Another Pain [END] âś”

By goresanlaraf

213K 13.8K 960

[COMPLETED] Mereka pernah berkata, jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Mereka juga pernah berkat... More

I •Hati yang terbalut luka•
II •Yang tak pernah teranggap•
III •Berjuang untuk diri sendiri•
IV •Keluh dan rasa sakit•
V •Terlalu sulit berdamai dengan hati dan keadaan•
Vl •Sosok yang mengingatkannya pada masa lalu•
VII •Khawatir•
VIII •Hari terpenting dan hancur•
IX •Diary depresiku•
X •Kisah tentang duka•
XI •Pulang untuk kembali terluka•
XII •Aku bukan pembunuh•
XIII •Tak berujung•
XIV •Semangat hidup yang di patahkan•
XV •Sembunyi di balik tawa•
XVI •Berkorban•
XVII •Tuhan masih menyayanginya•
XVIII •Hati nurani yang telah hilang•
XIX •Terlalu letih•
XX •Berarti•
XXI •Pupusnya sebuah asa•
XXIII •Tak lagi utuh•
XXIV •Menghindar•
XXV •Hadir untuk di acuhkan•
XXVI •Masa sulit•
XXVII •Rasa yang terpendam•
XXVIII •Ketulusan hati•
XXIX •Kebahagiaan itu semu•
XXX •Sakit yang mendalam dan keputusan•
XXXI •Bukanlah segalanya•
XXXII •Tak akan sendiri•
XXXIII •Selalu salah•
XXXIV •Permainan tanpa garis finis•
XXXV •Opera Tuhan•
XXXVI •Masih disini merakit luka•
XXXVII •Rapuh yang terbalut indah•
XXXVIII •Dalam belenggu•
XXXIX •Setiap sesak mengandung luka•
XL •Mimpi itu tak lagi tentang kebahagiaan•
XLI •Untaian kata yang tak sampai•
XLII •Paksaan untuk tetap bertahan•
XLIII •Bunga merekah yang tak akan pernah layu•
XLIV •Berselimut dengan kenangan•
XLV •Untuk diri yang tak ingin terluka lagi•
XLVI •Luka yang telah pergi dan tak akan kembali•
EXTRA CHAPTER •Timbal balik kehidupan•
AYO KENALAN SAMA DHEGA
EXTRA CHAPTER •MEMORABILIA•

XXII •Tak lagi bersama•

3.6K 255 11
By goresanlaraf

🎶 Playing song : Melly Goeslaw - Denting 🎶

HAPPY READING

“Karena bagiku, keluarga adalah salah satu penoreh luka terindah.”

—Regi Sabiru

⚠️ Baca part sebelumnya agar tidak lupa ⚠️


     Fahmi mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba meyakinkan diri jika apa yang di lihatnya kini adalah nyata. Berdiri sosok Anak remaja yang selama ini ia sayangi, ia cintai dan ia rindukan dalam waktu yang sama. 

     Melepas paksa kacamata yang sedari tadi bertengger nyaman di pangkal hidungnya, juga ponsel yang sedari tadi ia genggam—lalu di letakkannya secara bersamaan di atas meja kaca.

     "Regi?"

     Fahmi lekas berdiri dan berlari ke arah pintu rumah yang terbuka, lalu menarik sosok itu dan memeluknya erat, se-erat mungkin. Persis seperti sebuah kerinduan yang selama ini mati-matian Fahmi tahan.

     "Kamu kembali, Nak?"

     Regi tersenyum tipis, kemudian membalas pelukan Pamannya—menjatuhkan dagunya di bahu lelaki itu. Lalu bergumam, "Iya, Om... Regi kembali."

     "Siapa, Mas—Regi!?" sang Istri—Nara, yang kebetulan datang dari belakang rumah tampak terkejut atas kehadiran Regi. Wanita itu lekas melepas sarung tangan yang ia pakai dan berlari menghampiri dimana Regi berada.

     "Ya ampun, sayang..." Fahmi melepas pelukannya pada Regi, kini giliran Nara yang memeluk Anak itu terlampau erat. "Kamu bikin Bunda khawatir, sayang."

     Hingga tanpa sadar Nara menitihkan air matanya, membuat Regi yang melihat hal itu tak tega. "Maafin Regi yang sudah buat kalian khawatir. Bunda jangan nangis."

     "Gimana bunda gak nangis."

     Nara melepas pelukannya pada Regi, memegang erat bahu Anak itu dengan kedua tangannya. Lalu menatap mata Regi jauh di sana.

     "Kamu pergi dari rumah sakit dan pakai acara ninggalin surat gitu aja. Kamu belum sehat bener," lanjutnya.

     "Iya, Re... Kami khawatir sama kamu. Dan kamu tahu? Bima sampai marah-marah di rumah sakit."

     Fahmi melirik Anaknya yang duduk di meja makan dengan diam—mengunyah apel yang tahu-tahu tinggal setengahnya.

     Mendengar hal itu, Regi kembali murung. Pikirannya entah mengapa kembali teringat kejadian beberapa jam lalu dengan Ayahnya.

     Tentang Ayahnya yang memukulnya, tentang Ayahnya yang membawa wanita lain.

     "Re, kamu lamunin apa, Nak?" tanya Nara dengan menyangkat dagu Regi. Setelahnya, ekspresi Nara dan Fahmi pun berubah saat melihat wajah asli Regi yang tertutup topi hitam.

     "Wajah kamu kenapa, Re? Kenapa lebam semua gini?" Nara menggerakkan wajah Regi ke kanan-kiri. "Kamu berantem? Kamu di pukul? Kamu ken—

     Regi menahan tangan Nara, lalu di genggamnya erat. "Bunda, Re gak apa-apa. Tadi hanya ada masalah kecil."

     "Kamu yakin gak nyembunyiin sesuatu dari kita?" tanya Fahmi penuh selidik.

     "Kalian gak udah khawatir, Re baik, kok."

     "Tapi say—

     "Re naik dulu, ya? Re ngantuk, mau istirahat. Malam," ujar Regi yang seketika memotong perkataan Nara.

     Kedua kaki Regi pun melangkah pergi meninggalkan Nara, Fahmi dan Bima di sana—naik ke lantai atas menuju kamarnya. Ya, Regi memiliki kamar sendiri di rumah itu.

     Selepas itu, tak ada yang bisa mereka lakukan selain membiarkan Regi untuk mengistirahatkan tubuhnya.

     Fahmi melirik penuh tanya pada Bima yang dengan santainya masih mengunyah apel. "Kamu tahu semuanya, kan, Bima?"

     Bima menggedikan bahu. "Papa tanya aja sama dia—Adik Papa."

•••

     Kamar dengan nuansa putih itu tampak redup dan sunyi. Regi, sang pemilik lekas melepas topi hitam yang sedari menutupi kepalanya—menjatuhkan tubuhnya di atas kasur—menatap langit-langit kamar di iringi helaan napas panjang.

     Setelahnya, kedua kelopak matanya tertutup. Sekelebat kejadian tak terduga kembali melintas.

     "Sejak kapan saya mengakui dirimu sebagai Anak?"

     "Jangan melunjak dengan saya! Lagi pula saya berhak mencintai siapapun selain Ibu kamu!"

     Kelopak mata itu kembali terbuka, dengan arah pandang yang masih tertuju pada langit-langit kamar. Regi terdiam, hatinya kembali terasa sakit melihat keadaan yang kini sudah benar-benar berbeda.

     Tangan yang tadinya hanya terkulai tak berdaya di sisi kanan-kiri tubuhnya mulai terangkat—menangkup wajahnya.

     Regi pun tampak menarik napas dalam, lalu di hembuskannya perlahan sembari bergumam, "Hah, kapan semua ini berakhir. Kenapa keadaan makin lama makin sulit di kendalikan."

     "Sshh, akh." tiba-tiba Regi merintih, sehingga membuat tangan yang sedari tadi menutupi wajahnya beralih pada perutnya—mencengkeramnya erat. "Perut gua sakit banget akhir-akhir ini, sial."

     Regi memilih memiringkan tubuhnya, lalu meringkuk seorang diri. Ia hanya ingin tidur saat ini, ia hanya ingin beristirahat. Setidaknya hanya malam ini saja, ia harap bisa tidur nyenyak.

     "Kali ini aja, biarin gua tidur nyenyak," cicitnya sesekali merintih merasakan sakit di perutnya.

•••

     Hanya terdapat dentingan antara sendok dan piring di rumah itu. Tak ada pembicaraan khusus di antara mereka, semuanya tampak menikmati sarapan pagi. Fahmi yang duduk tak jauh dari ponakannya—Regi, tampak melirik Anak itu samar-samar yang hanya makan dengan porsi sedikit.

     "Jaga pola makan Regi, Pak Fahmi. Kanker lambung bukanlah penyakit yang sepele. Juga mohon kerjasama dengan Regi, untuk lekas berobat."

     Sekelebat percakapannya dengan sang Dokter terlintas, Fahmi tak tahu harus bagaimana memulainya. Ia tak yakin jika setelah ia membicarakan soal kesehatan Regi, semuanya tampak baik-baik saja. Tapi Fahmi juga tak yakin jika semuanya mampu ia sembunyikan seorang diri.

     Fahmi lekas berdiri, menyendok beberapa sayuran lalu di letakkannya di atas piring Regi. Regi yang melihat hal itu sontak menatap Fahmi. Fahmi tahu persis bukan kalau Regi tidak suka sayur?

     "Om—

     "Mulai sekarang kamu harus sering makan sayur, banyak makan sayur, Re," tukasnya.

     "Tapi Re gak suka sayur, Om," sanggahnya.

     Fahmi yang mendengar hal itu memberikan senyuman simpul, "Biasakan dari sekarang, oke?"

     Nara mengusap surai hitam Regi penuh kasih, "Iya, sayang. Kamu harus banyak makan sayur."

     Regi hanya membuang napas pelan, lalu menatap sayuran yang kini sudah terletak di atas piring—di hadapannya. Sejenak, ia meneguk salivanya sebelum pada akhirnya mau tak mau Regi memakan sayuran itu.

     Fahmi yang melihatnya pun tersenyum lega. "Itu demi kesehatan kamu, Re. Maaf belum bisa cerita semuanya ke kalian."

     "Re..." panggil Nara sembari menepuk pundak Regi pelan.

     Regi yang swdang mengunyah makanan pun menolehkan kepalanya, menatap Nara penuh tanya, "Iya, Bunda?"

     "Mulai sekarang Re tinggal sama Bunda aja, ya? Re mau, kan?"

     Regi terkejut tentu. Ia tak langsung menjawabnya, Lamat-lamat dirinya menatap orang-orang yang ada di meja makan—tatapan mereka tampak begitu dalam.

     Sebelum akhirnya Regi angkat bicara, "Tapi Re masih mau tinggal sama Papa, Bunda."

     "Ngapain juga lo masih mau tinggal di sana? Dia udah gak peduli," jawab Bima dengan nada yang terlihat tak suka. "Dia bukan Papa lo lagi, Re. Mana ada orang tua yang tega hancurin mental Anaknya? Ngak ada Re. Kecuali mereka emang gila."

     "Bima,"

     "Biar aja! Biar nih Anak sadar kalau Om Adli bukan lagi manusia."

     Regi hanya diam, ia tak ada niatan untuk mengelak atau menjawab semua tuduhan Bima. Meski apa yang Bima ucapkan sebagian benar, tapi tak dapat di pungkiri jika Adli juga Ayahnya. Bagaimanapun juga ia harus berbakti kepada orang tua.

     "Re, butuh waktu Bunda."

•••

     Hari ini hari Minggu, Ayahnya pasti sedang di rumah. Regi sudah mengatakan hal ini sebelumnya pada Om Fahmi dan Bunda Nara—jika dirinya akan pulang ke rumah—sekedar melepas rindu kepada saudara-saudara nya.

     Meski dirinya sendiri tak di anggap oleh Ayahnya, Regi masih bagian dari keluarga itu.

     Motor Regi berhenti tepat di depan sebuah Rumah besar—ya, rumahnya. Ia menatap lekat rumah itu yang terlihat begitu sepi. Sedikit menurunkan letak topi hitamnya, Regi lekas beranjak turun dari motor dan membuka gerbang rumahnya.

     "Ya ampun, Den Regi!?" seorang lelaki paruh baya lekas menaruh gunting pemotong tanaman begitu saja—berlari ke arah gerbang dan lekas membukanya.

     "Den Regi kemana aja? Ya ampun, kenapa gak pulang-pulang? Den Rey nyariin terus."

     Regi merasa bersalah sekarang, pasti Reyga gelisah dan terus mengkhawatirkan dirinya.

     "Re di rumah Bunda, Pak. Lagian gak apa-apa Regi baik-baik aja, kok," jawabnya ramah.

     Lelaki itu mengangguk cepat, lekas menuntun tubuh Regi untuk masuk ke dalam. "Tadi malam Bapak bawa wanita cantik ke rumah, Den... Dan berakhir bertengkar hebat sama Den Reyga, Mbak Aubrey juga."

     Dahi Regi mengernyit, "Papa bawa wanita ke rumah ini?" tanya Regi mencoba memastikan.

     "Iya, Den. Bapak gak tahu siapa wanita itu. Tapi dari gelagatnya Bapak kepada wanita itu seperti sepasang suami istri."

     Lelaki itu tampak takut-takut mengatakannya.

     "Maaf, Den, Bapak tidak berniar memprovokasi... Tapi Bapak berkata yang sebenarnya."

     Di sana tangan Regi mengepal erat, tapi ia masih bisa menyunggingkan senyum ke arah lelaki yang sudah beberapa tahun ini bekerja di ruamhnya.

     "Gak apa-apa, Pak. Makasih, ya, informasinya... Regi masuk dulu."

     "Iya, Den sama-sama."

    Dengan hati yang panas, Regi mencoba melangkahkan kedua kakinya—memasuki rumah tu dengan tenang. Ia tak mau memicu keributan hari ini. Niatnya pulang karena Regi merindukan mereka, bukan beradu mulut dengan Ayahnya.

•••

     Adli terlihat duduk santai di meja makan, bersama dengan ketiga Anaknya. Kejadian semalam seperti tak ada artinya bagi Adli. Bahkan memberikan penjelasan mengenai siapa wanita yang di bawanya semalam—kepada Anaknya, Adli enggan.

     Seperti, ya sudah... Ini hidupnya, tak ada yang bisa mengatur—siapapun itu.

     "Papa mau melamar Tante Bella, dalam waktu dekat ini." Adli angkat bicara untuk yang pertama kalinya setelah sekian lama bungkam.

     Terkejut bukan main, itu yang kini tersita di wajah Anak-anaknya. Bahkan, Reyga orang pertama yang menjatuhkan sendoknya hingga menimbulkan suara yang nyaring di telinga.

     "Maksud Papa Apa? Papa mau menikahi wanita itu?" tanya Reyga sedikti sarkastik.

     "Dia calon Ibumu, Reyga... Jaga bicaramu," komentar Adli sedikit tajam.

     "Aubrey gak setuju," celetuk Aubrey.

     "Dan sampai kapanpun, Mama kita cuman Mama Melisa! Bukan yang lain! Kita gak butuh seorang Ibu lagi selain Mama Melisa!"

    "Aubrey, apa-apaan kamu? Mamamu sudah meninggal dan Papa berhak mencintai wanita lain."

     "Tapi kita ngak setuju, Pa!"

     Semua mata menyorot pada sosok lelaki tinggi dengan wajah yang tertutupi oleh topi hitam. Itu Regi, yang baru saja menjawab adalah Regi. Tentu hal itu membuat Adli kembali naik darah saat melihat siapa yang kini berad Adi hadapannya.

    "Re?"

     "Yang kita butuhkan bukan lagi seorang Ibu, Ibu kita hanya satu yaitu almarhum Mama. Dan sampai akhir hayat pun Mama gak akan pernah tergantikan oleh siapapun."

     "Ngapain kamu pulang!?" Adli menatap penuh amarah pada Regi. "Dan itu hak Papa sebagai kepala rumah di sini!"

     "Tapi kita gak mau, Pa!" sentak Reyga.

     Arah pandang Adli kembarli tertuju pada Regi yang masih berdiri di sana, ia lekas berdiri di tempatnya dan menunjuk Regi dengan tangannya.

     "Ini semua gara-gara kamu Anak sialan! Gara-gara kamu mereka jadi terhasut! Kamu memang pembawa sial di rumah ini!" teriak Adli murka.

     "Abang Regi bukan pembawa sial, Papa!" teriak Aubrey yang ikut tersulut emosi.

     "Ngapain kamu bela anak sialan itu? Dia yang sudah membunuh Ibu kalian!"

     "AKU BUKAN PEMBUNUH MAMA!" dan sampailah Regi pada titik amarahnya, ia berteriak lantang dengan napas yang menggebu-gebu—menatap Adli tajam. "Papa yang harusnya jaga ucapan Papa. Re, bukan pembunuh Mama!"

     Adli pun malah tertawa lantang, "Memang saya peduli? Sekali pembunuh, kamu akan tetap jadi pembunuh!"

     Dengan hari yang di selimuti emosi, Regi menatap tajam Adli dan melangkahkan kakinya—menghampiri sang Ayah. Melihat tatapan tajam Regi, Adli tampak gelagapan.

     "Ap-apa mau kamu Anak sialan!"

     Hingga tak lama, Regi pun menerjang sang Ayah dengan meletakkan kedua tangannya di leher lelaki paruh baya itu dan menekannya erat—memojokkan Ayahnya di sebuah lemari besar. Ya, Regi mencekik Adli.

     "Kam-kamu apa-apaan, REGIHH! AKHHH!"

     "RE! JANGAN RE! SADAR!"

     "ABANG!"

     "Kalau Papa bilang Regi pembunuh Mama, sekarang juga Regi bisa mencekik Papa hingga Papa tak dapat lagi bernapas," ujarnya yang terus menekan kedua tangannya di leher sang Ayah.

     Reuga yang melihat itu lekas menghampiri Regi dan mencegah lelaki itu. "RE, SADAR! DIA PAPA KITA!"

     "Akhh, kamu Anak kurang ajar! Akh!"

     "Iya, Regi Anak kurang Ajar... Anak yang gak pernah benar di mata Papa, Anak yang gak pernah ternilai di mata Papa. Iya, kan, Pa?"

     "Seharusnya saya ngak Sudi merawat kamu—akh!"

     "REGI CUKUP, RE! LEPASIN PAPA!"

     Regi semakin menekan Tangannya di leher Adli. "BIAR REY BIAR! JANGAN HALANGIN GUA!"

     "Abang sadar!" gumam Aubrey.

     "Akh! Kamu—

     "RE, CUKUP! LO KETERLALUAN!"

     BRUGH!

     "Papa gak apa-apa?" tanya Reyga yang berhasil melepas tangan Regi dari leher sang Ayah. Membuat Regi sendirk tersungkur kebelakang dan terdiam seribu bahasa.

     "Papa gak apa-apa, kan?" itu Aubrey.

     "Kalian—

     "CUKUP, RE! LO EMANG KETERLALUAN!"

     Apa? Barusan Reyga berteriak kepadanya? Bahkan sosrotan matanya menyiratkan kebencian yang teramat dalam. Regi melihat kedua tangannya baru saja ia gunakan untuk mencekik Ayahnya. Tangan itu bergetar hebat.

     "Rey, gua—

     "Pergi kamu dari sini! PERGI!" teriak Adli. "Mulai sekarang jangan pernah injakkan kaki kamu di rumah ini! Dan saya akan coret nama kamu dari kartu keluarga! Camkan itu! PERGI!"

     Reuga dan Aubrey membantu Adli berdiri, sebelum benar-benar melangkahkan kaki mereka—membawa sang Ayah ke kamar. Mereka menatap Regi yang masih membeku di tempat.

     "Lo bener-bener keterlaluan." itulah perkataan terakhir yang Reyga ucapkan pada Regi.

     Dan kini hanya Regi seorang di sini, terduduk dengan pandangan kosong.

     Ia benar-benar di usir dari rumah ini.

     Regi mulai bangkit, ia berjalan gontai keluar rumah. Tetapi sebelum itu, ia menatap rumah itu dengan tatapan sendu.

     "Oke, makasih atas luka yang selama ini kalian kasih ke gua. Gua bakal pergi dari sini."

     Langkah kaki Regi terasa berat meninggalkan rumah itu, tapi mau Bagaimanapun juga semuanya sudah terjadi. Ia memang sudah tak di inginkan lagi.

     "Lho, Den Re mau kemana lagi?"

     Terpaksa Regi memberikan sebuah senyum pada lelaki paruh baya yang kini tahu-tahu sudah menghampirinya. Sekali lagi Regi menatap lelaki itu dan rumah di sana bergantian.

     "Re, pergi bentar, ya, Pak," gumamnya.

     "Emang Aden mau kemana lagi?"

     Regi menggeleng, "Titip mereka, sampaikan sayang Re sama mereka. Re pergi dulu."

     "Tapi, Den Re—

     "Bapak juga harus baik-baik, sehat selalu. Re pamit."

     Regi menarik napas dalam, ia mulai menaiki motornya—memakai helm full face kesayangannya lalu lekas menyalakan mesin. Tetapi sebelum benar-benar beranjak, Regi sekali lagi menatap rumah megah itu.

     "Karena sampai kapanpun gua gak akan pernah menang dari lo, Rey."

     Setelahnya, Regi melaju pergi meninggalkan Rumah itu—rumah yang sudah bertahun-tahun menjadi tempat singgahnya sekaligus tempat dimana ia mendapatkan luka.

    

Jangan lupa untuk follow goresanlaraf
Tiktok : goresanlaraf

Continue Reading

You'll Also Like

1K 189 9
" Satya pengen pinter biar di sayang mama sama papa " - 𝑻𝑹𝑰𝑺𝑨𝑻𝒀𝑨 𝑩𝑨𝒀𝑼𝑵𝑨𝑾𝑨𝑹𝑨 " kata papa Satya harus ganti uang yang udah Satya pake...
1.2K 338 53
__________________________________ Cerita tentang sebuah geng yang harus kehilangan seseorang dalam hidupnya karena kesalahan orang tua mereka. Singk...
373K 29.2K 77
[COMPLETED] [Udah lengkap lagi, feel free to read!!] Biar kuceritakan padamu tentangnya; sang bintang yang hampir padam, terpicu pada bom waktu yang...
1K 147 12
"Sakit dibayar maaf itu curang. Sakit dibayar karma itu impas." -Maharaja-