Fighter's Prejudice (Tamat, P...

By Sheila_Mu

364 101 45

Pasca kehancuran bumi 150 tahun silam, tatanan baru kehidupan dimulai di Prexogalla. Namun kemunculan Blatta... More

Intro
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21(End)

Bab 12

8 4 0
By Sheila_Mu

"Setidaknya sebelum membunuhku, dengar apa yang ingin aku katakan. Kumohon," ratap Jaiden.

"Jangan berharap!"

Pukulan demi pukulan mengantarkan kesakitan, menyebarkan rasa panas sampai merobek sudut bibir Jaiden. Bukan tidak mampu melawan. Jaiden sudah mengatakan cinta kepada Albie, sudah mencurahkan segenap perasaannya dan sampai mati dia berjanji akan melindungi gadis itu. Mana mungkin dia tega melawan hanya demi melindungi diri sendiri. Baginya lebih baik mati daripada bertahan hidup, tetapi melukai separuh hatinya.

"Kenapa diam saja, dohotno!" umpat Albie. Kerah pakaian Jaiden dicengkeram erat-erat. Jarak wajah mereka terlalu dekat.

Yang Jaiden lakukan adalah menempelkan keningnya di kening Albie, "kumohon."

Air mata Albie menetes, kesakitan Jaiden adalah kesaktiannya juga. Namun, dia tahu kesaktiannya belum tentu milik Jaiden. Bisa saja Jaiden mendekati dan menyatakan cinta hanya untuk memperdaya Albie guna melancarkan seluruh rencana jahat Eqouya.

Albie melonggarkan cengkeraman tangannya, dia diam sejenak. Lalu tanpa sepatah kata pun perempuan itu beranjak. Lebih baik, dia bersikap seolah-olah tidak pernah bertemu dengan Jaiden. Dulu atau pun malam ini. Dia memilih pergi, dan kembali dengan kehidupan yang sebenarnya.

"Kumohon tunggu dan dengarkan," pinta Jaiden. Suaranya lemah dan serak. Albie terus melangkah, dia tidak peduli dengan keadaan Jaiden yang mengerikan karena dihajar habis-habisan oleh dirinya.

Albie adalah semangat dan pusat kebahagiaan yang dikirim Tuhan di Greamor. Jaiden tidak pernah siap dan tidak akan pernah bisa jika harus berpisah dengan gadis itu. Sisa-sisa tenaga yang dia miliki mengantarkan Jaiden untuk bangkit. Memungut keping-keping luka yang tertinggal saat Albie naik ke atas lemari untuk melanjutkan perjalanan menuju gondola yang akan membawanya keluar dari Museum.

Jaiden meninggalkan jejak berupa tetes darah yang tercecer di lantai berwarna putih tulang. Buku tebal yang dia ambil dari lemari masih aman tersimpan dalam dekapannya.

"Kumohon tunggu," pinta Jaiden sekali lagi.

Bukan tidak mendengar apa yang Jaiden minta, Albie justru terluka mendengar rintihan Jaiden. Namun, semua tidak akan mudah, banyak kesulitan yang akan dihadapi keduanya jika terus menerus memelihara perasaan cinta yang dia anggap palsu.

"Setidaknya jika aku mati, aku tidak akan pernah menyesali apa yang sudah menjadi keputusanku. Dan kamu akan tahu apa yang sebenarnya terjadi di Prexogalla ini."

Tidak mudah memberikan kepercayaan kepada orang lain, dan ketika rasa percaya itu diberikan, maka jangan biarkan noda-noda pengkhianatan menghancurkan semuanya.

Bahkan jika harus menyaksikan Jaiden mati pun Albie rela, asalkan sakit hatinya terobati.

Dia terus melangkah, menuliskan pendengaran, tidak peduli dengan rintihan-rintihan dan teriakan panggilan dari Jaiden.

Sementara bagi Jaiden, tiada hukuman lain yang lebih menyakitkan daripada diabaikan. Dia rela menembus apa pun termasuk melawan kawanan blatta asalkan Albie mau mendengarnya sekali saja.

Kakinya lemas, tangannya sakit dan bergetar hebat. Jaiden tidak boleh menyerah. Dia merangkak dan berusaha memanjat lemari, satu-satunya penghubung yang bisa dilewati agar dapat meraih gondola dan kembali keluar melalui celah pintu di atas sana.

Pijakan pertama berhasil dilalui dengan baik. Meski Jaiden sama sekali tidak bisa memfokuskan penglihatannya. Selain karena gelap, efek dari pukulan Albie ternyata sangat luar biasa.

Satu-satunya yang menjadi sumber kekuatan untuk Jaiden adalah senyuman Albie. Senyuman yang selalu dia ingat sepanjang waktu.

Sayangnya usaha Jaiden sia-sia. Ketika mencapai bagian atas dari lemari besar itu, tubuhnya tidak mampu menopang keseimbangan lagi. Siksaan yang Albie berikan, melumpuhkan jiwa dan raganya.

Tubuhnya melayang sebelum jatuh di atas lantai. Pemandangan indah yang bisa dia lihat sebelum matanya terpejam adalah sosok Albie yang menoleh ke arahnya.

*
"Saya sudah menduga ketika Anda membawanya ke Trauma Center, Khan."

Samar, Jaiden mendengar percakapan dua orang.

"Saya terlalu takut untuk mengakui bahwa dia bukan orang dari Greamor."

Itu suara Albie, Jaiden ingin membuka matanya, tetapi susah. Seluruh tubuhnya sama sekali sulit untuk digerakkan.

Percakapan itu makin lama makin samar, Jaiden kembali mengantuk. Tidak lama setelah itu, kegelapan kembali dia dapatkan.

"Jangan sampai Logan tahu, Dokter Morgan."

Jaiden kembali mendengar percakapan. Tidak hanya satu kali dua kali, tidak hanya satu orang dua orang.

Sesekali lelaki itu mendengar Albie mengeluh, marah, dan menangis. Ingin sekali rasanya bangun dan mendekapnya ke dalam pelukan.

Namun, lagi-lagi ketika lelaki itu berusaha untuk bangun dia tidak berdaya. Bahkan untuk membuka kelopak matanya pun dia tidak mampu.

"Ini sudah tiga hari, Dokter, kapan dia bangun?" Suara Albie terdengar putus asa.

"Saya tetap memantau, Khan, tetapi saya tidak bisa fokus selama dua puluh empat jam di sini. Semua orang bisa curiga jika terus menerus meninggalkan Clinic dan Trauma Center."

"Kabari jika ada perkembangan, saya juga tidak bisa terus di sini. Serangan blatta kembali menggila. Logan percaya kalau Jaiden berhasil keluar dari Greamor dan mengirim lebih banyak blatta ke sini."

Seberkas cahaya didorong dengan percakapan serius antara Morgan dan Albie, membuat Jaiden perlahan bisa membuka matanya.

Langit-langit berwarna putih bersih adalah pemandangan pertama yang Jaiden lihat. Penglihatannya masih belum jelas, semua benda terlihat ganda. Jaiden membuka mata perlahan-lahan, dunia seakan mengucapkan selamat datang kembali.

Tenggorokan yang kering memaksanya untuk terbatuk beberapa kali. Bagai ada duri yang terus-menerus menggelitik bagian dalam tenggorokannya.

"Jaiden! Jaiden! Kamu sudah bangun?" Albie bangun dari duduknya, hatinya luar biasa senang karena berhari-hari Jaiden tidak sadarkan diri.

"Albie, haus," rintih Jaiden.

Albie memberinya minum, aliran air melewati tenggorokan Jaiden, rasanya sejuk seperti guyuran hujan yang membasahi tanah kering di musim kemarau.

"Dokter Morgan belum kembali, apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Albie dengan nada suara penuh rasa khawatir.

Dengan melihat satu kali, Jaiden tahu di mana dia sekarang. Sebuah kamar dan itu bukan di Clinic. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, tempat tidur besar dengan kain rapi berwarna hijau pupus ada di seberang tempat tidur Jaiden. Di sisi kanan ada pintu dengan pintu full cermin dua arah.

Jaiden meraih tangan Albie yang berusaha memeriksa keadaan lelaki itu. Dia menempelkannya di pipi, merasakan aroma manis yang dia rindukan.

"Tidak apa-apa," jawab Jaiden.

"Suara kamu serak, mau minum lagi?"

"Boleh?"

"Tentu saja boleh, untuk makan, aku belum bisa kasih, kita tunggu dokter Morgan kembali." Albie mengambil air putih dan meletakkan sedotan di ujung bibir Jaiden yang kering terkelupas.

"Merterina," ucap Jaiden.

"Untuk apa?" tanya Albie.

"Karena menyelamatkan nyawaku."

"Ada waktunya kita bicara, dan itu bukan sekarang. Maaf, maaf karena membiarkanmu terluka tanpa mendengar apa pun darimu."

Jaiden mengangguk. Matanya kembali terpejam, kali ini bukan karena tidak sadarkan diri, melainkan terlalu mabuk dengan aroma manis yang selalu dia rindukan.

*

Istana pemerintahan tengah genting. Banyaknya penyusup yang berhasil memperdaya Hunter menjadi isu utama selain serangan blatta yang kian membabi buta.

Hal itu membuat semua Hunter, prodigi dan juga bangsawan lainnya mengurus semuanya tanpa kecuali.

"Dia masih enggan menunjukkan diri setelah tahu Hunter yang dekat dengannya adalah penyusup dari Eqouya."

Logan sedang bicara dengan Damian Damaris.

"Biarkan saja, dengan begini saya tidak begitu khawatir karena dia tidak harus bertarung dengan blatta. Saya lebih suka dia mengurung diri seperti sekarang ini." Damian berkata dengan tegas. Lelaki itu tidak tahu, Albie menyembunyikan Jaiden di kamarnya. Di rumah peristirahatan milik keluarga Damaris.

"Seluruh warga sudah terdampak dengan adanya blatta yang semakin banyak, Khan. Kelangkaan pangan mulai dirasakan di beberapa sektor dan distrik. Selain itu, Clinic dan Trauma Center tidak lagi sanggup menampung korban keracunan blatta. Kami butuh solusi, Khan, apakah kami harus memaksa Khan Albie untuk memberikan keputusan?"

Damian berpikir keras. Rencana penyerangan terhadap Eqouya pun belum bisa mereka realisasikan karena terkendala berbagai hal.

"Kerahkan seluruh penyimpanan kita, bagikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Untuk masalah Clinik, jadikan salah satu bangunan yang tidak terpakai sebagai Rumah Sakit darurat. Dan urusan Albie, biarkanlah, kita berikan waktu untuk memulihkan hatinya. Anak itu memang keras kepala, kemauannya selalu harus dituruti. Permintaanku sebagai seorang Da, tolong jaga dia." Damaris menutup perintahnya. Lelaki itu keluar dari ruangannya, diikuti Logan dan beberapa Hunter yang menyertainya.

Logan sendiri sebenarnya bingung, Albie membangun benteng yang kokoh sehingga dia sama sekali tidak bisa menjangkau dirinya. Logan tidak diperbolehkan masuk ke pelataran rumah peristirahatan keluarga Damaris.

Menurut kabar yang dia terima dari salah satu Cultusia di Clinic, Dokter Morgan mengunjungi rumah itu setiap pagi dan sore hari. Nampaknya Albie memang benar-benar tertekan sampai-sampai dia harus berurusan dengan dokter.

*

Jaiden meraba dadanya, dia mengingat buku yang diselipkan di sana. Tentu saja buku itu sudah tidak ada, Jaiden sudah terbaring di sana beberapa hari. Dan dia sudah berganti pakaian.

"Kamu cari ini?" tanya Albie, dua buah buku bersampul cokelat ada dalam genggaman Albie.

Jaiden salah tingkah dia bahkan tidak berani melihat wajah Albie.

"Ketika melihatmu meluncur dari atas lemari, ingin rasanya tidak peduli. Namun, saat sekarat, pun kamu selalu bergumam, 'kumohon, dengarkan aku dulu.' jadi inilah alasan mengapa aku selamatkan kamu."

"Ah, merterina."

"Ada yang mau kamu jelaskan?" tanya Albie.

"Banyak, salah satunya adalah, kamu harus tahu aku tidak pernah berbohong selain memalsukan identitas. Terutama tentang perasaanku, aku selalu diajarkan untuk bertanggung jawab. Dan aku berani mempertanggung jawabkan perasaanku."

"Buku ini apa?"

"Tolong dengarkan dulu, jika aku selesai bicara, kamu membunuhku pun tak masalah, setidaknya aku sudah berusaha untuk memperbaiki keadaan."

Albie memangguk.

"Seperti yang sudah kamu tahu, aku adalah putra dari Elijah Wells. Mungkin kamu tidak akan mengira kalau aku adalah ilmuwan dari Laboratorium Darurat yang merupakan gabungan dari Testing Bureau of The Improvement of Synecology dan Laboratory of the Organizing of Zoologi and Autekologi. Buku itu adalah alasan mengapa aku ada di sini saat ini."

Jaiden berusaha bangkit, pinggangnya ngilu lantaran ditendang berkali-kali oleh Albie, ditambah benturan keras saat terjatuh dari atas lemari.

"Jangan memaksakan diri, sudah begitu saja."

Jaiden menggeleng. Albie terpaksa membantunya sampai dia menyandarkan punggungnya di sandaran tempat tidur.

"Apa yang kamu pikirkan tentang Eqouya?" tanya Jaiden.

Albie membisu.

"Jawab saja," ujar Jaiden.

Albie masih tidak bisa mengungkapkan apa-apa, kendati dirinya punya segudang prasangka tentang apa yang terjadi di Prexogalla.

"Eqouya memiliki prasangka kalau Greamorlah yang mengirimkan blatta. Dan aku kaget saat kamu menyalahkan Da-ku saat kekacauan ini terjadi. Kita sama-sama memiliki prasangka yang salah."

"Bagaimana mungkin!" sentak Albie.

"Ya, awalnya menyelinap ke Greamor hanya untuk menyelamatkan salah satu Hunter yang ditugaskan ke sini untuk mencari buku itu," ungkap Albie.

"Hingga keping-keping misteri banyak sekali bermunculan. Albie, apakah kamu percaya dengan apa yang kukatakan?"

Albie tertegun. Entah harus menanggapi rentetan cerita yang Jaiden ungkapan dengan cara apa.

"Percayalah kepadaku, maka akan kuceritakan seluruhnya kepadamu."





Continue Reading

You'll Also Like

13.4M 1.1M 81
β™  𝘼 π™ˆπ˜Όπ™π™„π˜Ό π™π™Šπ™ˆπ˜Όπ™‰π˜Ύπ™€ β™  "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.βžβ–«not an...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.βžβ–«not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...