Silence Of Tears (TERBIT)

By bunnylovv

3.8M 304K 29.7K

📍SUDAH TERBIT! ❝Luka tidak memiliki suara, sebab airmata jatuh tanpa bicara.❞ Keynara Zhivanna, gadis denga... More

PROLOG
| Part 1 | Iblis
[ Part 2 ] Gagal
| Part 3 | Terungkap
[ Part 4 ] Dia Kembali
| Part 5 | Pertemuan
| Part 6 | Kemurkaan Kevan
[ Part 7 ] Dia lagi?
[ Part 8 ] Rumah Mama
[ Part 9 ] Mereka Tahu
[ Part 10 ] Pengungkapan Nara
[ Part 11 ] Kekecewaan Mamah
[ Part 12 ] Married
[ Part 13 ] Satu Kamar
[ Part 14 ] Alexa Graceva
[ Part 15 ] Taruhan
[ Part 16 ] Rahasia Genan
[ Part 17 ] Hasrat Membunuh
[ Part 18 ] Cuek
[ Part 19 ] Ancaman
[ Part 20 ] Tuduhan
[ Part 21] Insiden Kolam Renang
[ Part 22 ] Pengungkapan Alexa
[ Part 24 ] Kecewa
[ Part 25 ] Luka Bagi Kevan
[ Part 26 ] Sisi Gelap Genan
[ Part 27 ] Bukan Tuduhan
[ Part 28 ] Pindah
[ Part 29 ] Teman?
[ Part 30 ] Kembali
[ Part 31 ] Peduli
[ Part 32] Ngidam
[ Part 33] Kesempatan
[ Part 34] Luka dan Masa Kelam
[ Part 35 ] Perhatian
[ Part 36 ] Kepulangan
[ Part 37 ] Malam Tragis
[ Part 38 ] Titik Terendah
[ Part 39 ] Selamat Tinggal
[ Part 40 ] Karena Dia
[ Part 41 ] Terbukti
[ Part 42 ] Maaf
[ Part 43 ] Deynal's Dream
[ Part 44 ] Harapan
[ Part 45 ] Hancurnya Genan
🌹VOTE COVER🌹
OPEN PRE ORDER
EXTRA CHAP
EXTRA CHAP 2
GIVE AWAY!
CERITA BARU | SEQUEL

[ Part 23 ] Rindu Bunda

58.9K 5.7K 224
By bunnylovv

Absen dulu yeorobun ... Ada yang nunggu cerita ini up nggak😭 ?

Spam '💔'👉

Spam '💙'👉

100 VOTES & 50 KOMEN LANGSUNG UP NEXT CHAPTER!

Penuhi targetnya kalo kalian nggak mau nunggu lama😋

|🌹HAPPY READING🌹|
.
.

"Pengen dipeluk ayah. Keinginan yang sangat sederhana, tapi kenapa sangat sulit didapatkan?"
-Keynara Zhivanna-

🌺🌺🌺

Seminggu sudah berlalu sejak insiden kolam renang yang dialami Nara kala itu. Kondisi Nara sudah membaik, tapi rasa takut dan was-was itu masih ada. Takut jika hal tak mengenakkan akan terjadi padanya lagi.

Siang ini, setelah pulang sekolah Nara memutuskan untuk pergi ke rumah bundanya. Sungguh ia merindukan wanita itu. Tinggal bersama di kediaman keluarga Deovannes benar-benar membuatnya tertekan. Nara hanya ingin melepas rindu bersama wanita yang sangat ia sayangi itu.

Nara turun dari ojek online, lantas kaki jenjangnya melangkah ke minimarket yang berjarak beberapa meter darinya. Sebelumnya Diandra dan Nara sudah sepakat akan membuat kue hari ini. Karena ada beberapa bahan yang tak tersedia di rumah, Nara pun berinisiatif membelinya. Padahal bundanya sudah melarangnya dan menyuruhnya agar langsung mampir saja ke rumah. Tapi Nara tetap keukeuh, lagipula minimarket ini satu arah dengan rumah bundanya. Jadi sekalian.

Saat memasuki minimarket, Nara langsung mencari bahan-bahan yang ia butuhkan. Entah kenapa hari ini Nara ingin sekali menikmati kue buatan Diandra. Mengingat hari ini ia akan membuat momen bersama sang bunda membuat Nara bahagia. Seolah ia lupa tentang kejadian minggu lalu yang hampir merenggut nyawanya.

Bruk

"Eh, ma-maaf lo gapapa?"

Pandangan Nara menurun pada beberapa bahan yang sudah ia ambil tadi, terjatuh di lantai karena seorang gadis tiba-tiba menabraknya.

"Iya," jawab Nara singkat, lalu memungut barang-barangnya yang terjatuh.

Nara pikir gadis yang sudah menabraknya itu akan pergi begitu saja. Namun dugaannya salah, gadis yang masih memakai seragam SMA itu membantu mengambil barangnya yang terjatuh.

Setelah semua barang yang tercecer sudah dimasukkan ke keranjang, Nara pun berdiri. Wajah seorang gadis yang seumuran dengannya adalah hal yang ia lihat. Gadis itu tampak sedikit kacau, matanya sayu dengan wajah yang terlihat lelah. Persis seperti dirinya dulu kala ia mengetahui fakta bahwa ia hamil.

"Maaf, ya, gue nggak sengaja," maafnya lagi ke Nara.

"Iya, gapapa, kok," balasnya.

Nara melirik name tag yang tertempel di seragam gadis itu. Alexa Graceva.

Keduanya sedikit tersentak saat terdengar dering ponsel milik Alexa. Buru-buru gadis itu mengangkatnya. Sementara Nara menoleh pada rak makanan dan lanjut memilih bahan-bahan yang ia butuhkan. Nara memilih acuh dengan gadis bernama Alexa yang berdiri beberapa meter darinya yang sedang menelpon.

"Pergi? Nggak. Alexa nggak mau pergi, Dad." Sayup-sayup Nara mendengar obrolan gadis yang berjarak 2 meter darinya itu.

Nara yang memang sejatinya memiliki sikap cuek dengan sekitarnya tetap acuh tak acuh. Perempuan itu memilih kembali fokus pada rak-rak makanan.

"Hiks, enggak. Aku nggak mau pergi sebelum dia tanggungjawab," ucap Alexa lagi.

Mendengar gadis itu terisak, membuat Nara seketika menoleh pada Alexa yang membelakanginya. Namun, sedetik kemudian Nara mengedikkan bahu dan kembali fokus pada kegiatannya.

Nara sayup-sayup mendengar bentakan lantang dari ponsel gadis itu. Hal tersebut membuat Alexa semakin menangis, terbukti dari bahunya yang bergetar hebat. Setelahnya sambungan telepon ditutup sepihak.

"ARRGHH! SIALAN!"

Lagi-lagi Nara dibuat terkejut dengan gadis yang ia ketahui bernama Alexa itu meraung seraya mengacak rambutnya frustasi. Bahkan beberapa pengunjung juga menghampiri karena penasaran sebab teriakan yang dibuat gadis itu.

Menatap punggung gadis itu yang bergetar membuat Nara iba. Ia tahu pasti Alexa sedang menangis hebat. Melihatnya yang kacau seperti itu membuat Nara lagi-lagi teringat dirinya. Entah kenapa ia merasa bahwa nasib gadis itu sama seperti dirinya. Kacau dan tidak memiliki semangat hidup.

"Hahaha, buat apa gue nangis. Nggak guna juga. Air mata gue jadi terbuang sia-sia buat tuh cowok. Kevan brengsek!"

Mendengar nama yang tak asing itu Nara membelak. Kevan? Nara yakin ia tak salah dengar bahwa gadis itu menyebut nama Kevan. Nara menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin hanya ada satu nama Kevan di dunia. Mungkin saja yang dimaksud adalah Kevan yang lain.

Nara menatap gadis berseragam SMA tersebut yang perlahan berjalan menjauh. Sedetik kemudian Nara mengedikkan bahu dan lanjut pada kegiatan memilih bahannya. Untuk apa juga dia menaruh rasa penasaran pada gadis yang bahkan tak ia kenal.


◇◇◇

Sesampainya di rumah lamanya-- rumah yang dulu Nara sebut neraka, Diandra--sang bunda menyambutnya dengan hangat di ambang pintu. Melihat wanita itu, Nara sedikit berlari ke arahnya dengan tangan membawa satu plastik berisi bahan yang ia beli tadi.

"Bunda ...." Nara menaruh belanjaannya, lantas memeluk Diandra. "Kangen."

Setelah beberapa saat pelukan mereka melerai, Diandra merapikan rambut panjang kecoklatan milik putrinya itu. Seulas senyum khas keibuan mengembang tipis di bibirnya. "Bunda juga kangen."

"Bunda gimana kabarnya?" Nara bertanya.

"Bunda baik, sayang." Diandra mengambil alih plastik belanjaan Nara, "kita lanjut ngobrol di dalem aja sambil bikin kue, gimana?"

Nara mengangguk senang, lantas berjalan membuntuti wanita itu. Diandra yang memang berjalan lebih dulu kini melenggang pergi ke dapur. Sementara Nara masih di ruang tengah. Matanya mengedar ke sekeliling mengamati suasana rumah ini yang masih sama. Sepi.

"Ngapain lo balik ke rumah ini lagi, bitch!"

Nara tersentak saat terdengar suara yang sangat ia kenal itu. Suara Felly. Mendengarnya saja sudah membuat Nara jengkel setengah mati. Ck, tidak bisakah satu harinya menjadi tenang tanpa gangguan manusia seperti Felly?

"Ngatur lo?" balas Nara.

"Cih," Felly berdecih seraya tertawa kecil. Tawa yang terdengar sangat menyebalkan di telinga Nara. "Jalang kayak lo nggak pantes menginjakkan kaki di rumah ini, Nara. Sadar diri dong," ketusnya.

Mendengar hal itu Nara tertawa pelan.  "Manusia ular kayak lo juga nggak pantes di sini. Lo lupa kalo kedudukan lo tuh cuma anak tiri di sini. Semua harta yang lo habiskan itu dari ayah gue kalo lo lupa."

Mendengar rentetan kata yang diucapkan Nara, Felly tertawa terbahak. Gadis itu tertawa cukup lama, hingga membuat Nara keheranan dengan kening berkerut.

"Lo lupa, Ra?" Felly merapikan helai rambut panjang saudarinya itu, lantas menjambaknya. "Ayah nggak pernah menganggap lo ada di keluarga ini. Anak kesayangan ayah itu cuma gue, bukan lo. Dan selamanya akan begitu."

Setelah mengatakan itu Felly tersenyum puas. Kemudian gadis itu menyenggol bahu Nara dan berjalan menjauh dengan tawa keras. Tawa penuh kemenangan, dan terkesan mengejek menurut Nara.

Nara menatap datar pada punggung Felly yang perlahan menjauh dari pandangannya. Tangannya terkepal erat menahan emosi. "Kalo bukan karena kebaikan gue, lo udah mati dari dulu, Fel," gumamnya.

Kemudian Nara melenggang pergi ke dapur menyusul sang Bunda. Sesampainya di sana ia disuguhkan dengan Diandra yang tengah bersiap membuat kue.

"Kenapa kamu pengen banget makan kue buatan bunda?" tanya Diandra sembari memecah telur.

"Nggak tahu. Lagi pengen aja," singkat Nara.

Diandra mengangguk, lalu lanjut pada kegiatannya. Namun sedetik kemudian wanita itu membelak ke arah Nara. "Kamu ngidam?"

"Ha?" Nara yang ditanyai seperti itu hanya bisa menampilkan wajah polosnya. Hal itu justru membuat Diandra tertawa terbahak.

"Kamu 'kan hamil, Nara. Ngidam itu hal yang wajar."

Nara yang mendengar hal itu menggaruk tengkuknya. Memang sejak kemarin Nara ingin sekali menikmati kue buatan Diandra. Tapi ia tak sadar bahwa itu juga keinginan dari calon buah hatinya.

Nara tersenyum lalu mengangguk, "mungkin iya."

"Kamu baik-baik aja, kan, tinggal di sana?" tanya Diandra sembari mengocok telur dengan mixer.

Nara tersenyum kecut, lantas mengangguk menanggapi ucapan sang Bunda. Tentu ia berbohong. Tinggal bersama di keluarga Genan justru membuatnya tertekan. Bahkan dua kali ia hampir kehilangan nyawa karena dicekik suaminya sendiri dan didorong Deya ke kolam renang. Tak hanya itu, ia juga sempat difitnah.

Tak nyaman. Kalimat yang cocok bagaimana Nara mendeskripsikan rasanya tinggal di kediaman keluarga Deovannes. Beruntunglah masih ada Opa Deo yang peduli padanya, setidaknya masih ada sosok yang membuatnya bertahan.

"Kalau Genan gimana? Dia baik sama kamu, kan? Dia nggak nyakitin kamu, kan?" Diandra bertanya secara beruntun.

Lagi-lagi Nara tersenyum. "Iya, dia baik." Jujur Nara tak berniat membohongi bundanya. Hanya saja ia tak ingin membuat sang bunda banyak pikiran. Biarlah Diandra berpikir bahwa ia bahagia bersama Genan, walau nyatanya tidak.

Nara tahu ini juga konsekuensi karena menyebut nama Genan saat ia ditanyai ayahnya pada malam itu. Satu nama yang ia sebut saat itu justru membuatnya makin menderita.

Nara takut, tapi ia tak punya pilihan lain.

Perempuan itu memandang Diandra yang tampak lihai menguleni adonan. Sebenarnya Nara tak pandai memasak, tapi perihal memasak kue, dia bisa. Nara tersenyum dan tertawa bahagia kala melihat wajah bundanya terdapat tepung pada beberapa bagian.

Mereka tertawa bahagia dan bercanda ria. Hal kecil ini membuat Nara bahagia dan melupakan masalahnya sejenak.

Nara tersenyum senang, walau sebenarnya hatinya sedari tadi was-was terhadap kedatangan ayahnya, Liam.

"Ayah nggak ada, 'kan, Bun?" Itu bukan pertanyaan, tapi pengharapan.

"Ada. Belum pulang kantor," singkat Diandra.

Bahu Nara merosot, padahal ia sangat berharap ayahnya sedang di luar kota. Mengurus bisnis atau apalah, setidaknya ia tak bertemu dengan Liam yang akan mengacaukan perasaan hatinya nanti.

Setelah berkutik cukup lama kue mereka sudah jadi dan tinggal dimasukkan ke oven. Nara dengan senang hati membantu bundanya memasukkan kue itu.

"Kamu masih takut sama ayah?"

Wajah perempuan itu seketika menjadi murung. Nara menarik kursi lalu duduk, kemudian ia mengangguk menanggapi pertanyaan Diandra tadi.

"Nara pengen kayak Felly. Disayang dan dimanja sama ayah. Tapi Kapan, ya?"

Mendengar keinginan putrinya itu membuat hati Diandra mencelos. Wanita itu lantas memeluk Nara sembari mengelus sayang surai panjangnya. Sesekali ia juga mengecup puncuk kepala putrinya itu. Diandra tahu keinginan Nara sejak kecil. Nara hanya ingin mendapat sikap adil dari Liam.

"Kapan aku dipeluk ayah kayak gini?Keinginan Nara sederhana, tapi kenapa sangat sulit didapatkan?"

"Pasti. Kamu pasti bisa mendapatkannya, sayang. Mungkin sekarang belum waktu yang tepat. Kamu yang sabar, ya?" Diandra melepas pelukannya seraya menatap iba pada Nara.

Nara menghela napas berat. Lantas mengangguk walau sebenarnya ia tak yakin dengan ucapan Diandra.

Menyadari bahwa suasana menjadi mellow, Nara tertawa kecil berusaha memecah suasana yang tak sukai ini. "Udah, Bun. Kok jadi sedih gini, sih. Nara ke sini bukan untuk sedih-sedihan sama Bunda kayak gini, ya."

Diandra tersenyum, tangannya mencubit gemas pipi Nara. "Yaudah ayo ambil kuenya. Kayaknya udah mateng."

Setelah kue matang, hal terakhir adalah menghias dan memberi topping. Nara dan Diandra terlihat bahagia melakukannya. Hari ini mereka berhasil membuat momen bersama lagi. Dan Nara berharap tak ada yang mengacaukannya.

Setelah beberapa lama, akhirnya kue yang mereka buat sudah siap. Sangat cantik. Nara terlihat tak sabar menikmatinya.

"Cantik banget." Nara menyendok sebagian kue dan melahapnya, seketika matanya berbinar, "kue buatan Bunda emang the best."

"Iya, dong, Bunda gitu 'loh," balas Diandra seraya tersenyum puas.

"Nara bahagia. Dan itu karena bun--"

"Anak sialan! Beraninya kamu menginjakkan kaki di rumah ini!" sela seseorang.

Nara mendengus kasar. Ia letakkan kuenya di meja dengan kesal. Baru saja ia menikmati waktu bersama sang bunda, dan kali ini ayahnya berhasil mengacaukannya. Tak bisakah satu hari saja ia tenang?

"Buat apa kamu ke sini? Anak seperti kamu tidak pantas berada di sini! Tidak punya malu!" lantang Liam. Ya pria itu, ayah Nara.

"Mas! Jaga ucapanmu!" sahut Diandra.

"Nara hanya ingin menikmati waktu sama Bunda. Apa itu salah? Setidaknya ayah jangan mengacaukannya," balas Nara jengkel.

"Udah berani jawab sekarang? Berani kamu saya ayah!?"

"Nara nggak bikin masalah sama Ayah! Kenapa Ayah dateng dan marah-marah nggak jelas kayak gini! Nara bikin salah apa sih sama Ayah!?" balas Nara lantang.

"Kamu mau tahu salah kamu apa? Kesalahan kamu adalah karena kamu lahir ke dunia ini!"

"Asal kamu tahu, hidup Ayah kacau semenjak kehadiranmu! Kamu pembawa sial! Tidak berguna dan cuma beban!"

"Seharusnya kamu bersyukur karena selama ini Ayah masih mau merawatmu! Benar-benar tidak tahu diri! Memalukan! Menjijikkan!"

Mendengar hal itu hati Nara seolah tersayat. Jadi kehadirannya selama ini memang tak pernah diharapkan oleh pria itu? Mati-matian Nara menahan tangisnya karena memang sejak dulu ia jarang meluruhkan airmatanya di depan Liam. Tapi di sini hatinya yang sakit. Rasanya seperti dihantam sesuatu yang membuatnya sampai sesak.

"Makasih atas semua rasa sakitnya, Ayah. Maaf kalau kehadiran Nara di hidup Ayah adalah sebuah kesalahan. Maaf kalau Nara bikin malu Ayah. Nara pamit."

Setelahnya Nara beranjak pergi seraya menghapus air mata yang sedari tadi ia tahan.

.
.

- BERSAMBUNG -


Sebenarnya aku kasihan sama Nara. Tapi kalo nggak bikin dia menderita tuh nggak puas aku😭. Mon maap🙏✌

⚠100 VOTE & 50 KOMEN LANGSUNG UP!⚠

Spam 'NEXT' biar aku semangat.

Spam '😊' 👉

Jangan lupa tersenyum ya manis😋

VOTE, KOMEN, FOLLOW, DAN SHARE👍

See u next part lovv <3

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 147K 48
‼️FOLLOW SEBELUM MEMBACA Belum direvisi. HIGH RANK: • 2 #persahabatan [21/03/2022] • 1 #mostwanted [03/04/2022] • 2 #fiksiremaja [03/04/2022] • 3 #ta...
101K 8.5K 71
Spin Off TRAVMA Kesalahpahaman di masa lalu membuat Darma ingin membalaskan dendam atas kematian sang pacar. Darma pun membentuk geng motor demi memb...
55.9K 8.9K 55
Princess Roula Itaran Navida Sarona Hansela Agalori atau yang sering dipanggil Prinsha, disingkat menjadi Prinsha. Dia mudah tertawa, mudah tersenyum...
52.2K 3.4K 84
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] #Teenfiction Blurb : "Nggak ada yang bisa jatuh cinta di antara kita, karena kita itu sahabat." Ujar Langit yang fokus pada...