaga lo dengan baik sebelum dia balik ke sini."

Nara tersenyum simpul mendengarnya. Meski Deynal tak berada di sisinya, namun Nara bisa merasakan kepedulian kakaknya itu. Sungguh ia ingin cepat-cepat bertemu Deynal. Memeluknya erat dan menceritakan hal-hal yang membuat hari-harinya terasa berat.

"Lo mau makan apa? Biar gue beliin. Atau lo mau gue masakin? Gue bisa masak," pungkas Kenzo seraya tersenyum dan menepuk dadanya bangga.

"Sandwich," singkat Nara.

"Sandwich doang? Nggak kenyang dong," balas Kenzo.

"Tapi Nara maunya sandwich, Kak."

"Ouh ngidam nih ...," goda cowok itu tersenyum jahil.

Memang benar yang dikatakan Kenzo, akhir-akhir ini Nara mendadak menginginkan sesuatu yang jarang sekali diinginkannya. Nara tersenyum tipis, sangat tipis bahkan Kenzo mungkin tak sadar bahwa gadis itu tersenyum. Nara menunduk menatap perutnya yang mulai sedikit menonjol. Tangan gadis itu mengelusnya sayang, ada gelenyar aneh yang ia rasakan saat ia melakukan hal itu. Dia benar-benar tak menyangka ada bayi di sana yang akan semakin membesar nantinya.

Kenzo tersenyum lebar lalu berdiri dengan menjentikkan jarinya. "Okay! Gue bikinin. Cuma bikin sandwich, mah, gue bisa." Kemudian lelaki berusia 23 tahun itu menuju meja pantry dan mulai sibuk dengan kegiatannya.

Nara tersenyum lalu beranjak menuju kaca yang membentang lebar yang menampakkan pemandangan alam yang tampak menyejukkan mata.

"Eh mau ke mana? Lo nggak mau lihat gue masak? Jarang-jarang ada cewek nonton gue masak, loh. Duduk lagi."

"Nggak minat," balas Nara tertawa kecil. Kemudian melanjutkan kegiatannya memandangi area pegunungan dan pemukiman penduduk.

Nara membuka pembatas kaca itu. Seketika angin menerpa helaian rambutnya. Sore ini tak begitu terik, justru langit terlihat kelabu dengan semilir angin yang selalu datang membuat suasana menjadi sejuk. Nara memejamkan matanya, kedua tangannya ia rentangkan menikmati sapuan lembut angin yang menerpa wajahnya.

"Genan, kenapa lo nggak ingat kejadian itu? Kenapa lo secepat itu lupa kalo kita pernah ketemu sebelumnya?" monolognya.

Nara memejamkan matanya menikmati semilir angin saat memori itu muncul di benaknya. Memori buruk yang sulit Nara lupakan sampai kapanpun. Tentang pertemuannya dengan Genan malam itu yang tak pernah ia sangka akan membuat hidupnya semakin berantakan.

"Lo inget aja enggak, apalagi sampai mengakui ini anak lo," gumamnya mengelus perutnya.

Nara mendadak menggeleng dan memukul kepalanya pelan. Dia lupa tujuannya kabur adalah untuk menghindari Genan, dan kenapa dia justru masih memikirkan cowok itu di sini.

Satu hal yang benar-benar Nara harapkan pada suaminya, yaitu Genan mengingat semuanya. Mengingat bahwa mereka pernah bertemu tanpa sengaja malam itu. Mengingat bahwa Genan yang telah merenggut mahkotanya. Mengingat lagi bahwa dia dalah gadis yang pernah Genan rusak dan anak yang dikandungnya adalah hasil benihnya.

Nara ingin meminta maaf pada Kevan karena pernah menuduh cowok itu. Tapi sepertinya sudah tak sempat. Nara bertekad jika suatu saat ia bertemu Kevan, dia akan meminta maaf padanya.

Cukup lama Nara merenung di balkon, kemudian ia kembali masuk saat menyadari gerimis sudah mulai turun dan bertambah deras. Ia menoleh pada Kenzo yang masih fokus membuat makanan yang diminta Nara tadi. Padahal hanya sandwich, kenapa lama sekali?

"Iya gue tahu lo pasti heran kenapa gue bikinnya lama. Soalnya gue buatnya dengan sepenuh hati untuk lo dan baby lo," ujar Kenzo sembari membawa makanannya ke hadapan Nara.

"Nih," Kenzo menyodorkan makanan yang ia buat tadi, dan diterima Nara.

Nara kembali duduk laku mulai melahapnya. Seketika senyuman mengembang saat makanan itu masuk ke mulutnya. Ia pun lanjut memakannya dengan lahap.

"Enak, kan?" tanya Kenzo dan dibalas anggukan oleh Nara.

Kenzo tersenyum puas lalu mengambil sandwich yang satunya kemudian melahapnya. Seketika matanya membelak, ia menutup mulutnya lalu berlari ke arah wastafel dan memuntahkan makanannya.

"Kenapa bohong? Enak lo bilang? Rasanya kayak sampah anjir," kesalnya.

"Kak Kenzo pernah makan sampah?"

"Bukan gitu maksudnya! Itu makanannya rasanya nggak enak, kok lo bilang enak sih!"

"Enggak. Ini enak, kok. Beneran nggak bohong," balas Nara lanjut makan dengan senang.

Kenzo hanya bisa menatap heran perempuan itu yang dengan lahap memakan sandwich buatannya, padahal menurutnya rasanya aneh. Ia benar-benar tak paham dengan selera orang hamil.

∆∆∆

Peluh yang sudah membasahi seluruh tubuh atletisnya tak cukup menghentikan kegiatan lelaki berparas tampan itu. Pukulan dan tendangan terus ia nyalangkan pada samsak yang menggantung. Rambutnya yang basah karena keringat dan tubuh bagian atasnya yang tak terbalut pakaian hingga menampakkan perut six packnya menjadi sesuatu yang sayang jika dilewatkan oleh kaum hawa.

Sayangnya di markas Rhatanox itu tak ada yang namanya perempuan. Mungkin kalau ada, mereka akan berteriak histeris melihat betapa sempurnanya sosok Genan.

Bugh!

Bugh!

Dak!

Genan terus memukul membabi buta pada samsak itu. Tak cukup puas, tiba-tiba terbesit keinginan untuk membunuh guna melampiaskan pikiran kacaunya.

"Ka-kalo gue bilang anak yang gue kandung adalah ... anak lo, apa lo percaya?"

"Selama ini gue salah nuduh Kevan. BUKAN KEVAN, TAPI LO! LO GENAN! ANAK YANG GUA KANDUNG ANAK LO, BUKAN ANAK KEVAN!"

Kalimat itu terus terngiang di kepalanya, seberapa kuat Genan berusaha untuk tak peduli, tetap saja kalimat yang diucapkan Nara terus datang hingga membuat pikirannya kacau. Namun Genan terus meyakinkan dirinya bahwa Nara hanya berakting! Semua yang ia katakan hanya omong kosong belaka!

BUGH!!

Satu pukulan keras Genan berikan sebagai penutup kegiatannya. Cowok itu melepas sarung tangan, kemudian meraih botol minuman dan menenggaknya hingga tinggal seperempat. Kemudian Genan meraih handuk kecil dan ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya yang basah karena keringat.

Cowok itu kemudian keluar dari ruang latihan masih dengan keadaan telanjang dada dan berjalan menuju ruang tengah bernuansa dark vibe itu. Para anggotanya tampak banyak berkumpul di sana, berbagai macam makanan dan minuman juga tersedia, bahkan beberapa botol alkohol pun tak ketinggalan.

"Woy, Nan!" Davis memanggil Genan dengan mengangkat tinggi-tinggi botol alkohol di tangannya.

Genan meraih botol itu, kemudian menenggaknya hingga membuat jakunnya naik-turun. Genan tipe orang yang kuat dengan minuman beralkohol. Menghabiskan satu botol belum cukup untuk membuatnya mabuk.

"Duel sama gue di ring," singkat Genan kepada Davis.

Davis melotot begitupun anggota yang lainnya. Yang benar saja! Genan kalau sudah meminta bertarung di atas ring pasti akan sulit dikendalikan karena bringasnya cowok itu. Bahkan suatu ketika Genan menunjuk salah satu anggotanya untuk duel dan berakhir koma selama satu bulan. Belum lagi ada juga yang kakinya sampai patah. Bahkan beberapa dari mereka memilih keluar dari Rhatanox karena sayang jika nyawanya berakhir di tangan iblis bernama Genan Algerio.

"Lo mau bunuh gue!?" sorak Davis tak terima.

Genan menatap tajam wakil ketua Rhatanox itu. Ada ada alasan mengapa ia memilih Davis sebagai lawan tandingnya, karena cowok itu juga terkenal dengan kehebatannya dalam bertarung. Keduanya sama-sama bringas dan tak kenal ampun. Genan membutuhkan lawan yang seimbang. Dan Davis adalah orang yang tepat.

"Genan, kayaknya jangan, deh. Kasihan Davis woy! Entar kalau dia mati gimana?" ujar Fadel menimpali.

"Lo sebagai gantinya."

Tiga kata yang keluar dari mulut Genan seketika membuat Fadel membeku. "Gu-gue mau pulang. A-ayam gue belum dikasih makan."

Fadel benar - benar hendak beranjak, tapi tangannya tiba-tiba ditahan oleh Arendra. "Lo nggak punya ayam, ogeb!"

"Yaudah, kambing!"

"Goblok! Noh si Bos natap lo, mau dibunuh kali."

Fadel menatap Genan dengan tatapan takut, "jangan gue, ya, Nan. Yaudah Davis aja, hehe," cengirnya. "Sono lo, Dav! Buruan tanding sama Genan. Gue siap ngurus pemakaman lo nanti."

Davis menatap tajam Fadel. Atensinya beralih pada anggota yang lain. Mereka memandangnya dengan tatapan memohon bahwa ia harus menuruti kemauan Genan. Kalau tidak, maka Genan akan menunjuk anggota lain yang tentu tak sehebat Davis Anggara.

"Ngapain lo pada natap gue kayak gitu!?" bentak Davis menatap tajam anggota di sana.

"Sama gue."

Seketika semua pandangan beralih ke sumber suara. Tepatnya ke arah pojok di mana di sana terdapat satu sofa. Mereka menatap tak percaya pada cowok yang kini mulai berdiri dari sana dan menghampiri Genan.

"Duel sama gue," ulang Neron. Ya, cowok dengan julukan ice prince itu yang tadi bersuara. Sepupu Genan.

Tak menjawab. Genan masuk kembali ke ruang latihan, memakai kaos hitam dan jaket kulitnya. Kemudian keluar dari sana dan pergi dari markas. Meninggalkan mereka yang menatap bingung.

"Tadi minta tanding, eh sekarang malah pergi gitu aja!" kesal Fadel yang tak didengar oleh Genan yang sudah keluar.

Hari sudah semakin malam, cowok dengan helm full face itu semakin kencang mengendarai kuda besinya di jalanan sepi itu. Bukannya menolak bertanding dengan sepupunya sendiri, tetapi mendadak tadi terbesit pikiran untuk membunuh. Tiap kali Genan merasa kacau, ia akan melampiaskannya dengan menghabisi nyawa seseorang.

Ckiitt...

Motor yang ia kendari ia hentikan secara mendadak hingga roda belakangnya terangkat. Genan menatap tajam pada seorang dengan helm full face di hadapannya. Keduanya masih berada di motor masing-masing. Meski memakai helm yang menutupi seluruh wajahnya, namun mereka sama-sama menyalangkan tatapan tajamnya.

Genan membuka helmnya, kemudian berjalan ke arah Kevan yang masih berada di motor.

DAK!!

Tanpa aba-aba satu tendangan keras Genan berikan pada Kevan hingga membuat kembarannya itu terjatuh bersama motornya hingga membuat Kevan tertindih.

"BANGSAT!"

Kevan berusaha menyingkirkan motornya. Kemudian melepas helm dan melemparnya asal. Cowok itu menatap tajam Genan. Kemudian membalas pukulannya bertubi-tubi.

Bugh! Bugh! Bugh!

Dak!

"MAKSUD LO APA, ANJING!" marah Kevan seraya meremat kerah jaket Genan yang sudah tersungkur.

Dengan wajah yang sudah babak belur, Genan justru tersenyum miring. "Kita duel. Di sini."

"Gue jabanin!"

BUGH!

Sekali lagi Kevan menghantamkan bogeman pada rahang Genan. Ia hendak melayangkan pukulan lebih banyak, tapi tapi langsung tertahan karena Genan mendadak mendorongnya. Belum sempat Kevan beridiri, saudara kembarnya tiba-tiba menarik kerahnya hingga membuatnya terasa tercekik. Kemudian Genan menghantamkan pukulan membabi buta padanya.

Bugh! Bugh! Bugh!

Brum ... brum ....

"Genan! Lo berhenti atau gue lapor polisi!"

Genan seketika menghentikan pukulannya, ia menoleh menatap Neron yang masih berada di motornya. Kesempatan itu Kevan gunakan untuk membalas pukulan Genan.

BUGH!

Kemudian Kevan berdiri dan meludah saat merasa darah keluar dari sudut bibirnya. Dia berjalan meraih helmnya seraya menyeka kasar darah dari hidung dan bibirnya. Cowok itu berhenti mendadak merasa jantungnya berpacu lebih cepat hingga rasanya benar-benar nyeri.

Kevan menahan rasa sakitnya lalu menegakkan motornya yang tadi  tergeletak. Ia menatap tajam Genan, lantas beralih ke Neron. Tatapannya sangat tajam bagai belati seolah seperti ada dendam di matanya.

"FUCK!"

Setelah mengumpat dan mengacungkan jari tengahnya, Kevan pun melaju pergi dengan perasaan kesal.


.
.
.


-BERSAMBUNG-

Jawab ya! Lebih suka part panjang atau pendek?

SPAM 'NEXT' YANG BANYAK👉

Spam nama doi juga gapapa😭👉

Tembusan 300 vote dan 300 komen bisa nggak?

JANGAN LUPA VOMENT, FOLLOW, DAN SHARE YA!

See u next part lovv <3


Continua a leggere

Ti piacerà anche

40.4K 2K 55
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA AGAR BISA ENJOY READ DALAM VERSI LENGKAP] Terjebak cinta masa lalu, terjebak dengan orang yang telah pergi. Tidak bisa hidup...
1.9M 153K 67
"Seharusnya lo mati, Arisha. Kenapa lo harus hidup setelah buat orang lain koma?" Sadis, kejam, dan penuh amarah, kalimat yang tepat untuk menggamba...
484K 17.8K 30
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
1.2M 147K 48
‼️FOLLOW SEBELUM MEMBACA Belum direvisi. HIGH RANK: • 2 #persahabatan [21/03/2022] • 1 #mostwanted [03/04/2022] • 2 #fiksiremaja [03/04/2022] • 3 #ta...