𝗣𝗮𝘁𝗮𝗵 | 𝗛𝗮𝗿𝘂𝘁𝗼

Antarmudra_ tarafından

17.8K 1.7K 318

ᴋᴇʜɪᴅᴜᴘᴀɴ ʏᴀɴɢ ʟᴀʏᴀᴋ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ᴋᴇʜɪᴅᴜᴘᴀɴ ᴅɪᴍᴀɴᴀ ᴅɪʀɪᴍᴜ ᴅɪᴛᴇʀɪᴍᴀ ᴅᴇɴɢᴀɴ ʙᴀɪᴋ. Mulai; 25, Jᴀɴᴜᴀʀʏ 2022 Sᴇʟᴇsᴀɪ; 2... Daha Fazla

Tʜᴇ Bʀᴏᴋᴇɴ
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 1
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 2
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 3
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 4
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 5
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 6
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 7
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 8
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 9
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 10
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 11
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 12
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 13
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 15
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 16
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 17
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 18
Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 19
Eᴘɪʟᴏɢ

Pᴀᴛᴀʜ | Bᴀɢɪᴀɴ 14

478 70 14
Antarmudra_ tarafından

Mungkin kehidupan selalu punya kejutan dan terkadang manusia hanya bisa menjalankan. Kematian Sanda terlalu tiba-tiba. Tirta percaya bila ia adalah penyebab satu–satunya orang yang telah membunuhnya. Biar pun tanpa di sengaja nyawanya telah hilang karena dirinya.

Tirta yakin balasan setimpal ialah kematian akan tetapi rasanya tidak adil jika ia memutuskan untuk bunuh diri seperti kemarin. Setidaknya ia harus menderita dengan rasa sakit yang ada, hingga ia dapat merasakan sakitnya seperti apa. Waktu telah menghilangkan semua segenap luka perlahan mulai menghilang dan tersamarkan.

Kali ini semuanya benar-benar amat melegakan akan tetapi Tirta masih terjebak di dalam impian dan juga kesalahan. Ia mengganggap kematian Sanda merupakan kesalahannya, “aku minta maaf.”

“Tangannya dingin banget. Tirta bangun, Nak. Mana yang sakit bilang sama Mama kita ke rumah sakit, ya.”

Dita khawatir luar biasa sudah beberapa hari ini Tirta mengurung diri di kamarnya. Ketika Dita memutuskan untuk ke kamar sang putra betapa terkejutnya ia yang mendapati Tirta dalam keadaan yang memilukan, kedua tangannya terkepal dengan keringat dingin bercucuran, bibirnya pucat serta wajah yang berantakan. Sekilas nampak penuh keputusasaan dalam hidupnya sekarang.

Tidak ada frasa yang Tirta ucapkan senantiasa mengepalkan kedua tangannya kuat–kuat. Seakan-akan sedang menahan amarah yang hebat, sejauh ini yang Dita tahu Tirta anak yang kuat rupanya ia sudah salah menduga. Jiwanya sudah mati rasa Tirta sudah hancur sepenuhnya.

“Tirta,” lirihnya.

Tatapannya mulai diarahkan Tirta menatap penuh kesayupan dan juga penuh keputusasaan, “aku pengin marah, pengin mati tapi—aku beneran enggak bisa. Segala cara pun udah aku coba hasilnya enggak ada apa-apa. Biarpun aku udah menggores tanganku sendiri beberapa kali hari ini.”

Wanita setengah muda itu terkejut ia langsung memegang pergelangan tangan. Dan benar ada luka sayatan yang terbuka lebar di sana. Dita menatap Tirta putra tirinya yang hanya diam saja dengan pandangan kosong entah kemana, Dita pun merengkuh dingin tubuhnya mencoba membagi hangat untuk Tirta supaya putranya dapat merasakan hangat darinya.

“Aku berharap aku mati.”

“Tetaplah hidup, Nak. Dunia ini terlalu indah buat kamu tinggalkan.”

Kemudian terdengar lah kekehan di barengi dengan batuk menyakitkan. Tirta ingin membalas ucapan Dita bahwasanya dunia ini tidak seindah apa katanya—karena bagi Argantara Tirta Bahasa dunia itu selayaknya neraka. Dita merasakan pelukannya memberat berusaha memanggil namanya untuk memastikan bila Tirta tidak kenapa–kenapa.

Namun, matanya sudah tertutup rapat. Tirta kehilangan kesadaran dipelukan Dita wanita berjiwa malaikat tanpa sayap yang selama ini ada untuknya.

──────── (´A`。 ────────

“Kamu beneran enggak bisa kemari, Pa. Tirta lagi enggak baik–baik aja tadi keadannya juga enggak memungkinkan. Seengaknya datang sebentar Tirta butuh kamu.”

Terdengar helaan napas kasar di ujung sana Dita berusaha membujuk Raka supaya pria baya itu datang untuk membuat Tirta baik–baik saja. Akan tetapi balasan suaminya sama sekali tak membuatnya lega malah berakhir sia–sia, “sekarang pekerjaan Papa beneran enggak bisa ditinggalkan, Ma. Apalagi besok harus keluar kota Papa beneran enggak bisa pulang buat ngelihat keadaan dia.”

“Tirta itu anak kamu, Pa!” Dita tak dapat menahan amarahnya. Raka sudah keterlaluan ia mementingkan perusahaan dan juga pekerjaan di bandingkan keadaan Tirta sekarang. “Apa salahnya datang sebentar. Ngelihat keadannya saja ngebuat aku ngerasa enggak tega. Dokter bilang anakmu itu depres depresi dan Tirta juga sudah mencoba keinginannya, yaitu bunuh diri. Depresi kali ini justru ngebuat dia yang tanpa sadar menggoreskan pisau pada pergelangan tangan dekat nadinya.”

Mungkin nadanya terdengar kasar atau terlalu tak sopan bila ia berkata demikian. Namun, sekali lagi semua punya alasan orang tua semacam apa Raka yang terlihat buruk di mata Dita. Membiarkan anaknya sendiri terluka karena ucapannya yang berkali-kali ingin menghabisi dirinya sendiri dan semakin menyakiti batinnya ini.

“Aku enggak habis pikir sama kamu, Pa. Padahalkan Tirta seperti ini gara–gara siapa kalau bukan kamu orangnya.”

Bertahan dan menunggu jawaban Raka akan semakin menyakitkan, Dita menutup panggilan sebelum Raka membalas ucapan. Wanita itu menutup wajahnya menggunakan kedua tangan kemudian menggenggam jemari besar Tirta penuh ketulusan.

“Bagi kamu. Mama memang enggak sebaik Mama Tania tapi biar bagaimana pun juga Mama ini adalah seorang ibu yang akan terluka melihat sendiri anaknya enggak baik–baik aja. Tirta, pas Mama tahu kamu hampir melakukan percobaan bunuh diri seperti ini. Mama beneran enggak bisa ninggalin kamu sendirian lagi.”

──────── (´A`。 ────────

Kehilangan merupakan alibi besar yang tak dapat di jadikan bualan, akan ada banyak kesedihan yang pastinya menyakitkan. Sudah beberapa minggu ini Sandy tak berbual dengan sang Papa. Rumahnya sepi tanpa adanya ocehan Sanda baginya sebanyak apa pun Sanda bertanya kakaknya dapat menciptakan suasana riuh yang sunyi di rumahnya.

Kali ini setelah kehadirannya tiada baru lah Sandy merasakan betapa pentingnya Sanda pada kehidupannya. Ia menyesal karena sempat memberikan pukulan, ia juga menyesal karena sudah mengatai Sanda yang sama sekali tak pantas jadi kakaknya. Perkataan itu terngiang-ngiang di benaknya sesakit apa Sanda ketika ia adiknya sendiri berkata seperti ini di depan mereka semua.

“Sandy. Buka pintunya hari ini kita tiup lilin, ya.”

Sandy tidak menjawab ia melirik jam di atas nakas yang sudah menujukkan pukul 23.56 malam. Tersisa empat menit lagi pergantian tanggal ia berulang tahun sekarang akan tetapi tak ada yang menarik selain kekosongan. Sang Papa masuk ke dalam kamar turut prihatin akan kondisi Sandy putra bungsunya yang tampak sekali kehilangan.

Kamarnya saja berantakan, pakaian sekolahnya yang tersampir di atas pintu dan juga buku–buku tak tersusun rapi di tempatnya.

“Kau tak bisa berlama-lama dalam kesedihan. Ini menyakitkan memang tapi akan lebih sakit pas orang yang meninggal tahu kalau orang yang ditinggalkan kesakitan.”

“Bagaimana caranya, supaya aku bisa ngelupain Kak Sanda?”

Sudut bibir Papa tertarik perlahan pria baya itu menggusak surai putranya yang berantakan. Memberikan kecupan di dahinya kemudian membalas pertanyaan.

“Orang yang meninggal otomatis di lupakan tapi dalam artian kata kita sebagai orang yang ditinggalkan harus menerima kenyataan. Orang yang meninggal memang enggak berharap dirinya di lupakan tapi enggak mungkin juga dia harus di ingat sampai sekarang. Seengaknya jadilah yang terbaik untuk Kak Sanda lanjutkan kebaikannya selagi itu bisa membuatmu merasakan kehadirannya.”

──────── (´A`。 ────────

Dirga tidak punya ambisi untuk memuaskan dirinya sendiri ia melakukan seadanya akan tetapi selalu mendapatkan hasil yang luar biasa. Meski demikian Dirga tidak pernah berharap bila dirinya dijadikan perbandingan antara Tirta, karena baginya itu bukan hal yang sewajarnya untuk Raka permasalahkan.

Ia merasa jadi orang jahat sekarang sudah beberapa kali Tirta kesakitan dan mencoba melakukan percobaan bunuh diri karena pondasinya sendiri. Dirga sama sekali tak menginginkan Tirta mati karena sebuah ambisi yang Kakaknya tanamkan sendiri.

“Sudah makan, Dirga.”

“Ma,” lirihnya.

Dita otomatis menatap binar bungsunya yang sudah berkaca–kaca mengerti maksud dari tatapan sang putra. Dita pun menghampirinya sembari berkata, “ini akan baik–baik saja.”

“Aku beneran enggak bisa ngebiarin Bang Tirta mati sia–sia karena tekanan dari Papa.”

Beralih dari pembicaraan mereka berdua Tirta tak ada lagi di kamarnya. Cowok itu pergi sebentar mencari sebuah ketenangan dengan pergelangan tangan yang di perban. Menimbulkan sedikit bisikan dan juga pertanyaan–pertanyaan bagi semua orang yang sempat berpapasan. Entah itu penasaran atau hanya prihatin akan keadaan Tirta yang menyedihkan.

Tirta pergi keluar tanpa berpamitan mungkin Dita akan khawatiran dan menghubunginya. Hal itu lah yang membuatnya sengaja untuk tak membawa ponsel saat pergi, merasa tungkainya tak dapat digerakkan lagi karena ia sudah berjalan sejauh ini. Ia mendudukan diri di bahu jalan sembari menyekat lelehan keringat pada dahinya.

Sejauh ini Tirta masih bertahan akan tetapi rasanya menyakitkan ia masih dalam keadaan yang tak tenang. Kata–kata Raka kembali teringang–ngiang terdapat pecahan kaca yang tak jauh dini depannya, dengan tangan bergetar ia pun mengambilnya. Lagi dan lagi tanpa rasa ngeri Tirta menggenggam pecahan kaca tersebut kuat–kuat.

Membiarkan telapak tangan sebelah kanannya berlumuran darah dan mengganga. Padahal Tirta berharap dengan ini bisa mengobati luka batinnya akan tetapi percuma saja rasa sakitnya pun masih terasa. Ketika ia hendak menggenggam pecahan beling tersebut kembali seseorang lebih dulu menahannya dan langsung membuang benda tajam itu jauh–jauh dari Tirta.

“Lo mau mati!”

Suara itu membangunkan Tirta dari lamunannya katakan saja bila ia benar-benar gila. Memang kenyataannya seperti itu tanpa sedikit pun rekayasa, Tirta telah rusak sepenuhnya. Bukannya mendengarkan justru cowok itu malah hendak mengambil kembali pecahan beling tadi yang sudah Ikmal buang.

Dengan penuh amarah yang tidak dapat di tahan, Ikmal langsung mendudukan Tirta di bahu jalan. Menyentuh kedua bahunya kuat–kuat supaya Tirta diam di tempat cowok itu menatap ke arah sahabatnya. Tanpa menunggu waktu lama Ikmal menggeledah tasnya untuk mengambil kain kasa kemudian menyobeknya. Di balutnya pada luka di telapak tangan Tirta.

Setelah itu Ikmal duduk di samping Tirta sekali lagi menatap wajahnya yang penuh keputusasaan. Ikmal benar-benar merasa kasihan ia tak tahu tentang luka sahabatnya sendiri, “jangan gila pokoknya.”

“Pengin mati.”

“Kalau gue bilang jangan ya jangan, Ta! Jangan mati sia–sia juga.”

Bentakkan itu otomatis membuat Tirta terdiam dengan binar yang berkaca–kaca dan Ikmal pun akhirnya merasa iba. Ikmal mendekat menatap lebih dekat luka pada telapak tangan, menatapnya lamat–lamat sehingga membuatnya kesakitan.

“Seenggaknya dengan lo bertahan itu udah membuktikan kalau lo orang hebat.”

“Gue pengin mati, tapi gue beneran belum siap buat menghadapi kematian.” Tirta menundukkan kepalanya. Cowok itu juga menggenggam kedua tangannya, dan entah kenapa mendengar ucapan Tirta membuat Ikmal semakin terluka.

Typo, abaikan. Untuk semua penjelasan bakalan aku ringkas buat jadi kesimpulan, baik itu kisah Sandy bakalan aku perkecil lagi. Untuk part selanjutnya bakalan ada beberapa tokoh tritagonis yang bakalan mati, jadi tolong persiapkan diri, xixi.

Selamat ulang tahun, Sandy. Xixi adik kecilku(´༎ຶ ͜ʖ ༎ຶ )♡

—Jum'at, 18 Februari 2022—

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

20.5K 1.5K 2
"Ma... Bila tempatku berpijak tidaklah sejajar dengan saudaraku yang lain. Tolong jangan anggap aku gagal." _Lio
958K 88.1K 41
Olivia si gadis nakal dengan citra buruk di mata semua orang. Suatu hari, ia mengalami kecelakaan dan masuk ke dalam dunia novel sebagai tokoh figura...
4K 139 14
⚠️no salpak,cerita ini hanya nonfiksi/not real. • • • Jichen • • Posesif × centil • • • Happy reading, maybe this story is not clear or interestin...
33K 3.4K 23
Jungwon mendengar semua orang di sekolah barunya membicarakan betapa buruk dan rendahan nya seorang Park Jongseong.