Just Like Magic [ON HOLD]

rayhidayata által

648 108 35

Aria secara misterius terbangun di sebuah rumah sakit tak dikenal. Tanpa penjelasan. Tidak ada petunjuk. Semu... Több

Prakata
0. ... ini bukan kamarku
1. Mereka bilang, namaku Aksara Nada
3. Sesuatu yang Penting
4. Bertemu Nada
5. Adaptasi: Rumah
6. Kesepakatan
7. Tawaran
8. Diskusi
9. Bicara
10. "Dunia Perkuliahan Gue ... Enggak Gampang."
11. Berubah

2. Nathaniel Erlangga

50 11 2
rayhidayata által

Aku mendongak, sejenak menatap rumah di depanku sekarang. Mewah, itu kesan pertama. Luas. Terasa sedikit mengintimidasi, entah kenapa.

Entahlah.

"Nad?" Mama yang, entah sejak kapan, berdiri di sisiku menyapa. "Kenapa bengong, Sayang?" tanyanya. Kali ini, suaranya jauh lebih lunak.

Aku tergelagap. Untungnya, aku cepat menguasai diri. Sedetik kemudian, aku menggeleng. "Enggak apa-apa, Ma." Aku meyakinkan.

Ingat, Aria! Jangan bertingkah aneh.

Mama tersenyum. Digamitnya lenganku. "Ayo," ajaknya.

Apa aku punya pilihan?

Aku menghela napas, melangkah perlahan. Menapaki beranda dan mengikuti langkah Mama masuk ke rumah.

Hal pertama yang aku lihat adalah ... ini ruang tamu. Mataku menyisir dengan cepat. Berkilau. Seakan-akan semua terbuat dari emas.

"Selamat datang di rumah!" Mama berbalik dan tersenyum lebar.

Senyum yang, di mataku, terlihat begitu tulus.

Entah kenapa, seperti ada yang bergejolak di dadaku.

Aku jelas bukan Nada, anaknya. Ini bukan rumahku, meski harus kuakui, aku memang memiliki impian mempunyai tempat tinggal seperti ini. Persis seperti yang aku angan-angankan. Namun, sekali lagi, ini bukan rumahku.

Dan, yang paling terpenting, aku bukan Nada.

Hanya dengan satu fakta itu aku sudah merasa cukup bersalah.

Namun, rasa bersalah itu hanya bisa aku telan dalam hati. Aku sudah memutuskan untuk menyelidiki apa yang terjadi, dan mengakui diri sebagai Nada adalah langkah awal untuk itu.

Karena itulah, menanggapi ucapan Mama, aku—pura-pura—tersenyum riang dan berkata, "Makasih, Ma."

"Non Nada?"

Seseorang memanggil. Dari arah kanan. Refleks, aku menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya berjalan mendekat. Berbeda dengan Mama, wanita itu terlihat lebih sederhana. Wajahnya tampak berkerut halus di sana-sini. Bersahaja. Dengan senyum hangat ketika menghampiri.

Tebakanku, dia adalah asisten rumah tangga.

Mungkin ya.

"Nad, ini Bik Listi. Asisten rumah tangga kita." Mama menjelaskan tanpa diminta. Mungkin karena melihat aku tampak kebingungan.

Mendengar kata-kata Mama, aku hanya tersenyum kikuk seraya menyalami Bik Listi. "Halo, Bik."

Bik Listi, entah kenapa, tampak terkejut ketika aku menyalaminya. Wajahnya menampilkan raut bingung meski hanya sesaat. Bisa kulihat Bik Listi menoleh ke arah Mama. Keduanya bertukar pandang. Hanya beberapa saat. Setelahnya, Bik Listi kembali menatapku. Mengangguk.

"Sehat-sehat, ya, Non." Bu Listi tersenyum. "Kalau perlu sesuatu, bisa panggil Bibik atau Niel."

Belum sempat aku merespons, Mama sudah mendahuluiku. Memotong kesempatanku untuk mengiakan dan berterima kasih.

Mama: "Oh, iya. Niel-nya mana, Bik? Dari tadi enggak kelihatan."

"Lagi ke supermarket, Bu. Beli belanjaan. Bentar lagi harusnya udah pulang," Bik Listi menjelaskan.

Mama mengangguk-angguk.

Niel. Sepertinya salah satu anggota keluarga di rumah ini. Mungkin saudaraku—ralat, Nada. Kakak atau adik, sepertinya.

Setelahnya, Bik Listi pamit undur diri. Masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, katanya. Bik Listi sempat menawari apakah aku atau Mama ingin minum atau makan sesuatu. Baik aku maupun Mama sama-sama menggeleng.

"Ah, kamu enggak keberatan buat nunggu bentar, Nad?" Mama bertanya. "Niel harusnya bentar lagi udah sampai. Kamu ketemu dia dulu, baru habis itu istirahat ke kamar."

Aku tersenyum canggung, mengangguk.

Mama mengangguk-angguk, tampak senang. "Ayo, duduk dulu!" katanya lagi seraya menarik lenganku dan duduk di salah satu sofa.

Aku turut duduk di sisinya. Agak mengambil jarak. Awalnya, reaksi itu membuat Mama sempat menatapku sejenak. Tampak heran. Namun, setelahnya, dia biasa saja. Senyumnya tidak kunjung luntur.

Hening. Ada jeda yang mengisi kekosongan. Baik aku maupun Mama sama-sama tidak ada yang bicara. Melalui sudut mata, kulihat Mama tengah berkutat dengan ponsel di tangan. Ekspresinya terlihat serius. Terdengar beberapa decakan kecil meluncur dari sela bibirnya.

Jujur saja, suasana ini canggung. Banget.

Aku, pada dasarnya, bukan orang yang suka memantik obrolan pada orang yang baru kukenal. Aku mungkin bagus untuk urusan merespons pembicaraan, tapi tidak dengan mencari topik percakapan.

"Nad?" Tiba-tiba saja, Mama bersuara.

"Ya?"

Ada jeda sebentar. Mama terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan. Bibirnya terkatup. Ketika kulihat bibir yang dipulas lipstik merah muda itu seperti ingin mengatakan sesuatu, gerakan itu terpotong denting bel. Dari arah luar. Menandakan seseorang datang.

Mendengarnya, aku berdiri. Refleks yang sama seperti saat aku mendengar pintu rumahku diketuk. Rumahku yang asli, tentu saja. Secara teknis kan rumah ini bukanlah tempat tinggal asliku.

"Nad, mau ke mana?" Mama menahan lenganku.

Giliran aku yang menatap Mama bingung. "Ada yang datang, Ma."

"Biar Mama aja," kata Mama. Suaranya tegas. "Kamu duduk." Mama mendorong bahuku dengan lembut. Isyarat jelas agar aku mendengar ucapannya. Tanpa menunggu persetujuanku, Mama sudah memelesat menuju pintu utama.

Selagi Mama pergi, aku dengan cepat meneliti sekitar. Jelas sekali kalau rumah ini memang mewah. Furniturnya tampak mahal dan berkelas. Begitu aku menoleh ke belakang, bisa kulihat ada dua tangga yang terhubung ke lantai dua. Dan, aku rasa, lantai dua bukanlah satu-satunya lantai paling atas di rumah ini.

"Nada?"

Suara laki-laki. Terdengar dalam. Khas cowok.

Aku menoleh. Orang pertama yang aku kenali adalah Mama. Di sebelah kanan Mama, berdiri seorang cowok seumuranku. Tampan, itu kesan pertama. Tinggi. Berkulit putih bersih—sebelas dua belas dengan tone kulitku sekarang ini. Tatapanku lantas beralih ke kedua belah tangannya yang menenteng beberapa kantung belanja.

"Nad, ini Niel," kata Mama seraya menepuk bahu cowok tersebut. "Kalau kamu perlu sesuatu, bisa panggil dia. Kamar kalian sebelahan. Ada di lantai tiga."

Nah kan?

Mendengarnya, aku mengiakan. Pandanganku beralih kepada Niel. Sebisa mungkin, aku mengangkat sudut bibir senatural mungkin. "Hai."

Niel tidak langsung menjawab. Matanya lurus menatapku. Setelah beberapa detik, barulah dia merespons. "Mmm."

Mmm? Aku mengernyit. Dia ini sakit gigi atau apa?

"Ah iya, Nad." Mama menyadarkanku. "Kamu istirahat dulu, gih. Biar Niel yang ngantar kamu. Papa barusan manggil Mama. Ada yang urgen, katanya. Enggak masalah, 'kan?"

Aku menggeleng. "Enggak masalah, Ma."

"Bagus." Mama tersenyum lebar. "Kalau gitu, Mama pergi dulu, ya?" Mama maju satu langkah. Bisa kurasakan dia mencium pucuk kepalaku dengan lembut. Setelahnya Mama berbalik dan pergi begitu saja.

Meninggalkanku lagi. Bedanya, kali ini aku tidak sendiri. Ada Niel.

Hening lagi. Untungnya, kali ini cuma sebentar.

Niel berdeham, menunjuk barang bawaannya dengan dagu. "Aku taruh ini ke dapur dulu."

Dapur, katanya?

"Tunggu!" kataku, setengah tertahan.

Niel menoleh.

Aku menelan ludah, ragu-ragu ketika bilang, "Aku ikut."

Niel sempat mengernyit meskipun hanya sebentar. Setelahnya, cowok itu mengangguk. "Silakan aja. Toh, ini 'kan rumahmu." Dia lantas berlalu.

Bruh, pikirku.

Masalahnya, ini BUKAN rumahku.

Aku lantas berdiri, tergesa mengikuti langkahnya. Ke arah kanan. Memasuki ruangan di mana meja makan berikut beberapa kursi bertengger. Melewati meja makan tersebut, aku mengikuti Niel masuk ke ruangan yang aku duga dapur. Kompor, lemari penyimpanan di berbagai sisi, dan wastafel menjadi ciri yang jelas.

"Oh, kamu udah balik?" Bik Listi menoleh ke arah kami. "Eh, ada Non Nada juga. Ada apa, Non? Perlu sesuatu? Mau Bibik bikinin minum?" Bik Listi kembali menawarkan. Nada suaranya ramah.

Aku menggeleng.

"Mungkin dia lagi kesambet sesuatu." Niel yang tengah mengeluarkan barang belanjaan ke meja berceletuk.

"Hush!" Bik Listi tampak tidak senang. "Ngawur kamu! Jangan sembarangan!"

Niel hanya mengedikkan bahu, tidak mengatakan apa-apa lagi.

Sementara itu, aku kembali dibuat bingung. Ini cuma aku atau memang perlakuan Bik Listi padaku berbeda ketika dia bicara dengan Niel? Kepadaku, Bik Listi begitu sopan. Lemah lembut. Benar-benar menunjukkan seperti ada dinding tak kasat mata antara asisten rumah tangga dengan putri majikannya.

Sementara, kepada Niel, dia lebih ekspresif. Ceplas-ceplos. Seakan-akan seperti anak sendiri.

Apa karena Nada ini tidak terlalu dekat dengan Bik Listi, ya? Bisa jadi, sih. Kemungkinan, Niel-lah, selaku putra majikan, yang dekat dengan Bik Listi.

Atau ....

"Hei!"

Lamunanku buyar. Di depanku, Niel menjentikkan jari beberapa kali. Alisnya terangkat. Lalu, cowok itu mendekatkan wajah sejajar dengan mukaku. Saking dekatnya, aku sampai refleks menamplok mukanya dengan jerit tertahan meluncur dari sela bibir.

"Hei!" Niel memprotes.

"Ja-jangan dekat-dekat!" Aku refleks mengingatkan.

Jantungku .... Ya ampun! Aku mengurut dada, melemparkan tatapan kesal.

"Kenapa, Non?" Bik Listi yang tengah memasak rupanya juga ikut kaget. Melihatku, Bik Tuti sampai melepas pekerjaannya dan berjalan menghampiri kami.

"Niel ...." Aku menunjuk cowok itu.

"Apanya yang aku!?" Niel tampak tidak terima.

Bik Listi menoleh ke arah Niel dan memelotot, "NATHANIEL!"

"Bukan salah Niel!" kilah Niel. "Salah dia sendiri ngelamun."

Oke, mungkin memang salahku melamun. Namun, tidak perlu sampai mendekatkan wajah seperti itu juga! Seumur-umur, itu pertama kalinya seorang laki-laki menatapku dari jarak sedekat itu.

Apa tidak jantungan, coba?

"Sudah, sudah." Bik Listi menengahi. Ditatapnya Niel. Suaranya terdengar serius ketika berkata, "Non Nada baru pulang dari rumah sakit. Jangan bikin masalah. Mendingan kamu antar Non Nada ke kamarnya. Ibu udah ngasih pesan, 'kan? Udah, sana!"

Niel berdecak, tampak bete.

Sementara itu, Bik Listi sempat meminta maaf kepadaku dan kembali bekerja setelah aku bilang tidak apa-apa.

Aku mengembuskan napas, mencoba menenangkan diri. Kenapa semakin ke sini, aku makin bingung ya? Bukannya mendapat jawaban, malah rasa-rasanya, aku justru terperosok.

"Hei, Nad!" Niel memanggilku. Cowok itu berdiri di ambang pintu dengan kedua belah tangan dimasukkan ke saku celana. "Kamu mau berdiri di situ sampai kapan?"

Aku tercenung. Lalu, cemberut. Ikut bete. Padahal baru beberapa menit bertemu dengan cowok itu, rasanya, aku ingin menjambak si Niel itu. Mungkin seperti ini, ya, rasanya memiliki saudara?

Rasa yang selama ini aku impikan ....

Ah, ya ampun! Aku menggeleng-geleng pelan.

Fokus, Aria! Jangan terbawa perasaan.

Meski dongkol, pada akhirnya, aku mengikuti langkah Niel. Keluar dari dapur, melewati ruang makan, dan menuju salah satu tangga. Dari lantai satu menuju lantai dua, semua berjalan mulus. Begitu dari lantai dua menuju lantai selanjutnya, barulah aku seperti tiba-tiba mendapatkan kesimpulan.

Melihat interaksi Niel dan Bik Listi, aku jadi bertanya-tanya. Apa mungkin ....

"Niel?" panggilku begitu kami sudah sampai di depan pintu yang diklaim Niel sebagai kamarku.

"Hmm?"

Mmm lagi, coba kan!

Namun, tidak ada waktu untuk memprotes hal tersebut. "Apa kamu ...."

"Anak Bik Listi? Iya. Aku anak asisten rumah tangga kamu." []




Olvasás folytatása

You'll Also Like

440K 32K 92
Bila mencintai masih memiliki syarat itu sama aja dengan kreditan.. Bila menyukai memerlukan sebuah alasan berarti kau sedang merangkai satu kebohong...
107K 16.7K 52
Pemenang Wattys 2022 Kategori Horor Kepergian Mamat -- bocah lelaki yang mencari ayahnya, tanpa sengaja melibatkan dua berandal kampung. Petualangan...
110K 26.9K 199
Pernah tertulis sebuah kisah, tentang empat anak indigo yang merantau ke kota yang katanya istimewa, dan membuka coffee shop. Lembaran baru kini tela...
28.6K 1.9K 164
[ BL TERJEMAHAN ] RAW TRANSLATE!! NO EDIT!! di terjemahkan dengan Google Translate Judul Asli : 風水大佬穿成豪門假少爺後 Penulis: 飲爾 Status: Complete (155 + 5 ex...