Silence Of Tears (TERBIT)

By bunnylovv

3.8M 304K 29.7K

📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis denga... More

PROLOG
| Part 1 | Iblis
[ Part 2 ] Gagal
| Part 3 | Terungkap
[ Part 4 ] Dia Kembali
| Part 5 | Pertemuan
| Part 6 | Kemurkaan Kevan
[ Part 7 ] Dia lagi?
[ Part 8 ] Rumah Mama
[ Part 9 ] Mereka Tahu
[ Part 10 ] Pengungkapan Nara
[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah
[ Part 12 ] Married
[ Part 13 ] Satu Kamar
[ Part 14 ] Alexa Graceva
[ Part 15 ] Taruhan
[ Part 16 ] Rahasia Genan
[ Part 17 ] Hasrat Membunuh
[ Part 18 ] Cuek
[ Part 19 ] Ancaman
[ Part 20 ] Tuduhan
[ Part 21] Insiden Kolam Renang
[ Part 22 ] Pengungkapan Alexa
[ Part 23 ] Rindu Bunda
[ Part 24 ] Kecewa
[ Part 25 ] Luka Bagi Kevan
[ Part 26 ] Sisi Gelap Genan
[ Part 28 ] Pindah
[ Part 29 ] Teman?
[ Part 30 ] Kembali
[ Part 31 ] Peduli
[ Part 32] Ngidam
[ Part 33] Kesempatan
[ Part 34] Luka dan Masa Kelam
[ Part 35 ] Perhatian
[ Part 36 ] Kepulangan
[ Part 37 ] Malam Tragis
[ Part 38 ] Titik Terendah
[ Part 39 ] Selamat Tinggal
[ Part 40 ] Karena Dia
[ Part 41 ] Terbukti
[ Part 42 ] Maaf
[ Part 43 ] Deynal's Dream
[ Part 44 ] Harapan
[ Part 45 ] Hancurnya Genan
🌹VOTE COVER🌹
OPEN PRE ORDER
EXTRA CHAP
EXTRA CHAP 2
GIVE AWAY!
CERITA BARU | SEQUEL

[ Part 27 ] Bukan Tuduhan

59.6K 5.7K 658
By bunnylovv

Hai!

Seperti biasa jangan lupa ramein. Jangan jadi silinders eh siders alias pembaca ghoib😔


Part ini banyak. Bacanya pelan-pelan aja biar nggak ada yang terlewat soalnya di part ini ada ...

Jangan lupa vote dan komen!

SPAM '💚' yang banyak 👉

|🌹HAPPY READING🌹|

.
.

Semburat sinar mentari sudah mulai timbul. Perempuan yang terduduk di lantai balkon dengan menelungkupkan kepalanya pada lututnya itu mendongak. Nara menatap sinar mentari di ufuk timur yang belum begitu menyorot menandakan hari memang masih benar-benar pagi.

Lantas pandangannya beralih pada pintu balkon yang terbuat dari kaca itu. Nara mendengus kasar mengingat perilaku Genan semalam yang menyuruhnya tidur di balkon. Tanpa bantal ataupun selimut. Melainkan hanya ditemani dinginnya angin malam yang menusuk kulit. Belum lagi Nara semalam tidur dengan posisi duduk sembari memeluk tubuhnya yang kedinginan, hal itu membuatnya merasa pegal.

Dengan perlahan perempuan itu bangun, lalu meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Kemudian Nara berjalan ke arah pintu balkon yang terbuat dari kaca itu. Matanya membelak saat melihat Genan masih nyenyak tertidur dengan keadaan shirtless alias telanjang dada.

Ia semakin kaget saat terlihat tato burung gagak di sebelah dada kiri Genan semakin tampak jelas di penglihatannya. Melihat tato itu membuat Nara teringat akan sesuatu. Nara juga tahu bahwa Genan juga memiliki tato yang sama di pergelangan tangannya.

Nara mulai mengetuk pintu dan berharap Genan segera membukanya. "Genan! Buka!" teriaknya.

Nara menghentakkan kakinya kesal saat menyadari tak ada respon dari suaminya itu. Ia tak menyerah. Nara terus mengetuk pintu kaca itu berulang kali sembari meneriakkan nama Genan.

"Genan! Bangun, buka pintunya!"

Setelah berusaha cukup lama, Nara akhirnya tersenyum dan bernapas lega saat cowok bertubuh bongsor itu menggeliat dalam tidurnya. Lalu perlahan matanya terbuka. Mata sayu Genan yang masih terlihat mengantuk beradu pandang dengan mata kecoklatan Nara yang menatapnya tajam.

"Cepetan buka!" sorak Nara lagi.

Genan yang masih dalam keadaan berbaring hanya tersenyum miring. Lalu membalikkan tubuhnya membelakangi Nara. Dan lanjut tidur tanpa mempedulikan istrinya yang sedari tadi berteriak. Sebenarnya Genan tak mendengar Nara berteriak karena kedap suara. Yang ia lihat hanya gerak-gerik mulut Nara dan tatapan tajamnya yang menyuruh membukakan pintu.

Sedangkan Nara tentu semakin kesal. Nara menggertak jengkel sembari menatap punggung tegap Genan yang tak terbungkus pakaian. Ingin sekali ia memecah kaca pembatas yang membentang lebar itu, tapi sepertinya tidak mungkin ia berani melakukannya. Terlau nekat.

Nara memutuskan berbalik, pandangannya mendongak menghadap ke langit pagi. Semilir angin seketika membuat tubuhnya meremang karena kedinginan. Nara memutuskan untuk duduk di sofa mini berwarna merah yang ada di sana.

"Genan gila," kesalnya seraya mendudukkan dirinya di sofa itu.

Sembari menunggu Genan bangun, Nara memejamkan matanya sembari menikmati kicauan burung dan sinar mentari yang mulai menyorot.

"Mulai sekarang lo mainan gue, Nara."

Nara seketika membuka matanya saat mendadak perkataan Genan tempo lalu teringat lagi. Nara marah karena baru menyadari bahwa pertolongan yang diberikan cowok itu saat ia hendak bunuh diri mempunyai maksud tersendiri.

"Kenapa lo nyelamatin gue waktu itu? Bukan gue yang ngajak lo masuk ke hidup gue, Genan. Tapi lo dulu yang masuk ke hidup gue."

Nara menghela napas sembari menghirup udara pagi hingga ke rongga dalamnya. Rasanya sangat sejuk dan menenangkan. "Gue capek. Sejak dulu gue pengen nyerah dan bunuh diri, tapi lo malah datang dan bikin gue tambah menderita."

"Tapi demi anak gue, gue nggak bakal nyerah lagi kali ini. Gue bakal berusaha bertahan meskipun itu bikin gue tersiksa," renung Nara dengan senyum kecut.

Nara berdiri dari sofa lalu berjalan ke pinggir balkon. Menghirup udara segar pagi hari seraya menikmati hangatnya mentari yang mulai menyorot lebih terang.

"Gue tahu lo marah dan benci gue karena gue nuduh lo, waktu ayah nanya soal siapa yang pantas bertanggungjawab atas kehamilan gue. Tapi gue punya alasan. Alasan yang cukup kuat kenapa gue nekat nyebut nama 'Genan' malam itu," gumamnya.

"Entah lo akan percaya atau tidak, gue bakal mengungkap hal itu. Hari ini."

Nara merenung cukup lama dengan pikiran bercabang. Gadis itu menghela napas lelah menyadari bahwa hidupnya terasa semakin rumit sejak hadirnya bayi itu. Tapi Nara juga tak bisa terus menyalahkan bayi tak berdosa itu. Nara harus menerimanya walau rasanya berat.

Cukup lama Nara berada di balkon, dan matahari mulai menyorot lebih terang menandakan hari semakin siang. Tapi pintu balkon tak kunjung dibuka yang tentu membuat Nara kesal. Hei, Nara harus sekolah hari ini. Apa ia akan terlambat lagi?

Perempuan itu berjalan ke pintu kaca. Ia sedikit bernapas lega saat tahu Genan sudah bangun. Cowok itu tak ada di ranjangnya, mungkin tengah mandi. Lagi-lagi Nara bernapas jengah. Kenapa tidak dibukakan pintunya lebih dulu!

Nara berdecak kesal. Tapi setelah cukup lama menunggu akhirnya ia melihat Genan yang sudah rapi dengan seragam, lengkap dengan hoodie hitamnya.

"Genan! Buka. Gue juga harus sekolah!" teriak Nara sembari mengetuk pintu itu berkali-kali.

Genan yang tengah merapikan rambutnya dengan jemarinya itu melirik sekilas ke arah Nara. Lalu tertawa sinis dan kembali fokus merapikan rambutnya di depan cermin. Tak peduli dengan Nara yang terus berteriak kesal.

Karena sudah terlalu kesal, Nara nekat mengambil pot tanaman yang ada di balkon dan hendak melemparnya ke pintu kaca itu. Melihat Nara senekat itu tentu membuat Genan melotot. Lantas dengan langkah tegap cowok itu membuka pintu pembatasnya. Jangan lupakan juga tatapan tajamnya yang menusuk pada kedua mata Nara.

"Lo senekat itu? Gila lo," sinis Genan terdengar santai tapi penuh penekanan.

Nara justru tertawa mendengar ucapan Genan. "Lo yang gila! Gila lo karena nyuruh gue tidur di balkon tanpa selimut atau bantal. Gue kedinginan!"

Genan tak menjawab, ia justru melangkah dan mengambil alih pot tanaman dari tangan Nara. Kemudian menaruhnya dengan hati-hati ke tempat semula. Bahkan cowok itu juga membersihkan beberapa daunnya yang sudah kering dengan telaten.

Nara hanya bisa mengamati kegiatan cowok itu dengan kening mengerut. Genan itu kenapa? Aneh sekali.

"Lo lebih peduli sama tanaman itu daripada gue yang kedinginan semalaman?" tanya Nara pada akhirnya.

"Gue?" Genan menunjuk dirinya, "peduli sama lo?" Ia tergelak sejenak, "jangan mimpi!"

Kemudian Genan melenggang pergi, tapi langkahnya terhenti saat Nara memanggilnya. "Genan."

Ia menoleh dan menatap datar perempuan itu. "Apa!?" ketusnya.

"Gue mau ngomong sama lo."

"To the point!"

Nara menarik napas dalam sebelum berujar. "Ka-kalo gue bilang anak yang gue kandung adalah ... anak lo, apa lo percaya?"

Nara meremat jemarinya yang berkeringat, ia menggigit bibir bawahnya menunggu respon Genan.

Genan yang mendengarnya tampak tertawa. Lelaki itu lalu menatap tajam Nara. "Bullshit!"

"Lo sengaja bilang gitu supaya gue berubah pikiran dan bersikap baik sama lo? Dengerin, gue nggak akan pernah percaya sama omongan lo sampai kapan pun itu," lanjutnya.

"L-lo beneran nggak ingat sama sekali dengan kejadian itu?"

"Omong kosong apa yang lo bicarain, anjing!" marah Genan seraya mendorong kepala Nara tanpa rasa kasihan.

Nara seketika memegang kepalanya yang mendadak pusing. Gadis itu kembali menatap Genan dengan tatapan tajamnya.

"Jangan pernah main-main sama gu---"

"Lo yang main-main sama gue! Selama ini lo selalu nyiksa gue, tapi gue tetep berusaha bertahan sama lo! Supaya apa? Supaya lo inget sama gue! Supaya lo inget kejadian malam itu yang bikin hidup gue tambah menderita! " potong Nara.

"Selama ini gue salah nuduh Kevan. BUKAN KEVAN, TAPI LO! LO GENAN! ANAK YANG GUA KANDUNG ANAK LO, BUKAN ANAK KEVAN!"

Napas Nara tampak memburu, airmata yang sedari tadi ia tahan kini meluruh begitu saja. Dengan mata memerah dan wajah yang tampak kacau, Nara menatap suaminya itu yang hanya diam dengan tatapan datarnya.

"Hiks, l-lo beneran nggak inget?"

Genan tertawa keras. Bahkan cowok itu juga bertepuk tangan seraya menggeleng kepala. "Akting lo bagus!"

Genan kemudian mendekat dan menjambak rambut Nara hingga membuat istrinya itu sedikit mendongak kesakitan. "Gue nggak peduli sama omong kosong lo!"

Selepas mengatakan itu Genan mendorong tubuh Nara hingga membuatnya mundur beberapa langkah. Setelahnya Genan meninggalkan Nara yang tampak tersenyum getir sembari menangis. Nara hanya bisa menatap punggung tegap Genan yang perlahan menjauh dari pandangannya. Gadis itu menunduk menatap perutnya yang mulai sedikit buncit dengan tangan mengepal erat.

"Gue nggak pernah bohong, Nan ...."

"Satu hal yang paling gue inget malam itu adalah cowok yang perkosa gue punya tato di dada dan pergelangan tangannya. Gue udah lihat tato itu di tangan lo sejak pertama kali kita ketemu."

Nara lagi-lagi menunduk. Buliran bening itu meluruh lebih deras dari kedua matanya. Nara menangis tanpa mengeluarkan suara hingga tubuhnya tampak bergetar.

"Hiks gu-gue nggak pernah nuduh lo! Gue jujur. Selama ini gue jujur ...."

Ya, memang selama ini Nara berkata jujur soal siapa yang menghamilinya. Awalnya ia yakin bahwa itu memang Kevan, tapi keyakinan itu seketika luntur saat ia tahu Kevan memiliki kembaran. Apalagi saat mengetahui Kevan tidak memiliki tato. Dan Nara ingat betul cowok yang sudah menghancurkan masa depannya malam itu memiliki tato burung gagak di dada kiri dan pergelangan tangannya.

Sejak pertama kali bertemu Genan, Nara sudah terfokus pada tato di pergelangan tangan cowok itu. Awalnya Nara ragu bahwa memang Genan pelakunya, karena cowok itu selama ini tak tinggal di Indonesia, tapi ucapan Kevan kala itu yang mengatakan bahwa Genan sudah dua bulan di Indonesia membuat keyakinannya semakin bulat.

"Gue nggak tahu kenapa lo dengan mudah melupakan kejadian malam itu."

"Gue udah mengungkap alasan kenapa gue nyebut nama lo, Genan. Lo memilih tetap nggak percaya. It's okey, setelah ini gue bakal pergi dan cari kebahagiaan sama anak gue."

Nara menarik napas lalu mengembuskannya dan memutuskan untuk segera mandi dan menyiapkan diri untuk sekolah. Gadis itu terlihat sangat buru-buru karena matahari semakin naik, menandakan hari juga semakin siang.

"Masa telat lagi, sih!" dengus Nara seraya menyambar tas dan melirik jam tangannya.

Dan dengan langkah terburu ia menuruni anak tangga sembari menyeret kopernya. Ia berencana setelah pulang sekolah nanti akan langsung pergi mencari tempat tinggal untuk sementara waktu. Sembari berjalan sesekali ia juga mengumpat pada Genan. Gara-gara suaminya itu Nara mungkin akan terlambat lagi.

"Non Nara!" Langkah Nara sontak terhenti saat suara Bi Ratri memanggilnya.

Nara berbalik dengan kening berkerut. Tatapannya semakin heran saat Bi Ratri menyodorkan kotak bekal berwarna ungu padanya.

"Bekal?" tanya Nara yang dibalas anggukan oleh Bi Ratri.

"Iya, Non. Tuan Deo yang menyuruh saya membuatkan," pungkasnya.

"Makasih, Bi."

"I-itu kenapa bawa koper, Non? Mau kemana?"

"Eh, i-ini punya temen Nara, Bi. Mau dibalikin," bohongnya.

Bi Ratri tersenyum dan mengangguk percaya. "Hati-hati di jalan, Non."

Nara tersenyum hangat. Tak lupa ia juga menyalimi Bi Ratri sebelum melangkah pergi dengan sedikit berlari.

°°°

Napasnya terengah-engah dengan keringat bercucuran membasahi anak rambutnya. Perempuan berseragam SMA itu lagi - lagi bernapas pasrah. Pandangannya beralih pada beberapa murid yang tengah di atur oleh Bu Veta untuk berbaris. Mereka adalah para murid yang terlambat. Termasuk dirinya.

"Nara, ini kedua kalinya kamu terlambat." Suara Bu Veta membuat Nara hanya bisa tersenyum kikuk seraya menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal.

"Maaf, Bu," cengirnya.

Bu Veta menghela napas, "saya harap kamu tidak terlambat untuk yang ketiga kalinya."

Nara hanya bisa menampilkan senyum tipis. Kemudian mengangguk walau rasanya ia tak yakin akan ucapan guru gempal itu.

Bu Veta beralih pada gadis di sebelah Nara dan mulai mengintrogasinya. Sementara Nara lagi-lagi menyeka keringat yang mulai bercucuran lagi. Bagaimana tidak? Mereka yang terlambat saat ini harus berdiri di bawah terik matahari dan diinterogasi Bu Veta yang merupakan guru BK.

"Kamu siapa? Saya tidak pernah melihatmu sebelumnya."

Ucapan Bu Veta seketika membuat Nara menoleh pada gadis di sebelahnya. Kening Nara mengerut saat baru menyadari bahwa murid itu terlihat asing.

"Saya murid baru, Bu," jawab gadis di sebelah Nara.

"Murid baru, kok, terlambat. Seharusnya kamu datang lebih awal di hari pertamamu sekolah di sini. Kamu murid baru tapi hari pertama saja sudah terlambat, itu jelas sudah menunjukkan sikap negatif kamu," omel Bu Veta panjang lebar.

"Ini juga kenapa roknya pendek sekali. Make up kamu juga jangan terlalu menor. Jangan pakai aksesoris yang berlebihan juga," lanjutnya.

"Ibu cantik banget pagi ini. Jangan ngedumel mulu, Bu, nanti cantiknya hi-- emph."

Belum sempat gadis itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Bu Veta mencomot mulut murid baru itu dengan jarinya, hal itu seketika membuatnya melotot. Berbeda dengan para murid yang terkiki menahan tawa melihatnya. Gadis itu tak tahu saja bahwa Bu Veta bisa berubah jadi macan galak jika berhadapan dengan murid tak disiplin apalagi sampai berani mengeles.

"Tutup mulut kamu yang menor itu. Pujian kamu tidak mempan," ketusnya seraya melepas tangannya dari gadis itu.

Gadis itu tampak mendengus sebal. Nara yang sedari tadi menyaksikan hanya menampilkan wajah datarnya. Menurutnya murid baru itu terlalu caper dan alay.

Hukuman hari ini adalah mereka harus menghormat pada bendera di bawah terik matahari. Sebenarnya tak terlalu terik juga, tapi tentu hal itu juga membuat para murid kepanasan dan berkeringat. Termasuk Nara juga yang mendadak kepalanya menjadi pusing, apalagi ia juga belum sarapan.

Sementara di sebelah Nara berdiri murid baru itu. Sedari tadi ia terus bersenandung ria, seolah hukuman ini sudah biasa baginya. Jujur Nara mengakui bahwa suara gadis itu sangat indah walau hanya bersenandung kecil.

"Kenalin nama gue Mauren Kencana. Terserah, sih, mau manggil apa. Tapi temen-temen gue dulu sering manggil 'Au', aneh banget, kan?"

Nara mengernyit heran saat tangan gadis itu yang seharusnya menghormat pada bendera kini tersodor ke arahnya. Nara menatap gadis di sampingnya dengan tatapan datar tanpa membalas uluran tangannya. Selain caper, gadis itu juga bersikap sok kenal, pikirnya.

Gadis bernama Mauren itu tampak mendengus sebal karena diabaikan Nara. Ia pun menurunkan tangannya dengan senyum getir.

"Cuek banget ...," keluhnya.

"Hormat lagi. Bu Veta ngawasin lo," balas Nara mengabaikan pertanyaan Mauren.

Gadis itu menoleh pada guru yang dimaksud Nara. Seketika Mauren menampilkan deretan gigi putihnya saat tahu Bu Veta menatapnya tajam seraya berkacak pinggang. Dia mengangguk canggung pada Bu Veta lalu hormat lagi seraya mendongak ke bendera. Setelahnya terdengar helaan napas dari bibirnya.

"Ini sampai kapan, ya? Nanti kalau kulit gue belang gimana? Huh, haus banget lagi. Nggak ada gitu, kek, cogan yang kasih gue minum?"

Nara bernapas jengah mendengar gadis di sebelahnya terus mendumel. Gadis itu sangat cerewet, berbeda dengannya yang cuek apalagi dengan orang baru.

Menarik napas lalu mengembuskannya perlahan, hal itu yang terus Nara lakukan guna menahan rasa pusing yang mulai menjalar. Nara sedikit membungkuk memegang perutnya yang mendadak nyeri, keringat dingin mulai bercucuran pada pelipisnya. Sesekali rintihan kecil juga keluar dari bibir pucatnya.

"Lo kenapa?"

Nara tak menjawab pertanyaan Mauren, ia hanya menggeleng dengan posisi masih membungkuk seraya memegang perutnya. Namun kali ini rasa sakitnya terasa berbeda, Nara merasa pinggang kirinya yang terasa lebih nyeri.

"Awhh, shh," ringis Nara semakin meremat pinggang bagian kirinya yang terasa semakin menyiksa.

"Lo sakit!?" pekik Mauren. "BU! BU PETA! CEWEK INI SAKIT, BU!" teriak Mauren seraya melambaikan tangannya.

Guru perempuan yang sedari tadi mengawasi itu seketika berlari kecil menghampiri. Bu Veta membantu Nara menegakkan tubuhnya dan hendak menuntunnya berjalan ke UKS.

"Nama saya Bu Veta bukan Peta," tekannya pada Mauren.

Mauren menutup mulutnya, lalu melotot terkejut.

"Nggak usah melotot! Ini bantu bawa Nara ke UKS."

"Ta-tapi saya nggak kuat bawa dia, Bu."

"Bantu jalan maksudnya! Mumpung dia belum pingsan!"

Mauren kelimpungan berdiri di samping Nara, lalu meletakkan salah satu tangannya di bahunya. "I-iya Bu Peta, ini saya bantu. Ayo!"

Bu Veta tampak mencebik sebal karena mendengar murid baru itu salah menyebut namanya lagi. Daripada terus berdebat, mereka pun menuntun Nara ke UKS.

°°°

Gadis bernama Mauren Kencana itu tampak heboh di kelas barunya. Gadis itu menyapa para murid tampan di kelasnya dengan berbinar. Ia tak menyangka bahwa teman kelasnya adalah kumpulan cogan vitamin mata.

Gadis itu juga tampak bercanda ria dengan teman barunya. Padahal ia baru pertama kali menginjakkan kakinya di kelas ini, tapi Mauren seolah sudah akrab dengan mereka. Ya itu karena pribadinya yang easy going yang tentu membuatnya mudah mendapat teman.

"Halo ganteng, namanya siapa? Mau jadi pacar gue nggak?" tanya Mauren pada murid paling cuek di kelas XI IPA 1. Siapa lagi kalau bukan Ghava. Cowok itu hanya memasang wajah jengah. Pikirannya berkelana karena tak melihat Nara sejak jam pertama dan sekarang sudah waktu istirahat pun Nara masih belum muncul.

"Cuek banget kayak cewek tadi," dengusnya lalu melangkah keluar menuju kantin.

Di ambang pintu langkah Mauren terhenti. "Eh, lo yang tadi gue anterin ke UKS, kan? Lo murid kelas ini? Berarti kita sekelas, dong!" ujarnya yang seketika membuat Nara memejamkan matanya karena merasa terusik dengan gadis cerewet itu.

"Minggir," ketus Nara lalu melangkah menuju bangkunya dan menelungkupkan kepalanya di sana.

Namun sedetik kemudian Nara bangun dan mengambil kotak bekal yang diberikan Bi Ratri. Gadis itu tersenyum tipis lalu mulai menyantapnya. Mengabaikan Mauren yang terlihat murung di ambang pintu karena sebenarnya ia ingin mengajak Nara ke kantin. Mauren pun pergi ke kantin seorang diri dengan langkah riang.

Di ruang kelas itu hanya tersisa beberapa murid saja. Ghava dan Nara termasuk diantaranya. Sedangkan soal koper yang Nara bawa tadi ia titipkan pada satpam.

Ghava menghampiri Nara yang tengah menyantap bekalnya, menarik kursi dan duduk di sebelahnya. Cowok itu dengan telaten menyingkirkan helai rambut Nara ke belakang telinga. Hal itu tentu membuat Nara seketika menghentikan kegiatan makannya dan menatap Ghava.

Ghava yang melihat wajah pucat Nara seketika melotot, "lo sakit?"

"Gapapa. Bisa lo pergi?"

"Gue ganggu?"

"Hm."

Ghava menghela napas lalu berdiri, kemudian mengelus lembut puncak kepala Nara. "Gue beliin minum." Setelahnya cowok itu melangkah keluar.


°°°°

Di pojok kantin gerombolan Kevan terlihat heboh karena adanya murid baru. Kevan tetap diam seraya menikmati makannya dan sesekali bernapas jengah karena kehebohan Sagara dan Aldo. Marcel juga ikut-ikutan menimpali candaan mereka.

Selain Kevan, Marcel, Sagara, dan Aldo, di sana juga terdapat dua orang gadis yang ikut bergabung. Keduanya adalah Eliza Arabelle, pacar baru Sagara. Dan Jingga Alena Leviona, sahabat Eliza yang diam-diam memilki perasaan pada Marcel.

"Cantik banget, buset. Bening, cuy!" seru Sagara seraya menatap Mauren dari kejauhan. Cowok itu tak sadar bahwa sedari tadi Eliza--sang pacar menatapnya dengan tatapan membunuh.

"Mata lo mau gue colok?" ancam Eliza yang membuat Sagara melotot seraya menyengir.

Aldo menatap Sagara seraya terkekeh, "kayaknya lo salah milih pacar. El terlalu bar-bar buat lo yang letoy."

"Bar-bar gitu bucin banget sama gue. Ya, nggak, Belle-ku?" balas Sagara menatap kekasihnya seraya menaik turunkan alisnya.

"Jangan panggil gue 'Belle'!"

"Nama lo, kan, Eliza Arabelle, sayang. Belle panggilan sayang gue buat lo."

Eliza melotot seraya mencubit perut Sagara. "Jangan Belle, ih! Gue nggak suka."

"Nggak suka tapi salting," balas Sagara lagi.

Mereka yang melihat interaksi mereka hanya bisa menatapnya geli. Termasuk Kevan. Lalu pandangannya beralih pada murid baru yang dimaksud mereka. Seketika matanya membelak saat wajah gadis itu terlihat lebih jelas pada retinanya.

"Sagara, lo udah ada yang punya, tuh. Mending tuh murid baru gue pepet aja. Kasihan banget gue jomblo mulu dari zigot," jelas Aldo memelas.

"Heh, lo nggak lihat Marcel juga jomblo kali," balas Sagara yang kini menyuapi Eliza. Dasar bucin.

"Kak Marcel bentar lagi sama aku, kok," balas Jingga--sahabat Eliza yang sedari tadi diam karena mengamati wajah tampan Marcel.

Mendengar hal itu mereka kompak menatap wajah polos Jingga. Seperkian detik kemudian mereka tergelak melihat raut wajah Jingga yang panik.

"Kepedean! Mana mau gue sama cewek lemot kayak lo," balas Marcel.

Jingga mencebik kesal. Pipinya menggembung dengan bibir sedikit maju. Gadis itu memang terlihat sangat menggemaskan. Berbeda dengan Eliza yang terlihat garang.

"Gemes banget. Boleh masukin karung nggak, sih," gemas Aldo seraya mencubit gemas pipi Jingga.

"Jangan, nanti Kak Marcel marah," ujarnya seraya menepis tangan Aldo dari pipinya.

"Pede banget," cebik Marcel.

Pandangan cowok itu beralih pada Kevan yang sedari tadi diam menatap murid baru itu. Mereka kompak menatap Kevan juga dengan kening mengerut.

"Lo kenapa, Kev? Lo juga terpesona sama murid baru itu?"

Kevan tak menjawab pertanyaan Aldo, pandangannya tetap lurus menatap wajah murid baru itu.

"Kev! Woy!" sorak Sagara.

"Alexa," ucapnya masih tetap memandang Mauren dari kejauhan.

.
.
.
- BERSAMBUNG-

Hayo... Siapa yang selama ini kesel banget sama Nara karena dia nuduh Genan? Padahal dia nggak nuduh. Dia bilang jujur sejak awal☺

Yang pernah hujat Nara, minta maaf kalian sama dia! 😏

Nanti akan ada part bagaimana Nara bisa ketemu Genan. Dan alasan kenapa Genan bener-bener nggak ingat sama kejadian malam 'itu' (ಥ ͜ʖಥ)

SPAM 'NEXT'👉
YANG BANYAK BIAR NOTIFKU JEBOL.

SPAM EMOT LOVE WARNA APA AJA 🖤👉

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN. FOLLOW AKUN INI JUGA BIAR NGGAK KETINGGALAN INFO UPDATE!

See u next part lovv(๑•ᴗ•๑)♡

Continue Reading

You'll Also Like

5.5M 272K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...
323K 2.1K 11
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
55.8K 8.9K 55
Princess Roula Itaran Navida Sarona Hansela Agalori atau yang sering dipanggil Prinsha, disingkat menjadi Prinsha. Dia mudah tertawa, mudah tersenyum...
DAIVA By ai

Teen Fiction

7.2K 439 25
[⚠️MENGANDUNG KATA KASAR, KEKERASAN, DAN BERBAGAI HAL NEGATIF LAIN] ------- Daiva Tishya Xaviera, putri cantik pasangan Althan dan Rembulan. Gadis de...