SILHOUTTE: After A Minute [EN...

Autorstwa lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... Więcej

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

54: Sweat Pea

3.1K 330 192
Autorstwa lnfn21

CHAPTER 54
Sweet Pea

[Playlist: Park Sun Ye – Dear Son]

***

"Siapa namamu, Cantik?"

"Jia."

"Jia?"

"Eum. Jung Jia."


[SILHOUTTE: After A Minute]

Siang yang dilahap kelabu, nyiung sirine mobil petugas kepolisian bersahut-sahutan dengan ambulan yang mendiami pelataran sebuah hunian nun jauh dari pemukiman. Ambulan untuk membawa seonggok raga pria tak berdaya, berdarah-darah yang berupaya diberi pertolongan segera oleh awak medis. Sedang mobil petugas kepolisian untuk membawa sejumlah kantung berisi jenazah juga sepasang tahanan.

Johnny meraung-raung kesakitan sebab tiga di antara lima jemari kanannya menghilang, tetapi polisi tak peduli dan tetap memborgol kedua tangan Johnny lalu menyeretnya paksa dirinya. Ia ditangkap berdasarkan sekian tuntutan yang diajukan Alice pagi tadi.

Berdiri diam di antara kesemrawutan yang ada dengan melipat kedua tangan, mata Alice memandang ke arah Johnny tanpa iba. Berbeda dengan mata seorang perempuan yang mematung di dekat ambulan, ia padam juga menyimpan iba mendalam kala menyaksikan dua insan terpaksa saling memberikan salam perpisahan.

Ini kali pertama bagi Rosé melihat Kim Mingyu menumpahkan air mata meski tak bersuara. Bukan tanpa alasan. Kenyataan bahwa kakaknya telah ditetapkan sebagai tahanan sungguh-sungguh mengguncang hebat jiwa seorang Mingyu.

Kim Bona ditangkap usai menembak salah seorang anak buah Johnny hingga terjatuh dari atas balkon ke dalam kolam renang beberapa waktu silam. Padahal, Rosé dengar-dengar, Bona tengah menjalani perawatan intensif karena menderita penyakit kanker paru-paru kronis. Itu terbukti nyata sebab perempuan yang diseret petugas kepolisian di ujung sana masih mengenakan seragam pasien rumah sakit.

Baik Rosé ataupun semua orang tiada yang tahu, perihal Bona yang belum genap satu minggu terbangun dari situasi koma, menahan lara dan berupaya menegakkan kedua tungkak untuk kemudian mendatangi tempat ini setelah melihat keributan yang disiarkan televisi di kamar rawatnya.

Menaiki taksi, Bona terlebih dahulu mendatangi apartemennya demi mengambil pistol yang telah disiapkan jauh-jauh hari, didedikasikan untuk membunuh Johnny, tapi ia harus puas hanya dengan membunuh seorang pria yang ia saksikan jelas melesatkan peluru hingga sukses bersarang di punggung Jeffrey. Tanpa pikir panjang, Bona menembaknya sebelum oknum itu kembali membidik perempuan yang tengah sibuk dengan tangisan di tepi kolam.

Bersipandang dalam beberapa sekon, seulas senyuman tipis dipersembahkan Bona teruntuk Rosé. Namun, Rosé hanya bergeming sampai ia menyadari terlambat baginya membalas lantaran Bona telah dibenamkan ke dalam mobil petugas.

Tersisa Rosé menampung sekian banyak rasa sepanjang duduk di dalam ambulan yang melaju. Rasa khawatir terhadap keselamatan Jeffrey jelas mendominasi, selebihnya adalah rasa bersalah dan keinginan merapal kata 'terima kasih' pada Bona untuk pengorbanan perempuan itu. Mendadak pula, Rosé merasakan gumpalan kebencian di dalam dada yang timbul akibat perbuatan Bona di masa lalu tiba-tiba meluruh, tak tersisa.

Seperti kebencian Rosé pada laki-laki yang jemari lemahnya senantiasa ia genggam malam ke malam. Persetan dengan perangai Jeffrey yang pernah tergabung dalam kelompok gangster dan menewaskan banyak manusia termasuk Jaehyun, Rosé sadar penuh bahwa ketimbang Jaehyun, ia jauh lebih mendambakan kehadiran pria itu di sisinya.

"Sampai kapan kamu akan terus tidur seperti ini?"

Kira-kira sudah sepekan Rosé berhadapan dengan ranjang rawat tempat Jeffrey berbaring setelah operasi pengangkatan peluru dinyatakan berhasil. Di tengah malam sunyi, ia memandang wajah rupawan dihias pucat yang masih terpejam tiada menuai tanda-tanda terjaga dalam waktu dekat.

Adalah percuma, segala tanya—kadang kala cerita—yang kerap Rosé suguhkan. Sebab Jeffrey jelas tak dapat mendengar barangkali satu patah kata pun. Meski demikian, Rosé dalam duduknya tetap gigih mengajak Jeffery berbincang, walau pada akhirnya pria itu tetap akan lebih akrab dengan segala peralatan medis yang melekat, dan bukannya perempuan yang senantiasa menanti agar disapa.

"Bangunlah. Aku janji tidak akan membunuhmu."

Naas, hanya sepi yang selalu menyapa tiap kali Rosé bersuara. Sepi mengajak perempuan itu mengakrabkan diri dengan kesedihannya hingga kadang kala turun beberapa bulir air mata. Jemari lemah Jeffrey masihlah menjadi sesuatu yang menguatkannya. Terdengar ironi memang.

"Lagipula, melihatmu terluka saja sudah membuatku merasa sakit dan juga berdosa. Lalu, apa kamu masih percaya aku bisa membunuhmu tanpa ragu?"

Jika keengganan Jeffrey terbangun disebabkan oleh Rosé yang pernah meminta Jeffrey berjanji kembali dalam keadaan selamat agar Rosé bisa membunuhnya, maka bila bisa mengulang waktu, Rosé akan berkata jujur bahwa kala itu ia hanya begitu mencemaskan keselamatan pria itu, bukan yang lain-lain.

Kalau bisa mengulang waktu, alih-alih membiarkan Jeffrey pergi dengan motornya, Rosé akan membawa Jeffrey melarikan diri ke ujung semesta.

Dengan demikian, mungkin keadaan akan sangat bertolak dari sekarang. Jeffrey tak harus menerima sekian banyak pukulan di tubuh, tak harus merelakan lebam membekas di wajahnya yang rupawan, dan tak harus memasang punggung sebagai sasaran tembakan.

Selain itu, Bona tak harus mendekam di penjara dan Mingyu tak akan berakhir terpuruk enggan menyapa dunia luar.

Berandai-andai selalu menyita banyak masa tetapi ketahuilah, itu sama sekali tak berguna. Karena segalanya tak akan berbelok pada arah yang berbeda, segalanya tetap sama. Yang kacau tetap kacau, tidak terbenahi dengan sendirinya jika hanya mengandalkan kepala yang sibuk bercengkrama baiknya waktu itu bagaimana.

Napas dihembuskan perlahan. Rosé telah cukup lelah hingga memutuskan untuk meletakkan kepala di tepi ranjang Jeffrey. Kegiatan mengusap dan menggenggam jemari Jeffrey belum berakhir, pun kegiatan mengajak sang pemilik bertukar kata masih berlangsung.

"Bangunlah. Aku janji bersikap lebih baik padamu ke depannya."

Seperti tiada bosan, Rosé menanti keajaiban datang dan membawakan perempuan itu seorang Jeffrey beserta pawakannya yang gagah, baritonnya yang khas, senyumannya yang lebih manis daripada gula, juga tatapannya yang kadang dingin kadang pula hangat tapi selalu bisa menenangkan jiwa-jiwa emosional semacam Rosé.

"Novel Anthony Doer, katamu, setiap malam kamu akan membacakan satu bagian. Novelnya belum tamat. Aku penasaran bagaimana nasib Marrie Laure setelah perang selesai. Bahagiakah akhirnya? Atau menderitakah?"

Usapan Rosé terhadap jemari Jeffrey melemah seiring kantuk melanda. Segalanya tertampil samar manakala mata mulai terpejam. Sisa kesadaran masih sanggup menyeret bibir untuk melantunkan lirih kalimat,

"Kamu harus bangun dan membacakannya hingga tamat."

Setelah itu, ruangan menawarkan keheningan.

Sementara, temaram dibantu cahaya rembulan yang menerobos masuk jendela lupa ditutup tirainya menawarkan pemandangan sepasang kelopak mata bergerak perlahan lalu terbuka setelah sekian lama berada pada fase pejam.

Sedikit tenaga memenuhi ujung-ujung jemari sehingga mereka mampu terulur kemudian singgah di atas surai kecokelatan sosok perempuan yang kini hilang dari keterjagaan.

Lembut sekali, Jeffrey mengusap.

***

Kosong.

Sebagaimana hati, Rosé temukan ranjang di sebelahnya pagi ini tak perpenghuni lagi. Kontan ia menghambur keluar sehabis meneliti setiap sudut. Lorong cukup ramai menjelma sirkel berlari. Bersama gusar, Rosé mencari-cari di mana Jeffrey.

Tidak mungkin. Pria itu tidak mungkin pergi dalam kondisi luka yang belum sembuh benar. Tidak untuk secepat ini dan juga—tanpa permisi. Rosé enggan penantiannya dibayar hampa oleh kenyataan bahwa sosok yang dijaganya setiap saat pergi begitu saja tanpa Rosé sempat melihatnya membuka mata.

Di tengah-tengah pelarian membawa setengah rasa kecewa di dada, seseorang mencekal lengan Rosé hingga perempuan itu kemudian termangu.

"Dia pergi?"

Dadanya kini telah sungguh-sungguh dipenuhi kecewa setelah ia dibawa duduk di atas sofa dalam ketenangan sebuah ruangan.

"Hm." Alice di samping Rosé bergumam. "Terlalu bahaya baginya berada di negara ini. Lagipun, Jeffrey mengatakan dia ingin benar-benar pergi. Aku tidak bisa mencegahnya. Aku hanya bisa membantunya melarikan diri dengan membayar anak buah kapal agar kepergiannya tidak diketahui polisi."

Mendengar penjelasan Alice tak lantas membuat Rosé disapa lega. Sorot menerawang yang bertandang asal-asalan itu menyimpan sejumlah resah. Kuku-kuku dimainkan di atas pangkuan.

"Padahal luka bekas operasinya masih basah. Itu pasti sakit."

Rosé menunduk lemas. Sepasang bibirnya yang bergetar memang berhasil ia sembunyikan dari Alice, tetapi tidak dengan suaranya yang menguar di udara.

"Padahal dia masih punya janji."

Getaran makin kentara sampai di telinga Alice. Mengambil sejenak jeda memandangi adiknya yang terpukul, Alice kemudian merogoh isi tas. Wanita itu menggapai jemari milik Rosé, ia letakkan sebuah benda di atas sana.

"Dari Jeffrey."

Rosé tak lagi memainkan kuku-kukunya. Pandang tak lagi berlarian kemanapun kecuali pada sebuah alat perekam suara yang pas di genggaman tangannya.

Sepanjang bersama sang kakak hingga diantar pulang, Rosé mencoba berkarib dengan ketegaran kendati di dalam sana seakan baru saja dihempas badai besar: berantakan. Topeng tenang dipasang sempurna pada wajah untuk memperlihatkan jikalau kepergian tiba-tiba Jeffrey tak berdampak apa-apa, padahal itu serupa bencana.

Sampai kemudian kepulangan Alice melempar Rosé pada kesendirian. Ia menghuni sudut kamar, di tepi ranjang tanpa peneman.

"Dia mendengar hingga langkah memudarnya. Sampai yang bisa dia dengar hanyalah deru mesin mobil dan suara kereta api serta suara manusia-manusia yang menghadapi udara dingin."

Bariton khas seorang pria yang semalam Rosé mimpikan kini menyapa pendengaran. Tidak ada pawakan gagah, senyuman manis, atau tatapan meneduhkan. Hanya suara. Alat perekam di tangan ialah sang penyaji. Tak cukup handal jika dibandingkan dengan seorang pria yang malam-malam dahulu mendongeng untuknya, meski di balik itu adalah orang yang sama.

Bahu lebar yang nyaman untuk bersandar menjadi poin plus, yang mana tidak bisa lagi Rosé rasakan kenyamanannya kini.

"Anthony Doer. Semua cahaya yang tak dapat kita lihat. Tamat."

Sedetik setelah senyap menyusup, ketegaran dan Rosé bukan lagi karib melainkan musuh. Topeng tenang yang sedari tadi terpasang di wajah pun resmi ditanggalkan. Ia kembali menjadi Rosé yang rapuh, tak sanggup membendung genangan di antara dua pelupuk sehingga berakhir tumpah.

Jeffrey telah menepati janjinya.

Membacakan kisah Marrie Laure hingga penggalan kalimat terakhir. Akhir yang membahagiakan seusai perang. Marrie berkawan dengan orang-orang baru seperti Fredde juga berkawan dengan kebahagiaan.

Tetapi ironisnya, Rosé menyambut happy ending itu dengan tangis yang berderai-derai.

Ia ingin mengadu bahwa ...

bukan.

Bukan seperti ini yang ia inginkan. Happy ending novel tanpa Jeffrey tak ubahnya sad ending. Dan, kini Rosé sadar betul bahwa satu-satunya hal yang ia inginkan hanya Jeffrey. Ia menginginkan semua yang ada pada pria itu menemuinya sekarang juga bukan hanya sebatas suara.

Jika memang perpisahan menjadi satu-satunya jalan bagi mereka, Rosé ingin setidaknya Jeffrey berpamitan dengan benar.

Bukan hanya sebatas membuat sketsa di atas kertas gambar, menuliskan nama bunga, berikut mengukir makna tak lebih dari tiga kata.

Sweat Pea

Terimakasih dan Maaf

Sombong sekali. Rosé tidak bisa menerima ini semua. Bergegas mengambil ponsel, ia menelpon Alice untuk menanyakan, "Dari pelabuhan mana dia berangkat?"

Barangkali Jeffrey enggan menemuinya, maka Rosé yang akan menemui pria itu. Mereka tak harus berpisah dengan cara seperti ini. Rosé akan membuat Jeffrey paling tidak membayar letihnya ia sepanjang malam menunggu pria itu terbangun dengan sebuah pelukan atau mungkin kecupan.

Beruntung, Alice berkenan menemani Rosé merealisasikan ambisi. Turun dari mobil yang dikendarai kakaknya, Rosé menyapa angin laut yang berhembus cukup kencang di kala sore menerjang. Ia berlarian ke dermaga, meneliti kapal-kapal besar nelayan yang hendak diberangkatkan.

Alice turut membantu mencari-cari keberadaan Jeffrey sebab ia tahu betul, kapal yang menampung Jeffrey hanya akan melaut pada malam nanti, kira-kira satu jam lagi. Ia tak tega membiarkan Rosé yang sepanjang datang kemari berurai air mata pulang dengan keadaan serupa atau bahkan lebih buruk dari itu.

Namun, Alice bisa apa tatkala menemukan Jeffrey, tetapi pria itu hanya sebatas memandangnya juga memandang Rosé di ujung sana dalam diam lalu melompat ke atas kapal. Alice tak bisa menyeret Jeffrey ke hadapan Rosé.

Yang bisa Alice lakukan adalah menyeret Rosé kemudian menggaungkan ucap menyaingi kerasnya deru ombak menghantam karang dan bising mesin kapal.

"Ayo pulang!"

Rosé bersama sepasang netra yang padam dipenuhi tanya.

"Kapal Jeffrey sudah berangkat."

Sedetik berlalu, ia dipenuhi kecewa.

Lautan lepas menjadi sergapan bagi sorotnya yang kini berhias muram. Alice dengan sigap menghadirkan pelukan teruntuk ia yang butuh penopang. Setia telinganya mendengarkan keluhan bercampur erangan tangis yang lolos dari bibir Rosé petang itu.

"Aku bagaimana?"

"Bagaimana denganku?"

"Aku kembali kehilangan, kembali ditinggalkan."

Sajian pemandangan memilukan di bawah sana terbingkai sendu oleh sepasang bola mata pekat pria di atas awak kapal. Seseorang menepuk kencang punggungnya hingga ia terkesiap.

"Angkat jaringnya ke sana! Kapal akan berangkat sebentar lagi!"

Jeffrey meredam denyutan perih di punggung, dan juga di relung.

***

... sekian waktu berlalu seusai kolam berdarah ....

"Berdasarkan pasal yang berlaku, atas tindak pidana penggelapan dana dan kejahatan kemanusiaan lainnya, terdakwa Jonnhy Suh dijatuhi hukuman mati."

Setelah melalui serangkaian sidang, hakim pada akhirnya membuat putusan yang melegakan.

Namun, selang beberapa pekan, terdengar sebuah kabar menggemparkan:

tahanan Johnny Suh melarikan diri dari sel sehari sebelum dieksekusi mati.

***

Di tengah ketakutan yang meradang, Rosé amat sangat mengharapkan kedatangan malaikat penolong.

Setelah nyaris satu bulan ditinggalkan, ia tahu bahwa tidak mungkin Jeffrey hadir lalu menghabisi pria yang dini hari ini membobol pintu rumah dan berusaha menyetubuhinya. Namun, Rosé masih melambungkan harap tinggi-tinggi atas kemustahilan itu.

Meski pada akhirnya ia sendiri yang harus menghabisi Johnny, dan meski Jeffrey tetap tiada.

Ruang pembuatan parfum menjelma sedemikian berantakan. Pecahan botol kaca berserakan di mana-mana, darah tak sedikit mencoreng lantai, seonggok tubuh pria tak bernyawa terkapar dengan luka tusuk menganga di perutnya.

Sudut ruangan adalah tempat bagi seorang perempuan malang mendekam bersama kesemrawutan di jiwa. Gaun hijau tua yang melekat ditubuhnya tak layak lagi disebut gaun. Itu robek dan terkoyak banyak, ulah tangan pria tak beradab.

Jemari berlumur darah segar gemetaran menggenggam erat sebuah gunting yang lolos sepersekian detik kemudian ketika seseorang datang.

Kim Mingyu menghambur ke sudut setelah beberapa saat meneliti sekitar. Rosé di sana dibawanya ke dalam pelukan erat. Rintihan tangis ketakutan mencoba Mingyu redam dengan cara merapal kalimat penenang.

"Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja."

"Aku akan mengurusnya."

***

... sekian waktu berlalu usai ruang parfum berdarah ....

"Pertama, terdakwa melakukan tindakan pembunuhan dengan motif pertahanan diri saat tahanan Johnny Suh berusaha menyerang dan memperkosanya. Kedua, terdakwa memiliki riwayat gangguan mental dengan bukti keterangan dari rumah sakit. Terakhir, terdakwa secara tidak langsung membantu polisi menangkap tahanan hukuman mati yang melarikan diri."

"Berdasarkan pertimbangan itu, maka Nona Roséanne Park dinyatakan bebas dari hukuman."

Ruang persidangan gemuruh oleh suara-suara mereka yang bersuka cita sehabis palu diketuk hakim tiga kali. Alice memeluk Rosé yang kini dapat membalas pelukannya setelah tiga puluh hari tangan perempuan itu terborgol baja.

Pandangan Rosé beradu dengan sesosok pria yang duduk di kursi sana. Kim Mingyu teramat berjasa membuat segala kekacauan yang Rosé buat kemudian mereda.

Maka, siang itu, bersama-sama Mingyu, Rosé menunaikan acara makan siang, menonton pertunjukan di bioskop, mengunjungi toko bunga, lalu berakhir di sini.

Di pemakaman Kim Bona.

Menyedihkan bagi Mingyu tidak ada di samping kakaknya ketika Bona merenggang nyawa. Itu terjadi dua pekan setelah Bona mendekam di penjara khusus wanita. Ia kesakitan dan erangannya tak satu manusia pun dengar. Lebih tepatnya beberapa manusia yang satu sel dengannya berpura-pura tak mendengar.

Berdasarkan rekaman kamera pengawas yang Mingyu saksikan, lima orang wanita yang merasa terganggu dengan tangisan Bona berujung memukuli perempuan itu hingga sekarat.

Selalu dan selalu, Mingyu disergap lara dan tak mampu menahan tumpahan air mata ketika mengunjungi makam Bona.

Rosé yang menyadari itu sehabis meletakkan sebuket bunga dan merapal doa kemudian mengusap bahu Mingyu.

Namun, Mingyu ternyata butuh lebih daripada sekedar usapan di bahu.

Maka, Rosé biarkan Mingyu menggenggam tangannya, meski itu mengejutkan dan sedikit terasa aneh.

***

Berlayar berbulan-bulan demi penyamaran, di pertengahan musim gugur ini, Jeffrey akhirnya menapakkan kaki pada tanah bebatuan Kota Venesia.

Jeffrey seharusnya paham jikalau Venesia bukan tempat yang aman baginya. Namun, ia memutuskan untuk hengkang dari kapal setelah sekian waktu menahan diri dipekerjakan tanpa upah yang layak dan diperlakukan layaknya budak. Mendengar Venesia disebut sebagai persinggahan oleh sang nakhoda, Jeffrey bersiap dengan rencananya untuk kabur.

Kini, Jeffrey kembali menemui petak sederhana sebuah hunian yang dahulu pernah ia tinggali bersama Mark. Benar. Mark juga adalah salah satu alasan Jeffrey kembali datang.

Tempat di mana Mark dimakamkan telah Alice beritahukan pada Jeffrey sehingga sore tadi pria itu menyempatkan diri berkunjung. Tangis Jeffrey tak pecah di makam, melainkan pecah di dalam hunian yang diselimuti kegelapan.

Jeffrey menyadari mulai detik ini dan selamanya, ia hanya akan menjalani hari-hari dengan ditemani kesepian.

Tiada Mark. Tiada Lucas.

Dan ....

Tiada juga Rosé.

Membatinkan nama Rosé, seisi kepala Jeffrey mendadak berisik sekali. Lebih berisik dari suara badai yang seolah mengamuk di luaran sana. Sejumlah kenangan manis menyapa ingatan Jeffrey. Momen demi momen kebersamaan dengan Rosé:

mendatangi gereja, singgah di kafetaria, melukis bersama, merayakan natal dengan suka cita, kencan di tepi Sungai Han dengan sepeda di musim semi, perayaan sederhana saat Jeffrey mencapai kejayaan, dan malam-malam penuh kehangatan di atas ranjang.

Semuanya silih berganti berputar di angan-angan Jeffrey bak proyektor lawas. Memakan tak sedikit waktu tetapi tak serta merta memakan rindu yang bertumpuk. Justru, perasaan itu kian melimpah sampai Jeffrey sukar menampung.

Jeffrey tahu memikirkan Rosé tidak akan menyisakan apa-apa, kecuali sesak di dada. Namun, setiap kali Jeffrey berusaha menanggalkan bayang-bayang Rosé, ia hanya menemukan dirinya berujung disergap sekian banyak tanya tentang:

Baik-baik sajakah perempuan itu?

Gemuruh cemas yang tiba-tiba memenuhi dadanya pertanda apa?

Terjadi sesuatukah padanya?

Dan, tak satu pun dari pertanyaan Jeffrey terjawab. Pun, Jeffrey tak berupaya mencari jawabannya meski ia teramat ingin tahu. Ia biarkan itu menjadi misteri yang akan ia kubur dalam-dalam bersama kenangan dan juga perasaan tak berarti.

Orientasi hidup Jeffrey kini bukan untuk meladeni hal-hal remeh macam cinta, meskipun Jeffrey pernah berkali-kali porak dibuatnya.

Kini, Jeffrey benar-benar akan mendedikasikan diri membasmi satu manusia yang sedari dulu teringin ia musnahkan. Daniel Anderson. Oknum yang ia yakini dalang dibalik kematian Mark.

Rencana mendatangi kediaman pribadi milik Daniel di tengah malam telah direalisasikan sedemikian lancar. Jeffrey bersembunyi di antara dinding-dinding menjulang dengan membawa pisau di tangan. Mengendap-endap menuju sosok yang berbaring di atas ranjang, Jeffrey berhenti ketika tersisa tiga langkah lagi untuknya sampai pada posisi bagus guna menusuk jantung Daniel.

Namun, pisau lebih dulu lolos dari genggaman Jeffrey ketika melihat Daniel telah menemui ajal bahkan sebelum Jeffrey membuat satu goresan pun pada tubuh pria itu.

Mulut Daniel penuh oleh busa. Ada dua botol alkohol, dan satu botol kecil berisi pil yang habis setengahnya. Yang setengah lagi barangkali telah Daniel teguk hingga overdosis. Jeffrey asumsikan demikian. Entah apa alasan Daniel mengambil jalan tersebut untuk menemui maut, Jeffrey enggan memikirkan.

Yang memenuhi pikiran Jeffrey saat ini adalah bagaimana caranya melarikan diri sebab ia telah mendengar derap langkah kaki bergemuruh menuju ruangan tempat ia berada. Jendela didatangi Jeffrey lalu berupaya ia buka dengan susah payah.

"Berhenti di sana atau saya tembak!"

Sialnya, Jeffrey mesti tertangkap.

Sekonyong-konyong ia mengangkat kedua tangan ke udara membiarkan dua orang petugas kepolisian mematikan pergerakannya dengan borgol.

"Buronan, Jeffrey Anderson, Anda kami tahan."

Benar. Jeffrey adalah buronan yang gerak-geriknya jelas diperhatikan. Polisi menemukan keberadaannya, menemukan pula seonggok jasad sehingga praduga menyeret namanya sebagai tersangka pembunuhan.

Barang bukti seperti pisau, botol alkohol, dan botol berisi pil dikantongi. Jeffrey diarak tanpa pembelaan.

***

... sekian waktu berlalu usai jiwa-jiwa berdarah ....

"Mayat saudara Daniel Anderson tidak memiliki satu pun luka akibat benda tajam. Kematiannya murni disebabkan karena overdosis amfetamin. Waktu kematiannya ditetapkan pukul sebelas malam, sedangkan Terdakwa datang ke apartemennya pukul satu dini hari. Ini berarti Terdakwa tidak ada kaitannya dengan kematian saudara Daniel."

Seorang pria yang berperan sebagai pengacara Jeffrey begitu piawai menyajikan pembelaan. Padahal, setahu Jeffrey, pengacara hanyalah pajangan di ruang sidang. Sekadar formalitas belaka agar sidang berjalan. Pembelaannya pun kadang terkesan asal-asalan.

Namun, sedari Ten Lee, pengacara muda kondang di Italia dengan biaya sewa jutaan euro, mengajukan diri menjadi tamengnya, Jeffrey telah menyadari ini aneh.

"Meskipun tidak ada kaitannya dengan kematian saudara Daniel, Terdakwa merupakan buronan polisi dari dua tahun silam atas tindakan percobaan pembunuhan. Dari informasi akurat yang kami dapat, ia juga melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan dengan bergabung ke dalam kelompok gangster.

Tak hanya itu, dua tahun lalu sebelum mencoba menembak saudara Daniel di bar, dia juga menabrak mobil hingga terjatuh ke danau dan salah satu pengendaranya tewas. Berdasarkan pertimbangan itu, maka, saya selaku jaksa penuntut, mengajukan permohonan agar Terdakwa dihukum kurungan seumur hidup."

Di atas kursinya, Jeffrey menyunggingkan tawa singkat tanpa suara. Ia tahu akan begini akhirnya. Lalu apa fungsi pengacara sejuta dolar itu?

Tetap tidak ada.

***

"Atas kejahatan yang dilakukan, saya, hakim agung pengadilan memutuskan Terdakwa, Jeffrey Anderson, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup."

Di lain tempat, lain waktu, dua perempuan duduk menonton siaran ulang persidangan kasus Jeffrey.

Ponsel bergetar di atas meja segera diraih Alice. Panggilan dari Pengacara Lee.

"Maaf. Saya sudah berusaha sebisa mungkin, tetapi hasilnya tetap mengecewakan," kata pria di seberang sana, lesu.

Alice mengakhiri sambungan lalu datang kembali pada Rosé yang masih setia memandang layar televisi bertampilkan wajah pasrah Jeffrey ketika petugas membawanya. Usapan diberikan Alice pada bahu perempuan itu.

Sedangkan Rosé mengusap perutnya sendiri di bawah sana sembari bergumam lirih,

"Bagaimana dengan bayi ini, Eonnie?"

***

... sewindu kemudian seusai peperangan di roma ....

Pusat kota Venesia menawarkan pesta perayaan pergantian tahun yang cukup menghibur. Di tengah-tengah tanah lapang, ribuan lampion diterbangkan. Letusan kembang api menaburi langit malam meski tak berlangsung lama, tak seperti taburan bintang yang maha abadi adanya.

Barangkali, kota-kota yang lain menawarkan sajian pesta yang lebih spektakuler dari Venesia, tetapi ini saja sudah membuat Jeffrey takjub luar biasa. Barangkali pula, orang lain telah terbiasa, tetapi Jeffrey tidak.

Ini menjadi tabu bagi Jeffrey sebab pergantian tahun-tahun sebelumnya hanya ia habiskan dengan mendiami dinginnya sel tahanan.

Tahun ini menjadi pembeda. Setelah melalui serangkaian ajuan sidang banding untuk kasusnya, Jeffrey dibebaskan beberapa bulan lalu. Mula-mula Jeffrey tak berharap banyak pada sidang banding. Namun, waktu lambat laun menyajikan kebenaran lain yang membuat Jeffrey yakin.

Waktu membawa seorang pria paruh baya yang dahulunya merupakan bupati Kota Venesia. Katanya, jika waktu itu, Jeffrey tidak membunuh salah satu ketua partai yang menelan milyaran euro dana anggaran pemerintah, maka Venesia akan mengalami krisis ekonomi besar-besaran.

Waktu juga membawa seorang wanita yang menangis-nangis menceritakan bagaimana suaminya berselingkuh dan ia yang sakit hati karena itu pada akhirnya mengaku mempekerjakan Jeffrey untuk memukuli hingga babak belur. Ia membuat permohonan agar hakim meringankan hukuman yang Jeffrey terima karena semua ini bukan semata-mata kesalahan pria itu.

Sidang banding kembali berlanjut dengan kembalinya Pengacara Ten Lee ke tengah-tengah forum. Sajian pembelaannya kala itu adalah perihal instansi semu yang berperan sebagai tempat pencucian uang berhasil dimusnahkan berkat kerja Jeffrey beserta kawanannya;

perihal komplotan pengedar narkotika yang tewas sehabis berpesta miras juga berkat upaya Jeffrey menggiling bebijian apel yang mengandung sianida lalu menaburkannya ke dalam minuman para pelaku. Dan, tuntutan atas tewasnya Jung Jaehyun telah dialihkan pada tahanan hukuman mati bernama Johnny Suh.

Namun, kejahatan tetaplah kejahatan. Jeffrey masih harus menerima hukuman sepuluh tahun penjara, dengan remisi dua setengah tahun karena ia dinilai berkelakuan baik selama menjadi tahanan.

Selama itu, Jeffrey kerap aktif di kegiatan gotong royong membersihkan sekitaran sel, mengikuti kegiatan keagaman yang disediakan, juga mengikuti kursus menjahit pakaian yang hasilnya cukup banyak laku di pasaran.

Keluar dari penjara, setidaknya Jeffrey mengantongi lima ratus ribu euro. Beberapa Ia gunakan untuk mentraktir Ten Lee makan daging dan bertanya perihal siapa yang mengirimnya. Saat itu, Jeffrey tahu, Alice masih menjadi satu-satunya penolong.

Wanita nun jauh di Seoul sana masih berusaha ikut campur di kehidupan Jeffrey entah mengapa.

Bahkan ketika Jeffrey memutuskan untuk mendirikan yayasan bagi anak-anak jalanan, Alice menjadi pihak pertama yang menyalurkan donasi. Jeffrey waktu itu tidak bisa menolak sebab yayasan teramat butuh.

"Es krim cokelat untukmu, Fazio."

Kembali pada Jeffrey dan pesta perayaan tahun baru. Jeffrey tak datang seorang diri melainkan bersama anak berusia sewindu bernama Fazio Herberto. Dengan tampilan wajah bertabur suka, Fazio menerima.

"Terimakasih, Jef."

Fazio ditemukan Jeffrey di hari pertama ia menghirup udara kebebasan, di trotoar jalan, menyajikan senandung alakadar dengan biola tua di tangan. Jeffrey menyapa sembari memberi roti isi lalu Fazio mengajaknya pada sekawanan anak-anak bernasib tak jauh berbeda.

Maka, terbitlah gagasan untuk menampung mereka semua ke dalam hunian yang layak, yang bukan emperan toko, kolong jembatan, atau bangunan lawas penuh coretan cabul. Kiranya dalam waktu enam bulan, Jeffrey telah berhasil memberi makan mereka dengan uang hasil bekerja serabutan dan tentu saja pamflet donasi yang ia terbitkan.

Jeffrey tersenyum memandang Fazio melahap es krim dalam genggaman. Sampai suatu ketika, pandangan Jeffrey bergulir dan jatuh tepat pada seorang anak perempuan yang hanya berdiri di depan konter pedagang es krim, padahal mata kecilnya menyorot penuh damba.

"Hai! Kau mau makan es krim juga?"

Anak perempuan pemilik surai kecokelatan berhias bandana merah muda itu mengerutkan kening.

"Aku tidak mengerti apa yang Paman katakan. Tapi aku ingin es krim."

Jeffrey tertegun. Anak di hadapannya baru saja berbicara dengan bahasa Korea yang lancar. Sementara Jeffrey barusan mengajukan pertanyaan dengan bahasa Italia yang tentu saja tak membuatnya paham.

Berjongkok demi menyamakan tinggi badan, Jeffrey lalu bertanya lembut, "Mau es krim rasa apa?"

Syukur, Jeffrey tidak pernah melupakan bahasa pemersatu dirinya dengan beberapa orang di masa lalu. Dua bola mata bulat anak itu berbinar. Ia segera menjawab, "Vanila. Aku mau rasa vanila."

Seulas senyum diberikan Jeffrey beserta usapan pelan di puncak kepala si anak. "Tunggu ya."

"Zio kemarilah dan jaga dia di sini!" Fazio berlari kecil. "Dia siapa, Jef?" Pertanyaannya tak dijawab, Jeffrey lebih dulu mendatangi konter pedagang es krim lalu kembali dengan cone es krim rasa vanila.

"Siapa namamu, Cantik?"

Jeffrey menunda memberikan es krim di tangannya kepada sang pemesan. Ia kembali berjongkok lalu mengajukan tanya.

"Jia." Nyaring suara anak perempuan yang mengaku bernama Jia itu memekak telinga.

"Jia?" Sedang Jeffrey setengah bergumam mengulang nama yang baru saja ia dengar.

"Eum. Jung Jia."

Seharusnya, Jeffrey tak lantas termangu hanya karena mendengar nama Jia beserta marganya. Namun, entah mengapa dada Jeffrey lantas bergemuruh. Pun menatap lekat wajah Jia membuat Jeffrey mengingat seseorang yang telah lama absen dari hari-hari.

"Es krim vanila untukmu, Jia."

Tak hendak membiarkan nalarnya meliar, Jeffrey segera mengalihkan es krim ke tangan Jia. Dan, tanpa disangka, Jia menyuguhi Jeffrey dengan beberapa lembar uang.

"Untuk Paman. Kata Ibu, kita tidak boleh berhutang kalau tidak dalam keadaan mendesak."

"Ibu?"

Alih-alih menerima, Jeffrey justru mengedarkan pandang ke sekitar. "Kamu datang bersama ibumu?"

Jia mengangguk, tetapi kemudian kebingungan sendiri ketika ikut meneliti sekitar dan mendapati semua wajah manusia adalah asing.

"Ibu ... di mana ibuku?"

Dengan demikian, Jeffrey mengerti bahwa Jia ini anak hilang. Ia menggandeng anak yang mulai ketakutan itu juga menggandeng Fazio menuju gardu pengaduan. Di sana petugas yang berjaga segera menyiarkan informasi mengenai Jia dan meminta orang tuanya segera datang.

Namun, sudah setengah jam, tidak ada tanda-tanda Jia akan dijemput. Sepanjang itu, Jeffrey menenangkan Jia dengan mengajaknya main tebak-tebakan.

"Jia, bintang apa yang sukanya bersembunyi?"

Wajah serius Jia ketika mencoba memikirkan jawaban tertampil lucu di pandangan Jeffrey sehingga ia kerap mengembangkan senyuman tanpa sadar.

"Tidak tahu." Jia menyerah.

"Bintang laut."

Jia ber-oh ria lalu tertawa karena gagal menebak. "Aku bodoh, ya."

Fazio yang sedari tadi hanya mengamati interaksi dua manusia di sebelahnya pun mulai meleburkan diri. Ia bertanya apa sebenarnya yang mereka bicarakan. Maka, Jeffrey mau tak mau menjadi penerjemah agar dua anak kecil berbeda latar belakang sosial itu bisa tetap saling bertukar obrolan.

"Aku mau belajar bahasa Korea."

"Katanya, Zio ingin belajar bahasa Korea."

"Kalau begitu datanglah ke rumah Jia di Seoul. Jia akan memberimu kursus bahasa Korea secara gratis."

"Kata Jia, kamu perlu datang ke rumahnya di Seoul. Jia akan memberimu kursus bahasanya gratis."

Begitu dan seterusnya sampai lapangan mulai ditinggalkan para warga. Dan, Jeffrey mulai resah karena orang tua Jia belum juga datang padahal siaran perihal anak hilang telah mengaung dari pengeras berkali-kali.

"Jia-ya!"

Sepasang pintu kaca terbuka. Bunyi ketukan sepatu heels beradu dengan lantai ruangan terdengar bebarengan dengan datangnya seruan suara seorang perempuan. Entah mengapa itu terdengar familiar di telinga Jeffrey.

"Ibu ...!"

Jia berseru senang, turun dari kursi lalu menghambur pada perempuan di ujung sana. Sementara Jeffrey menghambur menemui keterkejutan luar biasa ketika mendongak dan menemukan sang pemilik suara adalah sosok yang sama dengan yang terbayang di kepala.

"Rosé."

Batin Jeffrey memanggil.

"Ibu ke mana saja? Jia lama sekali menunggu."

Jia memanggilnya dengan sebutan 'ibu'. Hal yang tak kalah mengejutkan bagi Jeffrey.

"Maafkan Ibu, Sayang. Ibu ...."

Tuturan perempuan itu tak menemui akhir. Barangkali menemukan Jeffrey juga merupakan sebuah kejutan baginya. Dua pasang mata manusia dewasa di dalam gardu mengambil jeda lama untuk saling memandang dalam bungkam.

Jeffrey tak tahu isi pikiran Rosé sekarang. Yang ia tahu hanya isi pikirannya sendiri yang mendadak begitu semarak seperti letusan kembang api.

Ternyata dan ternyata, cinta tidak bisa kemudian dianggap remeh Jeffrey.

Cinta masih sebegitu membuat rasanya menggila ketika bertemu sang tambatan setelah sekian waktu dipisahkan ruang dan waktu, dan setelah Jeffrey pikir telah sukses menguburkannya bersama kenangan yang ada.

"Jia ...!"

Tetapi, cinta ternyata juga masih sebegitu hebat membuat Jeffrey porak manakala menemukan pria lain datang dan menunaikan apa yang menjadi keinginannya: memeluk Jia beserta Rosé di sana.

"Lain kali pamit pada ibumu kalau mau pergi ke manapun."

Seperti tengah menonton drama keluarga berlatar bahagia, tetapi ironisnya Jeffrey tak turut serta bersuka cita. Ia genggam tangan mungil Fazio kala merasakan sudut-sudut hatinya mulai retak. Ia butuh penguat, apa pun itu, sebab—

—apa yang nampak oleh matanya sekarang ini bagaikan bencana maha dahsyat.


[Closing Playlist: ID:Earth – Mine]

TAMAT



[SILHOUTTE: After A Minute]

bring all casts and all readers big thanks and much loves

­LINASWORD

***


author's notes:

akhirnya, SILHOUTTE ending juga setelah berbulan-bulan menemani saya dan kalian.

dan tiada bosan saya mengucapkan terimakasih teruntuk kalian yang telah membaca SILHOUTTE sampai penggalan kalimat terakhir dan memberikan apreasiasi berupa vote dan komentar yang jujur saja selalu menjadi pemantik semangat saya dalam menulis.

siapa pun dan di mana pun kalian, doa yang terbaik dari saya.

terakhir, senang bisa mengenal kalian melalui SILHOUTTE, dan sampai jumpa pada karya-karya saya yang lainnya.



Czytaj Dalej

To Też Polubisz

119K 9.9K 52
Hermione menangis meratapi kebodohan Ronald Weasley yang mengantarkan rumah tangganya kepada jurang perceraian. Ia mengingat - ingat apa yang salah p...
109K 11.3K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
47.2K 725 24
"Sed terrae graviora manent" "But on earth, worse things await"
16.1K 2K 24
Nama ku Bianca, seorang yatim piatu yang memiliki kakak kembar bernama Brian. Hidup kami berubah ketika bertemu dengan Potter Bersaudara. Dan pertemu...