SILHOUTTE: After A Minute [EN...

Od lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... Více

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
38: Night We Took Off The Clothes
39: Built A Barrier
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

40: Autumn Bellflower

1.6K 304 168
Od lnfn21

CHAPTER 40
Autumn Bellflower

[Playlist: Fara Effect - Cacher]

***

Nyaring bunyi bel menyeret Mingyu yang baru selesai membasuh diri untuk segera menghampiri pintu kamar hotel. Dengan satu tangan yang masih berupaya menggusak rambut setengah basah, pria berbalut piyama mandi putih polos itu berangsur menciptakan celah yang menyebabkan dirinya kemudian beradu tatap dengan pria jangkung di luar sana.

Jeffrey berdiri tenang, dua tangan menghuni saku celana bahan yang ia kenakan bersama atasan kaos hitam polos lengan pendek.

"Kau benar-benar mengantarkannya dengan selamat sampai rumah, bukan?"

Usai Mingyu mempersilakan Jeffrey masuk ke kamar hotelnya, pria itu dengan santai menjelajah dan mengamati setiap perbendaan yang ada. Tungkaknya berhenti berayun tepat di sebelah jendela lebar yang menampilkan panorama indah Kota Busan di kala malam, begitu gemerlap dan memanjakan mata. Namun, ketahuilah, Jeffrey tak sedang ingin bermanja-manja dengan kedua netranya yang redup.

Mendengarkan jawaban Mingyu tentang perempuan yang ditemani pulang siang tadi adalah tujuan Jeffrey datang kemari.

"Kau tidak perlu cemas."

Dua cangkir kopi selesai Mingyu buat, salah satunya ia letakkan di atas meja rendah di tengah-tengah sofa. Segera, Jeffrey beralih posisi, duduk sembari menyesap kopi suguhan Mingyu.

"Busan-Seoul seharusnya bisa ditempuh selama empat jam perjalanan. Kau pergi pada pukul dua siang. Sampai Seoul setidaknya pukul enam petang, lalu kembali tiba di Busan seharusnya sekitar pukul sepuluh malam. Sekarang, pukul dua pagi." Jeffrey mengamati arloji di lengan kiri, lalu tatapnya bergulir menuju Mingyu yang tengah mengganti pakaian di ujung sana.

"Mengapa? Mengapa kau baru kembali satu jam yang lalu? Tiga jam. Kau buang untuk apa tiga jam itu?"

Satu sudut bibir Mingyu terangkat. Ringisan hambar tersemat di wajahnya yang segar. Mingyu tak menduga, Jeffrey akan sebegini perhitungan jika bicara perihal waktu. Atau, sesungguhnya, ini bukan murni permasalahan waktu, tetapi ada hal lain yang dipermasalahkan pria itu.

"Pukul dua pagi, benar. Sekarang pukul dua pagi. Dan, kau rela mendatangiku hanya untuk menanyakan tiga jam-ku dibuang untuk apa. Mengapa? Mengapa kau begini?"

Jeffrey dibungkam oleh pertanyaan yang diputar balikan oleh Mingyu padanya. Genangan kopi di cangkir menjadi pengalihan mata, berkali-kali lipat lebih menenangkan dipandang ketimbang wajah pria yang duduk di hadapan. Ada raut kesombongan yang Mingyu tampilkan, seakan di mata Mingyu, Jeffrey tak lebih dari seorang pecundang.

"Karena Rosé, bukan?" Sebab Jeffrey tak kunjung bersuara, Mingyu pun menebak. "Kau sangat penasaran hingga tak bisa tidur dengan nyenyak karena terus memikirkan apa yang kulakukan bersama Rosé hari ini. Itu yang membuatmu sudi menginjakkan kaki di sini sebegini dini, benar?

Sekali lagi, Mingyu menyunggingkan tawa kecil. Tak ada yang lucu, pengecualian untuk ekspresi Jeffrey yang kaku seakan terkaan Mingyu bak panah yang dilesatkan tepat sasaran.

Memang benar. Sejak Rosé pulang siang tadi, Jeffrey menjadi manusia kacau yang tak sanggup memisahkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Semuanya campur aduk di dalam akal yang hanya sejengkal. Dan, semalaman, Jeffrey tak kunjung bisa mengkondisikan mata yang sesungguhnya begitu penat terjaga, juga tubuh yang seolah remuk redam setelah berhari-hari terdedikasi memenuhi tuntutan kerja sebagai seorang pimpinan.

"Baiklah. Jika kau memang begitu penasaran, apa boleh buat. Lagipula tidak ada untungnya bagiku merahasiakan."

Mingyu meluruskan kaki, lalu membaringkan badan dengan menjadikan sepasang lengan sebagai alas kepala. Langit-langit dipandangi, seakan di atas sana tengah ada sebuah tayangan reka ulang momen beberapa jam silam.

Kala itu, tanpa Rosé bercerita mengenai permasalahan yang terjadi hingga sosoknya berakhir menangis dalam diam, Mingyu sudah lebih dari paham setelah menyaksikan momen-momen sebelumnya. Ia kerap menemukan Jeffrey mengabaikan panggilan dari Rosé, baik di kala sedang sibuk berdiskusi dengan kolega, maupun di kala senggang. Dan, hari ini, secara nyata Mingyu melihat bagaimana Jeffrey memperlakukan Rosé sedemikian mencengangkan.

Mingyu tak tahu apa alasan Jeffrey bersikap demikian, yang jelas, Mingyu tak bisa diam saja ketika tangis Rosé merasuki telinga sepanjang perjalanan pulang. Maka, sehelai tisu diberikan bersama sebuah tawaran, "Mau makan es krim?"

Sejenak terdiam, Rosé kemudian mengangguk. Mungkin hal semacam singgah di Haedong Yonggungsa, duduk di salah satu bangunan kuil sembari memakan es krim dan menikmati pemandangan hamparan laut hingga senja tiba bukan sesuatu yang luar biasa. Namun, perlu diketahui, hal sesederhana itu mampu menyeret setumpuk kebahagiaan ke dalam jiwa Mingyu tanpa seorang pun tahu.

Keinginan Mingyu selalu tak pernah muluk. Melihat Rosé yang kembali tenang, memejamkan mata di kala hembusan angin musim gugur membelai permukaan kulit wajah dan menerbangkan surai panjangnya, itu sudah lebih dari cukup bagi Mingyu.

"Kau cemburu?"

Mingyu usai bercerita. Sebuah tanya ia tujukan untuk manusia yang masih senantiasa diam. Jeffrey memilih meneguk cairan kecoklatan di cangkir dalam genggaman dan berharap dengan itu, sesak di dadanya segera larut pula.

"Mengapa harus cemburu? Aku bahkan tak berhak untuk itu." Jeffrey bertutur lirih.

"Kamu berhak. Kamu bilang mencintainya, cemburu saat melihatnya bersama pria lain itu hal wajar. Setidaknya sekarang kamu merasakan apa yang kurasakan saat melihat Rosé bersamamu."

Satu napas panjang dihembus. Jeffrey melempar pandangan asal ke sembarang objek. "Kau benar. Aku memang cemburu saat melihatnya bersamamu. Tapi dari pada itu, aku lebih cemburu padamu yang sanggup menyimpan rasa hingga sebegini lama. Aku cemburu padamu yang sanggup untuk tidak menjadi serakah meskipun kamu begitu menginginkannya."

Kerutan muncul di dahi Mingyu. Posisi duduk segera diambil seraya mata mencoba menganalisa tatanan raut Jeffrey yang sedemikian sukar terbaca sebagaimana tuturkatanya.

"Kamu pasti bertanya-tanya mengapa aku mengabaikan Rosé akhir-akhir ini. Jujur saja, aku tidak selapang kamu. Aku sedang berusaha betul menekan perasaan untuknya yang tak pernah kuharapkan untuk cepat tumbuh, juga karena aku ingin berhenti menjadi serakah dan berhenti menginginkannya. Dia bukan porsiku, aku tak pantas mengambilnya. Dia juga dihadirkan semesta bukan untukku, sampai matipun aku tak akan pernah bisa memilikinya."

Dua bahu Jeffrey melesat turun entah sejak bila. Kepala pria itu tertunduk. Ia menjadikan sepasang kaki terbalut sandal hotel sebagai labuhan pandang sebab tak hendak Mingyu melihat betapa malam ini dirinya menjelma manusia paling putus asa sejagat.

Pun, Mingyu di seberang sana terdiam. Ia lebih dari paham situasi Jeffrey. Namun, sungguh, di saat yang sama, ia juga tak bisa membenarkan perilaku pria itu. "Tidakkah kau begitu egois?" Satu pertanyaan melayang. Nada dingin tersemat amat jelas.

Jeffrey setengah mendongak, memandang Mingyu dengan ekor mata.

"Itu adalah resiko yang harus ditanggung olehmu karena menaruh perasaan padanya, mengapa pula Rosé harus ikut menderita? Mengabaikannya, mempermalukannya, dan membuatnya menangis hanya untuk mengamankan posisimu. Itu egois sekali."

Runtaian kalimat Mingyu merasuki telinga. Seisi logika Jeffrey berseru sepakat. Ia memang benar-benar egois. Sedari awal, kesalahan adalah sepenuhnya milik Jeffrey. Rosé tak harus menerima perlakuan sedemikian buruk sebagaimana yang Jeffrey lakukan terhadap perempuan itu akhir-akhir ini.

"Berhenti egois! Berhenti menyakitinya! Jika kau benar-benar mencintai Rosé, selagi kau bersamanya, maka buatlah dia bahagia selalu. Jika suatu saat nanti aku kembali menemukan Rosé meneteskan air mata karenamu, kemungkinan besar, aku tak akan setenang hari ini. Satu atau dua pukulan, atau bahkan lebih, aku tidak bisa menjamin."

Demikian, petuah terakhir Mingyu sebelum Jeffrey resmi mengusaikan keberadaan di sana. Malam-malam berikut, rentetan kalimat Mingyu senantiasa menghantu di telinga Jeffrey, membalut jiwa pria itu dengan benang-benang rasa bersalah yang semakin hari seolah semakin kusut dan sukar terurai. Pun malam ini, Jeffrey berakhir serupa.

Sepasang netra pekat terpaut pada layar ponsel dalam genggaman. Duduk di tepi ranjang hotel yang nyaris dua minggu ini dihuni olehnya, Jeffrey memandang tampilan utama layar: foto ketika Rosé mencium pipinya di malam ia pulang dari Italia dan memberikan sebuah scraft sebagai buah tangan.

Sesuai ucapan Rosé tempo hari, perempuan itu tak lagi mengusiknya barang sekali. Tak ada puluhan panggilan yang dulu dinilai begitu mengganggu. Tak ada kiriman pesan yang menyatakan sedang apa ia di sana, tak juga ada keluhan tentang tangan-tangannya yang tergores duri tangkai mawar. Tidak ada.

Ponsel Jeffrey senyap akan notifikasi dari kontak 'Istriku'. Dan, kini, Jeffrey sedang luar biasa merindu. Beberapa kali, jemari yang hendak menekan ikon panggil berakhir terurungkan. Beberapa kali pula pesan singkat sekadar menanyakan kabar dihapus lagi tanpa sempat dikirimkan.

Menghela napas kasar, Jeffrey menggusak surainya asal. Ada gamang yang memeluk kuat manakala logika dan benak tak sehaluan. Mereka berkudeta sengit. Sampai suatu ketika benak yang menahan kerinduan sedemikian menggunung berhasil mengalahkan logika yang kerap mewanti-wanti jikalau menyampaikan rindu kepada sang pemilik sama halnya membuat upaya menegakkan tiang profesionalitas dan menata ulang pondasi prinsip yang telah Jeffrey lakukan hingga hari ini berakhir sia-sia.

Detik itu, ketika Jeffrey menggulirkan tombol panggil, maka, tiang profesionalitasnya kembali tumbang, pun pondasi prinsip yang dahulu sempat mengakar dalam jiwa—perihal cinta yang merupakan perangai fana—kini dinyatakan kembali runtuh.

"Halo."

Hanya mendengar suara lembut perempuan di seberang mengalunkan sepatah kata sapa saja sudah membuat hati Jeffrey bersorak. Mencoba menetralkan gemuruh yang tiba-tiba bertandang di dada, Jeffrey menjawab pelan, "Ini aku, Rosé."

"Eum, aku tahu. Ada keperluan apa?"

Balasan Rosé lantas membuat Jeffrey kebingungan. Ia sudah menduga akan ada kecanggungan di antara mereka setelah insiden tempo hari, tetapi tak pernah terlintas di kepala, jikalau reaksi Rosé setelah menerima telepon darinya akan sebegini dingin.

"Hanya—aku hanya ingin berbincang denganmu, ingin tahu kabarmu, dan ingin mendengar cerita tentang hari-harimu di sana."

Hening mengisi jeda panjang seusai Jeffrey betutur demikian. Kuku-kuku dimainkan, ujung-ujung kaki diketuk pada marmer, pula bibir digigiti pelan, itu penanda bilamana Jeffrey sedang ditelan gugup.

"Kau baik-baik saja, bukan?"

"Hm."

Satu pertanyaan Jeffrey hanya dibalas gumam, pun dengan pertanyaan berikutnya hanya diberi sepatah dua patah tanggapan.

"Kau makan dan meminum obat benar, bukan?"

"Hm."

"Tidak ada keluhan apa pun lagi?"

"Tidak ada."

"Tanganmu bagaimana?"

"Itu baik. Tidak masalah."

Kendati tak yakin sepenuh hati atas jawaban-jawaban yang diterima, Jeffrey tetap mengangguk dan berucap, "Syukurlah."

Tak mengapa meski Rosé nampak tak berminat dengan perbincangan mereka. Jeffrey tak berkeinginan muluk. Mendengar suara Rosé saja sudah cukup membasuh kerinduan yang ada, meski tak sampai musnah betul.

Detik demi detik bergulir tanpa ada yang menyuara. Senyapan begitu kental dan rasanya sama sekali tak nyaman. Jeffrey enggan menutup perbincangan lebih dulu, barangkali Rosé juga begitu.

"Kamu bagaimana?" Sampai suatu ketika, rasonan lirih Rosé membelah sunyi.

"Ya?" Jeffrey bak orang tolol lantaran dibunuh kaget. Otak pria itu mendadak sukar berotasi.

"Apa kamu juga baik-baik saja di Busan sana?" Baru ketika Rosé memperjelas, Jeffrey dengan segera menjawab, "Eum, aku baik-baik saja, meski sedikit letih."

Suara Jeffrey agak serak memang, bukan sedang dibuat-buat. Badan juga sedang tidak dalam kondisi sehat sepenuhnya, jika boleh dikata.

"Sudah makan malam?"

Sejenak terdiam, Jeffrey lantas berkata apa adanya. "Belum."

Ada harapan dengan begitu, seseorang nun jauh di Seoul akan menaruh kekhawatiran dan sedikit perhatian. Biar saja, Jeffrey kembali menjadi manusia serakah. Ia sungguh tak bisa berbuat banyak, ketika jiwa dan raganya begitu haus akan kasih sayang perempuan itu, yang mana seolah menghilang beberapa hari belakangan.

Namun, naas, jawaban Rosé hanya sebatas, "Segeralah makan dan beristirahat!"

Tak ada ocehan panjang untuk memaki Jeffrey yang tak mengindahkan nasihat Rosé sewaktu hendak berangkat kemari. Nasihat untuk menjaga pola makan dan menjaga diri dengan baik di sini. Padahal, kini, Jeffrey sangat ingin mendengarnya.

"Rosé—"

Ketika Rosé meminta ijin memutus sambungan telepon mereka, Jeffrey memberanikan diri memanggil.

"Ya?"

Kini, isi kepala pria itu tengah berperang. Ada banyak hal yang teringin Jeffrey sampaikan, tetapi agaknya saat ini bukan masa yang tepat sehingga lisan Jeffrey hanya sebatas mengucap, "Aku merindukanmu."

Begitu lirih, nyaris selayak bisikan yang hanya mampu didengar oleh telinga sendiri. Barangkali, tak sampai pada pendengaran Rosé hingga perempuan itu hanya diam bersekon-sekon lamanya. Namun, asumsi Jeffrey segera dipatahkan begitu rasonan lembut Rosé kembali menuturkan kalimat,

"Pulanglah! Aku menunggumu."

***

Langit Seoul ditaburi awan tipis yang berarak perlahan sewaktu siang. Semburat jingga keunguan turut menjajakan diri di atas sana manakala hari bergulir menuju senja. Usainya jam kerja menyebabkan lalu lintas kota menjelma sedemikian padat. Tertampil sangat menarik jika dilihat dari atas jembatan penyebrangan atau perbukitan.

Angin musim gugur berhembus cukup kencang, meniup ilalang liar hingga bergoyang tenang, juga menerbangkan dedaunan kering yang lepas dari tangkai, terjatuh menyapa kawanannya di atas aspal jalanan lalu digilas oleh roda sebuah mobil yang melaju cukup kencang. Jendela dibuka, sang pengemudi menyipit ketika sinar mentari sore menghunus tepat pada netranya yang pekat. Namun, itu tak menyurutkan sebongkah niat untuk menengok aktivitas segelintir orang di tepi Sungai Han.

Mendadak Jeffrey teringat akan momen kencannya dengan Rosé musim semi lalu. Duduk di atas karpet sembari bercengkrama ringan hingga petang menjemput. Itu adalah masa di mana Jeffrey menyadari bahwa ia sepenuhnya telah jatuh cinta. Rasanya tak berujung pada iba belaka, melainkan bermuara pada cinta.

Mobil berhenti usai memasuki gerbang menjulang sebuah hunian megah. Koper diderek Jeffrey yang melangkah pelan dan terbenam di antara dinding-dinding senyap. Kedatangan Jeffrey hanya disambut beberapa pelayan rumah yang hendak pulang lantaran jam kerja mereka telah menemui penghujung.

"Nona Rosé ada di taman belakang."

Seakan tahu bilamana pendar mata Jeffrey berusaha menemukan sang istri bayangan, Mola di salah satu sudut dapur lantas berseru. Seulas senyuman tipis diberikan Jeffrey teruntuk Mola sebelum ia beranjak menemui rerumputan hijau taman belakang beserta bebungaan yang tengah diberi pengairan oleh seorang perempuan bergaun kuning pudar.

Dua menit lamanya, Jeffrey berdiri tanpa membuat suara. Dan, Rosé yang kelewat fokus menggauli tanaman di sana baru menyadari keberadaan Jeffrey ketika pria itu tak sengaja terbatuk pelan. Dua pasang mata manusia bertemu pandang setelah berhari-hari dipisahkan oleh ruang dan waktu.

Meski menyimpan segunung rindu di jiwa, Rosé tak lantas menghambur memeluk sang suami seperti yang kerap kali ia lakukan dahulu. Perempuan itu mematikan kran air dan meletakkan selang yang sedari tadi ia genggam. Ayunan langkah membawanya menjauh dari Jeffrey, studio di ujung taman menjadi tempat ia berpijak.

Beberapa kuas dan cat air dibereskan untuk kemudian disusun pada tempat semula. Berikut, tangkai-tangkai mawar hendak dibuang setelah diambil kelopaknya. Namun, sebuah tangan dengan cepat mencekal lengan Rosé hingga pergerakan perempuan itu terhenti.

"Biar aku saja."

Jeffrey tak hendak duri-duri melukai tangan Rosé seperti yang sudah-sudah. Dulu ketika Rosé mengadu di pesan singkat sewaktu Jeffrey berada di Busan, pria itu tak bisa berbuat banyak selain memberi saran untuk mengenakan sarung tangan yang mungkin tak diindahkan oleh Rosé.

Sekarang Jeffrey telah berada begitu dekat dengan perempuan itu. Sudah menjadi sebuah kewajiban untuk tidak membuat Rosé terluka baik fisik maupun batinnya.

Di tengah-tengah aktivitas Jeffrey membereskan meja yang penuh oleh tangkai-tangkai berduri, hening dipecah oleh suara yang bersumber dari perut. Jeffrey menggigit bibir setengah meruntuk. Ia belum menyantap sepotong rotipun sejak pagi.

Seakan memahami situasi Jeffrey, dengan cepat Rosé berujar, "Ayo masuk! Akan kusiapkan makanan."

Tiada penolakan dari Jeffrey. Ia kini berakhir duduk di meja makan bertemankan sedemikian lengkap hidangan pengenyang perut yang segera disantap dengan lahap. Mungkin, di mata Rosé, Jeffrey seperti manusia kelaparan yang tak diberi asupan pangan selama berhari-hari. Namun, realitanya tak seberlebihan itu. Jeffrey hanya kerap lalai mengisi perut saking banyak pekerjaan yang meminta diselesaikan. Jikalau makanan telah tersaji di hadapan Jeffrey pun, pria itu hanya akan berujung tak berselera dan membiarkan semuanya terbuang sia-sia

Sebuah cangkir diletakkan oleh Rosé di atas meja, di dekat Jeffrey. "Ini teh peppermint. Tenggorokanmu akan lebih baik setelah meminumnya."

Jika boleh berkata jujur, Rosé seribu kali lebih cemas setelah Jeffrey menelpon malam itu. Ia bisa mendengar suara yang lain dari biasa, terkesan lebih berat dan serak. Maka, ketika melihat secara langsung Jeffrey yang beberapa kali terbatuk, perempuan itu tak bisa berdiam diri begitu saja.

"Terima kasih." Sepatah kalimat diucap Jeffrey. Tak ada balasan dari Rosé yang kemudian berlalu. "Kamu mau ke mana?" Refleks mulut Jeffrey melontar tanya ketika sepenuh hatinya menginginkan perempuan itu untuk tetap duduk dan menemaninya di meja makan.

Menoleh, Rosé menjawab, "Aku akan menyiapkan air hangat dan pakaianmu. Setelah makan, segeralah mandi lalu beristirahat."

Gurat penat nampak kentara di wajah Jeffrey. Jelas saja, Rosé bisa menangkapnya bahkan hanya dengan memperhatikan sepintas lalu. Tak ada penahanan, Jeffrey mempersilakan Rosé mengeksekusi kehendak. Meski, sedikit dipukul kekecewaan karena kini Rosé-lah yang justru terkesan menghindar, Jeffrey tak bisa banyak bertingkah. Diberikan pelayanan serupa suguhan masakan rumahan yang memanjakan lidah, dan sedikit banyak perhatian, semestinya itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Jeffrey melangitkan rasa syukur.

Teh peppermint disesap habis. Terasa melegakan tenggorakan yang dua hari ini tak terkondisikan. Jeffrey lantas mengunjungi kamar, berpapasan dengan Rosé yang baru saja meletakan satu setel piyama satin di atas ranjang untuk Jeffrey kenakan nanti.

"Air hangatnya sudah siap. Bergegaslah sebelum dingin."

Ketika Rosé kembali berlalu dari hadapan, benak Jeffrey berseru sedemikian berisik meminta Rosé menemaninya sebagaimana yang kerap dilakukan perempuan itu sebelum ini. Namun, lisan Jeffrey yang kelu hanya berujung membisu. Alhasil, untuk kesekian kali, kekecewaan berhamburan memeluk Jeffrey kuat ketika harus melihat Rosé menghilang di balik daun pintu tanpa bisa menyuarakan keinginan terpendam.

Nyatanya, dibekukan oleh sikap dingin seseorang yang ia cintai bisa sebegini terasa menyesakkan dada. Jeffrey meruntuki diri sendiri yang beberapa minggu lalu bersikap serupa pada Rosé.

Berdiri selama bermenit-menit di depan pintu kamar, Rosé lantas menghembuskan napas pelan. Perempuan itu sama sekali tak berniat mengacuhkan Jeffrey. Namun, perlakuan menyebalkan yang ia terima tempo hari hingga detik ini masih bisa ia rasakan sesaknya. Atas bagaimana Jeffrey menolak secara tegas ketika Rosé hendak ikut perjalanan dinas ke Busan, bahkan pria itu pergi tanpa memberikan kecupan perpisahan. Tak pernah menghubungi dan tak bisa dihubungi. Bersikap manis di hadapan wanita lain dan meminta Rosé meminta maaf setelah menampar wanita itu. Dan, yang terakhir, sepatah kalimat pengusiran yang menghendaki Rosé untuk segera pulang ke Seoul bahkan sebelum genap dua jam ia menginjakkan kaki di Busan.

Dua sudut bibir ditarik mendatar. Rosé berupaya menakar sabar, memilih beranjak menuruni tangga menuju sebuah ruang yang berfungsi sebagai laboratorium untuk meracik parfum. Penerangan dinyalakan. Berikut, perempuan itu duduk di atas kursi singgasana, segera menggauli berbagai cairan dan botol-botol kecil di pusat ruangan. Sampai suatu masa, indra penciuman yang begitu tajam berhasil menangkap aroma wangi lain dari parfum-parfum yang ada.

Aroma shampo dan sabun.

"Kau bekerja sangat keras."

Menoleh, Rosé terkesiap begitu menemukan sosok jangkung berdiri di belakangnya dengan rambut yang masih setengah basah dan berantakan juga piyama yang dibuka dua kancing teratas. Jeffrey tak mengindahkan nasihat Rosé untuk segera pergi beristirahat sehabis mandi. Ia sungguh tak bisa memejamkan mata dan berakhir mengunjungi ruangan ini, memperhatikan gerak-gerik Rosé sedari tadi.

Kursi tempat Rosé duduk diputar tanpa permisi oleh Jeffrey yang lantas berjongkok. Tanpa permisi pula, sepasang tangan Rosé diraih untuk kemudian dicermati. Ada banyak goresan di sana.

"Ini pasti perih sekali," tutur Jeffrey seraya mengusap telapak tangan Rosé pelan. Beberapa saat, sebelum Rosé menarik tangannya dan menggeleng, "Tidak kok. Ini hanya luka kecil. Bukan apa-apa."

Perempuan itu kembali memutar hadap, membuat Jeffrey tak lagi bisa memandangnya. Ia melempar atensi utuh pada pekerjaan di atas meja, tak menghiraukan Jeffrey yang berpetuah pelan, "Sudah cukup, Rosé. Penghasilan perusahaan sudah cukup stabil, dan aku sedang berupaya untuk tidak membuatnya jatuh lagi. Sekarang, kamu tidak harus bekerja sebegini keras. Fokuslah pada kesehatanmu!"

Tuturan Jeffrey sama sekali tak menghentikan kegiatan Rosé. Justru, perempuan keras kepala itu berujar menyangkal, "Siapa yang bicara kalau aku melakukan semua ini hanya untuk perusahaan? Ini adalah kesenangan. Meracik parfum bukan sekadar mencari pamor tetapi juga menuangkan perasaan. Tidak seorang pun bisa membuatku berhenti, termasuk kamu."

Dan, akhirnya, Jeffrey menyerah. Napas diraup banyak-banyak sebelum ia kembali berdiri dan menarik sebuah kursi lalu duduk di samping Rosé. Tak diam saja, Jeffrey mulai berceloteh menanyakan apa yang bisa ia kerjakan. Rosé yang tak bisa mencegah keinginan Jeffrey pun mulai membagi pekerjaan pada pria itu.

Berjam-jam terlewati bersama dua manusia yang larut oleh aktivitas mereka. Pada dentangan waktu yang menyapa pukul sebelas malam, Jeffrey telah diserang kantuk yang teramat hebat hingga ia berakhir mengulai kepala di atas meja.

Sedang, Rosé diam-diam turut meletakkan kepalanya di atas meja, mengamati damai yang tersemat di wajah rupawan Jeffrey sepanjang pria itu terlelap. Jemari terulur menuju surai legam yang lantas disisir perlahan. Rosé tak mau Jeffrey terusik.

"Rosé—"

Sepasang bibir memanggil lirih. Rosé pikir Jeffrey hanya sedang mengigau. Kendati memang demikian, lisan Rosé tetap menjawab, "Hm?"

"Aku minta maaf." Masih dengan kondisi mata terpejam, Jeffrey kembali bersuara. "Maafkan aku. Aku minta maaf karena telah mengabaikanmu berhari-hari, bicara kasar padamu dan mempermalukanmu. Aku sungguh tidak bermaksud membuatmu terluka dan menangis. Maaf. Maafkan aku."

Masih juga dengan kegiatan menyisiri surai Jeffrey, Rosé menjawab, "Tidak apa-apa. Aku sungguh tidak apa-apa. Bagiku, sudah lebih dari cukup hanya dengan melihatmu kembali. Kamu pulang dan kamu di sini bersamaku, itu cukup."

Tak ada kebohongan yang tersimpan di balik ucapan Rosé. Menemukan sang suami kembali setelah berhari-hari pergi, Rosé tak bisa memungkiri buncahan rasa bahagia yang datang tiba-tiba.

"Rosé—"

"Iya, sayang."

Rasa kecewa juga lara yang sempat dirasakan beberapa waktu silam kini secara resmi menghilang, digantikan oleh suka cita tiada tara, terlebih ketika pria di samping sekali lagi mematah kalimat,

"Aku sangat merindukanmu."

Rosé tak bisa menahan sepasang bibirnya untuk tidak melukiskan senyuman dan juga memberikan balasan, "Aku juga sangat merindukanmu."

Senyuman itu lantas tanggal sesaat setelah mata Rosé bersirobok dengan sepasang hazel di balik kelopak indah yang baru saja terbuka. Rosé pikir, Jeffrey sungguh-sungguh telah terlelap. Beberapa kali berkedip, Rosé hendak secepatnya menyingkirkan jemari dari menyentuh surai Jeffrey lantaran ia mendadak disergap gugup.

Sayang, Jeffrey lebih dulu menahan jemari perempuan itu agar tetap pada posisi sebelumnya, bahkan dituntun untuk kembali memberikan usapan lembut di surainya sendiri. Jeffrey bersumpah, ia menyukai itu lebih dari apa pun.

Sekian waktu beradu tatap dalam diam, Rosé tak bisa berbuat apa-apa ketika Jeffrey kemudian mendaratkan kecupan di punggung tangannya yang sedari tadi berada dalam genggaman pria itu. Pun, ketika jarak di antara wajah mereka kemudian ditepis habis, Rosé hanya membatu merasakan sapuan lembut menyapa bibirnya.

Dua benak manusia disemarakkan oleh getar-getar tak kasat mata. Dada mereka bergemuruh seakan di dalam sana genderang tengah ditabuh-tabuh kuat. Percumbuan hangat mengakibatkan keduanya terseret alur yang telah digariskan semesta.

Dua lengan Rosé mengalung indah di leher Jeffrey ketika tubuhnya dibawa serta dalam gendongan lengan kokoh pria itu mengarungi anakan tangga hingga kakinya berakhir menapaki lantai ruangan bernuansa gading.

Pinggang ramping terbungkus kehangatan pelukan Jeffrey, terkadang diberi usapan pelan yang menenangkan sepanjang bibir mereka saling berpagut. Kembali mencipta jarak seraya mencoba mencuri oksigen agar mengisi kekosongan paru-paru, dua pasang mata insani yang telah gelap akan hasrat itu berlabuh pada satu sama lain.

Jeffrey membiarkan Rosé membuka satu per satu kancing kemejanya. Begitu pun dengan Rosé yang merelakan gaun kuning pudar miliknya mencium dingin pualam usai ditanggalkan oleh Jeffrey. Punggung polos menyatu pada sprei abu-abu ketika tubuh indah sang pemilik dihempas pelan di atas ranjang.

Penerangan dipadamkan. Gelap menjadi peneman sepasang Anak Adam yang tengah bercinta.

"Autumn Bellflower."

Usai sama-sama mencapai titik kepuasan, lampu tidur kembali dinyalakan membuat ruangan menjelma temaram. Lima menit Jeffrey habiskan untuk membuat goresan asal pada sebuah buku sketsa yang kini berada di tangan Rosé.

Di balik sehelai selimut, dada bidang Jeffrey yang tak tertutup sehelai benangpun kini bersenggama dengan punggung halus milik Rosé. Lengan melingkar di pinggang perempuan yang tengah mengamati lekat hasil karyanya.

"Aku mencintaimu, meski dalam kesedihan."

Rosé membaca deretan hangul yang berada di posisi paling sudut. "Makna yang cukup suram." Ia berkomentar, tetapi Jeffrey hanya diam.

Tak menuai tanggapan, Rosé kemudian meletakkan benda di tangan ke atas nakas dan memutar balik badan hingga berhadapan dengan sosok pria yang tengah memejamkan mata.

"Aku juga. Sekalipun dalam kesedihan, aku tetap akan mencintaimu."

Bisikan kelewat merdu dari mulut Rosé menyebabkan Jeffrey terjaga lagi. Masih dalam kondisi bungkam, ia hanya sebatas mengusap peluh di dahi Rosé dan menyingkirkan sejumput surai. Raut wajah Jeffrey tak terbaca apa-apa.

Tidak seperti yang pertama, kali kedua meniduri Rosé tak menyisakan kekecewaan di benak Jeffrey barangkali sedikit. Justru, jika boleh berkata jujur, Jeffrey begitu menikmati momen itu dan mulai terindikasi candu. Selayak adiktif yang menyebabkan Jeffrey menginginkannya lagi dan lagi.

Senyuman yang tersemat di wajah Rosé malam ini terlampau manis. Jeffrey membalas sebelum merapatkan kembali tubuh mereka. Tenggelam di balik dekap lengan kecil Rosé, Jeffrey berbisik, "Akhir pekan nanti, mau berkeliling kota bersamaku?"

Sedetik berselang Rosé balas membisikkan sepatah frasa, "Tentu saja."

Terakhir, sebuah kecupan dijatuhkan Jeffrey pada tulang belikat milik Rosé sebelum pria itu membenamkan wajah di balik ceruk leher perempuan yang malam ini menyajikan kehangatan luar biasa.

Jeffrey yakin sekali, ia tak akan bisa menemui kehangatan yang sama, sekalipun berlarian ke ujung dunia. Pelukan perempuan mana pun tak akan serupa hangatnya. Hanya Rosé, rumah terhangat bagi Jeffrey, meski hanya sebatas rumah singgah.

Tak mengapa. Jeffrey memang sedang dalam rangka mencintai perempuan itu, meski dalam kesedihan.

[]




[SILHOUTTE: After A Minute]

***

haiyo, jumpa lagi secepat ini, semoga enggak kaget wkwk

funfact, saya menghabiskan 12 jam untuk menulis chapter ini fiuh ngelap keringat dulu :')

Jeffrey semakin hari semakin gila saja seperti saya hahaha. dan, mau tanya juga nih, apa sih yang membuat kalian betah mengikuti kegilaan saya
*read: bertahan membaca SILHOUTTE sampai sejauh ini?

Terakhir, tidak bosan-bosannya saya mengucapkan terima kasih teruntuk kalian yang senantiasa mencurahkan apresiasi pada book ini.

sampai jumpa di chapter berikutnya ^.^

***

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

61.1K 8.5K 42
Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji ak...
1.4M 81.4K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...
122K 10K 65
[SEVENTEEN TWICE STORY] "Ketika rasa itu datang dan bermuara." Ini kisah tiga belas pria yang dipertemukan dengan sembilan gadis. Takdir membuat mere...