Bab 12

8 4 0
                                    

"Setidaknya sebelum membunuhku, dengar apa yang ingin aku katakan. Kumohon," ratap Jaiden.

"Jangan berharap!"

Pukulan demi pukulan mengantarkan kesakitan, menyebarkan rasa panas sampai merobek sudut bibir Jaiden. Bukan tidak mampu melawan. Jaiden sudah mengatakan cinta kepada Albie, sudah mencurahkan segenap perasaannya dan sampai mati dia berjanji akan melindungi gadis itu. Mana mungkin dia tega melawan hanya demi melindungi diri sendiri. Baginya lebih baik mati daripada bertahan hidup, tetapi melukai separuh hatinya.

"Kenapa diam saja, dohotno!" umpat Albie. Kerah pakaian Jaiden dicengkeram erat-erat. Jarak wajah mereka terlalu dekat.

Yang Jaiden lakukan adalah menempelkan keningnya di kening Albie, "kumohon."

Air mata Albie menetes, kesakitan Jaiden adalah kesaktiannya juga. Namun, dia tahu kesaktiannya belum tentu milik Jaiden. Bisa saja Jaiden mendekati dan menyatakan cinta hanya untuk memperdaya Albie guna melancarkan seluruh rencana jahat Eqouya.

Albie melonggarkan cengkeraman tangannya, dia diam sejenak. Lalu tanpa sepatah kata pun perempuan itu beranjak. Lebih baik, dia bersikap seolah-olah tidak pernah bertemu dengan Jaiden. Dulu atau pun malam ini. Dia memilih pergi, dan kembali dengan kehidupan yang sebenarnya.

"Kumohon tunggu dan dengarkan," pinta Jaiden. Suaranya lemah dan serak. Albie terus melangkah, dia tidak peduli dengan keadaan Jaiden yang mengerikan karena dihajar habis-habisan oleh dirinya.

Albie adalah semangat dan pusat kebahagiaan yang dikirim Tuhan di Greamor. Jaiden tidak pernah siap dan tidak akan pernah bisa jika harus berpisah dengan gadis itu. Sisa-sisa tenaga yang dia miliki mengantarkan Jaiden untuk bangkit. Memungut keping-keping luka yang tertinggal saat Albie naik ke atas lemari untuk melanjutkan perjalanan menuju gondola yang akan membawanya keluar dari Museum.

Jaiden meninggalkan jejak berupa tetes darah yang tercecer di lantai berwarna putih tulang. Buku tebal yang dia ambil dari lemari masih aman tersimpan dalam dekapannya.

"Kumohon tunggu," pinta Jaiden sekali lagi.

Bukan tidak mendengar apa yang Jaiden minta, Albie justru terluka mendengar rintihan Jaiden. Namun, semua tidak akan mudah, banyak kesulitan yang akan dihadapi keduanya jika terus menerus memelihara perasaan cinta yang dia anggap palsu.

"Setidaknya jika aku mati, aku tidak akan pernah menyesali apa yang sudah menjadi keputusanku. Dan kamu akan tahu apa yang sebenarnya terjadi di Prexogalla ini."

Tidak mudah memberikan kepercayaan kepada orang lain, dan ketika rasa percaya itu diberikan, maka jangan biarkan noda-noda pengkhianatan menghancurkan semuanya.

Bahkan jika harus menyaksikan Jaiden mati pun Albie rela, asalkan sakit hatinya terobati.

Dia terus melangkah, menuliskan pendengaran, tidak peduli dengan rintihan-rintihan dan teriakan panggilan dari Jaiden.

Sementara bagi Jaiden, tiada hukuman lain yang lebih menyakitkan daripada diabaikan. Dia rela menembus apa pun termasuk melawan kawanan blatta asalkan Albie mau mendengarnya sekali saja.

Kakinya lemas, tangannya sakit dan bergetar hebat. Jaiden tidak boleh menyerah. Dia merangkak dan berusaha memanjat lemari, satu-satunya penghubung yang bisa dilewati agar dapat meraih gondola dan kembali keluar melalui celah pintu di atas sana.

Pijakan pertama berhasil dilalui dengan baik. Meski Jaiden sama sekali tidak bisa memfokuskan penglihatannya. Selain karena gelap, efek dari pukulan Albie ternyata sangat luar biasa.

Satu-satunya yang menjadi sumber kekuatan untuk Jaiden adalah senyuman Albie. Senyuman yang selalu dia ingat sepanjang waktu.

Sayangnya usaha Jaiden sia-sia. Ketika mencapai bagian atas dari lemari besar itu, tubuhnya tidak mampu menopang keseimbangan lagi. Siksaan yang Albie berikan, melumpuhkan jiwa dan raganya.

Fighter's Prejudice (Tamat, Proses Revisi)Where stories live. Discover now