Another Pain [END] âś”

By goresanlaraf

213K 13.8K 960

[COMPLETED] Mereka pernah berkata, jika rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Mereka juga pernah berkat... More

I •Hati yang terbalut luka•
II •Yang tak pernah teranggap•
III •Berjuang untuk diri sendiri•
IV •Keluh dan rasa sakit•
V •Terlalu sulit berdamai dengan hati dan keadaan•
Vl •Sosok yang mengingatkannya pada masa lalu•
VII •Khawatir•
VIII •Hari terpenting dan hancur•
IX •Diary depresiku•
X •Kisah tentang duka•
XI •Pulang untuk kembali terluka•
XII •Aku bukan pembunuh•
XIII •Tak berujung•
XIV •Semangat hidup yang di patahkan•
XV •Sembunyi di balik tawa•
XVI •Berkorban•
XVII •Tuhan masih menyayanginya•
XIX •Terlalu letih•
XX •Berarti•
XXI •Pupusnya sebuah asa•
XXII •Tak lagi bersama•
XXIII •Tak lagi utuh•
XXIV •Menghindar•
XXV •Hadir untuk di acuhkan•
XXVI •Masa sulit•
XXVII •Rasa yang terpendam•
XXVIII •Ketulusan hati•
XXIX •Kebahagiaan itu semu•
XXX •Sakit yang mendalam dan keputusan•
XXXI •Bukanlah segalanya•
XXXII •Tak akan sendiri•
XXXIII •Selalu salah•
XXXIV •Permainan tanpa garis finis•
XXXV •Opera Tuhan•
XXXVI •Masih disini merakit luka•
XXXVII •Rapuh yang terbalut indah•
XXXVIII •Dalam belenggu•
XXXIX •Setiap sesak mengandung luka•
XL •Mimpi itu tak lagi tentang kebahagiaan•
XLI •Untaian kata yang tak sampai•
XLII •Paksaan untuk tetap bertahan•
XLIII •Bunga merekah yang tak akan pernah layu•
XLIV •Berselimut dengan kenangan•
XLV •Untuk diri yang tak ingin terluka lagi•
XLVI •Luka yang telah pergi dan tak akan kembali•
EXTRA CHAPTER •Timbal balik kehidupan•
AYO KENALAN SAMA DHEGA
EXTRA CHAPTER •MEMORABILIA•

XVIII •Hati nurani yang telah hilang•

4.1K 291 38
By goresanlaraf

🎶 Playing song : Aldhi (cover) - tak sanggup lagi 🎶

HAPPY READING

“Karena bagi Papa, aku akan selalu menjadi anak pembawa sial keluarga yang menghalangi kebahagiaan mereka.”

—Regi Sabiru

     "Udah berapa lama dia seperti ini?"

     Fahmi menatap sendu seorang Dokter yang berdiri di hadapannya. Ia tak sedikit tak tahu menahu perkara Regi yang sering tumbang bahkan sampai mimisan.

     Regi memang memiliki riwayat penyakit Gerd sejak kecil, tapi tak sampai berefek seperti semalam.

     "Entah, saya juga baru tahu semalam, Dok. Saya jarang memantau aktifitasnya di sekolah," jawabnya dengan nada sedikit kecewa.

     "Regi memang tipikal anak yang tertutup dan jarang terbuka. Komunikasinya memang kurang."

     Dokter di hadapannya menghela napas kecil, ia nampak menurunkan kacamatanya sebelum benar-benar menatap Fahmi lebih serius.

     "Saya harus segera melakukan tes dengan Regi. Saya hanya khawatir jika nantinya ada sesuatu yang tidak-tidak dengan Anak itu," tuturnya.

     Mendengar hal itu, relung hati Fahmi terasa seperti teriris sebilah pisau. Perkataan sang Dokter membuatnya ikut khawatir sekaligus takut. Ia berharap kejadian buruk lainnya tak menimpak Anak itu lagi.

     Fahmi tak tega melihat Keponakannya yang terus-menerus terjerat dalam pedihnya luka.

     "Saya akan usahakan bicara baik-baik dengan Regi, Dok."

     Regi tidak tidur, ia sudah terbangun sejak beberapa menit lalu. Bahkan, ia mendengar dengan jelas bagaimana percakapan seorang Dokter dan Om Fahmi di depan kamar inapnya.

     Sejujurnya Regi juga merasa ada yang janggal dengan tubuhnya. Sekarang ia jadi sering kelelahan dan mimisan. Padahal dulu sebagaima pun ia memforsir tubuhnya, ia tak akan tumbang. Karena ia tahu ia tak selemah itu.

     Ting

     Ada bunyi yang berasal dari ponselnya. Dengan sedikit meringis dan memegangi perutnya, Regi mencoba untuk bangkit—terduduk, lalu meraih ponselnya yang berada di atas nakas.

     Tertera di sana nomor tak dikenal. Sebelah alis Regi terangkat, matanya memicing. Ia tak pernah mendapat nomor asing. Bahkan, siapa yang dengan tega menyebarkan nomor ponselnya?

     Dengan penuh rasa penasaran, jari Regi lekas membuka bergerak di atas layar ponsel—membuka pesan tersebut.

     📨+628578xxxx
     Send a photo
    
      Hidup lo emang bener-bener menyedihkan, Regi.
     Bahkan bokap lo sendiri pengen lo mati. Hahaha...
     Apa alasan lo untuk terus bertahan hidup sekarang?
     Ckck, menyedihkan.

     Regi meremat ponselnya dengan tangannya. Ia tak tahu siapa pemilik nomor itu. Dan yang paling membuatnya terkejut bahkan tak di sangka-sangka, sebuah foto potongan chat orang itu dengan sang Ayah—berisikan, jika Ayahnya menginginkan dirinya mati.

     Jadi kejadian kemarin itu rencana asli dari Ayahnya, Ayah kandungnya sendiri.

     "Sial!"

     Regi menyibak selimut yang menutupi kakinya, melepas paksa jarum infus yang menancap di punggung tangan, lalu menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang—sebelum pada akhirnya ia menyambar kunci motornya yang kebetulan tergeletak di atas meja.

     Dengan langkah penuh perasaan yang tercampur aduk—Regi Lekas keluar dari kamar inap. Dan tentunya, ia menemukan Om Fahmi yang baru saja usai berbincang dengan Dokter.

     "Regi? Kamu mau kemana?!" tersirat wajah yang begitu terkejut di sana. "Kamu jangan aneh-aneh, Regi."

     Regi melepas paksa cekalan tangan Om Fahmi, lalu menatap lelaki itu tajam. "Ini urusan Regi, Om. Om gak boleh ikut campur."

     "Iya, Om tahu. Tapi keadaan kamu belum pulih, Re."

     "Om gak perlu khawatir, Regi baik-baik aja. Regi bukan Anak yang lemah!"

     Regi lekas pergi meninggalkan Fahmi, melengos begitu saja dengan langkah yang terburu-buru. Di belakang, Fahmi terus meneriaki namanya. Dan Regi sama sekali tak memedulikan itu.

•••

     Di sinilah Adli berada, di sebuah gedung mewah yang di penuhi oleh para pejabat-pejabat sukses. Diiringi alunan instrumental yang medu, semua orang yang ada di dalam gedung itu nampak terhanyut oleh suasana. Mereka tertawa, saling berndau gurau dan berbincang satu sama lain.

     Begitu halnya dengan Adli. Lelaki itu memakai setelan jas berwarna abu-abu, rambutnya di poles halus dan rapi—terkesan berwibawa.

     Adli menampilkan senyuman lebarnya, lalu berjabat tangan dengan para kerabat bisnisnya.

     "Apa kabar, Pak Adli?" sapa salah satu lelaki yang nampak lebih muda dari Adli ramah.

     Adli mendengar hal itu sontak memberikan jawaban yang di sertai gelak tawa oleh para kerabat bisnisnya. Hingga kedatangan dua Anak lelaki membuang mereka teralihkan.

     Melihatnya, Adli lekas menggiring dan merangkul dua Anak lelaki itu kedahapan para kerabat bisnisnya.

     "Nah, ini dua Anak lelaki saya yang kelak akan meneruskan bisnis perusahaan." Adli memperkenalkan dua Anak lelakinya yang ternyata adalah Alan dan Reyga. "Ini Anak lelaki pertama saya, Alan dan ini Anak lelaki kedua saya, Reyga."

     Alan dan Reyga lekas memberi salam dengan sopan. Membuat mereka yang berada di sana terangguk-angguk sembari memberikan sebuah senyuman.

     "Dua Anak lelaki Pak Adli tampan-tampan dan sopan," tukas salah seorang lelaki dengan segelas minuman di tangan kanannya.

     "Betul."

     "Apa hanya punya 2 Anak lelaki saja, Pak? Saya lihat Pak Adli juga mempunyai seorang Anak gadis?" tanya salah seorang.

     Adli tergelak, lalu lekas mengangguk. Ia menepuk kedua pundak Alan dan Reyga. "Iya, hanya 2 Anak lelaki ini saja sudah cukup. Anak Gadis saya sedang di rumah."

     "Oh, begitu." tukas mereka yang diiringi dengan anggukan kepala.

     "Pa?—

     Adli memberikan senyuman kepada Reyga, lalu kembali berbincang kepada para kerabatnya.

     Alan hanya terdiam, sedangkan Reyga mengepalkan tangannya erat. Bagaimana tidak? Ayahnya sama sekali tidak mengakui Regi. Bahkan tak ada yang tahu jika Ayahnya juga memiliki satu Anak lelaki lagi yang kini sedang terbaring di rumah sakit.

     Reyga tak tahu kenapa bisa Ayahnya melangkah sejauh ini. Dulu Ayahnya tak seperti ini, Ayahnya yang selalu ia bangga-banggakan. Sekarang semuanya nampak berantakan semenjak Ibunya meninggal. Ayahnya berubah—berubah sangat drastis.

     Ayahnya yang dulu begitu penyayang dan lembut. Kini kasar dan penuh emosi.

     Bahkan tak segan memukul Regi.

     Saudaranya yang begitu ia sayangi.

     "Reyga kecewa sama Papa," gumamnya lirih sebelum melengos pergi meninggalkan kerumunan pejabat Adli. Mengabaikan mereka yang mungkin bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

     "Ah, suasana hati Reyga sedang tidak bagus. Jadi maaf jika Anak saya tidak begitu sopan." Adli meminta maaf.

     "Ah, tidak apa-apa Pak Adli... Namanya juga Anak jaman sekarang, jadi maklum, bukan?"

     Dan mereka kembali berbincang lalu tertawa. Begitupun Alan yang seolah-olah tak begitu mempermasalahkan hal tadi—hal dimana Regi tak diakui oleh Adli. Padahal semua tahu jika lelaki itu juga Adiknya, Adik kandungnya.

•••

     Kali ini kesabaran Regi sudah habis. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Ayahnya. Ia sudah muak dengan semuanya, muak dengan segala luka yang bertubi-tubi datang tanpa jeda—tanpa memberikannya waktu untuk menarik napas sebentar saja.

     Selama ini Regi menerima segala jenis perlakuan keji Ayahnya kepadanya. Bahkan, tak sekalipun terbesit di hati Regi untuk membalas apa yang sudah Ayahnya perbuat. Ia mencoba untuk lapang. Tapi, bukannya setiap manusia mempunyai batas kesabaran?

     Ya, sama halnya dengan Regi. Ia juga memiliki batas kesabaran.

     Regi sudah sepenuhnya di kuasai oleh emosi. Bahkan saat asisten rumah tangganya menyapanya, ia tak menjawab sekalipun. Matanya mengedar ke segala penjuru ruang—mencari sosok yang ia cari.

     "PAPA!" Regi berteriak tepat saat langkah kakinya berhenti di ruang tengah. Kedua matanya masih mengedar, tapi sama sekali tak ada sosok itu.

     "Aden kenapa? Bapak ngak ada di rumah, Den." sosok wanita paruh baya menghampiri Regi dengan tatapan khawatir sekaligus takut. Karena yang saat ini wanita itu lihat, bukanlah sosok Regi yang biasanya. Tapi sosok Regi yang berbeda dari biasanya.

     Kedua mata Regi memejam saat perutnya terasa nyeri. Tapi itu tak berlangsung lama karena Regi mampu menahannya.

     "Kemana, Bi?" tanya Regi.

     "Tadi Bapak sama Mas Alan, Mas Reyga pergi rapi-rapi pakai jas. Katanya ke acara penting, Den."

     Acara penting, ya? Rasanya Regi benar-benar seperti Anak buangan. Ah, ia lupa jika ia memang Anak buangan. Bahkan kehadirannya pun sama sekali tak di anggap. Persis bagaikan Angin.

     "Aub—

     "Abang? Abang ngapain?"

     Perkataan Regi terputus tepat saat seruan seorang gadis yang berasal dari arah pintu belakang terdengar. Melihat sang Adik membuat Regi sadar jika ia harus menurunkan kadar emosionalnya. Ia hanya marah dengan sah Ayah.

     "Papa mana?" tanya Regi datar.

     Mendengar lontaran kata itu membuat Aubrey ragu-ragu untuk menjawab.

     "Abang tanya, Dek!" sentak Regi yang ternyata ia sama sekali tak bisa menahan laju emosionalnya. Membuat Aubrey yang di sana sedikit ketakutan. "Abang minta maaf."

     "Papa pergi sama Bang Alan juga Bang Rey. Ke acara penting katanya, di dekat kantor Papa. Di gedung yang dulu pernah di pakai Papa sama Mama nikah." Aubrey memperjelas semuanya, membuat Regi mengangguk paham.

     "Thanks." Regi lekas pergi tanpa sekalipun berbicara dengan sang Adik lebih lama. Tapi langkahnya terhenti saat tangan Aubrey menahan pergelangan tangannya.

     Regi menatap Adiknya heran.

     "Abang masih sakit. Abang jangan kesana, ya?" tukas Aubrey dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Adek—Adek gak mau Papa mempermalukan Abang di sana. Adek gak mau Abang terluka lagi."

     Runtuh sudah pertahanan Regi. Di sana, jauh di dalam hatinya ada perasaan bahagia sekaligus haru. Sudah lama ia tak melihat Aubrey memasang wajah khawatir sebagai bentuk jika Gadis itu tidak mau terjadi apa-apa dengannya.

     Regi mendekat ke arah Aubrey, meraih pipi Gadis itu dan memberikannya usapan kecil. Kedua mata Aubrey memejam. Rasanya begitu nyaman.

     "Makasih sudah khawatir sama Abang, makasih sudah peduli sama Abang," gumamnya lembut. "Abang gak apa-apa. Yakin sama Abang, Dek—Abang gak akan terluka lagi."

     "Abang pergi dulu, ya? Abang sayang Adek."

     Satu tetes air mata jatuh membasahi pipi Aubrey. Dan ia tak lagi merasakan usapan lembut tangan kokoh itu di pipinya. Membuat Aubrey membuka matanya perlahan.

     Dan di sana ia melihat punggung Abangnya yang semakin jauh.

     "Aubrey juga sayang, Abang."

•••

     Sudah hampir sepuluh menit lamanya dan panggilan itu tak juga terjawab, membuat Bima mendesah kesal. Di tambah dengan pikirannya yang terus-menerus memikirkan hal-hal negatif—melihat kondisi Regi yang sama sekali belum pulih.

     Belum di ketahui pula siapa dalang di balik kecelakaan yang menimpa Regi—siapa yang menusuk Anak itu. Semuanya masih penuh tanda tanya.

     "Gimana Bima? Apa telfonnya di angkat?" Nara sudah memasang wajah khawatir. Begitu kentara jejak air matanya yang tertinggal. Dan Bima tahu jika Ibunya begitu menyayangi Regi.

     "Ngak di angkat, Ma. HP-nya sama sekali gak aktif," jawabnya resah.

     Fahmi yang juga ikut khawatir merasa begitu tak tenang. Regi itu Anak yang percaya diri, Anak yang berani. Dan hal itu membuat ketakutan Fahmi semakin menjadi-jadi setiap melihat Regi.

     "Coba hubungi lagi. Papa khawatir banget sama dia."

     Bima mengangguk dan mencoba untuk menghubungi Regi sekali lagi. Bahkan ia juga menelepon Danu dan Ciko, mereka sama sekali tak mendengar kabar Regi. Malah mereka hendak ke rumah sakit menjenguk Anak itu.

     "Apa jangan-jangan dia pulang ke rumah?" Bima menatao kedua orang tuanya bergantian. Tak ada sama sekali sepatah kata yang mereka lontarkan.

     "Bima akan cek di sana." sebelum itu Bima sempat menatap kedua orang tuanya sekali lagi, sebelum ia melangkah pergi.

     Fahmi menahan Bima sejenak, menatap Anak itu dalam. "Bima harus bisa kontrol emosinya. Papa gak mau kamu melukai orang, siapapun itu."

     Mendengar hal itu membuat Bima menghela napas panjang. Terkadang Bima berpikir keras, jika ia dan Ayahnya sangat berbanding terbalik. Ayahnya yang selalu bisa membentengi dirinya sendiri, salah satu pribadi yang lemah lembut dan sabar. Sedangkan dirinya, terkadang teramat sulit untuk bisa mengontrol emosinya sendiri.

     Nara menghampiri Fahmi, dengan mata yang samar-samar menatap kepergian Anaknya sendu.

     "Semoga semua baik-baik aja dan gak terjadi hal-hal yang ngak di inginkan."

•••

     Regi menatap nanar gedung yang menjulang tinggi di balik kaca helm-nya. Sebelum pada akhirnya berhasil dengan selamat di tempat ini, percayalah jika selama perjalanan Regi menahan gejolak rasa sakit pada perutnya.

     Lebih tepatnya di dalam perutnya, bukan pada jahitannya. Skntak perkataan Om Fahmi dan Dokter tadi terlintas.

          "Saya harus segera melakukan tes dengan Regi. Saya hanya khawatir jika nantinya ada sesuatu yang tidak-tidak dengan Anak itu,"

     Entah firasat Regi tidak baik semenjak ia mendengar perkataan itu. Ia tahu jika ia memiliki riwayat penyakit Gerd, ia pikir tak separah itu. Meski ia jarang makan, tapi ia mampu menjaga dirinya sendiri. Ia tidak lemah.

     Dengan penuh keberanian dan tekat, Regi mematikan mesin motornya dan melepas helm yang sedari tadi menutupi kepalanya. Kini gedung itu nampak begitu jelas. Di antara banyaknya orang yang berlalu-lalang, Regi tersenyum getir.

     Semoga ia beruntung kali ini.

     Kedua mata Regi mengedar, sebelum pada akhirnya matanya berhenti pada sosok wanita yang bertugas sebagai resepsionis gedung. Regi pun melangkahkan kakinya mantap.

     "Selamat pagi, Mas... Ada yang bisa kami bantu?" tanya resepsionis itu ramah yang di bumbui senyuman manis.

     Regi mengangguk dan tersenyum kecil, "Maaf Mbak apa di sini ada acara penting? Maksud saya, Apa ada Bapak Adli dari ADC company?"

     "Oh bapak Adli? Ada, Mas. Di lantai dua sedang ada pertemuan penting antar pejabat bisnis," jawab sang resepsionis. "Tali maaf sebelumnya, Mas siapa ya?"

     "Saya Anaknya."

     "Oh, baiklah. Mari saya antar ke lantai dua, Mas." Resepsionis itu menawarkan diri, tapi buru-buru Regi menolaknya dengan sopan.

     "Tangan usah Mbak, saya sendiri saja ke lantai dua. Terima kasih dan saya permisi."

     Tanpa menunggu jawaban dari wanita itu, Regi seketika melengos. Dengan langkah panjang, ia memasuki lift dan menekan angka 2 di sana. Perasaannya tercampur aduk, jantungnya berdetak tak seirama.

     Hari ini mungkin adalah hari yang akan di benci oleh Ayahnya. Tapi, Regi tidak peduli akan hal itu. Selama ini bukannya ia tak pernah di anggap? Jangankan di anggap, peduli saja tidak.

     Begitu menyedihkannya bukan dirinya? Di saat ketiga saudaranya memiliki perhatian penuh dari orang tuanya, Regi? Ia hanya mampu menatap itu dari kejauhan dengan senyuman getir.

     Ayahnya tidak akan pernah menganggapnya. Dan mungkin hingga ia mati nanti, hingga ia menghembuskan napas terakhirnya.

     Dari luar terdengar jelas alunan melody yang begitu merdu di telinga. Regi sejenak memejamkan mata saat langkah kakinya sudah membawanya di hadapan sebuah ruangan dengan pintu berwarna coklat tua.

     Ia berbicara dalam hati, "Ma, hari ini Regi benar-benar Kembali di hancurkan oleh seseorangseseorang yang dimana itu Ayah kandung Regi sendiri. Sebegitu bencinyakah Papa ssma Regi, Ma?"

     "Tolong jaga Regi dari sama, Ma."

     Kedua matanya kini terbuka, dengan penuh keyakinan tangan Regi mukai bergerak, memegang gagang pintu itu dan lekas membukanya.

•••

     "Papa."

     Semua mata tertuju padanya, dengan kedua alis mereka yang saling bertautan—begitu jelas terbaca jika beberapa orang yang kini tertangkap oleh kedua mata Regi, bertanya-tanya—siapakah dirinya? Dan kenapa bisa ia memanggil seorang direktur perusahaan ternama dengan sebutan Ayah?

     Adli dan Alan terkejut bukan main atas kehadirannya yang secara tiba-tiba. Kedua mata mereka membola. Suasana hangat yang tadi sempat menyelimuti mereka semua, kini seakan berubah. Suasananya sedikit mencekam.

     Salah satu dari mereka memicingkan mata, lalu menatap dirinya dan Adli secara bergantian.

     "Pak Adli, Anak ini siapa, ya? Pak Adli berkata jika Bapak hanya memiliki dua orang putra dan satu putri?"

     Adli yang mendengar hal itu terlihat begitu gugup dan was-was, begitu pula dengan Alan. Sedangkan Regi,.Anak itu di sana malah menampilkan wajahnya yang lengkap dengan senyan lebar.

     "Gak heran kalau Papa gak mengenalkan Regi sama teman Papa. Jelas, karena Regi hanya Anak angkat. Bukan begitu, Pa?"

     Semua mata berubah menatap ke arah mereka. Bahkan tak sedikit yang bergerombol dan membisikkan sesuatu. Dan itu tentunya membuat Adli malu.

     Reputasinya sebagai pebisnis berwibawa akan hancur jika mereka mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan aslinya. Dan bagaimana bentuk keluarganya.

     "Jadi Pak Adli berbohong?"

     "Bapak mengatakan jika hanya miliki dua putra. Dan Anak itu mengaku Anak Bapak, berarti Pak Adli memiliki tiga putra?"

     "Tolong bicara yang sejujurnya, Pak Adli."

     Kedua mata Adli mengedar, ia menatap beberapa koleganya dengan jantung yang terus berpacu kencang. Bahkan ia begitu gugup. Diam-diam Adli meremas tangannya erat hingga menimbulkan urat-urat.

     "Jawab itu pertanyaan teman, Papa. Regi ini Anak Papa atau Anak angkat Papa? Atau Anak buangan Papa?"

     "Re—

     "Kenapa, Bang? Lo mau nyembunyiin gua juga? Mau sampai kapan begini?" Regi menatap sang Kakak dengan rahang yang mengeras.

     Dan dari situlah semuanya bertambah rumit. Mereka yang mihat itu semakin berbisik-bisik ria. Sedangkan Adli semamin bungkam dan tak menjawab sepatah katapun.

     "Wah, masa iya Anaknya gak di anggap?"

     "Pak Adli yang ku kenal itu pebisnis yang hebat. Bahkan begitu santun di depan orang. Tapi kenapa semuanya begini?"

     "Parah sekali jika Anak itu tak di anggap."

     "Saya belum pernah menemukan orang tua yang seperti ini."

     Rahang Adli mengeras, ia sudah benar-benar malu. Semuanya hancur, reputasinya di hadapan para kolega bisnisnya sudah tercoreng.

     Kini, matanya beralih menatap Regi yang hanya diam sembari memasang wajah dengans senyuman. Ia meraih tangan Regi dan menariknya keluar.

     Dan semua yang di dalam ruangan itu terkejut bukan main.

     "Kemari kamu Anak sialan!"

•••

     "Pa! Papa mau ngapain Abang?!" teriak Aubrey saat melihat mobil sang Ayah datang lalu lelaki itu keluar dengan wajah yang sudah memerah menahan marah. Di belakangnya, Ada Regi yang di tarik paksa oleh Ayahnya.

     "Papa!" Aubrey terus meneriaki Ayahnya yang berusaha menarik Regi memasuki rumah.

     "DIAM KAMU AUBREY! ANAK INI HARUS PAPA KASIH PELAJARAN KARENA SUDAH MERUSAK REPUTASI PAPA!" Adli berteriak marah—meluapkan seluruh emosinya.

     "Ngak! Papa gak boleh apa-apain Abang!" Aubrey tetap bersi-teguh menghadang sang Ayah yang hendak membawa Regi ke lantai atas.

     "Dek—

     "BI BAWA AUBREY KE KAMARNYA! KUNCI PINTUNYA!"

     "Tap-tapi, Pak—

     "SEKARANG ATAU KAMU SAYA PECAT!"

     Wanita paruh baya itu lekas mengangguk dengan takut. Dengan terpaksa ia meraih tubuh Aubrey dan menariknya menuju kamar gadis itu, membuat Aubrey merontak dan terus berteriak.

     Dan hal itu jelas membuat hati wanita itu terenyuh. Ia sama sekali tak tega, tapi apa daya? Semuanya harus ia lakukan.

     "LEPAS! PAPA JANGAN SAKITI ABANG!"

     "ABANG!"

     "PAPA JANGAN, PA!"

     Di sana Regi hanya mampu melihat Adiknya yang di paksa memasuki kamar dengan lirikan matanya. Ia ikut sakit melihatnya, tapi ia juga tak bisa melawan Ayahnya.

     Dan mungkin ini memang sudah takdirnya.

     Takdir jika ia akan kembali terluka.

•••

     "Sini kamu Anak kurang ajar!"

     Regi hanya diam ketika sang Ayah terus menyeretnya lalu menghempaskan tubuhnya di atas dinginnya lantai. Sejak, Regi mantap kamar itu, kamar sang Ibu yang sudah lama tak di pakai. Juga kamar yang menjadi saksi bisu jika ia juga pernah di siksa Ayahnya dan di kurung di sini hingga berhari-hari lamanya.

     Regi tersenyum getir saat kenangan itu akan kembi terulang sekarang. Bahkan ia juga tak tahu berapa luka yang tubuhnya dapatkan selama ini.

     "Kamu—kamu apa-apaan, hah! Kamu membuat saya malu! Kamu membuat reputasi saya hancur!" Adli berteriak murka sembari jari telunjuknya yang mengarah padanya.

     Senyum Regi lagi-lagi terpatri, "Apa reputasi Papa lebih penting dari pada mengakui Regi sebagai Anak Papa? Apa papa malu punya Anak seperti Regi?"

     "Apa yang udah Regi perbuat sampai Papa harus malu mengakui Regi?"

     Adli meludah kesamping. Tatapan matanya semakin tajam ia tujukan pada Regi, lalu kedua kakinya kembali bergeram dan menghampiri Regi yang terduduk di atas lantai.

     Adli mendekatkan wajahnya pada Regi, meraoh rahang Anak itu dan mencengkeramnya erat. "Iya, reputasi Papa lebih penting dari pada kamu! Dan kamu tanya salah kamu apa?"

     Adli semakin mencengkeram rahang Anaknya.

     "SALAH KAMU KARENA KAMU SUDAH MEMBUNUH ISTRI SAYA! KAMU MEMBUAT ISTRI SAYA PERGI UNTUK SELAMA-LAMANYA! ITU SEMUA GARA-GARA KAMU ANAK SIALAN!"

     Alasan itu lagi yang keluar dari mulut Adli. Dan seharus tadi Regi tidak menanyakan hal serupa jika ia sendiri tahu jika jawaban itu yang akan keluar.

     Tanpa takut, Regi balik menatap sang Ayah tajam. "Itu semua bukan salah Regi! Regi juga gak mau Mama pergi! Kalaupun bisa waktu di lutar kembali, Regi yang bakal gantiin posisi Mama!"

     Adli malah tertawa di buatnya. Tangan lelaki itu sontak tak lagi mencengkeram rahang Regi. Ia menghempaskan wajah Anaknya begitu saja, sehingga membuat kepala Regi menoleh ke samping.

     "Kamu mau gantiin posisi Mama kamu? Itu yang kamu mau?" tanya Adli mantap.

     "Baik kalau begitu."

     Regi beringsut ke belakang saat melihat Adli meraih sebuah balok panjang dari sudut ruangan. Ia menelan ludahnya dalam. Ayahnya memang tidak pernah bermain atas ucapannya.

     Dan Regi tahu jika kini ia akan kembali terjatuh ke dalam lubang yang begitu dalam—lubang yang suatu saat bisa menyelenyapkannya.

     "Kali ini Papa gak main-main, Regi. Kamu sudah buat Papa murka!"

     Sebelum itu Regi menatap Ayahnya, "Kalau itu buat Papa bahagia dan puas. Regi gak bakal nolak, Pa."

     Adli lekas mengangkat balok panjang itu tinggi-tinggi. Regi pun muali memejamkan.

     Ma, apakah kali ini Regi bisa selamat dari Papa?

     Ma, maafin Regi. Jika saja dulu Regi tidak memaksa ikut dengan Mama—mungkin Mama masih di sini sama Regi.

     Memeluk Regi, membisikan kata-kata yang nyaman di telinga Regi.

     Mama tahu? Regi sayang banget sama Mama.

     BUGH!

     Regi berjengkit saat sebuah balok itu mengenai kakinya. Rasanya begitu sakit.

     "KAMU HARUS DI KASIH PELAJARAN! KARENA KAMU SEMUANYA HANCUR!"

     BUGH!

     Regi berjengkit lagi saat balok panjang itu berganti mengenai pahanya. Rasanya benar-benar sakit.

     "KENAPA KAMU KEMARIN TIDAK MATI SAJA, HAH?! SAYA MUAK DENGAN KAMU! MUAK!"

     BUGH!

     Regi mendongak saat samar-samar ia mendengar perkataan Aldi.

     "Jadi Papa yang udah nyuruh orang buat bunuh Regi?" Regi memberanikan diri untuk bertanya di sela ia menahan rasa sakit karena pukulan Ayahnya.

     "Iya! Kenapa?! Kaget!" Adli semakin murka. "Seharusnya kamu mati saja saat itu!"

     BUGH!

     BUGH!

     BUGH!

     "AKH!"

     Pukulan bertubi-tubi pada perutnya membuat Regi memekik keras. Ia buru-buru meremas perutnya dalam. Rasanya sungguh sakit sampai tubuhnya kini meringkuk di atas dinginnya lantai.

     "Ken-kenapa, Pa? Ken-kenapa pa-pa setega itu sam-sama, Regi?" Regi masih terus melontarkan pernyataan meski terputus-putus.

     "Kamu tanya kenapa?" Adli mendekati Regi. "KARENA KAMU PEMBAWA SIAL! KARENA KAMU PEMBUNUH ISTRI SAYA! MATI SAJA KAMU!"

     BUGH!

     "AKH!"

     BUGH!

     "AKH!"

     BUGH!

     "AKH!"

     Seperti seseorang kesetanan. Adli terus-menerus meluapkan emosianya, melayangkan balok panjang itu kesegala tubuh Regi, memukul Regi tanpa henti dan tanpa ampun. Hari nuraninya sebagai seorang Ayah entah kemana.

     Regi, Anak itu terus memekik kesakitan saat Ayahnya tanpa henti memukulnya. Semuanya terasa begitu sakit, sakit sekali—sampai-sampai ia tak mampu lagi bergerak—selain hanya meringkuk.

     Brak!

     Adli melempar balok itu ke sembarang tempat. Napasnya terengah-engah, keringat sebesar biji jangung pun nampak bercucuran, penampilannya juga terlihat berantakan.

     Adli beralih menghampiri kembali Regi yang sudah bergetar dan meringkuk tak jauh darinya. Tangannya yang bebas kembali bergrak, dan kali ini menyelipkan jari-jarinya di antara helaian rambut hitam Regi—lalu menariknya paksa.

     Wajah Regi yang penuh keringat, serta pucat terlihat jelas di mata Adli. Akan tetapi hal itu sama sekali tak membuat Adli iba atau sekedar memeluk Regi dan meminta maaf. Malahan, ia menampilkan senyuman sinis pada Regi.

     "Ini akibat kalau kamu melawan Papa dan membuat Papa marah Regi," tukasnya lalu lekas menghempaskan kepala Regi begitu saja.

     Adli mulai berdiri, matanya masih menatap Regi yang meringkuk di bawah sana. "Papa akan kurung kamu di sini. Dan jangan harap ada yang menolong kamu. Kali ini Papa gak akan biarkan kamu kabur lagi."

     Itulah perkataan Adli yang mampu Regi tangkap. Sebelum ia mendengar sebuah langkah kaki yang menjauh lalu di susul oleh debuman pintu yang di tutup dan terkunci dari luar.

     Di sana, Regi bergerak menyeret tubuhnya dan meringkuk di pojok ruangan. Regi memeluk tubuhnya sendiri.

     Hari ini adalah hari dimana ia kembali terluka, terluka karena Ayahnya sendiri.

     Tubuh Regi bergetar hebat dan rasa sakit itu terus menjalar.

     "Ma, Tubuh Regi sakit. Hati regi juga sakit."

    Entah sampai kapan Regi berada di dalam takdir menyakitkan ini. Mungkin sampai ia mati.

    

    


Jangan lupa untuk follow goresanlaraf
Tiktok : goresanlaraf

Continue Reading

You'll Also Like

709K 9.6K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
6.1K 657 63
Ambisius Pantang menyerah Pintar memanfaatkan kesempatan Bersahaja Baik hati Ceria "Gua mungkin kurang, tapi gua sadar kalo hidup perlu perjuangan, d...
18.7K 2.5K 200
Pada tahun ke-56 kalender Konoha, Akatsuki menambahkan dua anggota lagi, salah satunya bernama Uchiha Itachi dan yang lainnya bernama Uehara Naraku. ...
14.8K 2.9K 63
Ruang kebebasan yang diimpikan hanyalah mimpi, nyatanya Giwang dan Aldevan malah terjerumus pada masalah tak berdasar. Ralat, hanya Giwang. Melihat A...