7

41 7 2
                                    

Tok.

Tok.

Tok.

Tok.

Ujung tongkat berjalan mengetuk-ngetuk lantai yang dingin. Bunyinya memantul di dinding-dinding batu di sekelilingnya, menimbulkan irama samar bersahut-sahutan yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Tok.

Bunyi itu berhenti tepat di hadapan Wulfer.

Wulfer mendongak. Dia menatap wajah tanpa ekspresi milik Aldert Van Leanders berdiri di balik jeruji perak kerangkeng bawah tanah mansion Leanders. Monocle-nya berkilat memantulkan cahaya lilin yang menjadi satu-satunya penerangan di ruangan itu. Bau amis memenuhi indera penciumannya. Wulfer menghirup dalam-dalam, mau tak mau menikmatinya.

Bau amis yang familiar.

Bunyi tetesan.

"Apa kau menciumnya?" Aldert menunduk, satu tangannya berada di belakang punggung, satu yang lain menangkup dan bertumpu pada kepala tongkatnya... yang anehnya berbentuk seperti kepala serigala. Atau... kepala kucing?

Wulfer  mencoba bergerak maju namun leher serta pergelangan tangan dan kakinya dirantai ke dinding di belakangnya.

Dia merasa... puas.

Apa yang terjadi?

Aldert tersenyum lebar.

"Kau gagal." katanya pada Wulfer.

Tidak. Wulfer ingin menyahut, namun tidak bisa. Perak membakar kulit leher, lengan, dan kakinya hingga meleleh dan menguarkan aroma hangus yang memuakkan. Aroma hangus itu bercampur dengan aroma amis yang sedari tadi memenuhi rongga hidungnya.

Bunyi kecipak.

"Kau tahu konsekuensinya."

Tidak! Lagi-lagi suaranya tak keluar. Rantai-rantai bergemerincing. Bunyi tetesan dan kecipakan.

Suara liar dalam kepalanya kembali terdengar.

Kau gagal. Sudah kubilang, kau tak bisa apa-apa tanpaku.

Diam!

"Kau adalah sebuah kekecewaan."

Bukan!

"Cangkang tak berguna..."

 Wulfer mengepalkan kedua tangannya dan kembali memberontak berusaha melepaskan diri dari rantai-rantai, namun masih tak ada gunanya.

"Tapi aku... bisa melakukan segalanya." ujar Aldert, pantulan api lilin bergerak-gerak liar pada iris mata pria tua itu. Bayangan yang terbentuk pada wajah tirus dan hidung bengkoknya membuatnya terlihat semakin menyeramkan.

Aldert membuka jeruji dan melangkah masuk. Dia berjalan perlahan mendekati Wulfer.

Kemudian terdengar geraman rendah mengancam. Suara itu. Suara yang menggetarkan sekujur tubuh Wulfer dan merayapi kulit-kulitnya, menggelitik dan membangkitkan kenangan buruk.

Bunyi tetesan.

Wulfer menunduk, asalnya dari ujung cakar-cakar kurusnya yang basah oleh cairan merah dengan cuilan-cuilan... ada sesuatu yang tersangkut.

A-apa yang...?

Bunyi kecipak.

Wulfer menatap kakinya yang menginjak genangan lengket di lantai...

Tunggu. Bukan, itu bukan kakinya.

Lalu tubuhnya. Itu bukan tubuhnya.

Apa yang terpantul pada genangan gelap di bawah Wulfer bukanlah sosok dirinya.

Wulfer : The Black Snout [Leanders Series]Where stories live. Discover now