(Unpub Acak )Ketika Cinta Lew...

Por Mommiexyz

1.2M 183K 26K

Sudah cetak. Versi lengkap di KBM app dan Karyakarsa eriskahelmi Ketika Cinta Lewat Depan Rumahmu - Eriska He... Mais

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
dua belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima belas.
Enam Belas
tujuh belas
Delapan belas
Sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
tiga puluh tiga
Tiga Puluh Lima
Tiga puluh tujuh
Tiga puluh sembilan
empat puluh sembilan
lima puluh dua
enam puluh satu
open PO
Enam puluh empat
Enam puluh lima- enam puluh enam
enam puluh tujuh
enam puluh delapan
enam puluh sembilan
tujuh puluh
tujuh puluh satu
tujuh puluh enam
info penghapusan
bukan apdet

dua puluh dua

14.3K 4.1K 369
Por Mommiexyz

Di KBM App dan di Karyakarsa sudah sampai bab 56. Ga tau aplikasinya? Tinggal ke beranda penulis dan klik link ya.

***

Ketika 21

Tidak biasanya Magnolia masih berada di terminal ketika hari sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Meski masih banyak lalu lalang mobil dan orang-orang yang baru kembali dari kantor, dia seharusnya sudah berada di rumah. Akan tetapi, hari ini dia ingin berlama-lama di tempat ini sembari membiarkan angin malam menembus hingga ke sela-sela rambutnya. 

Hari ini malam Minggu. Terminal jauh lebih ramai daripada biasa. Banyak pasangan berjalan sambil menunggu kendaraan umum lewat mengajak mereka atau juga menunggu bus antar kota yang akan mengantar mereka ke luar Jakarta. Magnolia berkali-kali melirik sekelilingnya, menelan air ludah begitu bus dan mobil travel tujuan Bandung, Sukabumi, Tasik, lewat di hadapannya.

Sewaktu masih hidup, papa sering melakukan perjalanan dinas ke sekitar daerah Jawa Barat dan seperti yang diingatnya, keluarga nenek dari pihak papa juga tinggal di sana. Dia berharap mereka tahu sedikit cerita tentang papa yang tiba-tiba saja membawa sesosok bayi merah lalu mengaku kalau bayi itu adalah anaknya. 

Pikiran liarnya membujuk Magnolia untuk meloncat ke salah satunya. Dia telah mengantongi ATM dan uang cash yang selama ini disimpannya di dalam kamar. Dia juga punya foto papa yang tadi malam dia peluk dengan erat. Sejak tadi dia hanya duduk diam. Termos berwarna pink miliknya teronggok di atas keranjang sepeda yang terparkir di samping musala terminal. Tukang parkir yang biasa menjaga di sana sudah mengenalnya dengan baik dan dia yakin tidak bakal ada yang bakal mencuri termos yang selama beberapa tahun ini menemaninya mencari beberapa lembar rupiah setiap malam.

Sudah satu minggu sejak percakapannya dengan Dimas. Dia berusaha menjaga perasaan pemuda tersebut dengan tidak lagi banyak bicara. Kabar tentang Malik juga bukan lagi sekadar desas-desus. Anak perempuan yang digosipkan oleh tim voli adalah teman sekelas mereka, si cantik bernama Ghadiza, putri kepala bank cabang Kebayoran baru yang Magnolia akui punya otak dan wajah di atas Kezia yang sebelumnya sudah dia yakini sebagai gadis paling cantik di sekolah. 

Dia sudah pernah melihat mereka ngobrol dan jalan bareng dari kelas menuju perpustakaan. Malik bahkan tersenyum, senyum yang sama seperti yang ditampakkannya kepada Kezia, bahkan jauh lebih lebar dan semringah. Magnolia yang melihatnya merasa dadanya diiris dan diperciki air jeruk nipis. Tapi, dia memilih tersenyum. Tidak ada gunanya menjerit-jerit dan berteriak di depan pemuda tampan tersebut lalu mengaku kalau dia yang paling berhak. Seperti kata Dimas, dia tidak boleh mengemis dan terus diyakinkannya berkali-kali kalau semua ini hanya cinta monyet. Dia bakal segera melupakan Malik lalu berkumpul bersama keluarga ibunya.

Cinta bukan hasil mengemis. Dia sadar itu. Tapi selama ini dia telah melakukannya. Mengharap mama dan Kezia menyayangi seperti yang dia lakukan, atau berharap Malik menoleh kepadanya. Ternyata tidak bertimbal balik. Ternyata dia selama ini hanya mengemis cinta mereka semua.

Kasihan lo, Ya. 

Sebuah bus menyorotkan lampu depannya ke arah Magnolia dua kali sebagai kode bila gadis itu ingin ikut. Magnolia membaca tujuan yang tertulis di bagian depan mobil namun dia menggeleng. Dia tidak punya cukup bukti dan alamat tujuan. Memang dia telah sesumbar bicara pada Dimas, tapi pergi tanpa persiapan sama saja bunuh diri. Di kota yang asing nanti, dia belum tentu bisa bertahan hidup.

“Anak perawan bengong bae. Kopi mana kopi?” 

Karsono, kenek bus tujuan Brebes mendekat ke arah Magnolia yang duduk di sebuah palang besi. Dia kenal pria itu. Mereka sering bertemu dan Karsono adalah salah satu langganannya. 

“Abis, Mang.”

“Masak abis? Biasanya masih ada.” Karsono protes. Magnolia tidak pernah melewatkan pesanannya setiap malam.

“Udah jam sepuluh lewat. Udah habis semua.” balas Magnolia dengan nada lesu. Dia sedang tidak bersemangat membalas pertanyaan orang-orang tapi dia tidak tega mendiamkan mereka semua walau yang paling dia inginkan saat ini hanyalah duduk sendiri tanpa diganggu siapa pun.

“Lah, kalau sudah habis, kenapa belum balik?” tanya Karsono dengan dialek ngapak yang amat khas. 

“Mau malam mingguan.” jawab Magnolia, berusaha menyunggingkan senyum tetapi lumayan sulit. 

“Anak jaman sekarang, masih pada bocah tapi gayanya nggak kayak saya dulu.”

Magnolia belum meninggalkan senyum dari bibirnya. Dia menyimak Karsono yang sesekali berteriak menyebutkan tujuan akhir tujuan bus mereka dengan amat semangat sementara di depan mereka, beberapa penumpang mulai berlari-lari.

“Banyak beban hidup, Mang.” Magnolia membalas. Kedua tangannya saling terkait. Dia masih bimbang, tapi, melarikan diri di saat seperti ini belum tentu membuahkan hasil. Tidak mungkin dia berkeliling pulau Jawa dan bertanya kepada semua orang bila mereka mengenal wanita yang wajahnya serupa dengan miliknya saat ini.

Dia bahkan tidak tahu nama ibunya sendiri. Apakah Kinasih, Asti, Neneng, atau Putri, dia tidak tahu. 

Yaya mesti ke mana, Ya Allah? Pingin banget ke makam Ibu. Yaya mau ngadu, mau bilang rindu.

Beberapa bus masuk lagi menuju terminal dan buat para penjual asongan seperti dirinya, mereka harus bergegas masuk masing-masing bus berteriak menjajakan dagangan mulai dari kopi, kacang, tisu, gorengan, bahkan permen. Tapi, seperti pada bus Karsono tadi, Magnolia tetap memilih diam di tempat. Dia sedang tidak bersemangat melangkah ke arah mana saja.

“Jam berapa, Kak?” Magnolia sempat bertanya kepada salah seorang penumpang yang turun dari bus jurusan Bandung. Wanita berusia tiga puluhan yang memakai kerudung berwarna navy tersebut melirik jamnya dan menyebut angka sepuluh lewat tiga puluh. Dia tidak pernah berjualan hingga selarut ini.

“Makasih, Kak.” Magnolia tersenyum dan dia membiarkan wanita tersebut pergi. Setelahnya, dipandanginya lagi ujung-ujung jemarinya. Dia seolah sedang berperang dengan batinnya sendiri. Bila nekat pergi, tentu dia akan berpetualang di tempat yang baru, sendirian, mungkin dia akan mengganti identitasnya, bukan menjadi Magnolia Rayya Hassan lagi. Dia tidak layak menyandang nama papa. Anak-anak yang menyandang nama itu harus lahir dari rahim suci dan dari ikatan pernikahan sah di mata agama. Sementara dia tidak memiliki bukti sama sekali.

Dia harus mulai dari mana? Magnolia bimbang. Belum pernah dia sebingung ini. Berkali-kali dia menggigit bibir hingga kulitnya mengelupas tanda kalau pikirannya sedang kalut. Tapi, keuntungan bila dia pergi saat ini, tidak banyak yang akan memperhatikannya. Magnolia sudah menyiapkan tas berisi pakaian ganti. Hanya satu stel karena dia belum memikirkan lagi apa yang mesti dia lakukan ketika sudah sampai di kota acak yang dia tuju.

“Gimana lo bisa nyari Ibu kalau lo bahkan nggak punya bukti apa-apa, Ya? Lo sama aja mengantar nyawa.” Magnolia bicara pada dirinya sendiri. Dia ingin menangis, tapi air matanya sudah kering ketika meminta Dimas untuk melepaskannya beberapa hari lalu.

“Kalau lo mau ke makam ibu lo, gue sendiri yang bakal antar. Gue sendiri yang pastiin lo sampai di sana dengan selamat. Selagi hal itu belum terjadi, lo mesti sabar.”

Sabar? Sampai berapa lama lagi dia mesti menanggung sabar? Magnolia sudah tidak tahan lagi. 

Dua buah bus berlalu walau penumpang belum penuh, termasuk bus dengan kenek Karsono yang tadi meminta dibuatkan kopi kepada Magnolia. Hilir mudik orang lewat masih ramai walau hari semakin beranjak malam sementara Magnolia masih memandangi jari-jari tangannya, bimbang untuk melanjutkan pelariannya.

"Lo nggak pernah ada di terminal sampai jam segini."

Lagi-lagi suara Dimas memenuhi indranya dan Magnolia terpaksa mengangkat kepala. Dia menghela napas dan berusaha menggeleng sewaktu tangan dingin milik abang semata wayangnya merengkuh tubuhnya.

"Gue nyariin lo ke mana-mana, tadi." ujar Dimas saat pelukan mereka terlepas. Bibir Dimas tampak kering dan pucat dan dia seolah menahan tangis.

"Sori. Gue selalu nyusahin lo. Sejak papa pergi, hidup lo merana gara-gara gue." balas Magnolia, berusaha tersenyum dan menyesali perbuatannya telah membuat Dimas tampak sangat tertekan. Di usianya yang ke tujuh belas, Dimas harus menghadapi kenyataan bahwa keluarganya tidak utuh, ibu dan adiknya tidak akur, dia mesti mengasuh anak perempuan berusia lima belas yang keras kepala sementara dia harus memperjuangkan cita-citanya menjadi seorang calon dokter.

"Nggak." Dimas menggeleng, "Lo nggak pernah nyusahin gue." air mata Dimas jatuh lagi. Penampilan adiknya malam ini jelas seperti seseorang yang akan minggat dan dia tidak tahu apa yang bakal dia lakukan bila Magnolia benar-benar mewujudkan mimpinya.

"Ngapain lo bawa dia ke sini? Buat bujuk gue supaya nggak pergi?" Magnolia tersenyum masam sambil menahan rasa pedih yang tiba-tiba timbul saat sekilas dia melihat sosok Malik di seberang jalan, menunggu di atas motor seperti yang biasa dia lakukan sementara wajah Dimas antara ingin mengangguk dan menggeleng di saat yang bersamaan.

"Apa aja bakal gue lakukan asal lo nggak pergi."

Sayangnya, melihat sosok yang selama ini hanya memberi harapan kosong seperti yang Malik lakukan selama bertahun-tahun, malah membuat Magnolia berharap dia bisa menghilang dari hadapan pemuda itu selamanya.

"Lo bilang, cinta nggak boleh mengemis. Gue masih bocah dan yang gue rasakan sekarang cuma cinta monyet yang bakal hilang seiring gue belajar tentang hidup."

Magnolia mengerjap, sebelum mengalihkan pandang ke arah ujung kakinya, menolak melihat siapa saja, entah itu wajah Dimas atau wajah Malik sekalipun. 

"Termasuk mengemis cinta Mama yang nggak pernah menganggap gue ada." 

***

Yaya kepingin banget pergi tapi nggak dibolehin. Kalian kalau jadi Yaya, milih tinggal atau kabur?

Continuar a ler

Também vai Gostar

My Twilight Por Elsa yunita

Ficção Adolescente

3.6M 175K 64
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
3.2M 267K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
The Story Of Janeta 2 Por R A Y

Ficção Adolescente

672K 78.5K 10
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
6.5M 215K 74
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...