SILHOUTTE: After A Minute [EN...

De lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... Mais

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

53: There'd be Pools Filled by Bloods

1.7K 291 57
De lnfn21

CHAPTER 53
There'd be Pools Filled by Bloods

[Playlist: Gaemi, Lee Geun Young - Misty]

***

Keremangan sebuah bar mewah tak jauh dari pusat kota menemani segelintir pelanggan, dua hari silam. Alunan musik blues mengalun sayup-sayup tak lebih keras dari suara es batu yang dikikis oleh Lee Taeyong, bartender muda nan teramat piawai meracik cocktail.

"Malam itu, aku mabuk dan tidak sengaja mengirimkannya."

Mata tajam Taeyong kadang kala menengok dua orang pria seberang meja kerjanya juga mendengarkan dengan cukup seksama apa yang mereka perbincangkan.

"Jangan salahkan aku! Itu karena kamu yang tak kunjung pergi, terus saja menunda-nunda."

Taeyong selesai menabur bubuk penghantar tidur di salah satu gelas cocktail berhias buah ceri di atas, ia hidangkan itu teruntuk Johnny, sedangkan gelas yang lain untuk Jeffrey. Kedipan mata Taeyong menyapa Jeffrey beberapa detik saat mereka bersipandang. Seolah dengan itu, Taeyong mengisyarakatkan bilamana misi telah terselesaikan.

"Itu bahkan belum genap dua minggu. Tidak bisakah kau sedikit bersabar?"

Jeffrey menanggapi Johnny yang baru saja menyatakan pembelaan. Pria itu ialah oknum yang mengirimkan video rekaman kamera blackbox yang menampilkan Jeffrey sebagi tersangka pembunuh Jaehyun kepada Rosé dini hari tadi. Padahal, dua belas hari yang lalu, pertemuan di antara Jeffrey dan Johnny telah menghasilkan sebuah kesepakatan. Jeffrey meminta waktu dua minggu untuk ia benar-benar pergi meninggalkan Seoul, perusahaan, dan Rosé tentu saja. Dan, selama itu, mereka tak diperkenankan saling mengusik.

Meneguk pelan cocktail yang mengisi gelas dalam genggaman, Johnny mengumbar senyum tipis. "Baik sekarang maupun nanti, Rosé tetap akan tahu bahwa kamu adalah penyebab kecelakaan Jaehyun. Lagipula, melihatmu ada di sini dengan anggota tubuh yang masih lengkap membuatku yakin bahwa Rosé tidak bereaksi berlebihan saat menerima video itu. Dia tidak berusaha melukai atau bahkan membunuhmu, bukan?"

Untuk pertanyaan tersebut, Jeffrey tak berkomentar sama sekali. Sebab Jeffrey yakin, akan menjadi cerita menyenangkan bagi Johnny mendengar Rosé yang membawakan ia sebilah pisau. Membisu di tempat, Jeffrey rapat-rapat menggenggam gelas kaca guna menyembunyikan luka menganga di balik telapak tangannya.

"Lusa, kamu harus sudah angkat kaki dari negeri ini."

Barangkali, Jeffrey lupa, Johnny bermaksud kembali mengingatkan jikalau waktu untuk pria itu bersenang-senang dengan perempuan tercintanya telah habis. Tidak akan ada pernikahan, sebagaimana yang Johnny harapkan.

Helaan napas menguar dari mulut Jeffrey. "Hapus video rekaman itu, saat aku benar-benar pergi," pintanya yang segera disambut tawa kecil Johnny.

"Bagaimana kalau kamu datang ke tempatku, dan menghapus sendiri videonya? Eum, aku mungkin saja lupa karena terlalu sibuk mempersiapkan diri menggantikanmu sebagai pimpinan."

Netra pekat Jeffrey menghunus Johnny dengan ketajaman yang sayangnya tak sedikitpun membuat pria yang ia tatap menciut. Johnny justru kembali menyajikan pertanyaan yang semakin membuat Jeffrey tersudut.

"Memangnya kamu tidak menjemput temanmu yang sudah jadi abu?" Ponsel bertampilan layar tulang belulang remuk redam ditunjukkan Johnny ke depan muka Jeffrey. "Atau, haruskah anak buahku melarungkannya di sembarang tempat?"

Genggaman Jeffrey mengerat terhadap gelas berisi cocktail utuh tak tersentuh tenggorokan barang satu mili. Perih akibat luka yang mencumbu dinginnya benda kaca tak membuat Jeffrey merintih-rintih. Itu jelas tak seberapa jika dibandingkan perih yang Lucas derita ketika Johnny menyeret dan menghanguskannya hidup-hidup.

Kobaran api kebencian membara di kedua mata Jeffrey yang tiada habis menatap Johnny. Cocktail dengan santai direguk hingga tetes terakhir lalu Johnny memanggil Taeyong untuk kembali mengisi gelasnya. Pun, dengan kesantaian yang tak lekang dari wajahnya yang terbilang rupawan, Johnny menyapa tatapan Jeffrey dengan sorot penuh kemenangan.

"Besok malam, sebelum pukul dua belas, datang ke tempatku dan hapus sendiri video kelakuan jahanam-mu. Terlambat sedetik saja, aku tidak bisa menjamin kamu akan pergi dengan selamat."

Gelas Johnny telah kembali terisi. Seperti orang yang didera lamtur, Johnny tertawa memainkan ujung jari telunjuknya di atas bibir gelas kemudian bibirnya sendiri merapat pada Jeffrey dan berbisik,

"Bisa bayangkan jika video itu tersebar? Orang-orang pasti akan sibuk memburumu, bahkan sekalipun kamu berlari ke ujung dunia, kamu akan tetap tertangkap. Lalu, menurutmu, apa hukuman yang pantas untuk penjahat berdarah dingin yang telah merenggut nyawa banyak manusia? Penjara dua puluh tahun? Tiga puluh tahun? Atau ... seumur hidup? Atau mungkin juga ... hukuman mati?"

Gelak tawa Johnny kian berdengung di telinga Jeffrey, menyajikan sekelumit keresahan di jiwa pria itu manakala turut menerka akan seperti apa nanti semesta mengarak nasib untuknya. Akankah ia harus kembali menemui derita-karibnya nyaris sepanjang usia? Ataukah semesta sudi menghantarkannya kepada secercah bahagia? Entahlah, tiada yang tahu bagaimana kekuatan Tuhan akan bekerja.

Namun, ketimbang semua, Jeffrey lebih merisaukan Rosé saat nanti ia tak lagi berada di samping perempuan itu. Akankah Rosé baik-baik saja tanpa dirinya? Akankah perempuan itu merengkuh bahagia, atau justru derita sebagaimana sedia kala? Entahlah. Itu juga adalah bagian dari rahasia Tuhan. Jeffrey hanya bisa memanjatkan doa untuk kebaikan Rosé ke depannya. Konon, orang bilang, doa bisa merubah nasib.

"Bum! Bum!"

Johnny membentuk tangannya seperti pistol, ia arahkan pada Jeffrey yang seketika kembali menaruh atensi pada pria itu. "Bagaimana? Masih ingin bertahan di sini lebih lama?"

Sekian waktu membisu, Jeffrey pada akhirnya mereguk minuman sebelum menyuarakan sebuah putusan.

"Aku akan datang. Siapkan abu Lucas dalam wadah terbaik yang kamu punya!"

Jeffrey tak memiliki banyak pilihan. Jika diibaratkan tengah berlari dari kejaran musuh, Jeffrey telah berada di ujung jalan tanpa cabang, sudah begitu, buntu pula. Ia tak bisa ke mana-mana. Ia mesti mengabulkan segala pinta tanpa mencari-cari perkara.

Denting gelas kaca beradu menimbulkan suara nyaring selama satu detik. Johnny baru saja menyulang gelas Jeffrey tanpa aba-aba. Semakin menguap kesadaran Johnny akibat pengaruh kadar alkohol tinggi dan serbuk yang Taeyong bubuhkan pada minuman pria itu.

"Kamu! Berlarilah, selagi aku berbaik hati memberimu kesempatan," racaunya yang tak banyak ditanggapi oleh Jeffrey.

Masa di mana Johnny tak lagi membuat tingkah adalah masa yang Jeffrey tunggu. Dibantu oleh Taeyong, ia meringkus tubuh nihil kesadaran Johnny ke dalam sebuah mobil. Itu merupakan mobil pribadi Johnny, dan pria paruh baya yang bekerja sebagai sopir Johnny segera menancap gas tanpa banyak bicara meski Jeffrey dan Taeyong turut serta masuk di dalamnya.

Melewati gerbang dengan penjagaan ketat, mobil diloloskan tanpa pemeriksaan. Barangkali para pekerja sudah sangat hapal mobil mewah milik sang tuan sehingga dari kejauhan gerbang telah siaga dibuka.

Taeyong mengambil peran mendatangi seorang pemuda di ruang pengendali kamera pengawas untuk menawarkan secangkir kopi, memperkenalkan diri sebagai anak buah baru Johnny, lalu mereka berbincang banyak perihal anime dan berakhir menonton salah satu serial hingga si pemuda terlelap nyenyak akibat obat. Itu adalah tak-tik gubahan Jeffrey yang sempat mencari tahu informasi para bawahan Johnny kemudian menemukan data tentang Renjun sebagai operator CCTV yang hobinya menonton Anime.

Kode aman diterima oleh Jeffrey yang sedari tadi menunggu di kamar milik Johnny dengan sang pemilik terbaring tak sadarkan diri. Ponsel dioperasikan. Ia tengah mendeteksi keberadaan ponsel Lucas yang sebelumnya diketahui berada di area kediaman Johnny. Mengarungi beberapa sudut hunian, Jeffrey tiba di sebuah ruang bernuansa merah temaram, ruang kerja Johnny.

Sebuah berangkas di sudut mengharuskan Jeffrey memapah kembali tubuh Johnny ke sana untuk bisa membukanya dengan sidik jari pria itu. Peluh membanjiri pelipis dan napas Jeffrey berhembus terengah. Jeffrey menemukan ponsel Lucas di sana yang segera ia pasang aplikasi penyadap. Sempat pula ada niat untuk menghapus video rekaman dirinya di ponsel milik Lucas itu, tetapi urung sebab Jeffrey enggan menimbulkan kecurigaan saat Johnny terbangun nanti.

Misi dirampungkan Taeyong dengan menghapus rekaman CCTV yang menampilkan sudut-sudut di mana Jeffrey beraksi. Amplop berisi uang pesangon dengan jumlah tak sedikit diberikan Jeffrey kepada supir pribadi Johnny dan juga Taeyong yang banyak berjasa, tentu saja.

Sepulangnya Jeffrey ke rumah milik Rosé dan disambut dengan kesenyapan tiap ruang, pria itu segera berkutat dengan komputer di ruang kerja Jaehyun selama berjam-jam lamanya. Ia menyadap ponsel Lucas, memeriksa daftar riwayat pesan dan menemukan kontak mencurigakan bernama Leo's Father. Jeffrey ingat, Leo adalah nama ikan arwana yang Johnny beli dari Lucas sebagai upaya pencucian uang perusahaan.

Riwayat pesan kosong. Jeffrey menggusak rambutnya kasar. Butuh waktu lama untuk memulihkan isi pesan di antara Lucas dan Johnny tetapi Jeffrey tetap mencoba dengan berbekal keterampilan yang ia punya selama pelatihan menjadi anggota kelompok gangster besar di Italia. Dan, kita semua harus mengakui bahwa keterampilan Jeffrey cukup mumpuni.

Tangkapan layar riwayat pesan dua tahun lalu berisi mandat Johnny teruntuk Lucas agar mengawasi salah satu pasangan bulan madu di Venesia dengan potret terlampir dan juga perintah agar mencelakai Ferrari berwarna gading, Jeffrey berhasil mengabadikan itu.

Benar, sebelumnya Jeffrey bercerita pada Lucas ia butuh uang untuk membayar biaya praktikum Mark yang berkuliah di jurusan kedokteran. Mungkin itu yang menyebabkan Lucas melimpahkan pekerjaan mencelakai mobil sewaan Jaehyun padanya di kemudian hari. Sungguh, skenario yang amat sangat apik.

Perlu diketahui pula, Lucas adalah orang yang dipercayai bos gangster mereka untuk mengelola data klien dan mendistribusikannya pada para anggota. Maka, tak tanggung-tanggung, Jeffrey memasuki pangkalan data di akun kerja milik Lucas dan mendapati informasi tentang Johnny dengan nama samara Leo's Father, tergabung sebagai klien sejak bertahun-tahun silam. Riwayat pemesanan jasa tertuliskan membeli sejumlah organ manusia.

Nama Dokter Zhang diseret Jeffrey pula. Jeffrey membuka kembali data ponsel Johnny yang dulu pernah ia sadap dan masih ia simpan rapi. Rekaman percakapan tentang penjualan organ kepada beberapa pasien yang membutuhkan berhasil Jeffrey dapatkan.

Semua data dirangkum Jeffrey ke dalam diska lepas yang didalamnya telah terisi pula informasi tindak pencucian uang perusahaan yang Johnny lakukan. Jeffrey tak bisa memastikan pidana apa yang akan Johnny terima, ia berharap atas seluruh kejahatan, hukuman mati bisa dijatuhkan pada Johnny.

Pukul dua dini hari, Jeffrey menghuni studio lukis di ujung taman belakang. Duduk ia ditemani sebatang rokok, sekaleng soda, buku sketsa berukuran A5 dan juga pensil dalam genggamannya. Sketsa bunga Cistus tergambar abstak lantaran ia menggunakan tangan kiri selama membuat itu. Tak jauh lebih baik dari lukisan-lukisan cantik milik Rosé yang terpajang di sana-sini.

Bukan masalah, Jeffrey hanya sekedar ingin mengungkapkan isi kepala. Ini tentang kekhawatirannya menghadapi malam yang akan datang. Jelas terlintas di pikiran Jeffrey bilamana ketika ia datang ke kediaman Johnny nanti, ia tak akan bisa keluar hidup-hidup. Maka, dituliskan Jeffrey sebuah makna bunga Cistus yang pernah ia baca dari tulisan di laman sederhana buatan Mark.

Esok, aku akan mati.

Pukul tiga dini hari, Jeffrey memutuskan untuk menemui sofa ruang tengah demi mengistirahatkan badan. Ia memang sempat dihampiri mimpi buruk perihal hari esok, dan ia merasakan kehangatan datang dari sehelai selimut, pun ketenangan datang dari sentuhan yang berlabuh pada pelipis berkeringat. Keduanya itu Jeffrey sadari adalah ulah Rosé ketika aroma mawar menusuk penciuman.

Mencuri kesempatan, Jeffrey menggenggam tangan Rosé sembari tetap memejam. Setelahnya, ia rasakan sentuhan teramat lembut kembali bertandang pada ujung-ujung rambutnya dan perempuan itu memecah hening dengan suara lirih,

"Jangan mati!"

Cukup memantik keterkejutan. Sedari sana, Jeffrey mengasumsikan bahwa Rosé tidaklah terlalu menabur kebencian atas perbuatannya membunuh Jaehyun. Keyakinan Jeffrey semakin mengakar ketika pagi itu ia kembali diberi sejumlah perhatian: dibantu berpakaian juga dibantu menyantap sarapan yang mana kedua hal tersebut sukar Jeffrey lakukan mengingat luka di tangan masih menganga tak sempat diberi pengobatan, dan Rosé-lah yang pada akhirnya membantu Jeffrey mengobati.

Perban yang melilit tangan menjadi objek tatap Jeffrey sekian waktu sepanjang mendiami ruangan pimpinan seorang diri. Kedatangan Kim Mingyu lantas menyita atensi Jeffrey. Segera ia sodorkan diska lepas yang semalam telah diisi dengan sejumlah informasi tentang Johnny.

Paham betul situasi yang Jeffrey hadapi, Mingyu pun bergegas pergi menemui Alice sesuai permintaan Jeffrey. Pertemuan diadakan di sebuah restoran ramai pelanggan. Mingyu tak banyak bicara. Hanya menyuruh Alice segera memeriksanya. Ia pikir semua data di dalam sana akan sangat mampu membuat Alice mengerti tentang betapa bejat kekasihnya selama ini.

Berita pengunduran diri Jeffrey sebagai pimpinan dengan alibi akan menjalani pemulihan bagi kesehatannya yang cukup terganggu telah tersiarkan ke seluruh penjuru perusahaan. Banyak komentar orang berseru menyayangkan. Barang-barang milik Jung Jaehyun seperti papan nama bertinta emas, dan lain-lain, dan lain-lain telah ditata rapi ke dalam kardus yang dibawa Mingyu sepanjang mengikuti Jeffrey keluar dari gedung perusahaan.

Alice memandang kepergian sebuah mobil yang dihuni Jeffrey juga Mingyu dalam diam sebelum pandangan muaknya terlimpah pada Johnny yang tersenyum mengibarkan bendera kemenangan setengah tiang.

Meraba pundak Alice, Johnny berujar penuh percaya diri, "Bukankah ini waktunya untuk berdiskusi, Sayang? Perusahaan tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa pimpinan."

Tiada apa pun yang Alice berikan pada Johnny sebagai tanggapan kecuali tatapan diselubungi kebencian.

***

"Kau benar-benar akan pergi?"

Di dalam sebuah Maserati yang melaju di antara lengang jalanan pukul tiga siang, Mingyu melempar satu pertanyaan teruntuk Jeffrey yang duduk tenang di kursi penumpang. Sepintas Jeffrey menatap bahu Mingyu lalu ia hanya sebatas berujar pelan, "Jangan berani-berani merindukanku, nanti."

Jawaban nyeleneh Jeffrey telah cukup menyingkirkan rasa keingintahuan Mingyu. Itu tidaklah lucu, meski ada kelakar yang tersemat secara implisit. Senyap mengisi jeda sekian lama, sampai suatu ketika Mingyu menyingkirkan setitik gengsi guna mengajukan suatu tawaran, "Mau makan seafood bersama?"

Mingyu tahu, Jeffrey hari ini melewatkan jam makan siang untuk mengurus beberapa perkara perusahaan sebelum mengumumkan pengunduran diri. Mingyu juga tahu perihal Jeffrey yang konon katanya menyukai seafood. Itu Mingyu ketahui berdasarkan cerita yang ia dengar dari Rosé. Mempertimbangkan kedua hal tersebut, Mingyu harap, tiada penolakan yang lahir dari lisan Jeffrey, atau ia akan merasa amat terhina.

"Kau punya rekomendasi tempat?"

Syukurlah, Jeffrey bertanya demikian yang mana berarti pria itu menyatakan keikursertaan. Maka, Mingyu membawanya ke sebuah restoran seafood terkenal yang berlokasi di dekat area pantai. Suara ombak beradu dengan karang terdengar hingga meja tempat keduanya menyantap menu andalan dilengkapi sebotol soju.

"Saat aku telah pergi nanti, jangan lupa untuk benar-benar mengurus Johnny dan juga ... Rosé."

Demikian pesan Jeffrey di sela-sela kebisingan pengunjung. Helaan napas menguak dari mulut Mingyu sebelum pria itu meneguk segelas soju. Pandangan Mingyu berlabuh pada sosok Jeffrey yang makan sedemikian lahapnya.

"Apakah aku sungguh-sungguh tidak boleh merindukanmu?" Satu pertanyaan Mingyu membuat Jeffrey berhenti menelan makanan. Ia mendongak, menautkan alis.

"Aku mungkin akan merindukanmu. Jadi, sesekali berkunjunglah kemari. Ini restoran seafood ter-enak di dunia, asal kamu tahu saja."

Gelak tawa Jeffrey menguar pelan. Ekspresi berhias kaku yang Mingyu tampilkan saat bicara begitu ternampak lucu untuk beberapa alasan bodoh. Mereka bahkan tak cukup akrab untuk saling merindukan, meski banyak perkara pekerjaan membuat keduanya terkadang harus kompak satu haluan.

"Aku tidak janji. Kau tahu sendiri, aku ini pembangkang hebat," ujar Jeffrey kala itu. Diantarkannya ia pulang oleh Mingyu sebelum petang menerkam.

Panggilan masuk dari Johnny mewanti-wanti Jeffrey untuk benar-benar datang malam ini atau kekacauan besar akan terjadi.

"Aku akan datang malam ini, jangan khawatir! Aku tidak akan mengulur waktu lagi." Begitu jawab Jeffrey berupaya menyematkan nada pasti.

Malam hari tiba, Jeffrey telah bersiap dengan pakaian serba hitam melekat. Kaos, celana jeans, jaket kulit, dan topi. Seperti itu, Jeffrey beranjak meninggalkan ruang bernuansa gading tempat seorang perempuan berbaring dalam lelap, Jeffrey kira. Namun, perkiraan Jeffrey salah. Ia dibuat terkesiap dengan sebuah tangan yang menahan lengannya manakala ia hendak mencapai pintu utama rumah.

"Kamu mau pergi menemui Johnny?"

Ada keresahan yang terlukis kentara di balik bola mata Rosé kala Jeffrey memandangnya.

"Tidak bisakah kau menemuinya lain kali saja?"

Sempat membuat Jeffrey goyah, tetapi pria itu tetap pada pendirian dengan berkata, "Aku harus membereskan urusan kami sekarang juga, atau dia akan membuat semuanya semakin kacau."

Jemari kecil Rosé hendak Jeffrey singkirkan, tetapi perempuan itu justru memasang keseluruhan jemarinya pada lengan Jeffrey sembari menggeleng enggan ditinggalkan. Dan, Jeffrey dengan berat hati berupaya membebaskan lengannya lalu melangkah pergi. Sempat beberapa kali seruan Rosé di belakang sana menghadang. Ia berkata di luar sana hujan deras, dan Jeffrey bisa saja terserang demam. Ia juga mengutarakan ketakutannya terhadap petir yang menyambar-nyambar.

Namun, Jeffrey tiada menghiraukan, bahkan ketika telinga pria itu digaungkan oleh sebuah tawaran bercinta, gagang pintu tetap ditariknya lalu ia tak mendengar apa pun lagi kecuali deru suara hujan beserta sekawanan guntur dan degungan serangga.

Di situ, Jeffrey mulai meragu untuk sungguh-sungguh berjibaku dengan dingin dan gelap yang disajikan alam alih-alih menjemput kehangatan yang ditawarkan oleh seorang perempuan.

Lima menit, Jeffrey butuh lima menit untuk berdiskusi dengan seisi pikiran. Tersisa satu jam lagi sebelum jarum pendek dan panjang menunjuk pukul dua belas malam. Jeffrey tergulung bimbang. Meskipun ia telah sempat menjadwalkan penghapusan otomatis video rekaman perbuatannya pada ponsel Lucas yang ada di tangan Johnny tepat pukul dua belas malam nanti, Jeffrey tak yakin utuh jika Johnny tak lagi memiliki salinan video tersebut.

Mencoba meyakinkan diri dengan menaruh harapan di atas doa-doa yang dilangitkan, Jeffrey berujung kembali menggapai gagang pintu dan menemui Rosé yang berjongkok letih di baliknya. Jeffrey membawa tubuh ramping perempuan itu dalam gendongan untuk kemudian menjemput kehangatan yang sempat ditawarkan.

Bercinta dengan Rosé selalu menjadi keinginan Jeffrey sebab sensasi pada momen itu tidaklah bisa Jeffrey dapatkan di lain tempat, lain waktu, dan di lain perempuan tentunya. Hanya sentuhan-sentuhan Rosé-lah yang akan membuatnya menggila, dan setelah yang terakhir ini, mungkin Jeffrey akan merindukan kegilaan itu setiap waktu.

Pukul dua belas malam telah terlewati. Jeffrey masih asyik tenggelam dalam dekapan dua lengan halus perempuan yang kelewat nyaman dan sayang untuk ditinggalkan. Diabaikannya kemungkinan atas sebuah kekacauan yang Johnny janjikan. Hingga fajar datang dan berita mengenai dirinya yang diklaim sebagai Pimpinan Jung palsu, pembunuh Jung Jaehyun, buronan percobaan pembunuhan, serta stigma buruk lain disiarkan di berbagai kanal media.

Televisi besar di ruang tengah turut menayangkan. Jeffrey bersikap sedemikian tenang kendati Rosé tampil dengan tatanan wajah diliputi kerisauan.

"Jaga diri baik-baik. Ingat! Saat aku kembali nanti, kamu harus membunuhku!"

Demikian Jeffrey berujar lembut kepada perempuan yang baru saja memasangkan arloji di tangan kirinya. Perintah untuk berhati-hati diberikan. Jeffrey menanggapi dengan usapan pelan di puncak kepala Rosé sebelum beranjak memasang punggung dan berjalan menuju motor yang terpakir di pelataran.

"Kamu harus kembali dengan selamat. Kamu sudah berjanji padaku."

Seruan Rosé menghadirkan sesak luar biasa di dada Jeffrey. Terlebih ketika perempuan di belakang sana berkata dengan nada bergetar, "Jangan mati! Aku harus membunuhmu."

Jeffrey hanya sebatas menoleh dan tersenyum. Ia tahu, kematiannya tak pernah menjadi dambaan perempuan itu. Rosé hanya ingin Jeffrey berjanji untuk pulang dalam keadaan selamat, tetapi Jeffrey sendiri tak yakin bisa menepati itu.

Berkendara di kala langit masih berselimut pekat ditemani bongkahan ketakutan, Jeffrey meloloskan tangis di balik helm yang ia kenakan, tanpa satu manusia di muka bumi ini tahu.

Yang ia yakini saat ini adalah-

-Johnny tak akan melepaskannya begitu saja setelah ia terdeteksi mencari gara-gara.

***

Tepat semenit setelah kepergian Jeffrey, Rosé turun ke jalanan guna mencegat sebuah taksi. Ia meninggalkan kawasan hunian di kala mobil para wartawan beriringan datang untuk mencari-cari keterangan. Terdengar pula di telinga Rosé, gaung sirine mobil petugas kepolisian. Perempuan itu hanya sanggup diam menggigit jari sepanjang duduk di dalam taksi.

Moon Tech
Melayani segala keperluan Anda yang gagap teknologi

Tirai baja sebuah kios yang masih tertutup rapat digedor oleh Rosé beberapa kali. Itu adalah tempat dahulu ia pernah memasang alat pelacak di balik arloji sliver yang pagi tadi ia pasangkan pada lengan kiri Jeffrey. Seorang pria setengah mengantuk muncul di balik tirai yang telah dibuka, tetapi ia lain dari pemilik kios yang Rosé temui dulu.

"Maaf. Apakah Tuan Moon Taeil ada di dalam?"

Sejenak mengamati lekat Rosé, pria itu pada akhirnya berseru memanggil, "Hyung! Ada seseorang mencarimu."

Sebab ponselnya sempat rusak, Rosé bermaksud kembali meminta Taeil memasang aplikasi pelacak di ponselnya yang terhubung dengan alat pada arloji Jeffrey.

"Kau mau mematai-matai suamimu lagi?" Pertanyaan Taeil tak dijawab Rosé sebab perempuan itu merasakan atensi pria yang tengah menyeduh kopi di ujung sana tertuang padanya. Rosé tak ingin sembarangan memberi informasi.

Aplikasi selesai dipasang. Rosé kembali ke jalanan dan memantau titik di mana Jeffrey berada sembari mencari-cari taksi kosong. Namun, ketahuilah, kawasan ini jarang dilewati taksi, apalagi di waktu sebegini pagi. Kalau saja taksi yang Rosé tumpangi sebelumnya tidak bergegas mengantar pasien hendak melahirkan, maka Rosé tentu akan meminta sang sopir menunggu. Kini, ia hanya bisa menanti tanpa kepastian.

Sampai suatu ketika, sebuah mobil berhenti di sampingnya. Wajah tak asing menyapa di balik jendela yang diturunkan.

"Hei Nona! Kelihatannya kau sedang terburu-buru, mau menumpang di mobilku?"

Tak punya banyak waktu untuk menimbang putusan, Rosé pada akhirnya menghuni kursi penumpang di belakang dengan sedikit menaruh kewaspadaan. Sebuah seragam berwarna hitam yang teronggok di sebelah Rose menyematkan tag nama bertuliskan Lee Taeyong-Sweet Bar.

Ternyata pria itu adalah seorang bartender di bar yang kerap Jeffrey kunjungi. Rosé tahu sebab ia kerap menemukan bill pembayaran bertanda tempat tersebut di jas maupun kemeja yang Jeffrey kenakan sebelum mencucinya.

"Anda tahu tempat ini?"

Ragu-ragu bertanya, Rosé menunjukkan layar ponselnya yang mana segera diangguki Taeyong. Ia masih ingat jelas, itu adalah titik di mana kediaman laki-laki bernama Johnny bertempat. Tanpa menghiraukan Rosé yang kadangkala memberikan instruksi, kadang pula berkeluh kesah karena jaringan menghilang, Taeyong mengemudi dengan tenang.

Hingga sampailah mereka di kawasan rumah elit terpencil di tengah-tengah hutan. Gerbang dijaga ketat oleh para penjaga. Rosé di belakang sana telah lebih dulu dirundung cemas hingga tak ada yang bisa ia keluarkan dari mulutnya saat seorang pria berbadan proporsional bertanya-tanya pasal keperluan.

"Ah, begini Tuan ...."

Rosé terkesiap begitu Taeyong bersuara. Tak sampai menjelaskan apa-apa, sebab Taeyong yang mengisyaratkan sang penjaga untuk mendekat padanya tanpa aba-aba membuka pintu mobil lalu menghantam badan sosok yang kini mengerang. Taeyong mengambil cairan pembunuh serangga yang ia bawa untuk kemudian disemprotkannya ke mata dua orang penjaga pintu gerbang.

Dengan mengerahkan seluruh kemampuan bela dirinya, Taeyong berhasil melumpuhkan mereka. Sesuai instruksi Taeyong, Rosé berperan mengambil tali dan lakban dari bagasi yang kemudian digunakan Taeyong untuk mengikat tangan dan kaki para penjaga serta menutup mulut mereka.

Tak lupa, Taeyong mengambil alih dua pistol, satu untuknya dan satu lagi ia serahkan pada Rosé.

"Bisa memakainya, bukan?" tanya Taeyong yang lantas diangguki Rosé cepat. Senjata itu, ia masukkan ke dalam tas selempang miliknya. Mereka berjalan mengendep-endap agar tidak tertangkap mata elang para penjaga rumah Johnny yang tersebar di berbagai titik.

"Aku akan naik dan memancing keributan, kamu cepatlah masuk ke dalam rumah!"

Demikian titah Taeyong saat mereka bersembunyi di balik tanggul tak terlalu tinggi. Sempat Rosé bertanya mengapa pria itu mau membantunya, Taeyong tak memberikan jawaban apa pun. Pria itu hanya mengingat para rentenir yang kini berhenti mengusik hidupnya setelah ia melunasi semua hutang berkat uang yang diberikan Jeffrey. Menjelaskan kepada Rosé yang Taeyong ketahui kini sebagai istri Jeffrey setelah mendengar perbincangan Taeil dengan perempuan itu hanya akan memakan banyak waktu.

Maka, buru-buru Taeyong mengeksekusi rencana. Ia muncul dan memukuli beberapa petugas hingga petugas yang lain berbondong-bondong mengepungnya termasuk yang berjaga di pintu utama. Meski sempat khawatir akan keselamatan Taeyong, Rosé pada akhirnya memanfaatkan kesempatan itu untuk masuk diam-diam ke dalam hunian milik Johnny.

Sebuah dinding kaca membatasi antara dirinya dan ruang tempat Jeffrey menjadi bahan perundungan empat orang laki-laki bawahan Johnny.

"Kau mau abu ini? Ambil saja!"

Kantung plastik hitam terikat yang katanya berisi abu dilemparkan salah satu laki-laki kepada temannya yang sigap menangkap. Jeffrey berupaya untuk menangkap pula tetapi seseorang yang lain mendorong tubuhnya hingga tersungkur, lalu diinjak keras dan erangan terdengar. Lagi, kantung tersebut ditendang ke sana kemari menghindarkannya dari jangkauan Jeffrey, dan ketika Jeffrey berhasil menangkap, maka para laki-laki itu akan memberikan pukulan maut mereka satu per satu.

Rosé di sudut sana hanya bisa menutup mulut menahan keterkejutan dan kekhawatiran manakala melihat Jeffrey menderita banyak luka lebam di wajah dan barangkali tulang-tulangnya juga patah. Entah sudah berapa lama, Jeffrey diperlakukan demikian. Yang jelas pria itu seolah sudah tak lagi memiliki daya yang cukup untuk melawan hingga hanya bisa pasrah menerima setiap hantaman yang diberikan.

"Tontonan yang menarik, bukan?"

Suara berat seseorang membisik di telinga Rosé. Terkesiap kaget, kedua mata Rosé membulat sempurna menemukan Johnny berdiri di dekatnya menorehkan senyuman miring. Berjalan menjauh, Rosé meraba-raba isi tas miliknya dan mengeluarkan pistol yang Taeyong bekalkan.

"Lepaskan pria itu sekarang, atau aku akan membunuhmu!" ujar Rosé sedemikian tegas. Johnny mengangkat kedua tangan ke udara, tetapi ketakutan tak nampak menghias wajahnya. Justru pria itu melangkah mendekati Rosé dan memasang dahi di mulut pistol yang Rosé todongkan.

"Tembak! Bunuh aku, cepat!"

Gemetaran jemari Rosé menggenggam. Sungguh, tak sekalipun seumur hidupnya berpengalaman menarik pelatuk pistol. Dan, kini ia mau tak mau harus melakukan itu untuk menyelamatkan diri sendiri dan juga Jeffrey di sana. Mencoba mengumpulkan keberanian, jemari Rosé sungguh-sungguh menarik pelatuk tetapi Johnny beserta kepalanya nampak baik-baik saja setelah beberapa detik.

Tak ada ledakan. Pistol itu tak berpeluru. Rosé mulai dirundung panik dan refleks menjatuhkannya. Mungkin hal serupa juga dialami Taeyong di luar sana. Di tengah-tengah kepanikan melanda, Johnny mengisyaratkan para pesuruh untuk menyeret Rosé ke hadapan Jeffrey yang masih dikepung banyak orang.

Memperjelas pandangan samar-samar, Jeffrey tertegun ketika matanya yang terasa perih karena luka menggores kelopak kini menyatu dengan sepasang netra berselimut air mata.

"Rosé."

Lirih, bibir robek Jeffrey melantunkan satu nama. Tanda tanya besar bagi Jeffrey mengapa Rosé bisa dalam tangkapan anak buah Johnny. Namun, itu tidaklah lebih penting ketimbang menyelematkan Rosé sekarang dari jangkauan Johnny yang kelewat tidak manusiawi.

"Lepaskan dia, Brengsek!"

Tangan-tangan manusia yang mencekalnya berupaya Jeffrey singkirkan tetapi naas, tenaganya tak cukup mampu hingga ia berujung didudukan di atas sebuah kursi lalu dibuat mati pergerakan oleh ikatan-ikatan kencang di tangan dan kaki.

"Hei, Sialan! Kalau kalian melukainya sedikit saja, maka aku bersumpah akan membunuh kalian semua!"

Jeffrey berteriak lantang, sama sekali tak berguna karena Johnny hanya mengumbar tawa lalu menghadiahi pria itu dengan pukulan keras hingga darah keluar dari lubang hidung. Isyarat Johnny kepada anak buahnya untuk menutup mulut Jeffrey dengan plester hitam segera dilaksanakan.

"Kumohon! Hentikan! Kau boleh mengambil semua milikku, tapi tolong lepaskan pria itu."

Rosé dalam cengkraman dua tangan anak buah Johnny merintih-rintih. Tiada iba mendiami pandangan Johnny. Isyarat kembali dibuat. Hal mengejutkan lainnya bagi Jeffrey adalah keberadaan supir pribadi Johnny, padahal lelaki paruh baya itu telah berjanji untuk mengundurkan diri setelah bayaran diterima.

Jeffrey menyadari bau-bau pengkhianatan di sini. Lelaki itu kembali mengabdi pada Johnny dan kemungkinan besar membeberkan seluruh perbuatan Jeffrey tempo malam.

"Anda masuk ke dalam daftar pencarian polisi!"

Demikian informasi diberikan oleh supir sekaligus asisten pribadi Johnny. Kekesalan jelas terlukis di wajah Johnny yang seketika menghampiri Jeffrey dan menarik rambut pria itu keras-keras.

"Cecunguk Sialan ini terus mencari gara-gara denganku. Padahal aku sudah memberinya kesempatan untuk pergi dengan selamat, tapi dia masih saja membuat onar. Agrhhh!!!"

Ruangan gema oleh erangan kemarahan Johnny yang memicu ketegangan. Pistol yang sedari tadi disembunyikan kemudian Johnny keluarkan. Sang supir pribadi menjadi sasaran peluru pertama yang dilesatkan Johnny. Darah mengucur juga mengotori lantai hingga nyaris menyentuh sepasang sepatu heels milik Rosé yang direngkuh ketakutan sekian banyak.

Hal mengejutkan kembali didatangkan Johnny. Kini, Taeyong dalam keadaan mengenaskan didudukkan di kursi, di samping Jeffrey dengan tangan dan kaki yang terikat pula. Pria itu berhasil dilumpuhkan oleh para anak buah Johnny. Rosé kian terguncang, sedang Jeffrey menatap Taeyong tajam seolah bertanya,

Mengapa kau ada di sini?!

Padahal malam itu, Jeffrey sudah menegaskan bahwa di antara mereka tak akan pernah ada urusan apa pun lagi. Seolah paham arti tatapan Jeffrey, lirih, Taeyong berkata, "Aku tidak bisa membiarkan istrimu menghadapi bahaya seorang diri. Dan, yang lebih aku tidak bisa lagi adalah berdiam diri di saat tahu manusia paling berjasa dalam hidupku sedang menantang maut."

Berlutut, Rosé mendongak memohon pada Johnny.

"Kau mau perusahaan? Ambil saja! Ambil semua yang kamu mau, tapi tolong jangan bunuh mereka berdua. Kumohon!"

Senyuman tanpa arti milik Johnny menyambut tuturan Rosé. Pria itu berjongkok lalu membelai wajah Rosé seraya bicara, "Bagaimana jika aku menginginkanmu?"

Pandangan gelap hasrat Johnny berlabuh pada Jeffrey dan Taeyong, lalu kembali menghunus Rosé. "Jika kamu ingin aku melepaskan mereka, maka ... tidurlah denganku."

Guncangan teruntuk para tawanan kembali dihadirkan Johnny tanpa ragu, tanpa sungkan. Jeffrey menegang bersama rasa muak yang sudah meluap-luap. Sedang Rosé manatap Johnny jengah. Siapa sangka, Rosé akan berani meludahi wajah pria itu di tengah-tengah ketegangan yang melingkupi. Hadiah atas kekurangajarannya adalah satu tamparan keras dari tangan Johnny yang membuat pipi kanan memanas juga terasa amat perih.

Melihat itu, Jeffrey di ujung sana berusaha melepaskan ikatan dengan membuat gerakan-gerakan brutal. Lalu pergerakan Jeffrey terhenti karena suara ledakan senjata kembali terdengar. Menoleh perlahan, Jeffrey menemukan kelapa Taeyong telah dihias lubang. Peluru bersarang di sana akibat ulah Johnny dan secara otomatis, detik itu ditetapkan sebagai waktu kematian Pemuda Lee.

Jeffrey dan juga Rosé terdiam didekap rasa berdosa.

"Bagaimana? Kau ingin pria ini bernasib sama dengannya?"

Mulut pistol di tangan Johnny kini mencumbu leher bagian bawah Jeffrey. Gelengan kuat segera Rosé sampaikan.

"Kumohon jangan!" cicitnya pelan. Bulir-bulir air mata telah berderai membasahi wajah Rosé. Ia menunduk dalam sebelum mengutarakan sebuah pilihan berat, "Aku akan tidur denganmu. Tapi, kau harus berjanji untuk benar-benar melepaskannya."

Raut Johnny dihias sumringah. Ia kembali menghampiri Rosé untuk bertanya, "Mau berpindah ke tempat yang lebih nyaman, atau tetap di sini?" Pandangan Johnny berpendar, "sofa itu, tidak buruk. Dan, akan lebih menyenangkan jika seseorang menyaksikan," lalu, bergulir pada Jeffrey sembari mengukir senyuman.

"Mau bagaimana? Berpindah atau ...."

"Di sini."

Tak banyak mengulur waktu, Rosé menjawab pertanyaan Johnny. Tatapan perempuan itu bertemu dengan bola mata padam milik Jeffrey yang hanya bisa terdiam ditemani kepedihan.

"Tapi dengan satu syarat. Suruh semua anak buahmu pergi!" Demikian ungkap Rosé. Johnny menyanggupi. Perempuan itu dilepaskan ikatannya. Ciuman panas antara ia dan Johnny dimulai, tanpa memperdulikan Jeffrey yang seolah terbakar hingga memilih memalingkan wajah dan memejamkan mata sebab tak mampu menjadi saksi.

Sungguh, Jeffrey sangat ingin berteriak kepada Rosé untuk tidak melakukan hal itu karena ketimbang menyaksikan Rosé bercinta dengan Johnny, Jeffrey lebih memilih untuk mati. Pedihnya peluru yang menembus jantung barangkali tak akan sepedih saat rasa cemburu mengoyak-ngoyak hati. Tidak. Jeffrey tidak mampu menahan ini.

Erangan kesakitan memecah keheningan ruang. Jeffrey membuka mata, menemukan darah mengucur dari bibir Johnny akibat gigitan Rosé. Sigap, Rosé kini telah mengambil alih pistol milik Johnny dan menodong pria itu tanpa ragu.

Johnny mati langkah.

Sembari terus menodong, Rosé menghampiri dan melepaskan tali yang mengikat tubuh Jeffrey. Sebisa mungkin, ia menahan jemari yang bergetar hebat penanda jiwanya direngkuh ketakutan teramat. Menyadari hal tersebut, Jeffrey bergegas mengambil alih pistol di tangan Rosé.

Anak buah Johnny telah kembali mengepung setelah teriakan pria itu memanggil mereka.

"LETAKKAN SENJATA ATAU KALIAN AKAN MATI!!!" seru Jeffrey dengan suara paling lantang yang penah ia keluarkan.

Satu tangan Jeffrey terbentang melindungi Rosé di belakangnya, sementara tangan yang lain sibuk menembakki benda-benda di sekitar hingga suara gemerantang kaca dan guci-guci mahal yang pecah menyebabkan semua orang tiarap takut

Saat Johnny tertangkap mata Jeffrey hendak mengambil sebuah pistol, tembakan Jeffrey tepat mengenai tangan pria itu dan ruangan kembali gema oleh teriakannya. Jeffrey menggenggam erat lengan Rosé lalu membawa perempuan itu melarikan diri berupaya keluar dari kediaman Johnny. Namun, di tengah-tengah pelarian, Rosé sempat menyeret Jeffrey masuk kembali untuk kemudian mengambil kantung abu milik Lucas dan turut menggendongnya pergi

Saat melewati tepi kolam renang, Jeffrey melihat seseorang di atas balkon menggenggam senjata laras panjang. Tak membiarkan Rosé menjadi sasaran bidikan, Jeffrey memeluk tubuh perempuan itu, memasang punggung secara cuma-cuma untuk dikoyak peluru panas yang nol koma sekian detik lalu dilesatkan. Rasa sakit menjalari seluruh badan, napas menjelma sesak. Tungkak lemah Jeffrey tak mampu lagi menahan beban.

Bergeming lama tanpa tahu apa-apa, Rosé tersentak begitu Jeffrey tumbang. Kantung di tangan, Rosé jatuhkan sebab kedua tangannya berupaya menumpu tubuh Jeffrey tapi gagal. Kepala Jeffrey terkulai di atas pangkuan Rosé yang kini tersadar bahwa pria itu terluka setelah melihat darah bersimbah-simbah. Ia meraba punggung Jeffrey, dan yang memenuhi tangannya kini adalah benda serupa dengan apa yang menganak bak sungai di lantai. Jemari berselimut cairan merah pekat bergetar sedemikian hebat.

Sedang sosok yang nyaris sekarat di pangkuan Rosé tertatih-tatih mengucapkan titah,

"R-Rosé ... P-pergi!"

Air mata tak sanggup dibendung oleh kelopak. Rosé menggeleng kuat dalam tangis yang menderu-deru mencekat dada. Ia tak peduli pada kawanan Johnny yang mungkin bermunculan di sekitar untuk menangkap atau bahkan membunuhnya. Satu-satunya yang mengisi kepala Rosé hanya Jeffrey.

"R-Rosé ... L-lari, cepat!"

Meskipun Jeffrey terus menyuruhnya berlari, Rosé di sana tetap sudi menemani meski resikonya adalah mati. Perempuan itu akan tetap mendekap tubuh Jeffrey yang mulai terasa dingin, berharap dengan itu Jeffrey tetap akan merasa hangat. Meraba-raba wajah pucat Jeffrey, bibir Rosé tak lagi bisa menahan erangan menyesakkan. Ia enggan hari ini menjadi hari terakhir baginya memandang wajah itu atau menjadi hari terakhirnya memeluk raga itu.

Kisah singkat antara mereka berputar bak proyektor lawas di kepala Rosé, dan fragmen paling menyedihkan ini tak sudah-sudah melahirkan genang di kedua pelupuk lalu tumpah membasahi wajah.

"J-jangan menangis!"

Suara serak Jeffrey menghujam sepasang gendang telinga Rosé pula sekeping hati di balik dada hingga mereka semua meraung-raung perih. Alih-alih berhenti, tangis Rosé jutru kian deras mengalir pula kian terdengar memilukan.

Jemari lemah Jeffrey terulur ingin hati membantu menyeka air mata yang Rosé jatuhkan. Sayangnya jemari itu jatuh lebih dulu sebelum sempat menyeka barangkali setetes. Wajah Rosé telah nampak samar-samar di pandangan Jeffrey, memburam, lalu menggelap.

"Jangan! Jangan seperti ini!" Rosé merintih juga memohon kepada Jeffrey yang kini memejamkan mata rapat usai menurunkan satu derai cairan dari kelopak mata kiri.

Langit berselimut gemulung awan abu-abu mendengarkan dalam diam tangisan kencang seorang perempuan yang memeluk seonggok raga pria nyaris tak bernyawa. Ia berteriak, meraung, meminta pertolongan kepada siapa saja yang berbaik hati sebab ia sangat-sangat tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kali.

Darah Jeffrey telah mengalir sampai pada air kolam. Pertanyaannya, sampai di manakah nyawa Jeffrey bermuara? Masihkah menghuni raga atau sudah melayang ke atas sana?

Suara tembakan keras menerobos paksa tangis Rosé yang menguar-nguar di udara. Sedetik berselang, perempuan itu membatu juga membisu dengan kedua mata yang terbelalak lebar.

Yang terdengar berikut adalah suara jatuhnya sesuatu ke dalam kolam.

Air berpadu dengan warna pekat kemerahan beraroma anyir: darah.

[]


[Closing Playlist: Hajin - Somewhere]


[SILHOUTTE: After A Minute]

***

halo semuanya, selamat pagi.

saya tidak akan banyak bicara di sini, karena saya tahu chapter ini cukup memuakkan karena banyak memuat kata

fyi this is 5500 words

good job sekali kalian yang membaca hingga habis :)

dan, chapter mendatang adalah the last part of SILHOUTTE. akhirnya kita menemui penghujung juga setelah berbulan-bulan lamanya.

terimakasih banyak atas segala curahan apresiasi yang sangat mengesankan. sampai jumpa lagi.

***

Continue lendo

Você também vai gostar

102K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
152K 15.3K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
1M 91.1K 162
Historical Naruhina Fanfiction (FOR 18 +) Hidup bersama dan mengabdi dengan orang yang membatai keluarganya adalah hukuman yang lebih menyiksa dari h...
25.8K 3.6K 67
Kelas A, kelas unggulan yang selalu dibangga-banggakan oleh banyak orang, ternyata menyimpan sebuah misteri yang tak banyak diketahui. Satu persatu m...