𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼

By Antarmudra_

17.8K 1.7K 318

ᴋᴇʜɪᴅᴜᴘᴀɴ ʏᴀɴɢ ʟᴀʏᴀᴋ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ᴋᴇʜɪᴅᴜᴘᴀɴ ᴅɪᴍᴀɴᴀ ᴅɪʀɪᴍᴜ ᴅɪᴛᴇʀɪᴍᴀ ᴅᴇɴɢᴀɴ ʙᴀɪᴋ. Mulai; 25, Jᴀɴᴜᴀʀʏ 2022 Sᴇʟᴇsᴀɪ; 2... More

Tʜᴇ Bʀᴏᴋᴇɴ
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 1
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 2
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 3
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 4
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 5
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 6
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 7
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 8
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 9
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 10
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 11
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 12
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 13
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 14
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 15
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 16
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 18
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 19
Eᴘɪʟᴏɢ

Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 17

610 63 37
By Antarmudra_

Semasa kecilnya Tirta jarang sekali merasakan sebuah luka atau pun ketidakpedulian Raka terhadap dirinya. Masa–masa itu benar-benar terlihat menyenangkan nan membahagiakan Tirta sungguh menginginkan masa–masa itu kembali terulang, meski pun sebentar. Setidaknya ia masih bisa merasakan sebuah kasih sayang hingga sekarang.

Raka bahkan tak mengetahui makanan kesukaannya mau pun pantangannya. Pria baya itu malah menyamakan dirinya dengan Dirga yang padahal keduanya sudah jelas–jelas berbeda dan pantas saja, hal itu membuat Dita marah padanya.

“Dirga nanti pulang sama Papa, ya. Jangan lupa tangannya minta di urut sama Pak Komar, Mama entar malem pulangnya. Abangmu harus di rawat dulu beberapa waktu,” ucap Dita sembari mengulas senyuman

“Jam berapa pulangnya, entar Papa jemput aja dari pada Pak Komar yang jemputnya.”

Wanita itu terdiam tak menanggapi apa–apa hanya sibuk membenahi kerah hoodie—yang dikenakan putra bungsunya. Raka mengerti atas sikap yang ditunjukan Dita membuatnya merasa amat menyesal ini semua memang kesalahan, akan tetapi ia juga tak mungkin dengan sengaja membuat Tirta berakhir demikian.

“Ya sudah. Dirga pulang aja jangan lupa di olesin salep tangannya, ya.”

Dengan berat hati pun Raka harus pulang meski sedikit merasa bimbang karena Dita mendiamkannya tanpa mengatakan sepatah kata. Setelah kepergian keduanya Tirta membuka mata dan melirik ke arah Dita yang sibuk mengemasi barang bawannya.

“M-mama.” Suara itu terdengar berat nan parau entah kenapa perasaannya menghangat ketika Tirta memanggil namanya dengan sebutan ‘Mama’ tak seperti biasanya.

“Iya sayang. Ini Mama, kamu mau minum? Sebentar Mama ambilka—”

“Disini aja, Ma. Aku takut sendirian, aku juga enggak mau kehilangan Mama Dita sama seperti aku kehilangan Mama Tania.”

Air matanya jatuh seketika. Ada rasa lega nan bahagia sembari menggenggam jemari besar sang putra. Dita menganggukkan kepala sedangkan Tirta menatap pias cantik Mama tirinya meski tak dapat lagi dikatakan muda, Dita masih terlihat sempurna akan kecantikannya.

Kemudian Dita meraba surai sang putra tirinya, mengusap lembut pipi tirusnya dan melanjutkan kata. “Kamu tetap anak Mama, Tirta. Apapun alasannya Mama bakalan ada buat kamu selamanya.”

──────── (´A`。 ────────

“Tirta. Ini pesan Mama, ya. Jangan keseringan minum obat anti depresan kecuali resep dari dokter waktu itu. Kamu enggak boleh bergantung sama obat cukup mental kamu yang kesakitan dan kita obatin pelan–pelan, jangan sampai fisik kamu juga ikutan Mama beneran enggak bisa tenang.”

Tirta hanya diam dan menyerahkan semua buliran–buliran pil berwarna putih tersebut ke Dita. Dan wanita itu pun langsung memasukkannya kembali ke dalam tabungnya, ia kalut sekarang takut bila nantinya Tirta kembali kesakitan. Ia juga takut bila nantinya sang putra menyalah gunakan pemakaiannya sehingga membuat beberapa organ di dalam mengalami kerusakan, terutama gagal ginjal dan lainnya.

“Itu semua obatnya, Ma.” Kata Tirta yang menundukkan kepala.

“Beneran cuma ini aja. Kamu enggak ada nyimpen yang lainnya selain ini, kan? Ayo jujur jangan bohong.”

Hanya ada anggukkan di barengi tatapan kelam pada binar Tirta yang telah lama kehilangan pesinar. Akhir–akhir ini kondisi cowok itu terkadang sering kali tidak memungkinkan, kadang ia pun harus menelan beberapa tablet obat tidur supaya membantunya terlelap. Hal tersebutlah yang memicu persoalan Dita karena Dita tak akan membiarkannya kembali terluka apa pun caranya.

“Aku cuma punya itu aja sebagai sisanya aku cuma takut kalau aku kenapa–kenapa. Takut kalau semisalnya harus—mati dengan sia–sia,” ucapan tersebut membuat Dita menangkup wajahnya.

Menengadahkan tatapan kelam melebihi malam tanpa pesinar rembulan dan juga bintang, Tirta menatap Dita dengan penuh pertanyaan. Sedangkan Dita mengusap surai hitamnya dengan tetesan air mata yang tak bisa di tahannya, “kamu enggak akan mati dengan sia–sia kok, Tirta. Kamu anak baik yang enggak mungkin di biarin mati gitu aja kamu bakalan mati dalam keadaan—”

“Mama. Das—”

“Dirga,” lirih Dita.

“Ah, maaf. Anu, bang. Gue nyari dasi gue hehe di luar juga udah ada Kak Talita katanya mau berangkat bareng Bang Tirta. Kayaknya—Kak Talita suka lho sama abang cinta bertepuk sebelah tangan gitu.”

“Bacot!”

“Abang.” Peringat Dita dengan senyuman.

“Dirga itu lho, Ma. Suka banget ngeledek abangnya orang Talita bukan siapa-siapa kok, beneran.”

Meski pun Tirta menghindar dan mencoba membuatnya yakin bila apa yang dikatakan Dirga tidak benar. Dita sudah berpengalaman soal mencintai seseorang, dari tatapan Tirta saja Dita percaya bila putra sulungnya itu sedang jatuh cinta.

“Jangan lama–lama gantungin perasaannya, bang. Entar keduluan orang malahan nyesal.” Bahkan Dita buru–buru menghapus air matanya dan mengulas senyuman.

Mendengar nada bicaranya Dita saja membuatnya malu seketika, Dirga semakin menjulurkan lidahnya keluar dan menyenggol–nyenggol bahunya. Yang bisa Tirta lakukan hanyalah tersenyum dan mendorong Dirga membuat adiknya tertawa jenaka, lihat saja. Mungkin ada saatnya Tirta akan membalas perlakuan Dirga.

Sekarang dengan perasaan lega nan bahagia Tirta merasakan secuil kebahagiaan sepenuhnya. Ia melangkahkan kaki menyamakan langkah kecil kaki Talita, dan melambaikan tangannya ke arah Dita yang sedang mengukir senyuman begitu juga dengan Dirga adiknya.

──────── (´A`。 ────────

Apa yang kalian ketahui tentang balas dendam mungkin kalian akan mengira bahwasanya balas dendam jarang sekali dilakukan, kecuali oleh orang-orang yang telah merasa kesakitan dan memilih untuk melenyapkan seseorang. Dengan alasan balas dendam yang serupa seperti kematian Sanda sebulan lalu, hal itu memicu amarah se–orang bocah berusia 16 tahun. Siapa lagi jika bukan Sandy adiknya—Sanda mungkin saja kehilangan kakaknya itu sungguh menyakitkan.

Sehingga membuatnya menyusun beberapa rencana untuk membalaskan dendam.

“Lihat aja lo, Ta. Gue bakalan buat orang-orang terdekat lo mati pelan–pelan biar lo ngerasain gimana jadinya gue yang kesiksa, atas kematian Kak Sanda.”

Di tempat lainnya Tirta melangkahkan kakinya perlahan mengikuti langkah kaki Talita yang pastinya sangat pelan. Gadis itu berkali-kali melirik pias tampan Tirta meskipun cowok itu sedang memasang wajah datar.

“Tirta,” lirih Talita tiba-tiba saja yang sudah berada di depannya.

Sang pemilik nama hanya memberikan deheman dan menatap binar Talita yang terlihat terang. Gadis itu mengukir senyuman, sembari merogoh kantung hoodienya.

“Apaan.” Tirta bertanya ketika dengan tiba-tiba Talita memberikan name tag—nya di genggaman tangannya.

Tirta masih bingung sedangkan Talita diam saja gadis itu membiarkannya mencari jawabannya tanpa diberi tahu. Hingga akhirnya Tirta terkekeh penuh keraguan, cowok itu menengadahkan tatapan kemudian mengunci Talita menggunakan kedua tangan.

“Kita pacaran.”

──────── (´A`。 ────────

Mungkin kata–kata Tirta terngiang-ngiang begitu saja di runggu Talita, ia tidak bisa berhenti tersenyum dan memeluk name tag—nya Tirta. Seperti mimpi di alam bawah sadar rupanya ini benar-benar kenyataan akhirnya Talita mampu mengungkapkan perasaan, begitu juga dengan Tirta yang rupanya menyimpan perasaan yang sama.

Itu tandanya mereka saling menaruh rasa suka nan cinta bukan hanya sekedar menyukai salah satu dari keduanya tak memiliki perasaan yang sama. Namun, Talita terdiam perasaan kalut dan keringat dingin mulai bercucuran.

Ia memacukan kecepatan ketika melihat seseorang membawa benda tajam. Awalnya Tirta tak ingin salah paham, akan tetapi pengelihatannya masih normal. Talita memutuskan untuk terus berlari dan sampai di sini di atas rooftop. Ia pikir ia akan selamat.

Rupanya tidak ia terjebak, tidak ada pilihan selain melompat ke bawah. Talita mengatupkan bibirnya ketika lagi dan lagi seseorang itu mendekat semakin dekat sehingga hembusan nafasnya terdengar.

“Sebenarnya, k-kau ini siapa?! ”

“Lo bakalan tahu gue siapa setelah lo terjun ke bawah, Talita.”

Brugh!

Ini gila rasanya ini seperti mimpi yang tak mungkin pernah terjadi setelah Tirta menolehkan wajahnya. Betapa terkejutnya ia yang mendapati tubuh seorang gadis di sana, sudah terbujur lemas dan banyak darah. Awalnya Tirta terdiam mengokohkan kaki–kakinya yang hampir saja tak mampu di gerakkan.

Ia baru saja akan pulang dan baru beberapa langkah sampai keluar halaman. Ketika sesuatu mengejutkan, Tirta berlari dengan kencang kemudian menghentikan langkahnya.

“T-talita!”

Tubuh gadis tersebut sudah bersimbah darah, benturan pada bagian belakang kepalanya yang membuatnya hanya bisa diam saja. Tirta pikir gadis itu sudah kehilangan kesadarannya akan tetapi ia salah sangka, pergelangan tangannya digenggaman lemah sekali.

“Gue mohon ya, Ta. Bertahan kita kerumah sakit sekarang,” ucap Tirta seraya merengkuh tubuhnya.

“Akanku coba. Tapi, kali ini rasanya percuma saja sebentar lagi aku akan menutup mata.”

“Ta,” lirihnya tiba-tiba saja air matanya menetes jatuh ke pipi Talita. “Siapa yang ngelakuin ini semua, Ta. Ini pasti beneran di sengaja bilang ke gue!”

“Tetap jadi orang baik apapun alasannya. Aku enggak bisa ngasih tahu siapa orangnya karena aku takut kau pasti akan membenc—”

Belum sempat menyelesaikan ucapannya matanya sudah tertutup rapat, tangannya jatuh ke tanah setelah berhasil menyentuh pipi Tirta. Rasanya ini seperti mimpi berkali-kali Tirta mencoba untuk menutup mata berharap mimpi buruk lah yang mendatanginya, akan tetapi semua memang benar. Talita tak lagi memiliki nyawa gadis itu sudah tiada.

Tepat di hari yang mana ia berhasil memiliki Talita, berhasil menyatakan cinta.
Gadis itu sudah menghembuskan nafas terakhir di pelukannya lagi dan lagi kehilangan itu membuatnya kesakitan. Tirta kembali merasakan sebuah kehilangan yang begitu menyiksa ia tidak baik–baik saja.

“Gue bukan orang baik seperti yang lo kira, Ta. Gue juga bukan orang baik yang mati di usia muda begitu aja kayak yang udah lo ucapkan, gue enggak bisa kehilangan!”

Orang-orang berkerumun saling bertanya-tanya tanpa bisa berbuat apa-apa bingung harus bagimana. Hingga pada akhirnya Pak Maslan tiba, pria baya itu pun berkata.

“Cek sekarang di atas rooftop! Pasti pelakunya masih di atas sana.”

Typo, abaikan. Maaf kalo semisalnya kurang berkenan tapi percaya, deh. Part ini tuh udah aku siapkan jauh–jauh hari, hehe. Apa, sih. Makna kehilangan bagi kalian bagiku sih kehilangan itu suatu pengalaman yang paling menyakitkan
(ू˃̣̣̣̣̣̣︿˂̣̣̣̣̣̣ ू)

—Jum'at, 25, Februari, 2022—

Continue Reading

You'll Also Like

19.1K 1.6K 30
menceritakan regie yang menyukai seorang ketos di sekolah nya,dan cinta yang bertepuk sebelah tangan karena ketos yang ia sukai menyukai orang lain y...
25.8K 4K 153
[ 7 YEARS ] milik : @jisooisgood😝 Bona : Jis lo itu naksir kak Seokjin lewat jalur apa sih? Cakep juga enggak! Jisoo : gue jatuh cinta jalur kepe...
30K 3.1K 22
Jungwon mendengar semua orang di sekolah barunya membicarakan betapa buruk dan rendahan nya seorang Park Jongseong.
2M 184K 47
Note : belum di revisi ! Cerita di tulis saat tahun 2017, jadi tolong di maklumi karena jaman itu tulisan saya masih jamet. Terima kasih ___________...