Just Like Magic [ON HOLD]

By rayhidayata

641 108 35

Aria secara misterius terbangun di sebuah rumah sakit tak dikenal. Tanpa penjelasan. Tidak ada petunjuk. Semu... More

Prakata
0. ... ini bukan kamarku
1. Mereka bilang, namaku Aksara Nada
2. Nathaniel Erlangga
3. Sesuatu yang Penting
5. Adaptasi: Rumah
6. Kesepakatan
7. Tawaran
8. Diskusi
9. Bicara
10. "Dunia Perkuliahan Gue ... Enggak Gampang."
11. Berubah

4. Bertemu Nada

40 6 2
By rayhidayata

Dalam waktu kurang dari sejam, aku sudah mendapatkan ponsel. Mewah, elegan, dan berkelas. Bukan tanpa alasan sih aku bilang begitu. Anggap saja aku lebai, tapi seriusan deh. Ponsel yang kupegang sekarang ini impianku sejak dulu. Jauh jika dibandingkan ponsel yang aku punya.

Maksudku, ponsel asliku.

Begitu deh intinya.

Aku menimang-nimang ponsel di tanganku. Niel yang mengantarkannya beberapa menit lalu. Semua sudah dia set up, katanya. Aku tinggal pakai. Bahkan sudah ada nomornya, juga nomor Mama dan Papa.

Sebuah ponsel di hari pertama menginjakkan kaki di sini ... bukan hal yang mencurigakan kan?

Aku pribadi menganggapnya tidak. Ponsel di era sekarang ini sudah seperti kebutuhan pokok. Primer. Ada di level yang sama dengan pangan, sandang, dan papan. Jadi, rasanya meminta ponsel kepada "orang tua" sendiri bukanlah hal aneh.

Lagian, Papa atau Mama juga tidak banyak bertanya. Saat Papa bertanya dan aku menjawab di saat makan malam barusan, beliau langsung mengangguk.

Dan, voila!

Saat aku sudah selesai makan malam dan disuruh beristirahat, Niel datang tidak lama kemudian. Mungkin sekitar lima belas sampai dua puluh menit sejak aku masuk kamar. Cowok itu menyerahkan ponsel yang kupinta. Tanpa banyak bertanya. Hanya menjelaskan beberapa hal dan berkata kalau aku butuh bantuan, panggil saja dia.

Jadi bisa dibilang tidak ada gerak-gerikku yang mencurigakan. Iya kan?

Harapanku sih  begitu.

Sekarang, aku tengah duduk di pinggir ranjang. Masih menimang-nimang ponsel di tangan. Sesekali membolak-balik. Baiklah. Mungkin harus aku lakukan cara itu.

Dengan hati-hati, aku menghidupkan ponselku. Tidak ada yang aneh, tentu saja. Sama seperti tampilan ponsel pada umumnya. Hanya saja, dibandingkan dengan ponselku, ini jelas lebih bagus.

Mataku bergerak mencari WhatsApp. Oke, sudah kutemukan. Waktunya melakukan rencana.

Pertama, menambahkan kontak. Kuketik sederet angka dan menyimpannya.

Kedua, me-refresh jumlah kontak. Seperti yang sudah kuduga. Dari tiga kontak bertambah menjadi empat. Kontak baru berhasil ditambahkan. Dengan cepat, aku mengekliknya dan diarahkan menuju ruang obrolan.

Benar sekali. Aku menambahkan nomorku sendiri.

Foto profilnya menampilkan fotoku.

Begitu aku melihat status terakhir dilihat, aku Terbeliak pelan. Dengan jari yang hendak menekan touch screen langsung terhenti.

Terakhir dilihat hari ini pukul 19.40 WIB.

Itu sekitar ... dua puluh menit yang lalu.

Aku selalu mengunci ponselku. Sifat Mamak yang suka kepo membuatku mengambil langkah kayak gitu. Pernah sekali aku lupa mematikan ponsel saat pergi ke kamar mandi sebentar, tahu-tahu, Mamak sudah mengutak-atik ponselku. Ingin menonton Youtube, katanya. Begitu kuperiksa riwayat aplikasi yang dibuka, terpampang WhatsApp dan Facebook turut serta.

Padahal, sebelumnya, aku tidak membuka dua aplikasi tersebut.

Jujur saja, aku tidak menyimpan hal aneh-aneh. Paling-paling cuma kumpulan meme receh nista. Namun, tetap saja. Mamak, kekepoan, dan hasrat coba-cobanya agak mengusikku.

Karena itulah aku mengaplikasikan lunci kayar. Sidik jari dan PIN empat digit.

Mamak jelas tidak bisa menerobis sidik jari. PIN pun sama. Aku pernah beberapa kali memergoki Mamak mencoba melewati kunci layar ponselku sebelum akhirnya menyerah.

Jadi ... jelas pelakunya bukan Mamak, kan?

Sekali lagi, aku menatap ruang obrolan WhatsApp-ku yang masih menyala.

Kalau begitu ... siapa yang melakukannya?

Beberapa menit kulalui dengan diam. Hening. Mencoba memikirkan kemungkinan apa yang bisa terjadi.

Sedetik kemudian, aku terbelalak.

Jelas sekali tidak ada yang tahu PIN ponselku.

Namun, sidik jari ... hanya aku yang bisa melakukannya.

Apa jangan-jangan ....

... dugaanku benar?

Hampir saja ponselku terjatuh dari genggaman. Untungnya, aku sigap menahan. Kupandang ruang obrolan WhatsApp lama. Saking lamanya, status yang semula terakhir dilihat menjadi online.

ONLINE!

Aku bahkan hampir melemparkan ponselku saking kagetnya.

Rasanya jauh lebih mengagetkan dibanding menonton film horor dan jumpscare muncul.

Tahan, Aria! Tenang dulu.

Kutenangkan diri sebisa mungkin. Namun, tetap saja. Aku kaget. Tidak akan kupungkiri hal tersebut.

WhatsApp-ku online. Artinya, ada yang membuka aplikasi WhatsApp-ku. Namun ... siapa?

Aku menenggak ludah. Dengan tangan sedikit gemetar, kuangkat ponsel di tangan. Setelah mengumpulkan sekian tekad dan keberanian, aku mulai mengetikkan beberapa kata.

Hai. Kamu siapa?

Aneh. Oke, hapus.

Gimana caranya kamu bisa buka WA-ku?

Um ... rasanya kayak menodong seseorang. Alih-alih bingung kenapa itu bisa terjadi.

Hapus.

Ketik dan hapus. Begitu saja terus. Hingga aku hanya mengetikkan halo dan tanpa kalimat apa pun lagi setelahnya. Begitu aku ingin mengetik, payahnya, aku salah pencet. Malah terkirim send.

Aria bodoh!

Aku langsung kelabakan, tentu saja. Ketika aku ingin menghapus pesan tersebut, statusnya sudah berubah menjadi centang dua biru. Dengan seseorang di sana sedang mengetikkan pesan.

Jujur, aku deg-degan setengah ampun sekarang ini. Rasanya jauh lebih parah dari setelah berlari jarak 400 meter.

Namun, tiba-tiba saja, seseorang itu berhenti mengetik. Statusnya berubah menjadi online. Lalu, sedetik kemudian, pemberitahuan panggilan muncul di layarku.

Dia.

Dia yang sedang memegang akses WhatsApp-ku.

Aku agak ragu. Tebersit niat menggeser opsi tolak dan bicara lewat chat saja, tetapi gerak jariku berkhianat. Alih-alih menolak panggilan, aku menerimanya. Karena ... apa ya. Aku penasaran. Dan, rasa penasaran itu jauh lebih besar dibanding speechless beberapa saat lalu.

Tanganku terangkat dan mendekatkan ponsel ke telinga. Untuk sesaat, aku hanya diam. Begitu juga seseorang di sana. Tidak ada yang bersuara di antara kami. Sementara, deru napasku rasanya makin berat saja.

Oke, ini terlalu lama. Diam mungkin emas, tetapi terus-terusan membisu sama dengan menikam.

Aku memberanikan diri berbicara lebih dulu, "Halo."

Hening. Lalu,

"Lo ... siapa?"

Akhirnya dia menyahut. Dengan tone suara yang membuatku tercengang.

Itu suaraku.

"Halo? Halo!" Aku panik, memanggil-manggil agar dia yang ada di sana tidak memutus sambungan.

"Lo siapa?" ulangnya. Suaranya sekarang jauh lebih keras. "Sialan!"

Sialan, katanya?

What the hell-lah! Apa dia merutukku?

Aku langsung emosi jiwa dibuatnya, "Harusnya aku yang nanya. Kamu siapa, hah?" Kenapa suara kamu mirip banget sama suaraku? Bagaimana bisa?

Jangan bilang—

"Kenapa suara lo mirip banget sama gue?" Dia balik bertanya.

Sialan!

Oke, oke. OKE! Tenang. Jangan panik.

Baru aku ingin bicara, panggilan terputus. Atau, mungkin lebih tepatnya diputus sepihak.

Benar-benar sialan! Aku menggeram. Tanpa ragu, aku menekan opsi telepon lagi. Kali ini, tidak tanggung-tanggung, video call. Pokoknya, tidak akan kulepaskan kesempatan ini.

Lama menunggu, panggilan bersambut. Sempat terjadi jeda ketika video call diterima. Setelahnya, masing-masing dari kami menampakkan muka.

Benar saja.

Seseorang di sana ... itu aku.

ASTAGA!

"AAAH!" Aku tanpa sadar menjerit, kaget. Bahkan ponsel di tanganku sampai jatuh. Untungnya, tidak terjadi debaman. Terima kasih karpet tebal di sekeliling ranjang.

Aku menenggak ludah, agak gemetaran. Dengan sebelah tangan, aku mengambil kembali ponselku. Aman. Layarnya masih menampilkan ... wajahku.

Astaga naga! Itu benar-benar wajahku. Aku. AKU.

"Reaksi lo lebai. Berlebihan banget." Dia berdecak.

Aku ternganga. Berlebihan, katanya?

"Kenapa ini bisa terjadi?" tanyaku. "Kamu ... siapa?"

Dia terdiam. Lama sekali. "Entah." Ia mengedikkan bahu. "Gue Nada. Dan, lo pasti ...."

"Aria Laraswati. Aria," sambarku.

Dia, yang mengklaim diri sebagai Nada, mengangguk. "Udah gue duga."

Jadi ... jiwa kami benar-benar tertukar? Dengan kata lain, ruh kami menempati tubuh satu sama lain?

Aku tercengang.

Maksudku, bagaimana bisa?

"How?" Aku bergumam.

Nada menarik napas sebelum berkata, "Yang gue tahu, harusnya gue udah mati. Bukannya bangun sebagai orang lain."

Sekali lagi, aku dibuatnya terdiam.

Mati?

MATI!?

Dia ini gila atau apa?

"Mati, kamu bilang?" Aku tidak tahan untuk tidak sinis. "Kalau mau mati, jangan bikin aku terjebak kayak gini."

Nada menatapku lurus. "Gue juga nggak pengin buat ngelibatin hal di luar nalar kayak gini. Tiba-tiba aja, gue bangun sebagai lo. Lo pikir, gue juga mau?"

Aku menghela napas mendengarnya. "Kenapa kita bisa kayak gini?"

Bukannya menjawab, Nada malah mematikan sambungan video call. Membuatku terpaku untuk beberapa detik, lalu panik.

Apa-apaan sih dia ini?

Dengan kesal, aku kembali meneleponnya. Gagal. Selalu terputus. Tidak kehabisan akal, aku mengirimi spam chat. Beruntun. Dengan harapan, dia terganggu dan bersedia bicara denganku tentang SEMUA INI.

Tepat setelah spam ke sepuluh, bisa kulihat foto profilnya berubah menjadi anonim. Dengan chat-ku hanya menunjukkan centang satu abu-abu.

Sialan! Aku diblokir. []




Continue Reading

You'll Also Like

108K 26.8K 199
Pernah tertulis sebuah kisah, tentang empat anak indigo yang merantau ke kota yang katanya istimewa, dan membuka coffee shop. Lembaran baru kini tela...
7.2K 933 55
Warning ‼️ Cerita tak semanis judul❗ 🏅Rank1#Depresi 🏅Rank 2 #Paranormal Cerita ini hadir untuk menampar ekspektasi tinggi kalian si manusia-manusia...
138K 11.4K 37
Landers University, salah satu kampus ternama di California, Amerika Serikat. Tentu saja di setiap kampus memiliki beberapa mahasiswa dan mahasiswi f...
2.7M 66.6K 38
Menceritakan tentang seorang psycopath yang jatuh cinta pada korbannya sendiri