SILHOUTTE: After A Minute [EN...

Od lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... Více

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

47: This Charade is Sickening

1.3K 270 109
Od lnfn21

CHAPTER 47
This Charade is Sickening

[Playlist: Ha Guen Young, Ye Sol Kim – Dull Sadness]

***

"Aku memberitahu Rosé bahwa kamu bukan suaminya."

Sepasang netra pekat yang membulat ditemani alis bertaut erat mendiami wajah rupawan Jeffrey.

Sorot tajam sarat akan keterkejutan tertuang utuh pada Kim Bona, wanita yang baru saja bicara dengan tampang tak berdosa. Ia tersenyum manis, sementara jemarinya bergerak gemulai membenarkan posisi saputangan di saku jas milik Jeffrey. Pria itu masih mematung dalam bisu, barangkali tengah memikirkan nasib satu atau dua hari ke depan.

Terkesiap, Bona terpaksa menghentikan pergerakan oleh karena jemari Jeffrey tanpa aba-aba mencengkram kuat lengan kurusnya seraya berkata, "Mengapa kamu harus selalu mengusikku? Apa kamu lupa di tangan siapa hidup dan matimu berada?"

Jeffrey berupaya menakar kesabaran, mendinginkan bara yang sempat terpantik di jiwa, dan mencoba menampung keseluruhan emosi negatif yang sedang dirasa-rasa. Tuturannya memang pelan, tetapi ia harap Bona paham bahwa ada gertakan tersirat di sana. Namun sayang, alih-alih menciut, perempuan itu justru kian melebarkan senyuman, bahkan tak segan untuk terkekeh kecil.

"Jika kau berniat menyebarkan aibku, silakan saja. Aku tidak takut. Bongkar saja semua aibku, kalau kamu mau," ujarnya nampak begitu tenang, tidak seperti saat pertama kali Jeffrey memberikan ancaman di mana sosoknya bak anak kucing yang dipeluk ketakutan.

Padahal, aib yang dimaksud bukan tindak pidana ringan jika diajukan ke ranah pengadilan. Pembunuhan mungkin akan menjadi yang paling potensial dijadikan tajuk bagi kasusnya dengan tuntutan hukuman kurang lebih sepuluh hingga dua belas tahun penjara.

Bona menyingkirkan cengkraman Jeffrey dari lengannya. Senyum di bibir mendadak pudar. Pandangan dilemparkan secara asal, lalu ia tertunduk di sepersekon kemudian dan bergumam, "Lagipula, umurku tidak lama lagi."

Telinga Jeffrey masih sangat cakap dalam menangkap suara lemah Bona. Kerutan seketika muncul di dahi miliknya. "Apa maksudmu?"

Mengangkat kepala sekaligus kembali menyatukan tatap dengan Jeffrey, Bona berujar lebih tegas, "Kematianku sebentar lagi. Aku akan segera menyusul Jaehyun." Raut bangga berupaya diperlihatkan, tetapi siapa sangka di mata Jeffrey, perempuan itu justru terlihat begitu menyedihkan.

"Kau gila? Kalau mau bunuh diri, lakukanlah tanpa harus lebih dulu mengacaukan hidup orang lain!"

Sekali lagi, runtaian kalimat tegas Jeffrey disambut oleh tawa yang terdengar begitu sumbang. Mata beriris kecoklatan dengan sedikit kadar kesedihan di dalamnya menyorot Jeffrey untuk waktu yang lama.

"Benar. Sebut saja aku gila. Aku menjadi gila setiap kali melihatmu sebab kamu benar-benar serupa Jaehyun. Aku tidak bisa untuk tidak mengacau ketika melihat perempuan itu bahagia bersama denganmu, padahal seharusnya dia menjadi pihak yang paling menderita atas kematian Jaehyun. Aku yang sudah tidak tahan dengan kebodohannya membawa dia ke makam Jaehyun agar dia percaya bahwa yang ada di sampingnya selama satu tahun belakangan ini bukan suaminya, melainkan hanya seorang pria asing."

Jeffrey menatap Bona penuh ketajaman sebelum beranjak berdiri dan menghempaskan napas berat. Jika saja Jeffrey tak pernah belajar tentang bagaimana melapangkan dada untuk menjadi manusia sabar, maka leher Bona mungkin akan menjadi objek tempat kuku-kuku jemari Jeffrey menancap dan bukan kursi-kursi busa di depan pria itu. Namun sungguh, kebersamaan dengan Rosé telah mengajarkannya banyak hal termasuk menadahi kemarahan agar tak berakhir meluap-luap.

"Lagipula sampai kapan kau akan bertahan bersama Rosé? Sampai kapan kau akan terus menjaga perempuan yang tak memiliki ikatan apapun denganmu? Sampai kapan kau akan menjadi bayangan Jung Jaehyun untuk Rosé? Tidakkah kau muak harus selalu bersandiwara?"

"Itu bukan urusanmu!!!"

Dan, seringkali pula, Jeffrey kewalahan. Sebab tabiatnya adalah manusia berdarah dingin yang berlaku serampangan tanpa aturan. Menjadi manusia sabar dan bermoral sungguh bukan ranah seorang Jeffrey. Seperti sekarang, ia baru saja menghardik keras keras Bona. Tubuhnya kembali menghadap perempuan itu, sedangkan netra padamnya memandang Bona jengah.

"Kau jelas tak punya hak untuk memberitahukan rahasia ini padanya. Rosé sedang mengandung saat kau menyeret paksa, dan dia kehilangan bayi dalam kandungannya karena tingkah bodohmu!!!"

Atas apa yang membuat Rosé bersimpuh dengan darah yang bersimbah-simbah kala itu, kini Jeffrey mengerti. Kebenaran yang diterima dari mulut Bona beserta makam Jaehyun sebagai bukti bahwa kematian suaminya adalah nyata benar-benar telah berhasil menampar kuat pikiran Rosé hingga berdampak buruk pada janin berusia satu bulan dalam rahim perempuan itu.

Masih begitu Jeffrey ingat akan goresan luka di telapak kaki Rosé sewaktu ia menggendongnya, penanda bahwa Rosé baru saja melakukan perjalanan melelahkan tanpa menggunakan alas kaki sebagaimana yang pernah Jeffrey dapati dahulu, saat perempuan itu berjongkok di pelataran sebuah kafe menanti ia datang setelah insiden sebuah pertengkaran.

Membayangkan betapa sulit situasi yang sempat Rosé hadapi berhasil menghadirkan sesak yang berkecambuk hebat di dada Jeffrey. Ia mengusap wajah kebasnya dengan sepasang telapak tangan selagi berusaha menenangkan.

"Bayi?"

Bona di satu titik membeo lirih. Rautnya tak elak dari ekspresi kaget meski ditampakkan samar. Ia mendongak dan memandang Jeffrey sedikit prihatin lalu bertanya, "Kau bahkan menghamilinya?"

Senyap menjadi jawab. Jeffrey hanya sebatas menukar hadap, membuang tatap pada apa-apa saja di tiap sudut studio selain Bona. Pertanyaan yang baru saja ia dengar cukup menggelitik telinga juga menampar jiwa. Menghamili Rosé tak pernah menjadi keinginan Jeffrey, sungguh.

"Kalau begitu sekarang kita impas."

Beranjak dari kursinya, Bona kini mengambil posisi berdiri di samping Jeffrey yang mengerutkan dahi tertanda tak mengerti.

"Kita sama-sama pembunuh." Pandangan Bona bergulir dari layar di depan sana menuju pria yang masih tak paham jua. Perkataan Bona barangkali terlalu multitafsir baginya.

Sampai kemudian Bona menaikkan salah satu sudut bibir, tersenyum miring dan memperjelas segala yang membingungkan bagi Jeffrey.

"Aku membunuh bayimu. Dan, kamu membunuh Jaehyun-ku."

***

Perempuan bersurai cokelat terikat tinggi lengkap dengan celemek abu-abu di tubuhnya sedang menghuni sebuah dapur luas berinterior cukup mewah. Beberapa sayur tengah dipotongnya amat pelan, tidak seperti dahulu yang selalu cekatan. Binar-binar yang kerap menghias kedua mata ketika menyiapkan hidangan kesukaan orang tersayang kini tak nampak barangkali sedikit pun. Yang ada hanya kekosongan sebab sang pemilik sering kali tergulung lamunan panjang.

Rosé memang adalah definisi manusia naif dan bodoh. Sebut saja demikian. Setelah mengetahui bahwa pria yang tinggal dengannya sekarang ini bukanlah sang suami, ia masih berusaha mempertahankan semuanya. Jika kalian ingin tahu, alasannya satu, ia hanya sekadar ingin membuktikan sendiri bahwa pria itu memang bukan Jung Jaehyun.

Walau selalu, logika Rosé menerjemahkan hal-hal tentang Jaehyun yang sangat bertolak belakang dengan pria bernama Jeffrey Anderson. Sudah seharusnya, Rosé telah sadar sejak pertama kali mencicipi masakan buatan Jeffrey, atau ketika Jeffrey memesan secangkir americano di kafe sehabis pulang dari mengunjungi gereja. Jaehyun tak secakap itu dalam memasak, dan americano bukanlah seleranya.

"Aku bukan Jaehyun, suamimu. Jung Jaehyun telah mati. Suamimu sudah mati setahun yang lalu. Jung Jaehyun mati tenggelam di dasar danau!!!"

Seharusnya, Rosé segera sadar ketika bentakan keras menampar telinga kala itu sebab Jaehyun tak sekalipun pernah meninggikan suara ketika bicara dengannya; atau, ketika mendapati sosok yang terkapar tak berdaya sehabis menyantap sup tahu pedas, padahal Rosé sangat paham bahwa itu adalah makanan kesukaan Jaehyun.

Mestinya, Rosé benar-benar telah sadar setelah menerima segala tuturkata beserta perilaku terlampau manis yang selalu membuatnya terlena. Ketahuilah, tatap penuh ketulusan itu tak pernah ia temukan di mata seorang Jaehyun. Dan, penolakan tawaran bercinta yang berkali-kali didengar, Rosé juga tak pernah sekalipun mendengar itu keluar dari mulut Jaehyun.

Seharusnya dan sepantasnya semua itu telah cukup menjadi bukti bahwa pria itu berbeda dengan Jaehyun, telah cukup untuk dijadikan alasan untuk membenci dan mengusir ia pergi. Namun, sungguh naas, hati seorang Roséanne Park tak mampu membenci apalagi menyingkirkan Jeffrey. Yang lebih malang lagi, hati seorang Roséanne Park beberapa kali dibuat jatuh.

Terlilit benang-benang pemikiran kusut sekian waktu, Rosé tak menyadari kehadiran sosok jangkung yang berdiri di ambang pintu sejak beberapa menit lalu. Rosé dibawa kembali ke alam sadar oleh nyaring suara pemanas air. Jeffrey di ujung sana cukup lama hanya memandangi perempuan yang tengah kelimpungan itu dalam diam.

"Agh!"

Baru ketika lenguhan perih Rosé terdengar, sepasang tungkak Jeffrey bergerak cepat menghampiri. Rosé dengan ceroboh baru saja melukai ujung telunjuknya dengan pisau tanpa sengaja. Rosé terkesiap ketika Jeffrey tiba-tiba menarik lengannya lalu dengan terburu-buru membuka kran wastafel dan membasuh darah di jarinya dengan air mengalir. Terakhir, pria itu membantu menutup luka Rosé dengan plester.

"Lain kali, hati-hati!"

Rosé hanya bisa mengangguk patuh ketika petuah keluar dari mulut Jeffrey. Pun, ketika pria itu berujar, "Duduk di sini saja!"

Rosé benar-benar menghuni kursi sepanjang Jeffrey menggantikan perannya memasak hidangan makan malam. Sepanjang itu pula, yang ia lakukan hanya memandangi Jeffrey berkutat dengan peralatan dapur, tertampil indah dengan gerakan-gerakan yang amat piawai selayak juru masak profesional. Hasilnya pun tak mengecewakan. Makan malam berlangsung cukup tenang diselingi sedikit perbincangan ringan tentang bagaimana hari masing-masing dari mereka berjalan.

Cerita monoton tentang pekerjaan adalah milik Jeffrey, sedang Rosé bercerita bahwa ia baru saja membuat lukisan landscape panorama pesisir pantai lengkap dengan rembulan utuh dan sepasang kekasih yang sedang memadu cinta juga tulisan 'Venesia' bertinta hitam di posisi paling sudut.

Lukisan tersebut Jeffrey bantu sematkan pada dinding ruang tengah bersebelahan dengan lukisan bunga Anemone. Beberapa saat mengamati, Jeffrey terkesiap ketika merasakan kehangatan merengkuh jemarinya di bawah sana. Ia menunduk guna memastikan sesiapa yang memberikan genggaman, lantas ia tersadar, bahwa hanya Rosé yang berdiri di sebelahnya saat ini.

Menoleh, ada senyuman manis yang terlukis pada wajah cantik perempuan bergaun tidur satin ungu muda. Di saat yang sama, hadir juga sepatah kalimat yang diucap dengan rasonan penuh kelemahlembutan.

"Kita ... mari kita pergi ke tempat itu suatu saat nanti."

Dan, Jeffrey hanya menjawab pelan, "Jika berumur panjang, mari datang ke sana."

Seusai itu, Rosé mengaitkan jari kelingking mereka, tersenyum lagi. "Janji jari kelingking."

Tiada balasan dari Jeffrey. Hanya sebatas tatapan nanar yang Jeffrey tuangkan pada sepasang jari kelingking yang bertaut, juga wajah indah terbingkai surai kecoklatan melewati bahu di hadapan.

Sungguh, Jeffrey tak bisa menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan pasal apa dan mengapa Rosé seakan turut bersandiwara; berpura-pura tidak tahu bahwa ia bukanlah Jaehyun, padahal segala fakta sudah segamblang itu untuk dicerna. Jeffrey sendiri telah menyodorkan mental terkuat yang ia miliki untuk menghadapi kebencian Rosé teruntuk dirinya, tetapi siapa sangka Jeffrey justru seolah dituntut menyodorkan hati terlemahnya untuk menghadapi keramahan yang Rosé hadirkan.

Seperti ketika ia telah bersiap dengan selimut untuk dibawanya menuju ruang pribadi Jaehyun, Rosé yang beberapa waktu lalu seakan menciptakan jarak di antara mereka dan tak keberatan tidur terpisah, malam ini justru berkata,

"Tidurlah di sini. Bersamaku."

Tepukan pelan diberikan Rosé pada ruang kosong ranjang di sebelahnya. Jeffrey sempat gamang, tetapi pada akhirnya membaringkan diri di tempat tersebut. Memang lebih nyaman dari sofa abu-abu pudar ruang sebelah, tetapi alih-alih terlelap nyenyak, Jeffrey malah sama sekali tak dapat memejamkan mata.

"Rosé masih mempertahankanmu bahkan setelah tahu kau bukan suaminya. Sungguh kelewat bodoh. Apa yang akan terjadi jika hari itu aku memberitahunya bahwa kau adalah pembunuh Jung Jaehyun? Mungkinkah dia akan benar-benar mendepakmu dari hidupnya? Atau bahkan ... membunuhmu?"

Ingatan Jeffrey merangsak kembali perkataan Bona beberapa waktu silam. Satu rahasia gelap Jeffrey diketahui perempuan itu. Tak terlalu mengejutkan. Jeffrey hanya memasang tampang dingin tanpa ekspresi berarti ketika mendengar. Nalarnya seakan bisa menerka sesiapa yang melemparkan umpan pada Bona.

Memandangi wajah damai Rosé di kala terbungkus lelap, Jeffrey kini mempertanyakan pada diri sendiri akan bagaimana jadinya jika Rosé tahu bahwa ialah yang telah membunuh Jaehyun. Mengetahui kebohongan Jeffrey tak begitu membuat perempuan itu meledak-ledak, tetapi mungkin hal yang sama tidak berlaku jika kebenaran lain terungkap. Seketika, Jeffrey kembali dihampiri perasaan risau luar biasa.

"Aku melakukan sejauh ini bukan karena aku membencimu, tapi karena aku mengasihanimu. Karena bagaimanapun juga sedari awal kau tak berniat membunuh Jaehyun, tetapi malangnya harus menanggung rasa bersalah seumur hidup. Aku sudah menebak Johnny adalah dalang di balik kecelakaan itu. Sedari dulu, Jaehyun telah mengklaim pria itu sebagai rival terbesarnya.

Kini, kau harus menghadapi kegilaan Johnny. Dia pasti tak akan melepaskanmu begitu saja. Akan lebih baik bagimu untuk mengusaikan semua ini dan pergi. Rosé sudah tahu kau bukan suaminya. Dia juga tak sedang mengandung anakmu, jadi kau tidak perlu bertanggungjawab perihal apa pun lagi atasnya."

Jika ditelaah lebih jauh, apa yang dikatakan Bona ada benarnya. Jeffrey sempat merasa menjadi pihak paling dirugikan di skenario ini. Namun, ketika memandang wajah perempuan yang tertidur di sampingnya, ego pria itu seketika merosot. Ia dihantam pemikiran lain bahwa Rosé lah yang paling menderita dan jauh lebih dirugikan di sini.

Rosé telah kehilangan dunianya—Jung Jaehyun. Jeffrey tak sampai hati untuk turut pergi dan meninggalkan perempuan itu. Dan lagi, urusan Jeffrey belum selesai.

"Perihal Johnny Suh. Biar aku yang mengurus Biadab itu."

"Kau mau apa? Membunuhnya?"

"Mungkin. Lagipula, umurku tidak panjang lagi."

Meski Bona sempat berkata demikian, Jeffrey tak lantas menjadi pihak yang melempar batu lalu sembunyi tangan. Ia bukan pecundang yang lari sebelum perang benar-benar tamat. Maka, tatkala hendak beranjak dari studio opera sore tadi, ia menyematkan diri untuk melontarkan kata-kata penutup teruntuk Kim Bona.

"Aku sudah berjanji akan membinasakannya dengan tanganku sendiri. Sebelum aku membuat ia bertekuk lutut menyesali semua perbuatannya, aku tak akan pergi ke manapun. Tapi, sebelum itu, kamu sebaiknya memastikan untuk mengunci apartemenmu setiap malam. Karena tak ada yang tahu, pada malam apa seseorang akan datang menghantarkanmu pada kematian."

Ruwetnya pemikiran Jeffrey malam ini diurai oleh suara rintihan yang lolos dari bibir Rosé. Bulir-bulir peluh membasahi sekitar pelipis, Jeffrey mengulurkan tangan dan menyingkirkannya perlahan. Perempuan itu sedang didekap mimpi buruk, Jeffrey pikir. Maka, ketika usapan di puncak kepala tak cukup menenangkan, Jeffrey memberanikan diri merengkuh tubuh Rosé.

Ketika mata Jeffrey menyatu dengan potret Jaehyun yang terbingkai di atas nakas, ia kian membuat Rosé tenggelam ke dalam kukungan dua lengan kokohnya seraya bertutur lirih,

"Jaehyun, Maaf. Aku masih sangat mencintai perempuan ini."

***

Pancake berlumur saus karamel dan segelas teh hangat adalah beberapa hal manis yang pagi ini terhidang sebagai menu sarapan untuk Jeffrey. Hal manis lain datang Rosé yang memberikan sejumlah perhatian, membantu Jeffrey mengenakan dasi dan jas pilihan juga membantu menata rambut. Jangan lupakan senyuman yang menoreh di bibir indahnya, tersuguh tiap kali mereka beradu saling pandang.

Jeffrey sesekali membalas, sedikit manis banyak canggungnya.

"Mengapa? Mengapa kau bersikap seperti ini?"

Bukan satu dua kali, sukma Jeffrey berseru mempertanyakan, tetapi bungkam tetap menjadi satu yang tersemat di lisan. Jeffrey bukan tak senang, hanya saja keanehan ini sungguh tak bisa diterima logika.

Tenang dalam duduknya, Rosé mengamati Jeffrey yang sedang tenggelam dalam aktivitas memasukkan potongan pancake ke dalam mulut. Ada perasaan damai manakala memandang sang pemilik wajah rupawan yang serupa dengan mendiang Jaehyun itu. Entah sampai kapan Rosé akan berlagat pura-pura tidak tahu. Yang pasti Rosé punya keinginan untuk membuat Jeffrey bertahan sedikit lebih lama, atau mungkin selamanya, jika bisa. Sebab jika Jeffrey tahu bahwa ia sesungguhnya telah mengetahui seluruh kebohongan ini, kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah Jeffrey pergi meninggalkannya.

Sebut saja Rosé telah benar-benar gila. Namun, ketahuilah, setengah dari hatinya telah berhasil dirampas oleh Jeffrey, bahkan setelah Rosé berupaya benar untuk menjaga itu agar tetap pada peran utama: mencintai mendiang sang suami.

"Jaehyun, Maaf. Aku masih sangat mencintai perempuan ini."

Semalam, Rosé mendengar Jeffrey berbisik lirih. Ia telah tersadar dari mimpi buruk tepat setelah merasakan kehangatan sebuah pelukan membungkus tubuh. Dan sungguh, ada buncahan rasa bahagia yang meletup di jiwa perempuan itu mengetahui isi hati Jeffrey.

Kursi berderit pelan. Jeffrey hendak beranjak, tetapi entah dapat keberanian dari mana, Rosé menahan lengan pria itu. Mendongak, lalu mengucap satu kata, "Hadiah."

Sepasang alis Jeffrey sempat bertaut selagi merotasikan akal. Syukur, makanan bergizi yang rutin dikonsumsi membuat ia dengan cepat tanggap. Kecupan singkat Jeffrey labuhkan pada dahi milik Rosé. Ia tak hendak membuat kerumitan lahir bilamana Rosé menaruh curiga terhadap penolakan yang ia berikan. Dan, jujur saja, menolak segala permintaan Rosé adalah hal yang sukar dilakukan Jeffrey dulu hingga sekarang.

Termasuk menolak datangnya ciuman tiba-tiba. Sesaat, Jeffrey bergeming merasakan kehangatan menyapa permukaan bibirnya. Meski sempat ditubruk seribu satu tanya, lima detik berselang, Jeffrey meraih pinggang ramping Rosé dan merapatkan tubuh keduanya. Tak naif, Jeffrey merindukan romantisme yang cukup lama tidak hadir di tengah-tengah mereka, dan Rosé pun begitu.

Hal manis yang menjadi sajian penutup teruntuk Jeffrey di rumah itu adalah percumbuan di pagi hari yang memabukkan bersama perempuan tersayang. Terbayang-bayang di ingatan bahkan hingga Jeffrey telah menginjakkan kaki di perusahaan.

Tiada gurat bahagia. Jeffrey tertampil bersama raut datarnya sepanjang ia melangkah, mendiami elevator, dan menduduki kursi singgasana. Akal laki-laki itu sedang mencoba memikirkan mengenai apa yang mesti ia lakukan di situasi membingungkan ini. Tentu bukan perkara benar jika Jeffrey hanya diam di saat Rosé telah mengetahui siapa dirinya.

Terbesit niat di kepala Jeffrey untuk mengakui sendiri bahwa ia memang bukan Jung Jaehyun, lalu mempertanyakan apa mau perempuan itu sebenarnya. Jeffrey harus siap dengan dua kemungkinan jawaban antara diminta bertahan atau diminta menghilang. Dua-duanya tak membuat Jeffrey keberatan.

Jika saja Rosé memintanya bertahan, itu bagus. Namun, kemungkinan tersebut agaknya cukup sempit. Jeffrey tak ingin banyak menaruh harap pada apa-apa yang memang tak bisa diharapkan. Lagipula, memangnya apa yang akan mendasari Rosé mempertahankan pria bejat sepertinya? Tidak ada, tentu saja. Jikalau ada, mungkin hanya satu alasannya. Sebab Jeffrey serupa mendiang sang suami. Namun, ketimbang diminta bertahan hanya dengan alasan itu, Jeffrey pikir pergi lebih baik. Ia telah cukup muak menjadi bayang-bayang seorang Jung Jaehyun bagi Rosé.

Dan, jika Rosé memintanya menghilang, itu juga tak kalah bagus. Jeffrey dengan senang hati akan angkat kaki dari negara ini setelah menyelesaikan satu misi yaitu membuat Johnny membayar seluruh perbuatannya. Bukti kebiadaban Johnny yang kini telah ada di tangannya sangat memungkinkan untuk diserahkan ke pihak berwajib kapan saja ia mau.

Niat Jeffrey untuk bertanya langsung pada Rosé hampir sempurna bulat. Namun, perbincangannya dengan Mingyu di sebuah bar mewah pusat kota malam itu membuat Jeffrey kembali gamang.

"Mengapa kau memberitahu kakakmu bahwa aku membunuh Jung Jaehyun?"

Satu pertanyaan dilempar Jeffrey sehabis memulai tegukan ke sekian whisky yang mengisi sloki dalam genggaman tangan. Mingyu terdiam menatap genangan tequila yang lima belas menit lalu disodorkan pemuda rupawan bernama Lee Taeyoung, seorang bartender resmi tempat ini.

"Kupikir dengan aku memberitahunya, ia akan berhenti menaruh harap padamu," lirih Mingyu menjawab. Jeffrey mengerutkan dahi.

Sloki diangkat, Pemuda Kim memulai tegukan pertama setelah sekian lama. Jeffrey telah selesai menceritakan pada Mingyu tentang segala tingkah Bona yang sangat-sangat diluar dugaan dan sulit dikendalikan. Mingyu sungguh tak pernah mengira bahwa Bona akan menemui Rosé dan membongkar segalanya hingga membuat Rosé berakhir mengalami keguguran karena kondisi fisik dan mental yang saking terganggu saat itu. Syukur, Bona tak sampai memberitahu Rosé bahwa Jeffrey-lah pembunuh Jaehyun, atau Rosé barangkali akan kembali menjelma perempuan setengah gila.

Seketika Mingyu dihamburi perasaan berdosa dan turut berkecimpung memikirkan apa langkah selanjutnya yang akan mereka ambil.

"Bisakah kau bertahan sedikit lagi?"

Jeffrey juga telah memberitahu Mingyu mengenai niat untuk bicara dengan Rosé secara baik-baik. Namun, alih-alih setuju, Mingyu justru melempar satu pertanyaan yang bagi Jeffrey cukup ambigu.

"Aku tahu kamu mungkin sudah muak dengan semua sandiwara ini. Tapi bisakah kau tidak terburu-buru menanyakannya pada Rosé dan bertahan sebentar saja?"

Masih tak cukup paham, Jeffrey menatap Mingyu lamat-lamat. "Mengapa dan sampai kapan aku harus bertahan?"

Sehembus napas yang keluar dari mulut Mingyu terasa cukup berat. Sama beratnya ketika ia hendak mengutarakan maksud terpendam. "Kakakku menderita kanker paru-paru. Vonis dokter menyatakan hidupnya hanya tinggal beberapa bulan ke depan. Mungkin satu atau dua bulan paling panjang. Dan, dia punya satu permintaan terakhir, yaitu berkencan denganmu sampai dia tutup usia."

Kerutan di dahi Jeffrey perlahan terurai. Kebingungan mulai terpecahkan. Kini, Jeffrey paham maksud tuturan Bona tentang ia yang akan segera menjemput kematian. Ternyata Jeffrey salah sangka, Bona bukan hendak bunuh diri, melainkan hendak dibunuh penyakit dalam diri. Terdengar cukup memprihatinkan. Namun, untuk perkara permintaan, Jeffrey seakan tertampil keberatan.

Sampai Mingyu kemudian mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Sebuah cek bernilai fantastis. Bersamaan dengan itu, sepatah kalimat diucap pelan. "Kuharap kamu sudi mengabulkan permintaan kakakku."

Jeffrey seakan berdiri di tengah-tengah kegamangan tanpa berkesudahan. Mata Mingyu menyimpan sorot memohon yang bisa Jeffrey tangkap dengan jelas. Setelah hening sekian waktu, Jeffrey akhirnya mendorong kembali benda pemberian Mingyu. "Aku tidak bisa."

Wajah bertabur kecewa milik Rosé menghantui Jeffrey manakala perempuan itu tahu ia mengencani perempuan lain. Dan, wajah kecewa seorang Mingyu adalah yang paling nyata nampak oleh mata Jeffrey saat ini. Agaknya di sini kepercayaan diri Jeffrey melambung terlalu tinggi. Untuk ukuran Rosé yang telah tahu betul bahwa Jeffrey hanyalah seorang pria asing, apakah mungkin perempuan itu akan merasa cemburu dan terluka?

Jawaban paling mutlak kebenarannya adalah tidak. Sedikit banyak rasa bersalah memukul benak Jeffrey setelah memberikan penolakan pada Mingyu. Sisa whisky direguk habis. Ia hendak beranjak, tetapi getar singkat yang mampir di ponsel memaksanya menahan keberadaan.

Pesan masuk dibuka. Isinya hanya merupakan tautan yang segera Jeffrey tekan sehingga secara otomatis operasi ponsel diarahkan menuju aplikasi penjelajah internet. Satu artikel terbitan dua minggu silam muncul dan membuat sepasang mata Jeffrey membulat kala membaca tajuk yang tersemat di sana.

Mayat Seorang Pemuda Bernama Mark Lee Ditemukan di Sungai Brenta, Kota Venesia

Jemari Jeffrey mendadak gemetar. Sudah lama sekali sejak Jeffrey menghubungi Mark terakhir kali, mereka tak pernah lagi saling bicara. Waktu itu Jeffrey hanya menelpon untuk berpamitan kembali ke Seoul setelah menghabiskan malam bersama Mark melewati kejadian-kejadian rumit di luar perkiraan nalar.

Dan, kini, Jeffrey harus mendengar kabar kematian Mark bahkan di saat seseorang telah berjanji hitam di atas putih untuk menjamin kehidupan pemuda itu. Mendadak napas Jeffrey tercekat hebat. Ponselnya kembali bergetar. Satu panggilan masuk dari nomor tak dikenali. Jeffrey menetralkan gemuruh di dada sebelum menggulirkan ikon terima. Sedetik berselang, suara yang begitu familiar menyapa telinga.

"Orang berhargamu telah mati. Lalu, kamu mau datang sendiri atau diseret paksa kemari?"

Daniel. Batin Jeffrey menyebut satu nama.

Belum habis gemuruh dinetralkan, Jeffrey kini dihinggapi kecambuk perasaan lain. Ada sedikit kemarahan yang berkobar di balik dua bola mata setengah padam miliknya setelah mengetahui betul bahwa Daniel adalah dalang di balik kematian Mark.

Mingyu di sebelah Jeffrey memandang penuh tanya ketika melihat perubahan raut yang cukup kentara. Namun, ia tak bisa berbuat banyak ketika Jeffrey memilih berlalu bersama ponselnya. Panggilan masih terhubung entah dengan siapa.

Tak lekas mengikuti jejak Jeffrey, Mingyu mendiami tempat duduk, meminta Taeyong mengisi ulang sloki lagi dan lagi. Ia berasumsi, ini akan menjadi tegukan terakhir, tetapi asumsinya segera patah lantaran sloki dalam genggaman beralih tangan pada orang lain. Mingyu menoleh, setengah terheran mendapati Jeffrey kembali hadir didekatnya, sedang menghabisi sisa minuman.

Cek di atas meja bar yang belum sempat Mingyu masukkan kembali ke dalam dompet kini raib. Jeffrey mengambil itu, lantas menyuarakan sebuah perubahan putusan,

"Aku akan mengabulkan permintaan kakakmu."

[]


[Closing Playlist: KLANG - Gone] 

[SILHOUTTE: After A Minute]

***

hai, berjumpa lagi dengan SILHOUTTE di chapter ke 47 :)

bagaimana pendapat kalian?
pasti berpikir makin ke sini makin rumit ya hahaha
gak papa, kerumitan ini akan berakhir di chapter 50 atau 51 mungkin

baiklah sekian dari saya, jumpa lagi chapter selanjutnya. terimakasih banyak untuk apresiasi berupa vote dan komentar di chapter sebelumnya. maaf tidak bisa membalas satu persatu.

see you.

***

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

541K 59.4K 39
Setting: Canon (cerita lengkap) Highest rank: #1-tear #2-Canon #3-Sasusaku #3-Sakura #322-Fanfiction #10-Anime #20-Sasuke #83-friendship #575-sad #47...
5.2K 314 29
"Kau tau tidak? Kau adalah orang pertama yang membuatku sekesal ini. Tapi entah kenapa hanya dengan senyummu saja bisa membuatku bahagia." Bertemu de...
14.4K 1.3K 10
Kehidupan para penyihir Daeho after ending Alchemy of Souls 2 : Light and Shadow Cast : Jang Uk - Cho Yeong/Naksu/Jin Buyeon Park Danggu - Jin Cho...
1.4M 81.3K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...