Tidak Ada Aku di Hati Papa

Autorstwa sebaitrasa

129K 14.8K 5.3K

Elzaqta anak Papa. Dari lahir hidup sama Papa. Punya golongan darah yang sama seperti Papa. Punya garis wajah... Więcej

0.0
1 | Papa Sukanya Apa?
3 | Pa, Aku Boleh Ikut, ya?
4 | Kalau Aku Nggak Ada, Papa Nyari Nggak, ya?
5 | Boleh Tidur Sama Papa?
6 | Aku Salah, ya, Pa?
7 | Aku Nggak Suka Mereka, Pa.
8 | I'm Sorry, Pa...
9 | Papa, Jawab Teleponnya.
10 | Apa Arti Aku Buat Papa?
11 | Sudah Bulan Juli, Pa...
12 | Papa....
13 | Dari Sisi Papa
14 | Papa, Aku Pulang
15 | Ada Aku di Hati Papa
A Day With Papa

2 | Papa Pulang Jam Berapa?

6.3K 782 203
Autorstwa sebaitrasa

"Kadang-kadang aku iri sama customer Papa. Soalnya tiap mereka nge-chat buat nanyain barang atau konsul masalah kerusakan, Papa langsung buru-buru bales. Tapi kalau aku yang nge-chat, jangankan dibales, dibaca juga udah syukur. Kata Papa, Papa fast respons ke mereka karena mereka semua penting. Tapi habis itu aku mikir lagi. Kalau kayak gitu, berarti aku enggak penting, dong?"

Laura pernah cerita, katanya, waktu yang paling gadis itu suka selain malam saat ia bisa rebahan di kamar sambil nonton drama Korea, adalah pagi saat keluarganya berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Waktu itu ia bercerita dengan semangat membara juga mata yang menyala-nyala. Gadis itu bilang, ia suka wangi masakan mamanya yang memenuhi meja. Ia juga suka bagaimana orang tuanya akan saling bercanda dan berakhir tertawa bersama. Pagi di rumah Laura itu hangat. Benar-benar definisi keluarga yang sempurna.

Lalu tanpa sadar, setiap tiba waktunya sarapan, El akan diam-diam membandingkan pagi di rumah Laura dengan pagi di rumahnya. Ternyata tidak ada yang sama selain hadirnya menu di atas meja. Papa hanya akan diam selama mereka menghabiskan sarapan, sembari sesekali mengecek notifikasi ponselnya yang berbunyi pelan. Lelaki itu tidak pernah memulai apa-apa jika El tidak bertanya duluan. Papa hanya akan duduk tenang di kursinya, menyesap kopi dan menghabiskan dua lembar roti yang diisi selai kacang. Lalu ketika sudah selesai, ia akan bangkit, meninggalkan uang saku untuk El tanpa mengatakan apa pun dan setelahnya pamit.

Papa tidak pernah bertanya hari-hari El di sekolah berjalan seperti apa, ia berteman dengan siapa saja, setiap pulang sekolah main ke mana. Papa juga tidak pernah bertanya kegiatan apa saja yang El ikuti di sekolah, mata pelajaran apa yang paling ia suka, atau guru mana yang paling tidak membuatnya nyaman karena sering keterlaluan dalam memberi tugas. Papa bahkan mungkin juga tidak tahu, bahwa uang saku yang setiap hari ia berikan masih tersisa banyak sebab El jarang sekali menggunakannya selain untuk membeli makan siang di kantin atau memfotokopi materi tugas.

Roti di piring El tinggal tersisa satu lembar, sementara milik Papa sudah benar-benar habis dan sekarang lelaki itu sibuk dengan gelas kopi yang isinya mungkin juga hampir menyentuh dasar. Cowok itu menenggak susunya sedikit, kemudian berdeham, berusaha mencari cara untuk membangun obrolan. Perlahan, ia menarik satu lembar kertas ulangan yang kemarin baru dibagikan. Ada rasa bangga yang meletup di dadanya ketika ia menatap angka sempurna di sana, dan sekarang ia juga ingin Papa merasakan hal serupa.

"Papa," panggilnya. Lelaki itu menjawab dengan dehaman, tetapi pandangannya masih fokus menelusuri layar ponsel yang menampilkan halaman ruang obrolan dengan seseorang.

"Ulangan Bahasa Inggris kemarin aku dapat seratus, lho. Paling tinggi di antara yang lain. Lebih tinggi dari Mario yang biasanya selalu juara kelas." Ia menyodorkan lembar ulangannya ke hadapan Papa dan membiarkan lelaki itu melihatnya.

Seketika dada El berdebar. Rasa senang membuncah seperti kembang api yang meledak di malam pergantian tahun atau setiap perayaan lebaran. Ia sudah sangat siap untuk melihat senyum Papa, atau mendengar lelaki itu mengatakan betapa bangganya ia padanya. Tetapi setelah hampir sepuluh detik menunggu, Papa hanya mengangguk kemudian mendorong kembali kertas tersebut ke hadapannya.

"Bagus."

Hanya itu. Benar-benar hanya itu. El mencoba menunggu, barangkali ada kalimat lain yang menyusul setelahnya. Tetapi tidak ada. Papa kembali fokus ke ponsel untuk membaca pesan yang entah datang dari siapa saja.

Mau tak mau, El mengambil kembali lembar ulangannya dan membawanya ke bawah meja. Meremasnya perlahan, seolah benda itu tak lagi berharga. Nyatanya, di mata Papa, nilai sempurna yang ia usahakan setengah mati itu tidak berarti apa-apa.

"Bagus ... aja, Pa?" Cowok itu memberanikan diri kembali membuka suara. Tetapi sedetik kemudian ia menyesali keputusannya. Seharusnya ia tidak usah bertanya, karena ternyata tatapan Papa yang seketika teralih dari layar ponsel membuat tubuh El menegang.

Papa itu punya mata yang tajam. Dan akan menjadi berkali-kali lipat lebih tajam ketika sedang berhadapan dengannya. Seketika cowok itu menunduk, berusaha menghindari tatapan Papa. Tanpa sadar ia sampai menahan napas ketika Papa kembali membuka suara.

"Iya, seratus, kan, memang bagus. Memangnya ada yang lebih bagus dari seratus?"

Kali ini El diam, berusaha tidak melawan, meski jawaban Papa bukanlah jawaban yang ingin ia dengar. Setidaknya Papa sudah mengakui bahwa ia melakukan pekerjaan yang bagus hingga dapat kembali memperoleh nilai seratus. Setidaknya ia tidak membuat Papa malu di mata para guru.

Setelahnya, topik di sana kembali tandas. Sama seperti hari-hari sebelumnya, obrolan mereka tidak akan bertahan lama. El akan selalu punya cara untuk memulai, tetapi Papa juga selalu memiliki alasan untuk memangkasnya tanpa sisa.

Papa kemudian bangkit setelah menenggak habis kopi hitamnya. Menyimpan ponsel berlogo apel yang tak lagi utuh itu ke saku celana dan menyambar kunci mobil di meja.

"Papa berangkat dulu," katanya.

Jika sudah begitu, El tidak bisa lagi membantah. Sampai hari ini, ia tahu bahwa alasan Papa selalu pergi lebih cepat darinya adalah karena ingin menghindari rumah. Mungkin, rumah ini tidak pernah terasa nyaman untuk Papa. Sebab, di rumah ini, tidak pernah ada orang yang benar-benar Papa cinta.

Beberapa detik kemudian, jejak-jejak langkah Papa bahkan sudah menghilang. Wangi parfum yang lelaki itu tinggalkan juga perlahan menguar lalu pudar. Papa pergi tanpa perlu menunggu El membalas kalimatnya atau sekadar mencium tangannya. Rumah itu kembali hanya menjadi sekadar bangunan dengan dinding-dinding hampa di dalamnya, di mana El tidak pernah memiliki tempat lebih di sana.

Deru mesin mobil Papa terdengar, lalu pelan-pelan suara itu menjauh, meninggalkan halaman. Saat itu, El menatap lagi lembar hasil ulangan yang sudah kusut di tangan.

Seandainya Papa tahu, untuk memperoleh nilai setinggi itu, ia belajar mati-matian. Mengurangi jam tidur, menunda waktu makan, memangkas habis seluruh waktu yang ia miliki untuk pergi bermain dan menggantinya dengan belajar di kamar. El bukan anak yang terlahir dengan kapasitas otak di atas rata-rata hingga tanpa belajar pun akan tetap dapat nilai sempurna. Terkadang, ia harus belajar sepuluh kali lebih keras daripada yang lainnya. Tujuannya cuma satu; ia ingin Papa bangga. Setidaknya satu kali, ia ingin mendengar Papa bangga memiliki ia sebagai putranya.

Tetapi bahkan setelah berkali-kali El mencoba, ia masih tidak mendengar apa-apa dari Papa. Papa tidak pernah terlihat senang, bahkan ketika ia akhirnya berhasil mendapat ranking dua di semester ganjil kelas 1 SMP, setelah sebelumnya hanya tertahan di ranking 8 dari 32 siswa.

Cowok itu tersenyum getir, sebelum kemudian meremas kertas ulangannya menjadi sampah dan mencampakkannya begitu saja.

[•••]

Papa, jangan lupa makan .

Sudah hampir sepuluh menit sejak El mengirimkan pesan tersebut kepada Papa, tetapi sampai detik ini masih belum ada balasan apa-apa. Padahal El yakin sekali, tanda centang dua di sisi pesannya telah berganti warna dan nomor Papa juga sempat berada dalam status online untuk waktu yang cukup lama, sebelum kemudian status tersebut hilang begitu saja.

Seharusnya itu hal biasa. Papa bukan tipikal orang yang akan repot-repot meluangkan waktu untuk sekadar membalas pesan dari orang yang mengingatkannya makan. Papa itu orang sibuk. Pekerjaannya banyak. Pesan-pesan tidak penting dari El pasti tergusur oleh pesan-pesan dari pelanggan yang jauh lebih berharga untuk Papa. El seharusnya tidak mengganggu Papa.

"Papa, tuh, sibuk, El. Jangan digangguin!" Cowok itu kemudian menegaskan kepada dirinya sendiri, berusaha lebih mengerti.

Setelah itu, ia membiarkan layar ponselnya padam. Membekukan pesan yang mungkin hanya akan tenggelam bersama puluhan notifikasi lain di ponsel Papa, lalu hilang. Cowok itu mengembuskan napas panjang, pandangannya ia bawa ke depan, menatap lalu-lalang murid lain dari taman kecil yang melingkar di dekat ruang perpustakaan.

Tidak ada terik matahari yang membakar. Langit sudah mendung sejak jam pelajaran bahkan masih berlangsung dan sekarang awan-awan gelap mulai menggumpal. Mungkin nanti akan turun hujan. Ah, Papa bawa payung tidak, ya?

Saat cowok itu sedang sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba suara langkah kaki berderap cepat ke sana. Disusul tepukan pelan di bahu kanan El setelahnya.

"Dorrr!"

El tidak terkejut sama sekali. Hanya ada satu orang yang akan mencarinya ketika ia tidak terlihat di mana-mana, dan kali ini pun sama. El menoleh, tersenyum kecil mendapati keberadaan Laura.

"Nggak ke kantin?"

Cowok itu menggeleng pelan, sementara Laura berpindah dari belakang ke sisinya.

"Kenapa? Istirahat pertama tadi gue juga nggak lihat lo di kantin. Emang enggak laper? Gue aja yang cewek udah jajan dua kali."

El juga tidak tahu kenapa. Semenjak sarapannya dengan Papa tadi pagi berakhir dengan sangat menyedihkan, ia jadi tidak nafsu makan sampai siang. Rasanya lapar, tapi tidak ingin makan. Maka saat teman-temannya yang lain berlarian ke kantin untuk mengantre soto ayam buatan Bu Maryam yang katanya setara masakan restoran, El lebih memilih berjalan ke arah berlawanan. Menepi dari keramaian, dan menghabiskan hampir seluruh waktu istirahatnya siang ini untuk duduk menunggu balasan pesan Papa di taman.

"Lagi males aja, sih," katanya kemudian.

"Jangan dibiasain nunda-nunda makan, deh. Kalau laper, makan. Malesnya diilangin dulu. Sekarang mungkin masih nggak apa-apa, lo-nya juga ngerasa baik-baik aja. Tapi ngga ada yang tau efek jangka panjangnya nanti gimana. Mau emangnya sakit? Ih, sakit, tuh, nggak enak tau, El. Papa lo juga pasti khawatir kalau lo sakit."

Kali ini El diam, sementara kalimat Laura berputar ulang di kepalanya dan kemudian ikut menggali rasa penasaran cowok itu sampai ke dasar. Selama ini, El tidak pernah sakit. Paling parah hanya terkena flu karena kehujanan atau cuaca dingin dan akan membaik dalam beberapa hari. Ia tidak pernah melihat Papa khawatir padanya. Bahkan dulu, ketika tidak sengaja ia terjatuh di halaman rumah yang penuh kerikil hingga lututnya membiru, Papa cuma menyuruhnya hati-hati dan menasihati agar ia bermain di dalam rumah saja.

Jadi, seperti apa rasanya dikhawatirkan Papa?

Buru-buru El menepis pikirannya. Cowok itu mengerjap cepat kemudian berdeham, berusaha mengalihkan pembicaraan. Selama ini, ia selalu menjadikan kehidupan Laura sebagai contoh sempurna untuk dijadikan perbandingan. Gadis itu juga selalu tahu segala hal, termasuk cara untuk membuat keluarganya selalu bahagia dan penuh kasih sayang. Dan untuk sekarang, ia hanya ingin tahu bagaimana biasanya gadis itu menarik perhatian papanya di sela-sela kesibukan.

"Laura," panggilnya. Gadis itu bergumam sembari menarik senyuman.

"Kalau Papa lo lagi sibuk banget sampai lupa waktu, lo biasanya gimana?"

"Gimana, apanya?"

"Gimana caranya biar bisa jadi support system buat beliau?"

"Lo serius nanya gue kayak gitu?"

Kening Laura seketika berkerut. Tatapannya menuntut. Tetapi sebelum gadis itu sempat menggali lebih lanjut, buru-buru El melanjutkan. Berusaha menghapus seluruh kecurigaan yang mungkin baru saja Laura simpan diam-diam.

"Papa gue lagi sibuk banget belakangan ini. Gue bingung aja gimana cara biar bisa ngalihin rasa capeknya."

Lebih dari itu, El hanya ingin menghabiskan satu hari bersama Papa. Duduk berdua, menonton acara olahraga di televisi dan mendukung tim sepak bola yang berlaga. Saling bertukar cerita, lalu berlanjut ke makan bersama. Setelah itu, El akan bilang pada Papa untuk tidak terlalu keras bekerja. Untuk sesekali menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang; bertemu teman lama atau sekadar jalan-jalan melihat suasana kota. El ingin sekali punya satu hari bersama Papa. Seandainya satu hari terlalu lama, satu jam pun tidak apa-apa.

Fokus cowok itu seketika kembali ke tempat saat suara Laura merangkak di antara suara berisik murid lain yang sedang tertawa dari sudut berbeda. Gadis itu bergumam cukup panjang sebelum akhirnya membuka suara.

"Papa gue pernah bilang, katanya, keluarga itu selalu jadi tempat paling nyaman buat pulang. Healing terbaik Papa, itu, ya, saat dia selesai kerja dan balik ke rumah terus lihat gue sama Mama. Kata Papa, cukup dengan pelukan yang gue kasih buat dia ditambah wangi masakan Mama, itu udah bisa ngilangin rasa capeknya setelah seharian kerja."

Kenyataannya, jawaban Laura justru membuat El bungkam. Tanpa sadar kedua tangan cowok itu mencengkeram pinggiran bangku yang ia duduki dengan kencang, berusaha mencari pelarian. Ia kira bertanya pada Laura adalah pilihan yang benar, tetapi sepertinya bukan. Kalau sudah begini, perbedaan mencolok di antara keduanya jadi semakin kelihatan.

Sayangnya, enggak semua keluarga sesempurna keluarga lo, Ra.

"Gitu, ya?" Ragu-ragu cowok itu membuka suara. Antara bingung harus bereaksi seperti apa karena hidupnya dan Laura jelas berbeda, juga kecewa karena ternyata selamanya ia mungkin memang tidak akan pernah menjadi berguna untuk Papa.

Perhatian El kembali terpecah ketika tiba-tiba Laura menarik pundaknya, menjadikan posisi mereka berhadapan sempurna. Mata gadis itu menyipit, seolah sedang menggali informasi sedalam-dalamnya dari raut muka El yang mungkin terlalu mudah dibaca. Sampai kemudian ia kembali berkata setelah sebelumnya memberi jeda.

"Kenapa lo harus galau cuma gara-gara hal sesepele ini, sih, El? Kan tiap hari kalian ketemu. Lo cuma perlu ajak bokap lo duduk bareng selama lima menit, terus kasih tau apa yang Papa lo harus tau. Udah, beres. Lima menit doang cukup, El. Nggak perlu lama-lama kali. Nggak pernah butuh waktu lama buat seorang ayah bisa ngerasain ketulusan dari anaknya."

Kali ini El diam, membiarkan sesuatu di dalam dadanya membakar dengan lebih liar hingga pada akhirnya ia sendiri yang kesulitan. Di dunia ini, ada dua golongan orang. Yang pertama, golongan orang-orang yang dapat dengan leluasa mengatakan perasaannya kepada orang tua mereka. Tidak perlu mengkhawatirkan apa pun sebab seluruh kalimat yang mereka punya akan selalu diterima. Yang kedua, adalah orang-orang yang bahkan untuk sekadar berbicara empat mata kepada orang tua mereka pun tidak bisa. Dan Elzaqta masuk ke dalam golongan ke dua. Di mana untuk bicara pada Papa tidak pernah semudah yang orang lain kira dan ia pun tidak pernah merasa leluasa.

Tidak semua anak sedekat itu kepada orang tuanya.

Keraguan besar di kedua mata cowok itu sepertinya tergambar dengan sangat sempurna hingga Laura dapat langsung menyadarinya. Gadis itu berdeham singkat, sebelum kemudian menepuk pundak El dan membuka suara.

"Gini aja, deh. Nanti malem, lo siapin dinner. Pas bokap lo pulang, ajak dia makan bareng. Ajak dia ngobrol walaupun sebentar. Kasih semangat ke dia, hibur dia. Lo nyanyi kek, joget kek, stand up comedy kek, kayang jungkir balik atau ngapain aja terserah lo. Yang penting, ciptain suasana sehangat mungkin. Oh iya, satu lagi yang nggak boleh ketinggalan. Di meja makan harus ada makanan yang bokap lo suka banget. Itu wajib, sih."

"Ha?"

Lagi, raut bingung El berasil membuat Laura menyipitkan mata.

"Kenapa? Jangan bilang lo nggak tau makanan kesukaan bokap lo apa?" Dan gadis itu refleks menepuk keningnya ketika El memberi respons berupa gelengan kepala.

"Astagaaa, El! Emang lo nggak pernah nanya? Kalaupun enggak nanya, masa lo nggak pernah perhatiin apa yang bokap lo suka tiap kalian lagi makan bareng?"

Selama El hidup bersama Papa, yang cowok itu tahu, Papa bukan tipe pemilih makanan. Semua yang ada di meja makan, Papa akan habiskan. Bahkan saat sayur yang dimasaknya sedikit kepedasan atau terlalu kelebihan garam, Papa hanya akan diam. Di mata El, Papa selalu sama. Apa yang dia suka dan tidak dia suka adalah rahasia yang hanya akan Papa simpan sendirian. Jadi ketika harus menyimpulkan makanan apa yang Papa suka, El benar-benar tidak punya gambaran.

"Papa gue suka semuanya," jawab cowok itu kemudian. Kalimatnya penuh keraguan. Untungnya, Laura tidak mempermasalahkan hal tersebut dan justru melanjutkan.

"Ya udah, deh. Pokoknya siapin aja makan malem buat kalian berdua. Punya duit, kan? Order menu yang agak enakan dikit, biar effort lo kelihatan. Itung-itung biar bokap lo seneng juga. Bayangin aja, dia pulang kerja, capek, laper, lesu. Terus pas masuk rumah, udah ada makanan enak di meja makan. Nggak mungkin, dong, bokap lo nggak seneng? Ya nggak?"

El cukup paham bahwa tanda tanya di akhir kalimat Laura tidak membutuhkan jawaban. Untuk itu ia hanya diam, menatap Laura yang tampak begitu puas dengan jawabannya, lalu pelan-pelan ia mengulang lagi semua yang gadis itu paparkan sebelumnya.

Makan malam bersama Papa.

Haruskah El mencoba?

"Udah mau masuk, nih. Balik kelas, yuk. Nanti lagi kalau mau ngobrol pas udah pulang. Yuk!"

Setelahnya, El hanya membiarkan tangannya ditarik oleh Laura, melewati rumput-rumput taman yang minggu lalu baru dipangkas hingga tandas, kemudian melenggang di sepanjang lorong-lorong kelas. Gadis itu terus berbicara, mengatakan apa saja, mulai dari mengomentari tatanan mading yang menurutnya kurang cantik, hingga mencibir lebar lapangan basket yang menurutnya terlalu luas.

Akan tetapi, dari semuanya, tidak ada satu pun yang benar-benar masuk ke kepala El dengan sempurna. Cowok itu hanya mendengarkan seluruh kalimat Laura, tetapi tidak benar-benar menaruh fokusnya di sana. Pikiran cowok itu sudah lebih dulu penuh oleh rencana yang akan ia susun untuk memulai makan malam bersama Papa. Karena rasanya sudah lama sejak terakhir kali mereka melakukannya. Ah, diam-diam El jadi bertanya.

Kapan, ya, terakhir kali ia makan malam sama Papa?"

[•••]

Jantung El rasanya seperti tidak berhenti membuat keributan. Berkali-kali cowok itu meremas tangan dan melirik jarum jam dinding yang juga seolah berputar lebih cepat di tengah ruangan. Sudah hampir jam delapan, sebentar lagi Papa pasti pulang. Tetapi sampai sekarang El masih belum tahu bagaimana harus memulai. Ia belum siap dengan reaksi Papa, juga segala bentuk kemungkinan yang akan mengekori di belakangnya.

Cowok itu mencoba memberi jeda dengan menghela napasnya, kemudian menyisir lagi makanan yang sudah tersaji di meja. Sembari diam-diam memikirkan kalimat apa saja yang harus ia katakan kepada Papa, juga jawaban seperti apa yang harus ia berikan ketika nanti Papa bertanya untuk apa ia melakukan ini semua. Tetapi sedetik kemudian cowok itu mengusap wajah dan mengacak rambutnya. Kenapa tiba-tiba ia jadi takut membayangkan reaksi Papa? Bagaimana jika Papa tidak suka?

"Enggak, enggak. Jangan mikir aneh-aneh, El. Lo cuma mau makan malam sama Papa. Kalem, dong, pliiis. Ini kesempatan lo buat bisa ngobrol lebih lama sama Papa. Jangan sia-siain." Cowok itu berbisik kepada dirinya sendiri, entah untuk yang ke berapa kali.

Kemudian, arah pandangnya kembali ke meja. Sekali lagi memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan hidangan di sana. Ia memesan cukup banyak makanan karena tidak tahu Papa akan menyukai yang mana. Semoga, di antara semuanya, akan ada satu yang benar-benar Papa suka.

Tapi, omong-omong, Papa pulang jam berapa, ya?

Jarum jam di dinding ruangan sudah melangkah cukup jauh dan sekarang hampir menyentuh pukul sembilan. Tanpa sadar El sudah menunggu lebih dari dua jam sejak pesanannya datang sampai sekarang satu per satu dari mereka mendingin di meja makan. Tetapi sampai detik di mana El kembali melirik ke arah pintu, Papa belum juga datang. Sudah lewat satu jam sejak waktu di mana biasanya Papa pulang. El mulai tidak tenang.

Buru-buru cowok itu mengambil ponsel dan masuk ke ruang obrolannya dengan Papa. Sampai di sana, ia terdiam. Jemarinya tertahan. Fokus cowok itu tertuju pada pesan terakhir yang tadi siang ia kirimkan. Tanda centang dua di sana sudah berwarna biru tetapi tidak ada balasan. Pesannya kembali Papa abaikan, seolah seluruh perhatian yang El berikan tidak pernah sedikit pun lelaki itu butuhkan.

Tetapi sedetik kemudian ia mengerjap dan menggeleng pelan. Hal tersebut tidak mematahkan niatnya untuk menanyakan di mana Papa berada sekarang. Maka dengan cepat cowok itu kembali mengetik pesan.

Kemudian, cowok itu hanya bisa menunggu sampai ada bunyi notifikasi balasan terdengar. Berharap Papa segera membaca pesannya dan membalas meskipun hanya dengan satu kata saja. Namun, sampai satu jam kembali berlalu, pesan tersebut masih tidak memiliki balasan apa-apa. Waktu terakhir Papa online tidak berubah dan tanda centang di sana juga tidak berganti warna.

Bahkan sampai El jatuh tertidur di meja makan dan waktu menyentuh tengah malam, Papa tetap tidak pulang. Suara mesin mobilnya tidak terdengar memasuki halaman. Pintu rumahnya tidak terbuka. Pesan terakhir yang El kirimkan tidak dibalas. Dan makan malam yang El persiapkan dengan susah payah sejak tadi sore, tidak pernah tersentuh.

With Laura;

11.03.2022

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

18.1K 1.3K 19
Kisah bagaimana takdir mempertemukan dua insan yang saling mencintai dahulu kalau, cerita cinta yang tentunya tidak monoton. Akan ada lika-liku rinta...
13.1K 928 17
terkadang demi menyembunyikan suatu kebenaran sangat sulit apalagi kebenaran yang sangat banyak. aku Boboiboy Thorn kalian bisa memanggilku Thorn a...
2.4M 142K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
188K 16.6K 51
Solo, Please Help Me... berkisah tentang Shindu. Si pesimis lemah yang pulang ke Solo setelah lahir dan besar di negeri orang. Shindu datang ke Solo...