SHAGA (SELESAI)

By destharan

5M 663K 228K

JUDUl AWAL HAZEL. *** Shaga Putra Mahatama, menyesal karena menyetujui perjodohan nya dengan gadis asing, ena... More

SHAGA || PROLOG
SHAGA || ONE
SHAGA || TWO
SHAGA || THREE
SHAGA || FOUR
SHAGA || FIVE
SHAGA || SIX
SHAGA || SEVEN
SHAGA || EIGHT
SHAGA || NINE
SHAGA || TEN
SHAGA || ELEVEN
SHAGA || TWELVE
SHAGA || THIRTEEN
SHAGA || FOURTEEN
SHAGA || FIFTEEN
SHAGA || SIXTEEN
SHAGA || SEVENTEEN
SHAGA || EIGHTEEN
SHAGA || NINETEEN
SHAGA || TWENTY
SHAGA || TWENTY ONE
SHAGA || TWENTY TWO
SHAGA || TWENTY THREE
SHAGA || TWENTY FOUR
SHAGA || TWENTY FIVE
SHAGA || TWENTY SIX
SHAGA || TWENTY SEVEN
SHAGA || TWENTY EIGHT
SHAGA || TWENTY NINE
SHAGA || THIRTY
SHAGA || THIRTY ONE
SHAGA || THIRTY TWO
SHAGA || THIRTY THREE
SHAGA || THIRTY FOUR
SHAGA || THIRTY FIVE
SHAGA || THIRTY SIX
SHAGA || THIRTY SEVEN
SHAGA || THIRTY EIGHT
SHAGA || THIRTY NINE
SHAGA|| FORTY
SHAGA || QnA
SHAGA | QnA
SHAGA || FORTY ONE
SHAGA || FORTY TWO
SHAGA || FORTY THREE
SHAGA || FORTY FOUR
SHAGA || FORTY FIVE
SHAGA || FOURTY SIX
SHAGA || FORTY SEVEN
SHAGA || FORTY EIGHT
SHAGA || FORTY NINE
SHAGA || FIFTY
SHAGA || FIFTY ONE
SHAGA || FIFTY TWO
SHAGA || FIFTY THREE
SHAGA || FIFTY FOUR
SHAGA || FIFTY FIVE
SHAGA EKSTRA CHAPTER
SHAGA EKSTRA CHAPTER 01
TERBIT + VOTE COVER

SHAGA || FIFTY FIVE (2)

98.4K 10.3K 4.1K
By destharan

Assalamualaikum...

***

"Berapa persen kemungkinan operasi ini berhasil?" Hazel bertanya dengan suara khas nya yang tenang walau hatinya resah dan cemas, iris coklat gadis itu menatap ke depan, pada taman Rumah Sakit dalam suasana pagi mendung yang di penuhi banyak anak.

"Kami akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan Nona Hazel," sahut wanita paruh baya yang sejak dua bulan merawat gadis itu. "Jangan cemas, berdoalah," imbuhnya lagi di sertai lengkungan senyum hangat.

Dokter itu, Anggi namanya, menatap Hazel yang hanya diam. Rasa iba dan kagum dia rasakan untuk gadis bersurai coklat tersebut. Melihat kondisi Hazel yang semakin hari semakin menurun, tentu dia juga khawatir. Tubuh ringkih, semakin kurus. Wajah dan bibir sama pucatnya. Sementara iris coklat yang harusnya berbinar indah, selalu redup oleh kesedihan.

"Mau jalan-jalan?" tawarnya.

Hazel menggeleng selagi tangan merogoh saku cardigannya, dia keluarkan selembar foto usang yang selama seminggu ini dia genggam diam-diam. Sebuah foto berisi dirinya dan Shaga kecil. Hazel menunduk, menatap hangat di sana. Dan hal itu tidak luput dari penglihatan Dokter Anita.

Hal yang ia ketahui selama merawat Hazel di rumah sakit adalah, Hazel yang selalu menangis diam-diam sambil memeluk foto itu erat. Mata Hazel yang selalu sayu dan sendu, selalu berubah dalam hitungan detik menjadi hangat, penuh kasih sayang dan kesedihan mendalam ketika menatap selembar foto tersebut.

"Shaga dari kecil udah ganteng, ya?" celetuknya tanpa sadar, lantas saat Hazel menoleh dari balik bahu, Dokter Anggi meringis seketika.

"Shaga? Dokter tahu sama dia?" nada bicara Hazel jadi sedikit bersemangat dan berawarna, apalagi di sertai sorot penuh rindu dan pilu yang terlihat jelas di mata beningnya.

Dokter Anggi mengangguk. "Kan, pernah antar Non Hazel dua Minggu lalu pas drop."

"Aaah iya," gumam Hazel. "Di ganteng, kan? Lebih ganteng pas kecil," ucapnya lagi menatap pada foto.

"Udah besar juga ganteng ah."

"Tapi nyebelin," dengkus Hazel.

"Dan ngangenin?" timpal Dokter Anggi, terkekeh samar ketika Hazel berdeham salah tingkah.

"Shaga sayang banget sama Non Hazel," ungkap Dokter Anggi setelah beberapa saat hening. "Saya bisa lihat di matanya, dan merasakan nya."

Hazel terkekeh, mengepal tangan erat. "Dia pasti benci sama aku sekarang, aku jahat sama dia."

"Mana mungkin benci," decak Dokter Anggi. "Shaga mungkin lebih sayang sama Non Hazel di banding dirinya sendiri."

"Man—"

"Mungkin aja. Dia bahkan maksa buat donor darah kemar—" shit! Dokter Anggi menutup mata sambil mengumpat dalam hati, beberapa detik kemudian matanya kembali terbuka dan sudah dia duga manik Hazel lah yang akan dia jumpai.

"Donor darah?" Haze bertanya.

Dokter Anggi bergerak gugup. "Itu..., maksud say—"

"Bicara jujur atau saya akan lepas paksa infus ini." Hazel tidak mengancam, melainkan benar-benar melakukannya, infus itu di tarik paksa sampai perekatnya terbuka, hampir saja lepas kalau Dokter Anggi tidak cepat-cepat menahannya. "Bicara sekarang."

Masih dalam keadaan jantung terasa lepas Dokter Anggi bersimpuh di bawah Hazel sembari membetulkan letak infusnya. "Empat hari lalu, Shaga datang kemari dan—"

"Donor darah untukku?" sela Hazel, Dokter Anggi mengangguk kaku. "Jadi dia udah tahu aku sakit?"

"Saya yang beritahu Shaga, Non. Maaf saya lancang tapi saat itu saya benar-benar merasa kasihan melihat Shaga putus asa."

"Sejak kapan?

"S-sejak dua minggu lalu."

Hzel terkekeh pahit, menatap kecewa pada Dokter Anggi. "Dokter tahu, saya udah berusaha keras buat nyembunyiin ini tapi—"

"Tapi dia berhak tahu," sela Dokter Anggi. "Kalian saling menyayangi, saya tahu itu. Saya pikir, Shaga akan bisa menjadi kekuatan Non Hazel dalam menghadapi situasi sekarang."

Hazel menunduk, putus asa. "Dia..., dia pasti sedih kalau tahu aku sakit."

"Dan Non Hazel juga akan sedih kalau nggak ada Shaga yang nemenin Non Hazel di sini. Percaya sama saya, saya bahkan bisa lihat betapa hancurnya Shaga saat tahu Non kritis kemarin. Dia nggak berhenti nangis, nunggu berjam-jam di ruangan Non hari itu."

Hazel mendongak, menatap bingung. "Tunggu—"

"Saya nggak mau bohong lagi, Non. Saya kasihan lihat Non Hazel sedih terus," ucapnya, Dokter Anggi mengenggam lembut tangan Hazel dan menatapnya dalam. "Non harus tahu, Shaga banyak berkorban buat Non. Empat hari kemarin Shaga datang ke sini dalam kondisi nggak baik. Dia bikin kekacauan, ngelukain dirinya sendiri saat perawat nolak buat ambil darahnya."

"Apa?"

"Selesai mendonorkan darah, Shaga sempat nunggu Non pulang di kamar Anyelir. Nunggu di sana entah berapa jam sampai saya datang dan kasih tahu bahwa Non di ruang ICU dan butuh pertolongan. Shaga sempat ingin ketemu Non, tapi...."

"Tapi?"

Dokter Anggi menghela napas. "Tapi Tuan Elang melarang. Padahal Shaga udah mohon-mohon dan bersujud di kakinya, tapi... Shaga tetap nggak di perbolehkan lihat Non walau sebentar. Saya..., merasa kasihan sama Shaga non."

Hazel menatap kosong ke depan, entah sejak kapan matanya berbayang air yang mungkin akan terjatuh jika gadis itu berkedip.

"Akhinya hari itu Shaga pulang setelah saya minta dia buat bicara sama Papa non Hazel. Hari itu juga saya tahu papa Non masih hidup dari Shaga saat kami membicarakan perihal donor sumsum tulang belakang. Saya pikir kalau Papa Non mau mendonorka—"

"Sweetie." Suara Dokter Anggi hilang saat suara dingin Elang terdengar, keduanya kompak menoleh dan mendapati Elang bersama Anthon di temani satu dua petugas polisi. "Ngapain di sin—"

"Pa, jujur sama aku, siapa yang datang ke lapas hari itu?"

Anthon menatap bingung pada anaknya. "Nak, maksud kam—"

"Siapa yang bilang sama Papa kalau aku sakit dan lagi butuh donor?"

"Itu..., Papa nggak bis—"

"Aku nggak akan masuk ruang operasi sebelum Papa jawab jujur!" Hazel menggeram marah.

Elang bersimpuh menatap penuh peringatan. "Elysia, apa maksud lo? Bukannya gue udah—"

Hazel menoleh, menatap dingin dan asing pada Elang. "Gue nggak lagi bicara sama lo!" desisnya sinis.

Lantas Hazel kembali menatap Anthon. "Siapa, Pa?" ulangnya. "Demi Tuhan aku lebih baik mati daripada nggak tah—"

"Shaga, nak. Shaga yang datang ke sana hari itu. Shaga yang kasih tahu Papa, Shaga yang mohon-mohon sama Papa buat datang ke Rumah sakit."

Badan Hazel lemas, emosi, amarah, kekecewaan yang sempat dia rasakan beberapa detik lalu bagai lenyap dalam hitungan detik dan menghempasnya jatuh dari tebing tinggi.

"Elys—"

"Lo bohong sama gue, Lang," gumam Hazel getir. "Lo hohong sama gue berengsek!"

"Gue—"

"Dokter, tolong..., tolong bantu saya buat hubungi Shaga. Say—"

"Nak, Shaga kritis sejak kemarin," sela Anthon gugup. "Papa baru tahu tadi pagi, pas Papa coba telepon ke rumahnya buat kabarin kalu hari ini kita akan operasi. Tapi orang rumah bilang, kalau Shaga kecelakaan parah sepulang dari rutan jenguk papa. Dia nggak sadar selama dua hari sebelum kritis."

"A-apa?"

"Papa di suruh Ranti buat sampaikan sama kamu, katanya kalau kamu sudi, apa bisa lihat Shaga sebentar? Mungkin untuk kali ini, harapan dia bisa bertahan sangat kecil."

***

Seingat Hazel, Shaga adalah orang yang cukup kuat, tidak mau diam, banyak tingkah dan banyak bicara. Shaga itu sedikit..., menyebalkan. Pemaksa, egois, selalu gigih untuk mendapatkan apa yang dia mau. Banyak sekali memori tentang Shaga di kepala Hazel, Shaga yang suka mengejeknya, Shaga yang tertawa lepas, Shaga yang terkekeh usil, Shaga yang mendelik, mendengus, mendecak, mengomel, semuanya membayang di mata Hazel.

Tapi kini, saat kaki kurus gadis itu melangkah melewati pintu, Shaga yang dia kenal selama ini..., tidak ada. Tidak ada Shaga yang berisik dan banyak tingkah, yang dia lihat adalah Shaga dalam kondisi terburuknya, jangankan untuk bicara, bahkan untuk bernapas saja lelaki itu butuh bantuan.

Setelah kehilangan napas untuk beberapa detik, kini Hazel kehilangan tenaga. Kakinya mendadak lumpuh, membuatnya terjatuh. Hazel menunduk, menatap lantai marmer yang mulai di penuhi butir butir air jatuh dari matanya.

"Shaga!" Hazel rasa dia sudah berteriak cukup kencang, tapi nyatanya hanya ada suara lirih yang dia dengar. Hazel menatap pada ranjang, pada Shaga yang hanya diam menutup mata, kenapa Shaga diam saja? Padahal biasanya lelaki itu akan sigap menggendongnya dan mengatainya manja.

"Ga, bantuin aku..." Hazel berbisik parau. "Aku nggak bisa berdiri." Tapi berapa lamapun Hazel menunggu, Shaga tidak juga membantu.

Masih dengan derai air mata, Hazel coba berdiri dengan sisa tenaga yang dia punya. Beberapa kali gagal, membuatnya putus asa. Akhirnya Hazel merangkak saja untuk mengampiri Shaga. Tepat ketika dia sampai di sisi ranjang, Hazel gapai tangan dingin Shaga dan menggenggamnya erat. "Shaga... bangun."

Tidak ada geraman kesal yang biasa Hazel dapat ketika membangunkan Shaga, atau tindakan lelaki itu yang menariknya dan menjebaknya dalam pelukan hangat, Shaga kali ini masih diam, dah hal itu membuat Hazel retak.

Shaga kritis setelah mengorbankan banyak hal untuknya, dan dia sama sekali tidak tahu apa-apa.

"Non Hazel, bangun." Hazel pasrah saat badannya di tegakan, hendak di dudukan namun Hazel menunjuk ranjang. "Non Hazel mau tidur di sini? Sebelah Shaga?"

Hazel mengangguk.

"Tapi Non..."

"Please..., dia pasti pengen di peluk."

Dokter Anggi merasa sesak melihat Hazel mengiba dengan mata beningnya yang berair. "Baiklah, dengan syarat, Non pakai infusnya lagi."

Hazel mengangguk saja, lantas dia di bantu berbaring tepat di samping Shaga setelah Dokter Anggi sedikit menggeser badan lelaki itu. Hazel diam menatap tanpa kedip pada wajah Shaga yang setengahnya tertutup masker oksigen. Lelaki itu tampak tenang, tapi Hazel tidak suka.

Shaga pasti akan langsung melilit badannya kalau saja lelaki itu sadar, dan Hazel akan kesal karena pelukan lelaki itu terlalu erat sampai dia susah bernapas. Tapi sekarang, tanpa pelukan itu pun, Hazel merasa kesulitan bernapas, jauh lebih sulit dari hari-hari sebelumnya.

"Istirahatlah, saya akan jemput ke sini setelah ruang operasi siap."

Hazel menatap sinis Dokter Anggi. "Aku nggak akan pergi kemanapun tanpa Shaga."

"Tapi Nona Haz—"

"Gimana bisa aku operasi di saat dia nggak sadar begini? Aku..., aku nggak bisa. Tunggu sampai dia bangun."

"Tapi kalau Shaga nggak bang—"

"Dia pasti bangun!" Hazel setengah berteriak. "Shaga pasti bangun, seenggaknya demi aku..." imbuhnya lagi lirih.

"Aku nggak mau operasi kalau dia belum bangun," putus Hazel, tidak ingin kembali di bantah gadis itu putuskan untuk menuntup mata sambil memeluk Shaga dari samping. Membiarkan lelehan bening turun dari sudut mata melewati hidung dan berakhir menetes ke bantal.

Hazel ternyata benar-benar tidur, cukup nyenyak dan tidak memimpikan sesuatu hal yang buruk. Entah berapa lama dia terlelap karena matanya begitu ringan ketika di buka, Hazel mengerjap, dan ketika sadar bahwa dia ada diruangannya sendiri, gadis itu langsung bangkit.

"Elysia." Elang mendekat dengan wajahnya yang suram.

Hazel abaikan, dia turun dari brankar, membiarkan kaki telanjangnya menyentuh lantai. Dia membawa tiang infus untuk berjalan, walau tertatih, tapi Hazel berhasil sampai di ambang pintu.

"Hazeeeelll..." Suara Elang kembali terdengar, lebih pelan dan putus asa membuat langkah Hazel berhenti. "Lo butuh istirahat, lo harus operasi."

"Gue nggak akan pernah mau operasi sebelum Shaga yang nyuruh!" jawab Hazel penuh tekanan, dia layangkan tatapan sinis pada Elang, dan Hazel harap lelaki itu mengerti bahwa Hazel kini benar-benar membencinya. "Jangan halangi gue."

"Tapi Shaga—"

"Shaga pasti bangun! Pasti! Lo bukan Tuhan yang bisa ngatur kehidupan dia!"

"Dan lo juga bukan, Elysia. Lo nggak bisa jamin kalau Shaga bisa bertahan dan hidup."

Hazel terkekeh, menatap Elang datar. "Well, kalau memang harus gitu, nggak masalah. Biar gue yang ikut dia."

"ELYSIA!"

"GUE NGGAK BISA TANPA DIA!" Hazel berteriak, mengepal tangan menahan emosi sementara matanya bergetar menahan air yang mengancam keluar. "Lo tahu gimana sakitnya gue tanpa dia seminggu ini?! Gue bahkan nggak bisa bernapas benar tiap ingat dia! Gue..., gue pengen lihat dia, pengen dengar suara dia, gue pengen peluk dia."

Elang menatap sendu. "Lo masih sesayang itu sama dia? Bahkan setelah bertahun-tahun dia lupain dan nyakitin lo?"

"Sama dia memang sakit, tapi jauh dari dia ternyata lebih sakit, Lang. Pisah sama dia ternyata jauh lebih sakit dari rasa sakit yang dia kasih sebelumnya."

Elang terkekeh pahit, menatap Hazel dengan segenap rasa sayang dan kecewa yang bercampur jadi satu. "Dia udah sadar dua jam lalu, mungkin sekar—" ucapan Elang terhenti, menggantung di udara begitu Hazel berlari keluar kamar. "Semoga dia bisa bikin lo bahagia," bisiknya pelan.

***

"HAZEL!" Lari kecil Hazel berhenti ketika suara Ranti terdengar, dengan napas terengah sementara tangannya menyeret tiang infus, Hazel mendekati Ranti. "Nak kam—"

"Shaga..., Shaga Ma. Aku mau lihat—"

"Tenang sayang, bernapas... Shaga udah sadar." Ranti tersenyum kecil. "Lagi di periksa sekalian lepas masker oksigen, tunggu sebentar baru kamu masuk."

Hazel mengangguk, tapi kakinya tidak mau diam. Berulangkali gadis itu mondar- mandir atau bahkan berjinjit untuk mengintip lewat celah jendela. "Kenapa lama sekali?" decaknya.

Ranti terkekeh, matanya mendadak perih, dan isak tangisnya tak bisa ia tahan. "Jangan tinggalin, Shaga, sayang. Mama mohon."

Hazel menoleh, mendapati Ranti hendak membungkuk padanya namun terlebih dahulu ia tahan. "Mama tahu, Shaga banyak salahnya sama kamu. Banyak kasih luka sama kamu, banyak bikin kamu nangis, mama ngerti kalau kamu pergi dari dia. Tapi dengan alasan yang jelas, bahwa kamu membenci dia, bukan karena menghindar gara gara kamu sakit."

"Ma..."

"Kamu pikir bisa bohongi mama, Hazel? Mama tahu, rasa sayang kamu sama Shaga nggak pernah hilang. Mama kenal kamu sejak kecil, mama tahu gimana kamu, mama bahkan tahu hanya lihat dari mata kamu saja." Ranti berucap dengan sorot mata hangat. Tangan wanita itu terangkat, mengusap lembut pipi Hazel. "Kamu anak Mama sayang, kemarin mama biarkan kamu pergi karena tahu, sejauh apapun kamu pasti bakal kembali."

"Ma, aku...."

"Kamu sakit, mama tahu. Kamu takut nggak bisa sembuh makanya pergi dari Shaga, mama juga tahu. Tapi Nak, umur itu rahasia, hanya Tuhan yang tahu. Panjang atau pendek nggak masalah, semua manusia bakal pergi dari dunia, kan? Hanya waktu nya aja yang beda. Tapi bukankah akan lebih baik kalau hidup kamu di isi dengan kebahagiaan? Dengan cinta dan kasih sayang? Kamu berhak bahagia, Nak. Jangan bikin diri sendiri menderita setelah bertahun-tahun kamu berkubang sama luka."

Hazel diam saja, yang di katakan Ranti memang benar, dia pergi bukan karena membenci Shaga, dia tidak pernah membenci lelaki itu. Rasa sayang Hazel terhadap Shaga tumbuh sangat besar dan sangat dalam, rasa sakit yang lelaki itu beri memang membuat hatinya kadang berdenyut perih, tapi rasanya semua sakit itu terganti ketika akhirnya Shaga kembali mengingatnya, kembali menyayangi dan menjaganya.

Hazel pergi karena rasa putus asa. Takut kalau dia tidak bisa bertahan lama dan akhirnya harus meninggalkan Shaga. Bukankah nanti lelaki itu akan terluka?

"Jangan pergi lagi, ya, Nak? Janji?" Ranti mencubit hidung Hazel gemas, lalu mengecupi seluruh wajah gadis itu. "Kamu bakal sembuh, mama yakin."

Hazel mengangguk yakin, bodohkah dia jika kembali pada Shaga?

Tidak.

Bodoh jika dia justru melepas kesempatan. Hazel jelas tahu bahwa hatinya belum mati untuk Shaga, kalau bukan karena penyakitnya, Hazel tidak akan pernah melepas lelaki itu dari genggamannya. Sekarang jika dia punya harapan untuk hidup lebih lama, mengapa dia harus melepas Shaga?

Hazel bukanlah orang yang mempunyai ego tinggi, dia bukan perempuan yang gengsi kembali karena pernah di sakiti, bukan juga perempuan yang berpikir bahwa perpisahan adalah hal yang terbaik.

Tidak. Hazel tahu apa yang di butuhkan hatinya dan apa yang akan membuatnya bahagia. Dan jika apa yang di butuhkan ada di depan matanya, mengejarnya dan memohon padanya, untuk apa Hazel menolak?

"Janji juga sama mama, kalau udah ketemu Shaga, cepat-cepat operasi ya?"

Hazel mengangguk lagi bersamaan dengan terbukanya pintu ruangan, Dokter memberikan senyum hangat yang juga mengantarkan rasa tenang pada hati Hazel. "Adik cantik ini, pasti Hazel namanya?" tanya pria paruh baya itu.

Hazel mengangguk sambil mendekat. "Shaga gimana?"

"Shaga nyari Hazel terus, masuk gih." Dokter itu menatapnya dengan binar geli.

Hazel menoleh pada Ranti dan ketika wanita itu mengangguk, Hazel melangkah sambil membuka pintu. Hal yang dia dapati adalah Shaga yang menatapnya sayu dengan senyum lemah.

Berjalan sambil menyeret tiang infusnya, dada gadis itu bergemuruh karena rindu yang menggebu. Hazel bahkan tak bisa menahan air mata ketika akhirnya dia sampai di samping ranjang.

"Haz—"

"Jangan sakit, Ga!" teriaknya gemetar. "Jangan tidur lama-lama!"

"Heeyy..." Shaga coba menggapai tangan gadis itu namun Hazel menepisnya.

Hazel menatap Shaga dengan mata berlapis kaca, pandangannya mengabur, dadanya naik turun, sementara isak tangis keluar dari bibir mungilnya. Hazel tampak seperti anak kecil yang menangis karena mendapat berita bahwa kepala boneka Ken nya copot.

"Maafin aku," ucap Shaga pelan. "Udah jangan nangis," imbuhnya lagi menyesal.

Hazel diam saja, masih sesegukan, menepis tangan Shaga yang coba meraih tangannya.

"Aku tambah sakit kalau kamu nangis terus," bujuk Shaga, dan barulah Hazel menghapus air matanya walau dengan gerakan kasar. "Ingus nya itu ingus," kekeh lelaki itu dengan binar geli di mata.

Hazel menyeka hidungnya dengan lengan yang terbalut kemeja rawat panjang. Shaga gemas di buatnya, lelaki itu kembali mengulurkan tangan demi mendapati ujung kemeja rawat Hazel lalu menariknya dengan usaha keras walau tidak membuahkan hasil. "Sini dong, kamu nggak kangen aku apa?"

Hazel mencebik, hal yang pertama kali baru Shaga lihat ekspresinya. Lelaki itu semakin gemas saja, tak sabaran ingin meraih dan memeluk Hazel. "Naik sini," ucapnya menepuk lahan kosong di sisinya. "Bisa nggak?"

Hazel menggeleng, membuat Shaga seketika canggung, bagaimana bisa dia lupa kalau situasi mereka sekarang sudah berbeda? Hazel mungkin tidak sudi memeluknya, harusnya Shaga sudah merasa cukup, dengan kehadiran gadis itu saja sudah membuatnya bahagia.

"Aku—"

"Nggak apa," sela Shaga mempertahankan senyum walau hatinya nyeri. "Duduk aja kalau gitu."

Hazel lantas duduk, dan keheningan menyelimuti mereka. Shaga diam mempertahankan kesadaran di antara peningnya kepala. Coba untuk bersikap biasa saja walau sebenarnya dia merasakan seluruh badannya nyeri, dan matanya yang berat ingin kembali terpejam.

"Maafin aku." Akhirnya suara Hazel terdengar lebih dulu.

Shaga melirik gadis itu masih dengan matanya yang sayu. "Kamu nggak salah, buat apa minta maaf?"

"Gara-gara aku kamu sakit."

"Bukan."

"Gara-gara donor darah buat aku kamu jadi lemah, gara-gara datang ke rutan buat bujuk papa ku kamu jadi kecelakaan," urai Hazel dengan napas tertahan. Dia embuskan dengan pelan bersamaan dengan sesak di dada yang ikut keluar. "Dari kecil aku cuma bisa bikin kamu celaka—"

"Heeey..." Shaga cepat-cepat menyangkal. "Bukan karena kamu."

"Karena aku Ga, kam—"

"Kalau kamu ke sini cuma buat bicara omong kosong dan nyalahin diri sendiri, silakan keluar, Hazel." Shaga berujar dingin, memalingkan wajah ke arah lain, dia tidak suka melihat bagaimana Hazel terus menyalahkan diri sendiri.

"Maaf."

"Berhenti minta maaf atas sesuatu yang bukan salah kamu."

Hazel mengangguk, sadar bahwa Shaga tidak melihat jawabannya dia mengatakan. "Iya Shaga."

Hening lagi, mereka berdua diam, sementara Shaga memejam mata karena rasa ngantuknya, Hazel sendiri lebih memilih memperhatikan lelaki itu.

Kondisi Shaga belum bisa di katakan baik walau sudah sadar, kepala yang di lilit kasa, lengan, dan kaki, belum lagi banyak luka lebam di sekitar wajahnya. Shaga pasti kesakitan karena banyaknya luka.

"Kenapa kamu ke sini? Bukannya harus operasi?" tanya Shaga masih belum ingin menatap Hazel.

"Aku mau lihat kondisi kamu dulu. Aku belum mau operasi kalau kamu belum membaik."

Kali ini Shaga menoleh. "Aku udah lebih baik, jauh lebih baik dari hari sebelumnya setelah lihat kamu," ungkapnya.

Hazel mendengus kecil membuat Shaga terkekeh.

"Hazeeel?" serunya pelan.

Hazel. Kenapa rasanya asing sekali mendengar Shaga menyebut namanya begitu setelah terbiasa mendengar lelaki itu memanggilnya, sayang.

"Hazel."

"Hmm?" Hazel mengguman sambil menunduk.

"Boleh aku pegang tangan kamu?" pinta Shaga lemah. Melihat Hazel hanya diam, Shaga kembali canggung. "Maaf— tapi aku kangen banget sama kamu," tambahnya parau.

Tanpa menjawab, Hazel membawa tangan lemah Shaga menuju bibirnya, mengecupi ujung jemari itu seperti yang selalu Shaga lakukan padanya. Lalu menempelkan telapaknya yang dingin pada pipi. Kepala Hazel sedikit mendongak, membuat iris coklatnya bisa melihat Shaga yang memberikan senyum hangat padanya.

Hazel tidak suka senyum itu, tidak suka juga tatapan Shaga yang menatapnya lekat seolah ini adalah hari terakhir lelaki itu bisa melihatnya.

"Kamu ngapain aja sebelum aku ke sini?"

"Mikirin kamu, doain kamu," balas Shaga.

"Doain apa?"

Shaga terseyum, mengelus pipi Hazel dengan ibu jarinya. "Semoga Hazel selalu sehat, semoga Hazel di kelilingi orang baik, semoga Hazel di sayang banyak orang, semoga Hazel ... bahagia," katanya tulus. "Berdoa juga sama Tuhan, kalau nanti ada kehidupan kedua, apa boleh Hazel buat aku aja?"

Sengatan nyeri Hazel rasakan begitu pekat ketika kalimat demi kalimat yang di ucapkan Shaga semakin melemah dan berat. Gadis itu bahkan mulai cemas ketika sesekali Shaga menutup mata.

"Jangan tidur, Ga," cegahnya dengan remasan tangan pada genggaman mereka. Rasa takut itu hadir lebih besar, takut Shaga meninggalkannya. "Temenin aku Ga. Kamu janji bikin aku bahagia."

Shaga buka matanya dan terkekeh kecil. "Aku ngantuk banget."

Hazel menggeleng. "Jangan tidur. Temenin aku dulu."

"Kalau gitu naik, sini," pinta Shaga, menepuk sisi nya. Hazel tidak keberatan untuk naik sekarang, dia lantas berbaring di sisi Shaga. "Kalau sekalian minta peluk, boleh nggak? Tapi kalau nggak boleh aku mau maksa." Hazel mendelik mendengarnya sementara Shaga terkekeh parau.

Hazel mengubah posisi, menyingkirkan bantal dan menjadikan lengannya yang terbebas dari infus untuk menjadi sandaran kepala Shaga. "Begini, nyaman?"

Shaga mengangguk saja, memiringkan badan dengan usaha keras, dia tenggelamkan wajahnya pada lekukan leher Hazel. Menghirup aroma manis gadis itu, aroma yang dia rindukan selama sepekan terakhir.

Shaga tidak menyangka, bahwa dengan menghirup aroma gadis itu saja bisa membuatnya tenang dan sedikit lebih baik. Sementara usapan tangan Hazel di belakang kepalaya membuat Shaga mersa di manja, kecupan yang dia rasakan di puncak kepalanya juga membuat hati lelaki itu membuncah bahagia.

Tidak apa, kan, Shaga merasa bahagia? Sebentar saja, dia ingin merasakan kedekatan mereka, hanya sebentar.

Merasakan pelukan tangan Shaga melilit erat perutnya, Hazel menunduk. "Dingin?" tanyanya, Shaga mengangguk, lantas Hazel menarik selimut di bawah kaki untuk menutupi tubuh mereka sampai sebatas dada Shaga. Cuaca memang mendung, dan dari luar sana mulai terdengar rintik hujan.

"Ga..."

"Hmm?"

"Aku pengen bahagia."

Shaga mengangguk. "Aku nggak akan halangi kebahagiaan kamu lagi, Hazel."

"Maksudk—"

"Aku cuma pinjem kamu bentar aja, pengen di peluk sampai tidur," pinta Shaga. "Kamu bisa pergi sama Elang kalau aku udah tidur, bolehkan?"

"Shaga—"

"Sejak kamu pergi aku nggak bisa tidur nyenyak. Dada aku sering sakit, Hazel," ungkap Shaga, menyela selagi dia masih bisa bicara. "Aku baru bisa tidur kalau peluk bantal yang ada wangi kamu nya, tapi tetap aja aku mimpi buruk dan ke bangun lagi. Jadi aku mohon, bentar aja, aku pengen tidur nyenyak di peluk kamu."

Hazel eratkan pelukan tangannya pada kepala lelaki itu. "Maafin aku," bisiknya. Dia rasakan hidung Shaga bergerak karena kepalanya menggeleng. "Aku nggak akan pergi lagi."

Shaga tertawa kecil. "Aku seneng dengarnya walau itu bohong."

Hazel berdecak. "Aku nggak bohong, aku nggak tinggalin kamu."

Shaga mendongak, mata nya semakin sayu menatap polos pada iris Hazel. "Kalau gitu bilang kamu sayang aku."

Hazel mengerjap, mendadak kelu, dia tidak biasa mengatakan rasa sayangnya pada seseorang. Hazel terbiasa sendirian, dia tidak punya orang untuk berbagi kasih sayang sebelumnya. Dia jarang bicara dengan orang, jangankan menyatakan perasaan, menyapa sekedar 'Hai' saja dia kadang canggung.

Melihat Hazel yang hanya diam, Shaga tersenyum tipis menutupi rasa perih. Dia mengenggelamkan lagi kepalanya dalam lekukan leher Hazel, demi mencari rasa nyaman dalam pelukan hangat mereka.

"Bilang kalau kamu sayang aku, nggak apa-apa kalau itu bohongan juga. Seenggaknya aku pernah dengar itu dari kamu, sebelum kamu pergi," imbuh Shaga pelan.

Hazel berdeham dengan pipi bersemu merah. "Aku... aku..."

Shaga terkekeh serak, napasnya terasa berat menerpa kulit leher Hazel. "Nggak apa-apa kalau nggak bisa. M-makasih udah mau berusaha, Hazel." Pelukan tangan Shaga melonggar hendak terlepas namun Hazel tahan.

Hazel menunduk, menjauhkan badan dari kepala Shaga demi mengintip wajah lelaki itu. Seketika panik melihat betapa putihnya wajah Shaga sementara peluh memenuhi dahinya. "Shaga..." dia tepuk pipi lelaki itu, cukup keras tapi tidak menginggalkan bekas merah di wajah pucat Shaga, hal lain yang Hazel takutkan adalah betapa dinginnya tangan yang kini sedang dia genggam. "Ga, heeyy!"

Hazel lepaskan pelukan mereka sepenuhnya, menggunakan kedua tangan, dia rangkum wajah dingin Shaga. "Ga jangan tidur dulu..., Shaga."

"Hmm?"

"Buka mata kamu."

Kelopak mata Shaga berkedut, Hazel tahu Shaga masih mendengarnya, masih mau berusaha untuknya. "Ayok, Ga buka. Katanya kamu, kamu... mau dengar aku bilang sayang. Buka matanya bentar."

"Hazel, aku..." Shaga membuang napas berat, terlihat kesusahan untuk berkata sampai mulutnya setengah terbuka dan kemudian diam.

Hazel menggeleng, melepas rangkuman tangan dari wajah demi membaringkan diri di samping Shaga dengan kepala bersandar dada lelaki itu. "Jangan... jangan. Jangan tinggalin aku. Please."

"Shaga..."

"Shaga...."

"Aku sayang sama kamu, aku sayang sama kamu, aku sayang sama kamu Shaga..." Hazel berhasil mengatakannya, walau di antara isak tangis dan dadanya yang sesak.

Namun sayang, Shaga gagal mendengarnya. 

"SHAGAAAAAAA!"

Hari itu Hazel menjerit seolah ingin membelah langit. Menangis keras melebihi derasnya hujan di luar sana, memohon kepada Tuhan, sekiranya masih berbaik hati untuk memberinya kebahagian, tapi ternyata tidak. Tuhan masih ingin mengujinya, dan Hazel tidak yakin akan kuat menghadapinya tanpa Shaga.

***

Pren, memaafkan seseorang itu kadang perlu. Apalagi seseorang yang masih kamu cintai. Nggak selamanya kesempatan kedua itu buruk. Terlebih bagi mereka yang udah mau berubah dan lakuin banyak hal buat kamu. Okay?

Tadinya aku mau kasih ekstra chapter but, seperti biasa, ternyata vote nya jomplang-jomplang ya pren. Tentu aja itu bukan salah kalian kok, dan bukan salahku juga kalau aku nggak keluarkan ekstra chapter, kan?

Gimana, dong?

Gini deh, kalau dalam dua hari votenya bisa rata 4K, aku akan update ekstra chapter.

Kalau ternyata dalam dua hari masih nggak ke kejar, ya wis, berarti sampai di sini aja SHAGA versi wattpad :)

Okay?

Yang mau tanya2 kapan Shaga terbit, perbedaan versi wattpad dan novel, dll tentang Shaga. Bisa ikut tanya jawab di ig aku ya malam ini @destharan

papay, sampai ketemu dengan aku di cerita lain <3

Continue Reading

You'll Also Like

4.6K 1.2K 43
Highrank 1 in #brotherzone 26/04/20 FOLLOW SEBELUM MEMBACA. KARNA SEBAGIAN CHAPTER TELAH DI PRIVATE. JANGAN SIMPULKAN CERITA INI HANYA DARI 1 CHAPTER...
510K 19K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
13.4K 2.1K 58
[Follow sebelum membaca] [Belum revisi] °°°°° Tempat mereka, para teman teman nya berkeluh kesah tentang kehidupan yang dijalani. Menjadi 'tempat sam...
6M 693K 58
Spin off Arunika's World dan SHAGA BISA DI BACA TERPISAH FOLLOW SEBELUM MEMBACA *** "Lo mau nggak pacaran sama gue?" Snowy. "Gue nggak mau pacaran...