Wulfer : The Black Snout [Lea...

Oleh ashwonders

1K 148 187

Gelora kekuatan. Gelegak amarah. Hasrat memburu. Wulfer Van Leanders adalah salah satu dari lima bersaudara... Lebih Banyak

1
2
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

3

115 16 28
Oleh ashwonders

KUDA sepertinya membenci Wulfer.

Setiap kali Wulfer berada terlalu dekat dengan istal kuda, atau melintasi kandang ayam di pasar, atau bersirobok dengan penggembala sapi dan domba di peternakan tak jauh dari area hutan di belakang mansion, para hewan mendadak gelisah dan panik. Tampaknya mereka dapat mengenali aroma Wulfer yang 'berbeda' dari manusia biasa. Karena itu Wulfer sebisa mungkin menghindari bepergian menggunakan kereta kuda.

Wulfer juga bukan penggemar kereta layang, moda transportasi populer di kalangan atas yang menghubungkan nyaris setiap daerah di Buttervia. Dia selalu bepergian dengan pola pikir bahwa dirinya membawa serta sebuah bom waktu di dalam tubuhnya. Monster yang tiap detiknya bisa saja memutuskan untuk menampakkan diri dan membuat kekacauan. Kereta layang sempit dan riskan, serta karena berada di udara, tidak ada 'rute melarikan diri' bagi penumpang lain selain terjun bebas dan menghantam daratan keras nun jauh di bawah sana.

Setiap kali Wulfer kebetulan melihat kereta layang tengah melintas ke sana ke mari di atas kota, entah mengapa pemandangan itu mengingatkannya pada kaki seribu raksasa yang lalu-lalang di langit. Butuh puluhan tahun bagi para inventor dan pemodal untuk merampungkan kereta layang hingga sampai pada tahap ini. Sekarang, bahkan beberapa rumah para petinggi Buttervia telah memiliki stasiun kereta layang pribadi yang berhenti di mansion-mansion mereka, sehingga mereka tak perlu repot-repot 'membaur' dengan rakyat pribumi.

Untuk mencapai sekolah, biasanya Wulfer memilih untuk menggunakan kereta uap, pilihan yang paling ideal baginya. Sebetulnya Wulfer bisa saja berjalan kaki dan tiba seenak hatinya di sekolah. Dia bahkan mempertimbangkan untuk hendak bolos saja. Toh Kepala Sekolah tidak akan segegabah itu mendepak anak-anak Aldert Van Leanders, tokoh masyarakat yang begitu penting dan berpengaruh.

Buttervia pagi ini masih seramai biasanya, walaupun langitnya mendung dan kota dibayangi kemuraman dan kemalasan akibat hujan yang turun pada dini hari hingga subuh. Jalan-jalannya yang berbatu nampak basah dan banyak terdapat genangan air. Kantor pos, gedung-gedung klasik besar yang difungsikan sebagai kantor para petugas kerajaan, maupun pertokoan yang lebih kecil di kanan-kiri jalan utama terlihat baru mulai mempersiapkan diri untuk beroperasi pada hari itu. Para mevrouw yang turun dari kereta kuda menjinjing ujung-ujung rok gaun mereka setinggi yang dimungkinkan etika publik, khawatir terkena cipratan air becekan, para meester berjalan cepat-cepat dalam setelan-setelan rapi sambil menenteng koran maupun tas kerja, sementara para kusir berkendara sehati-hati mungkin ketika mereka melewati area dengan banyak pejalan kaki.

"Jonge Meester! Jonge Meester! Mari mampir, lihat-lihat kue dan manisan kami!" seorang pedagang pribumi memanggil-manggil Wulfer dan Eber, juga ke arah sekelompok pelajar yang berjalan tak jauh dari mereka.

Wulfer menghampiri kios sederhana pedagang itu dan melemparkan sekeping gulden ke keranjang bayar mereka, lalu mengambil beberapa kue dan roti. Keadaan kios cukup ramai hingga ketika berbalik, bahunya menubruk seorang pria yang baru turun dari kereta kudanya bersama seorang anak laki-laki. Wulfer meminta maaf dan memungut topi si pria yang terjatuh.

Ketika kembali menyejajarkan jalannya di samping Eber, adiknya menatap Wulfer sambil mengangkat alis tinggi-tinggi.

"Bukannya saat sarapan kau sudah makan tiga buah roti besar-besar?" Eber mengamati kakaknya menyikat habis hasil belanjaannya dalam waktu singkat seperti orang kelaparan.

Wulfer hanya mengangkat bahu, "Porsi monster."

Setibanya di stasiun, mereka dapat melihat Asmosius, Ignicia, dan Debora berjalan memasuki peron tak jauh di depan mereka, namun ketiganya mungkin menggunakan kereta layang yang dapat tiba lebih cepat. Wulfer memerhatikan bagaimana mereka berjalan melewati antrean penumpang biasa dan langsung dilayani perempuan di loket yang berbeda. Anak-anak Leanders memang selalu memiliki kompartemen khusus di kereta manapun.

Perhatian Wulfer teralih pada Debora, yang dengan hati-hati mengencangkan sarung tangannya dan dengan fasih menjaga persentuhan dengan orang lain seminimal dan secepat mungkin.

"Ulf?" Eber menyadarkannya dari lamunan. Mereka akhirnya berada di dalam salah satu kompartemen tertutup di gerbong paling depan kereta uap, "Sudah mengerjakan tugas esai penilaian buku dari Juf Famke?"

Wulfer menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi sambil memejamkan matanya yang letih. Dia bahkan tidak yakin isi tasnya memuat semua yang diperlukan untuk mata pelajaran hari ini, "Aku benci buku itu."

Eber menelengkan kepalanya, memasang ekspresi ingin tahu, "Kenapa? Witte Bloem cerita klasik yang indah."

Wulfer menegakkan kepalanya sejenak, "Kita sudah membaca dan menghapalnya berpuluh-puluh kali, Eber."

"Iya, sih. Tapi di luar Witte Bloem, bagaimana dengan yang lain?" Eber masih belum menyerah sementara Wulfer kembali merebahkan kepalanya dan memejamkan mata, "Bukankah menarik mempelajari perkembangan pengetahuan yang diajarkan kepada anak-anak dari tahun ke tahun? Ditambah, semakin sering berpindah sekolah, semakin banyak teman."

"Tetap saja tidak ada wanita yang mau jalan bersama anak umur dua belas tahun."

Eber mengulum senyum, "Terjebak di tubuh anak-anak tidak selamanya menyebalkan, kok. Kita bisa naik trem secara cuma-cuma."

Sudut bibir Wulfer naik sedikit, "Atau dapat karcis gratis untuk pekan raya minggu lalu."

"Atau tidak harus bekerja setiap hari."

"Itu yang terbaik."

Selama kereta melaju membelah kota, keduanya tak banyak bicara. Wulfer menghabiskan waktunya memandangi pemandangan di luar jendela, ke arah rumah-rumah dan para pejalan kaki. Ketika kereta berhenti di salah satu stasiun, dia melihat seorang ayah tengah menggandeng anaknya laki-lakinya menyeberangi peron yang ramai. Bocah itu mungkin masih berusia lima tahunan, tangan kecilnya menggandeng tangan milik ayahnya tanpa ragu, hingga Wulfer berpikir melantur bila si pria memutuskan untuk berjalan ke jurang, si anak pasti akan pasrah saja dan ikut jatuh bersama ayahnya.

Wulfer mengalihkan tatapannya seraya mendengkus. Mungkin dia sendiri pun seperti itu dulu, terhadap sang ayah.

Aldert Van Leanders pernah menjadi sosok yang sangat Wulfer hormati. Biar bagaimanapun, pencipta jenius itu telah 'memberi kehidupan' kepada lima orang anak yang seharusnya tidak pernah ada. Pria itu juga menyediakan rumah untuk pulang bagi mereka semua. Kasur yang hangat. Pakaian yang bagus. Makanan yang terjamin. Keamanan dan pendidikan.

Namun semua ilusi hangat akan sosok Aldert di mata Wulfer hancur lebur ketika suatu hari pria itu membawa dirinya dan Eber ke sebuah hutan. Hutan pucat dan sunyi yang konon dihuni makhluk-makhluk mengerikan, termasuk monster itu.

"Untuk inilah aku menciptakan kalian. Karena itu, kuharap kalian tidak mengecewakan."

Diiringi perkataan dingin itu, pria itu meninggalkan Wulfer dan Eber semalaman di Hutan Putih, sengaja menjadikan mereka umpan untuk monster berwujud manusia serigala. Si Moncong Perak.

Masih terpatri dengan jelas di ingatan Wulfer bagaimana Moncong Perak mendatangi mereka di malam purnama itu, bagaimana dia tak mampu menggerakkan tubuhnya akibat rasa takut yang menguasainya. Tetapi Eber bersamanya, dan Wulfer berjuang menguasai diri. Dia—yang secara fisik lebih besar dan kuat dibanding Eber—berupaya melindungi adik kembarnya dari serangan monster itu, namun ada harga yang harus ditukar. Cakar besar dan tajam milik si Moncong Perak menoreh punggungnya, dalam dan menyakitkan, meninggalkan jejak luka yang tak bisa hilang hingga saat ini.

Sejak kejadian itu, esensi-esensi gelap monster itu merasukinya, menganugerahi kemampuan fisik yang luar biasa, sekaligus mengutuknya memperoleh wujud sang monster pada setiap purnama, atau bila emosinya terpancing. Wulfer juga mampu menyembuhkan diri dengan kecepatan mengagumkan dari nyaris segala jenis luka, kecuali luka yang diperoleh dari manusia serigala pertama yang menularinya. Seolah takdir mengolok-olok Wulfer, memaksanya untuk tidak pernah melupakan malam terburuk dalam hidupnya melalui luka permanen itu.

Samar-samar, Wulfer juga mengingat bagaimana keterkejutan mewarnai ekspresi Aldert ketika pria itu kembali ke Hutan Putih untuk menjemput mereka pada pagi harinya. Pria itu berdiri mematung mendapati si Moncong Perak telah tergolek tak bernyawa, Wulfer yang terbaring di tanah berjuang mempertahankan kesadaran dengan tubuh bermandikan darah dan luka cakaran besar di punggung, serta Eber yang terduduk diam sambil memangku separuh tubuh Wulfer, masih dilanda syok namun berhasil selamat tanpa tersentuh sedikitpun. Wulfer tidak ingat bagaimana perjalanannya kembali ke mansion, karena dia pingsan.

Tersadar dari lamunan pahit masa lalunya, Wulfer memperhatikan Eber, yang saat ini duduk di hadapannya. Eber tengah merobek-robek carikan kecil surat kabar pagi dan meletakkan robekan itu di telapak tangannya yang terbuka. Kemudian Eber meniupnya hingga robekan-robekan kecil kertas itu beterbangan di udara dan mulai melayang jatuh. Sepasang mata merah Eber memandangi proses itu selama beberapa saat dengan intens, hingga akhirnya gerakan jatuh kertas-kertas itu berubah menjadi luar biasa lambat. 

"Tukang pamer." komentar Wulfer sinis, walaupun dalam hati dia mengakui bahwa kekuatan spesial milik Eber inilah yang menyelamatkan mereka berdua di Hutan Putih dulu. Perlambatan proses. Bila kekuatan Eber tidak muncul bertepatan dengan ketika si Moncong Perak hendak menyerang mereka, entah bagaimana akhir dari nasib mereka berdua saat itu.

Menanggapi komentar Wulfer, Eber hanya tersenyum simpul sambil mengumpulkan kembali kertas-kertas yang berjatuhan itu di telapak tangannya.

Sekolah berlangsung membosankan, seperti biasanya. Lorong-lorong bangunan besar dengan banyak pilar itu ramai oleh para murid, pribumi maupun Netherlander. Normalnya, setiap hari seusai malam perubahan, Wulfer akan meminta izin kepada Aldert untuk tidak masuk sekolah karena sekujur tubuhnya terasa letih dan nyeri. Tetapi kali ini berbeda.

Malam ini, dia punya tugas.

"Temukan dokumen itu. Ingat, JANGAN tinggalkan jejak."

"Ya, Vader."

Kornelius Wagner. Keturunan tertua dari keluarga konglomerat Wagner. Jenderal yang dikenal memiliki catatan yang begitu bersih, hingga kerajaan mempercayakan keamanan Buttervia di bawah kendalinya. Wulfer telah memata-matai pergerakannya selama dua hari terakhir, menghapal jadwalnya, rute yang diambilnya dari kantor ke rumah--maupun sebaliknya, serta mencari tahu kebiasaan orang-orang terdekatnya.

Arie Wagner, anak laki-laki sang Jenderal--setahun lebih muda dari Wulfer--bersekolah di tempat yang sama dengan Wulfer. Setiap pagi, ajudan kepercayaan Jenderal Wagner mengantar Arie ke sekolah dan setiap sore, dia akan menunggu di luar gerbang untuk menjemputnya. Selalu tepat waktu.

Sore itu pun begitu. Selepas bel sekolah berbunyi, Wulfer menyambar tasnya dan menghampiri Eber yang masih membereskan buku-buku.

"Aku akan pulang terlambat. Harus melakukan sesuatu." Wulfer memberitahu Eber.

Eber mendongak menatap kakaknya dari kursinya, "Tugas?"

Wulfer mengangguk dan berbalik menuju pintu kelas. Eber memanggilnya.

"Jangan sampai tertangkap."

Wulfer mendengkus, "Memangnya kaupikir aku siapa?"

Menyelip di antara lautan murid yang memenuhi koridor-koridor panjang, Wulfer bergerak cepat mengikuti Arie. Sesuai dugaan, sang ajudan, Henrik Boer, telah menunggu majikan kecilnya di luar gerbang dengan kereta kuda.

Wulfer beruntung karena rute menuju mansion keluarga Wagner mengharuskan kereta kuda membelah wilayah perkebunan. Wulfer dapat membuntuti kereta kuda yang melaju di jalan utama dengan tetap berada di balik pepohonan, berlarian gesit dari balik satu batang pohon ke batang pohon lainnya tanpa terdeteksi dan dengan kecepatan yang sanggup menyaingi laju kuda terlatih. Walaupun begitu, sang kusir tampak agak kewalahan mengendalikan kuda-kuda yang menarik kereta, entah mengapa mereka bertingkah aneh, mengendus-endus udara dengan gelisah dan langkah yang semakin sulit diatur.

Ketika akhirnya pepohonan semakin jarang dan kereta kuda tiba di mansion megah dan berkilauan milik keluarga Wagner--amat kontras bila dibandingkan dengan mansion Leanders yang serba muram dan gelap--Wulfer bergerak cepat keluar dari area perkebunan dan menyisiri sisi samping bangunan yang dipagari tembok tinggi. Kemudian Wulfer berhenti di satu sisi dan mendongak, mengendus udara.

Tidak ada penjaga di bagian sini.

Dengan gerakan luwes dan tanpa kecanggungan sedikitpun, Wulfer mulai memanjat tembok.

Dia mencari batu-batu menonjol yang dapat dipijak atau dicengkeram, dan memanjat naik dengan lancar. Setibanya di puncak, dia berjalan perlahan meniti permukaan tembok yang sempit menuju ke arah sebuah pohon besar yang tumbuh di halaman mansion yang rapi. Wulfer berputar menghadap pohon itu, mengambil ancang-ancang, dan meloncat.

Dia nyaris meleset, namun pada detik-detik terakhir dia mengeluarkan cakar di satu tangannya dan berhasil menancapkan cakar-cakarnya di dahan terdekat. Dalam posisi bergelayutan, Wulfer menghela tubuhnya naik dan sukses menduduki dahan pohon. Dari sini, dia dapat melihat ke arah jendela salah satu ruangan di dalam mansion yang terang benderang. Ruangan yang sudah Wulfer hapal posisinya selama dua hari terakhir.

Di dalam ruangan itu, terlihat Henrik Boer tengah berdiri menghadap sebuah meja kerja. Kornelius Wagner menduduki kursi tinggi di balik meja kerja tersebut.

Wulfer menajamkan pendengaran.

"...dan pengecekan gudang terakhir akan dilakukan malam ini." suara Henrik Boer terdengar, tengah melapor kepada atasannya.

Sang Jenderal bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela.

Sial!

 Wulfer merutuk dalam hati dan buru-buru merunduk hingga posisinya terhalangi kerimbunan dedaunan. Dia dapat mendengar suara Jenderal Wagner berkata, "Aku menunjuk prajurit-prajurit kepercayaanku untuk penggeledahan, tetapi aku tidak ingin ambil risiko..."

Ketika pria itu berbalik memunggungi jendela, Wulfer mengambil kesempatan itu untuk kembali mengambil ancang-ancang dan melompat ke arah balkon gelap persis di sebelah ruang kerja Jenderal. Dia berdiri merapat ke dinding di atas tembok balkon, titik buta yang lebih ideal untuk mencuri dengar percakapan.

"...jadi kuharap kau melapor padaku bila ada orangku yang mencurigakan. Tidak boleh ada kebocoran kali ini. Sudah cukup reputasiku tercemar karena rumor lelang barang berharga ilegal itu terbukti benar. Aku tidak ingin kejadian serupa terulang."

"Dimengerti." Boer menyahut.

"Dan..."

"Ada lagi, Jenderal?"

Tidak terdengar sahutan dari Jenderal Wagner selama beberapa saat. Hingga akhirnya pria itu meneruskan.

"Boer. Apa yang hendak kukatakan padamu setelah ini adalah sesuatu yang seharusnya tidak kuberitahukan kepada siapapun."

"Saya telah disumpah untuk membawa rahasia keluarga Wagner ke liang kubur, Jenderal."

Jenderal Wagner tampaknya cukup puas dengan jawaban Boer. Lagipula, ajudannya itu sudah bekerja untuk keluarga Wagner sejak dirinya masih kecil, dan dia telah membuktikan dirinya pantas dipercaya.

"Salah satu barang merupakan hasil jarahan dari harta benda warisan kerajaan. Menurut laporan yang kuterima, sejak hilang dari penyimpanan kerajaan, benda itu masuk ke dalam perlelangan dan terus menerus lolos dari pelacakan dan berhasil diperjualbelikan ke pemilik-pemilik yang berbeda. Namun entah bagaimana, jejak pemiliknya tidak pernah berhasil ditemukan."

"Anda ditugaskan untuk mencari barang itu?"

Sang Jenderal menggumam mengiyakan, "Hanya saja... tidakkah kau pikir ini agak aneh? Mengapa pihak kerajaan baru membuka masalah ini kepada kami sekarang? Bila barang ini sudah lama hilang, mengapa tidak dilakukan pencarian besar-besaran?"

"Apa sebetulnya benda yang begitu dicari-cari itu, Jenderal?" nada suara Boer terdengar heran.

"Kudengar itu adalah sebuah batu mulia. Namanya--"

"Siapa kau?"

Wulfer berbalik cepat dan mendapati seseorang telah berdiri di balkon gelap di belakangnya.

Arie Wagner.

Jantung Wulfer bertalu-talu, insting mempertahankan dirinya mendadak bangkit. Bagaimana bisa dia lengah dan tak dapat mendengar atau mencium kehadiran bocah itu?

"Apa yang kaulakukan di balkonku?" tanya Arie, bocah itu menatap Wulfer, campuran antara bingung dan was-was. Menyadari Wulfer mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya, dia mengernyit, "Apa kau suruhan anak-anak di sekolah untuk mengerjaiku lagi?"

Dia melihatmu! Merepotkan! BUNUH SAJA!

Wulfer menggeleng kuat-kuat. Dia meraih ke balik jasnya, dan ketenangan merambatinya ketika mendapati jemarinya menyentuh permukaan dingin jam saku pemberian Eber. Degup jantungnya perlahan melambat.

"Tidak ada hubungannya denganmu." Wulfer berhasil menjernihkan pikirannya. Sedikit.

Dahi Arie semakin terkernyit, "Apa kau maling?"

Robek lehernya dan gantung kepalanya di pagar!

Wulfer sekuat tenaga mengabaikan raungan-raungan marah si monster dan berjongkok, menyejajarkan matanya dengan mata si bocah. Kemudian dia berbisik dengan nada rendah mengancam.

"Kalau kau pintar, kau akan masuk ke dalam kamarmu sekarang, tutupi tubuhmu dengan selimut dan pura-pura tidak pernah melihatku. Aku bisa melakukan hal-hal mengerikan yang tidak terbayangkan terhadap leher kecilmu yang ringkih itu."

Arie membeku, dia tak mampu mengalihkan pandangan dari sepasang mata merah darah di hadapannya yang begitu asing dan menakutkan itu.

Tiba-tiba bunyi derit engsel pintu yang dibuka terdengar. Tanpa memutuskan pandangannya dari Arie, Wulfer menempelkan satu telunjuk ke bibir, memerintahkan dalam diam agar bocah itu tutup mulut. Lalu dalam satu tarikan napas, Wulfer melompat mundur dan terjun dari balkon, dan mendarat di rumput halaman mansion Wagner tanpa suara. Dia berdiri merapat ke dinding mansion, bersembunyi dalam bayangan.

"Arie, apa yang kau lakukan? Aku mendengar suara-suara..." terdengar langkah Jenderal Wagner di balkon ruang kerjanya, dia tengah berbicara pada Arie yang berada di balkon sebelah yang gelap.

"T-Tidak ada, Ayah. Hanya sedang menghapal pelajaran."

Merasa sudah mendengar apa yang dia inginkan, Wulfer menyelinap menyusuri sisi samping mansion secepat dan sepelan mungkin sambil tetap berada di balik bayang-bayang. Dia terhalang beberapa prajurit yang berjaga, namun akhirnya berhasil mencapai bangunan terpisah tempat kereta-kereta kuda diparkir. Dia berusaha menjaga jarak sejauh mungkin dari kuda-kuda agar tidak membuat mereka terlalu panik, dan menunggu di balik salah satu pohon.

Tak berapa lama, telinga Wulfer menangkap suara. Sepatu yang beradu dengan kerikil-kerikil.

Henrik Boer tengah berjalan menuju kereta yang sama dengan yang tadi digunakannya untuk menjemput Arie, lalu menaikinya, menyerahkan secarik kertas berisi alamat kepada si kusir. Wulfer mengawasi kereta itu berjalan menuju gerbang keluar, dan dia kembali memanjat tembok samping mansion untuk bersiap mengikutinya.

Membuntuti masih merupakan pekerjaan yang mudah. Apalagi bulan sudah muncul di langit, Wulfer diuntungkan oleh kegelapan yang menyelubungi kota, membuatnya dapat bergerak lebih leluasa. Serta makin banyak binatang malam yang bangun dan beraktivitas di daerah sini, sehingga baunya yang meresahkan kuda-kuda dapat sedikit tersamarkan.

Semakin dekat ke daerah padat penduduk, pergerakan Wulfer semakin terbatas. Dia harus memanjat beberapa gedung di satu tempo, menghindari jendela-jendela, dan melompat-lompat dari satu atap ke atap lain, sambil terus menjaga agar laju kereta tidak lepas dari pengawasannya. Kemudian mereka keluar lagi dari kawasan pemukiman, semakin ke selatan, ke daerah pinggiran Buttervia yang sebagian besarnya terdiri dari area hutan.

Setelah kurang lebih satu jam membuntuti kereta, tanpa diduga-duga, sebuah bangunan tua yang besar dan panjang menyambut mereka. Terlihat seperti pabrik yang terlantar. Ketika kereta kuda mendekati pabrik, seorang penjaga keluar dari posnya dan membukakan gerbang untuk mereka.

Wulfer keluar dari balik pepohonan dan mengamat-amati tempat sepi di hadapannya itu. Inikah gudang penyimpanan yang dibicarakan tadi? Mengapa mereka memindahkan barang-barang berharga hasil sitaan lelang ilegal ke tempat bobrok ini? Apakah mereka juga tidak menempatkan petugas untuk pengamanan ekstra agar tidak menarik perhatian publik?

Wulfer bahkan tak perlu repot-repot memajat pagar yang mengitari pabrik. Dia hanya perlu menyelinap lewat gerbang yang tak tertutup rapat saat penjaga di pos sedang lengah.

Pabrik itu besar, dan Wulfer sudah tak dapat melihat ke mana perginya kereta. Tidak terdengar suara kuda dan roda-roda, jadi pastilah kusirnya sudah memarkirnya di suatu tempat.

Wulfer mengendus udara dan bergerak mengikuti aroma samar yang tertangkap indera penciumannya yang tajam.

Roti.

Wulfer bukannya tidak sengaja menubruk bahu seorang pria di kios jajanan tadi pagi. Saat itu dia tengah menandai jas Henrik Boer dengan bau roti yang dibelinya.

Wulfer mengikuti aroma itu dan berhasil menyelinap masuk melalui salah satu pintu pabrik yang terbuka. Di dalamnya gelap, luas, dan kosong melompong, namun cahaya kekuningan terpancar dari balik jendela kecil sebuah ruangan tertutup di lantai dua. Wulfer menaiki tangga dan berjalan menghampiri ruangan itu, memastikan langkahnya sesenyap mungkin. Terdengar suara-suara orang berbicara dari dalamnya.

"...penggeledahannya hampir selesai, Tuan Boer. Tetapi..." suara seorang pria yang Wulfer duga merupakan salah satu bawahan Jenderal Wagner berbicara.

"Ada masalah, Letnan Meijer?" suara Boer terdengar.

"Ya. Kami belum menemukan satu barang terakhir. Jenderal memang mengatakan pencariannya tidak akan menjadi tugas yang mudah... tetapi--"

"Pencariannya akan diteruskan sampai benda itu ditemukan." Boer memotong perkataan Letnan Meijer, "Anda memiliki salinan laporan penyelidikannya?"

Dokumen itu!

Terdengar bunyi-bunyi kertas dibolak-balik dan suara percakapan beberapa orang. Wulfer mengintip ke dalam jendela dan melihat Boer menerima berkas dari pria berseragam militer.

Sungguh mengherankan betapa sedikit prajurit yang dikerahkan Jenderal Wagner demi menjaga gudang penyimpanan itu. Dari hasil intipnya, Wulfer dapat melihat ruangan dipenuhi rak-rak berisi kotak-kotak besi yang memiliki kuncinya masing-masing dan juga brankas-brankas besar. Dan Letnan Meijer hanya membawa dua orang bawahannya. Pertemuan itu berlangsung selama beberapa saat sebelum akhirnya dibubarkan.

Tak butuh usaha ekstra bagi Wulfer untuk membuntuti kembali Boer--yang kini menenteng koper kembali ke dalam kereta kudanya. Kereta kuda itu membawa Boer keluar dari pabrik terlantar, kembali menyusuri jalanan yang sepi. Wulfer berlari menembus pepohonan, dengan mudah dapat menyamakan kecepatan dan mempersempit jarak dengan kereta yang melaju cepat.

Kuda-kuda yang menarik kereta Boer akhirnya mengendus keberadaan Wulfer. Mereka meringkik-ringkik ketakutan, berlari semakin cepat dan tak terkendali.

"WAH! WAH! HEI!" si kusir menarik tali kekang para kuda dengan panik. Wulfer menyeringai, adrenalin menyebar ke seluruh tubuhnya, jantungnya berdegup dengan kecepatan mengerikan hingga dadanya serasa mau pecah dan dia dapat merasakan darahnya menggelegak di balik kulit-kulitnya.

Tidak!

YA!!!

Itu adalah momen paling menakutkan dalam hidup si kusir.

Dia melihat, dalam beberapa detik yang membuat darahnya seolah membeku itu, sesosok monster mengerikan menerjang keluar dari bayang-bayang pepohonan. Monster itu mendarat di hadapan mereka hingga kuda-kuda meringkik liar dan mengangkat kaki-kaki depan mereka dengan ketakutan, menyebabkan kereta kehilangan keseimbangan dan terbalik.

Si kusir terlempar dari kursinya ke jalanan. Dia berupaya bangkit, merasakan nyeri hebat di belakang kepalanya. Dia menyentuhkan tangannya dan mendapati darah menodai telapaknya. Kepalanya rupanya membentur jalanan yang berbatu dengan keras.

Namun si kusir tidak sempat berlama-lama meratapi cederanya. Lebih tepatnya, dia tidak sanggup. Dia bangkit perlahan, pucat dan gemetaran melihat sosok monster yang tengah merangkak di atas kuda-kuda mereka. Kuda-kuda yang saat ini sudah nyaris tak memiliki bentuk.

"T-Tuan Boer..." si kusir berupaya berseru memanggil, namun yang keluar lebih menyerupai suara cicitan serak yang hampir-hampir tidak kedengaran. Dia ingin berteriak meminta tolong, mengambil senapan, apa saja, namun sekujur tubuhnya tak sanggup bergerak.

Monster itu mendongak dari atas leher salah satu kuda. Warna merah menghiasi sekeliling mulutnya yang menyeringai memamerkan taring-taring tajam.

Terdengar suara teriakan. Dari dalam kereta, Henrik Boer tersadar dari pingsannya. Boer mengerang, mengamati sekeliling dan menyadari bahwa kereta telah terbalik dan dia mendarat dalam posisi tak lazim di langit-langitnya. Pria itu melihat koper yang isinya berhamburan keluar, lalu merutuk.

Boer berhasil membuka paksa pintu kereta dengan menendangnya, lalu merangkak keluar. Kepalanya berdenyut-denyut karena terbentur-bentur ketika kereta terbalik tadi, dan pandangannya buram ketika dia mencoba bangkit. Dia memanggil-manggil kusirnya, namun apa yang dilihatnya membuatnya bungkam seketika.

Ada sesosok anak kecil yang tengah merunduk di atas apa yang terlihat seperti cabikan-cabikan tubuh manusia. Dan Boer mengenali corak pakaian dan sepatu bot yang dikenakan potongan-potongan tubuh itu.

Itu adalah kusirnya.

"Apa yang--" Boer terhuyung mundur karena syok hingga punggungnya menubruk sisi kereta. Dia memandangi anak kecil itu, anak laki-laki yang bermandikan darah, lengan kanannya besar dan kekar serta ditumbuhi bulu hitam lebat, seperti lengan monster, dengan cakar-cakar tajam menggantikan apa yang seharusnya berupa kuku manusia.  Dan ketika anak itu menoleh, separuh wajah bagian kanannya bukanlah wajah manusia. Itu adalah wajah yang hitam dan menyeramkan, dengan moncong dan telinga yang runcing seperti... seperti milik seekor serigala.

Dan Boer tak dapat mengalihkan pandangannya dari sepasang mata merah milik monster separuh serigala itu. Merah yang gelap, pekat, dan membuat kakinya terasa lemas.

"Tuhan..." Boer dengan gemetaran merogoh ke balik mantelnya dan mengeluarkan senjata api. Pria itu mengarahkan mulut pistolnya kepada si monster dan hendak menarik pelatuk, namun monster itu tiba-tiba menggerung dan tergopoh-gopoh mundur sambil mencengkeram kepalanya sendiri. Si monster menunduk dan terus-menerus meraung marah.

"Tidak! Tidak! TIDAK! TIDAK!"

Boer, bingung dan ketakutan, memanfaatkan momen itu untuk masuk kembali ke dalam kereta dan mengumpulkan dokumen-dokumen yang berserakan ke dalam koper, lalu buru-buru keluar. Monster itu kini berlutut di tengah jalan, berteriak-teriak dan meninju-ninju tanah dengan lengan monsternya, sementara satu tangannya yang masih berupa tangan manusia meraih sesuatu yang menggantung di lehernya. Sesuatu yang nampak bulat dan berkilau.

"Henrik!"

Terdengar derap kuda dan sebuah suara tak asing yang menyerukan namanya. Dengan horor, Boer menyaksikan Arie Wagner berderap mengendarai kuda dari arah yang berlawanan, menuju keretanya.

"TIDAK! APA YANG ANDA LAKUKAN DI SINI?!" Boer berteriak, "PERGI DARI SINI, TUAN MUDA! PERGI!"

"Henrik!"

Arie entah tidak menyadari atau tidak peduli bahaya apa yang tengah menghadangnya. Dia melompat turun dari kudanya, yang kemudian kabur memasuki hutan karena ketakutan, lalu berlari ke depan Boer, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar menghadap si monster.

"Jangan sakiti Henrik!" Arie berseru marah kepada monster itu, yang kini mendengus-dengus, tampak seperti tengah melawan sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya.

Baik Arie maupun Boer tak ada yang berani bergerak. Si monster berlutut, napasnya melambat. Dia mendongak menatap Arie, satu tangannya masih menggenggam erat sesuatu yang menggantung di kalung lehernya.

DOR!

Suara tembakan menggema di udara. Si monster meraung, bahunya tertembus oleh peluru yang diluncurkan seseorang di kejauhan. Letnan Meijer dan dua orang prajuritnya telah menyusul kereta Boer dari pabrik.

"Tangkap monster itu!"

Wulfer, kini berhasil menguasai sedikit kesadarannya, menerjang Arie dan mengayunkan cakarnya, menghantam bocah itu hingga terpental beberapa meter jauhnya.

"Tidak! Tuan Muda!"

Boer berteriak dan mengangkat pistolnya, namun gerakan Wulfer lebih cepat. Dia menarik lengan Boer hingga pistol dan koper terlepas dari genggaman pria itu, dan melemparnya ke arah prajurit berkuda yang berderap mendekat. Boer menghantam salah satu prajurit, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh dari kudanya, sementara dua kuda lainnya yang ditunggangi Letnan Meijer dan satu prajurit lain meringkik ketakutan, berdiri dengan kedua kaki belakang dan bergerak liar untuk mencampakkan penunggangnya, kemudian berlarian tunggang langgang ke dalam hutan.

"Tembak monster itu!" Letnan Meijer berupaya bangkit dari jatuhnya seraya memerintahkan salah satu prajurit, namun tak mendapatkan sahutan. Kedua prajuritnya telah berdiri memegangi pistol masing-masing, mencari-cari target. Sementara Boer telah berlari menuju bocah yang tersungkur di dekat kereta.

"Tuan Muda Arie! Tuan Muda Arie! Oh, syukurlah! Dia masih sadar!"

Namun sang monster, bersama koper milik Boer, entah sejak kapan telah menghilang dari tempat itu.

🌒


A/N:

Maaf kalau chapter ini rada panjang :')

Walaupun di sini Wulfer keluar villain-nya, mari terus dukung cerita dia dengan meninggalkan jejakmu berupa komentar atau vote. Dan jangan lupa mampir ke seri Leanders bersaudara lainnya!

Leanders Series:
1. Asmosius: The Master of Rats Ralorra
2. Wulfer: The Black Snout ashwonders
3. Eberulf: The Black Fang Azza_Fatime
4. Debora: Vervloekte Hand Aesyzen-x
5. Ignicia: Girl From Hell ZiviaZee

Sampai jumpa di chapter berikutnya 🐺

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

92K 6.3K 23
Arsyakayla Attaya, biasa dipanggil Kayla seorang gadis berumur 18 tahun. Ia adalah gadis yang ramah dan lembut ia juga sangat baik dan perduli terhad...
99.3K 252 6
Khusus 21+ Menceritakan seorang wanita bersuami yang ditiduri oleh banyak laki-laki
1.2M 106K 52
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...
144K 13.4K 37
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...