SILHOUTTE: After A Minute [EN...

بواسطة lnfn21

123K 19.4K 5K

Roseanne Park baru saja menikah dengan kekasihnya, Jung Jaehyun yang merupakan pengusaha sukses dan bergelima... المزيد

00: Prologue
01: Woman White Dress
02: Memory of Your Scent
03: Offer & Agreement
04: Yes, I'm Your Husband
05: Romantic in Traumatic
06: Beside You
07: Pray & Promise
08: The Things You Like
09: Bittersweet
10: From Seoul to Chuncheon
11: Big Consequences
12: So Care(less)
13: Quiet for A Moment
14: The Fragile Roses
15: Hug Your Body & Soul
16: Aware With Heart
17: Say Merry Christmas to The Devil
18: Enemy by My Side
19: Helleborus & Hidden Message
20: Circle of The Game
21: Captivated by Love
22: Falling Flower
23: Warmth That Melts Loneliness
24: An Anemone
25: Dating in Early Spring
26: I Wanna Tell You How I Feel
27: Eye Trick
28: The Wrecked Canoe
29: Woman Black Dress
30: Scabiosa's Allegory
31: Hyacinth
32: The Hurricane Arive in Rome
33: Human's Error
34: Even If It's Just A Lie
35: Italy is Distopia
36: Date of Birth & Death
37: People is Full of Secrets
39: Built A Barrier
40: Autumn Bellflower
41: Sailing Without A Map
42: Fill The Emty Space in Yours
43: Chaos Begins to Blow
44: Home & Hebras
45: Beautiful Scraft Carried by The Wind
46: Lies Like a Time Bomb
47: This Charade is Sickening
48: Eternal Destructions
49: Jeju & The Uninhabited Villa
50: Who Is The Villain?
51: Being My Bride in One Night
52: Cistus - Tommorow I'll Die
53: There'd be Pools Filled by Bloods
54: Sweat Pea
| SILHOUTTE FLOWER'S ALLEGORY |
Rose's Series
Jeffrey's Series

38: Night We Took Off The Clothes

1.7K 289 118
بواسطة lnfn21

CHAPTER 38
Night We Took Off the Clothes

[Playlist: Sunwoojunga - Your Eyes]

***

Didampingi Mingyu, sore itu Jeffrey mengunjungi makam mendiang Jaehyun.

Bunga dalam genggaman Jeffrey letakkan di atas nisan. Dua bola mata padam jatuh tepat pada sebingkai foto hitam putih laki-laki dengan rupa yang nyaris tiada beda dengannya. Kendati raut tertampil sedemikian tenang, kecambuk rasa pedih bersikukuh mendiami dada Jeffrey. Benaknya meraung-raung putus asa di saat lisan senantiasa terbungkam tanpa mengurai sepatah kata.

Walau bagaimanapun, Jeffrey tetap tak bisa meredam kesadaran bahwa ialah yang membuat saudaranya merenggang nyawa. Dua tungkak diseret paksa menjauh. Jeffrey tak yakin, dirinya tak akan berakhir tumpah bilamana berdiri lebih lama lagi di sana. Maka, sehabis menasbihkan ratusan kata bertajuk penyesalan dari lubuk hati terdalam, Jeffrey beranjak pergi.

Mingyu mengarak Jeffrey menuju tanah Gwangju, 350 kilometer jauhnya dari Seoul. Sekitar tiga jam perjalanan, Jeffrey kini menapaki pelataran bangunan sederhana panti asuhan yang dulu pernah menjadi tempatnya bernaung. Tak banyak yang ia ingat. Hanya pohon persik di ujung sana, ia ingat dulu kerap berebut mengambil buahnya bersama Jaehyun kecil.

Beberapa saat berbincang dengan seorang biarawati yang terbilang sudah berumur, Jeffrey kini duduk di sebuah ruang baca yang dipenuhi anak-anak malang berpura-pura bahagia. Sebuah album lawas ada dalam genggaman. Setelah satu per satu halaman diteliti sepintas lalu, berpuluh-puluh menit waktu, Jeffrey habis untuk memandang sebuah foto dengan warna yang nyaris pudar:

foto dua bocah kembar identik.

"Jung Jaehyun," lirihnya membaca satu nama yang tertoreh tinta lapuk di sana. Jemari menunjuk, lalu bergeser pada goresan di sebelah, "Jung Yoon Oh."

Hari ini Jeffrey mengetahui nama lahirnya. Sebatas tahu, lalu mencoba untuk lupa. Walau bagaimanapun, seluruh dunia hanya tahu bahwa ia adalah Jeffrey Anderson, manusia yang semestinya segera dibinasakan dari muka bumi karena dinilai terlalu sampah.

"Yoon Oh?"

Mendongak, Jeffrey terkesiap begitu mendapati Mingyu berdiri di sampingnya, turut memperhatikan foto yang tengah menjadi objek tatap Jeffrey begitu lama. "Haruskah aku memanggilmu dengan nama itu? Jung Yoon Oh?"

Album ditutup. Pertanyaan Mingyu tak menuai jawab. Jeffrey memilih berlalu pergi tak hendak berlarut-larut menjadi melankolis. Kembali ke Seoul di kala petang kian beranjak malam, sepanjang duduk di kursi penumpang, Jeffrey tenggelam dalam lamunan. Ia terbawa deras arus yang bermuara pada lautan penuh sesal.

Getar ponsel memaksa Jeffrey agar kembali sadar. Benda di saku jas segera dikeluarkan. Satu detik berselang, matanya membulat penuh begitu menerima sebuah foto dari pengirim tak teridentifikasi. Memperbesar tampilan, Jeffrey kian tak bisa menetralkan gemuruh cemas yang menerkam seluruh jiwa dengan tetiba.

"Lucas?"

Sosok pria bermandikan darah dan luka itu adalah Lucas. Setengah mati, Jeffrey berupaya merotasikan akal memikirkan tindakan apa yang mesti ia segerakan. Lucas dalam bahaya besar.

"Asisten Kim!"

"Ya!"

"Putar balik mobilnya!"

Di mula, Mingyu mengerutkan kening tak paham. Namun, melihat raut wajah Jeffrey yang diliputi gusar, ia pun memilih tak banyak bicara. Mobil dikendarai sesuai instruksi Jeffrey, lalu berhenti di kawasan sebuah apartemen sederhana. Mulanya, Mingyu enggan tahu lebih banyak dan berniat pulang setelah mengantarkan Jeffrey. Namun, rasa peduli juga khawatir yang entah sejak bila ada teruntuk Jeffrey membuat Mingyu sudi turut menaiki puluhan anak tangga dan berakhir memasuki sebuah unit yang begitu tak tertata.

Perbendaaan teronggok di mana-mana mereka suka. Sepatu-sepatu berserakan, buku-buku berjatuhan dari rak, beberapa vas bunga roboh, peralatan makan yang terbuat dari keramik kini menjelma pecahan-pecahan runcing.

Di tempatnya berdiri, Jeffrey tercekat. Sekali lagi ia menatap foto pada ponsel dalam genggaman, mencoba memastikan bahwa matanya tak sedang dikelabuhi ilusi. Tiga detik. Jeffrey butuh tiga detik untuk menjadi benar-benar kelimpungan. Kunci mobil di tangan MIngyu segera dirampas Jeffrey.

Mingyu yang ditubruk seribu satu pertanyaan hanya bisa mengikuti ke mana Jeffrey pergi. Sosoknya teramat nampak gelisah, mengoperasikan ponsel guna melacak keberadaan Lucas saat ini. Mobil dipacu sebegitu kencang, melesap di antara puluhan kendaraan lain yang berlomba-lomba sampai tujuan.

Berkali-kali Jeffrey meneguk saliva sendiri hingga tenggorokan terasa kering. Nalar pria itu bercerai berai tak mampu memikirkan apa pun lagi selain secepatnya menemukan Lucas. Ponsel kembali bergetar. Jeffrey menyambungkannya pada fitur mobil sehingga Mingyu bisa melihat siapa sang pemanggil dan mendengar apa yang mereka perbincangkan.

"Jka dalam lima menit kau tidak datang kemari menyerahkan semua informasi yang kau curi, maka Tikus Kecil ini akan segera membusuk di dalam peti."

"Di mana kau sekarang?!"

Gelak tawa menyambut pertanyaan gemetar Jeffrey.

"Bukankah seharusnya kau tahu? Kau bahkan menyadap ponselku berbulan-bulan ini, Sialan!!! Ah, berkat Tikus Kecil ini, alat penyadapnya sudah terlepas. Meskipun begitu, aku masih sangat bernafsu untuk membunuhnya jika kamu tidak segera datang."

"DIMANA KAU SEKARANG, BRENGSEK?!"

Pantas saja, sedari tadi Jeffrey mencoba membuka aplikasi sistem penyadap, ia tak kunjung menemukan titik akurat keberadaan Johnny. Ternyata pria itu bergerak lebih cepat melumpuhkan rencana Jeffrey. Entah bagaimana bisa Johnny menemukan jejak Lucas, Jeffrey sungguh tak habis pikir.

Sambungan diputus, pesan singkat berisi sebuah alamat masuk ke ponsel Jeffrey. Di sebelah pria itu, Mingyu hanya bisa membisu, bahkan di saat nyawanya seperti dibawa menembus batas sebab Jeffrey berkendara selayak pembalap kelas dunia.

Mereka tiba di daerah antah-berantah. Sebuah bekas pabrik tekstil kumuh yang tak terjamah tahun-tahunan. Dindingnya penuh dengan tanaman merambat dan coretan cabul. Tanpa senjata, Jeffrey menemui lembabnya tanah. Mingyu sempat menahan keluarnya pria itu dari mobil lantaran kelewat cemas. Namun, sejatinya Jeffrey adalah manusia keras kepala.

Berbekal sebuah diska lepas di tangan, pria itu memasuki kendang lawan. Dua bilah pintu lebar dari baja didorong sekuat tenaga. Langkah kian berderap gagah. Jeffrey menghampiri komplotan berpakaian serba gelap. Matanya lantas terpaut pada sosok pria tak berdaya yang didudukkan di atas kursi besi berkarat dengan tangan dan kaki terikat. Jeffrey tak tahu pasti, sebanyak apa pukulan yang telah diterima Lucas hingga sepasang bibirnya terkoyak mengucurkan darah, pun wajah tiada bisa dikata rupawan lagi sebagaimana terakhir ia menemui.

Tangan Jeffrey terkepal erat di kala perasaan murka merambat sampai kedua mata. Menghela napas pelan, Jeffrey melemparkan diska lepas yang sedari tadi digenggam kepada salah seorang pria jangkung. Ia berjongkok, melepaskan seluruh ikatan yang melilit Lucas. Namun, ketika hendak memapah Lucas menjauh, sebuah pukulan menghantam punggung Jeffrey kuat.

Mencoba bangkit, Jeffrey menangkis balok-balok kayu yang diarahkan padanya. Satu dua lawan berhasil dipadamkan Jeffrey dengan hantaman tangan. Balok yang tergelatak di atas tanah dipungut untuk kemudian dilemparkan pada kepala para komplotan yang tengah menyeret Lucas kembali. Ketika hendak menghampiri, gaung suara tembakan mematikan pergerakan Jeffrey telak.

Dua tangan diangkat naik tanda menyerah. Jeffrey tak hendak mati saat ini juga. Sementara itu, oknum bersenjata yang berdiri di salah satu sudut menggemakan tawa sumbang, menderap langkah demi langkah hingga mulut pistol dalam genggaman mencium tengkuk Jeffrey.

"Setelah kau berani mempermainkanku, kau pikir aku akan membiarkanmu keluar hidup-hidup?"

Ekor mata Jeffrey berlarian. Johnny di belakang sana tengah menyorot penuh geram. Mencoba mengais sisa-sisa ketenangan, Jeffrey meraup oksigen sebegitu pelan. "Kau mau apa lagi? Aku sudah menyerahkan semua informasi yang kudapat."

Sekali lagi, gelak tawa Johnny memekakkan telinga. "Aku mau nyawa."

Sepatah pernyataan menyebabkan dada Jeffrey berpacu tak karuan. Ia salah perhitungan. Nyatanya, Johnny lebih beringas dari yang pernah terpikirkan. "Nyawamu atau nyawanya—" pistol Johnny mengarah sejenak pada Lucas yang merintih sakit juga takut, lalu kembali mengarah pada Jeffrey, "—silakan pilih, mana yang mau kau serahkan!"

Akal Jeffrey terlempar pada kegamangan. Dua perkara itu tidaklah pantas disebut sebagai pilihan, sebab kedua-duanya terlalu memberatkan. Jeffrey tak mungkin hidup dalam kubangan rasa bersalah di sisa umurnya nanti jika membiarkan Lucas mati. Pun, jikalau Jeffrey menyerahkan nyawa pribadi, bukan jaminan bagi Lucas yang dalam kondisi sedemikian mengenaskan untuk bisa keluar hidup-hidup dari tempat ini.

Di tengah-tengah pemikiran yang berkudeta sedemikian sengit, sebuah pancaran cahaya benderang datang dari pintu utama bangunan, menyilaukan setiap pasang mata manusia di dalam sana. Suara mesin kendaraan berhasil menulikan seluruh pendengaran. Dalam hitungan detik, seisi bangunan berikut para penghuninya dibuat berlarian tak tentu arah oleh mobil yang dikendarai Mingyu tanpa aturan, beputar-putar, menabrak seluruh perbendaan yang ada di sekitar dan orang-orang berupaya benar menghindar jika tidak ingin pulang dengan tulang rusuk remuk.

Maka, Jeffrey menjadikan kekacauan situasi tersebut sebagai kesempatan untuk menepis lengan Johnny hingga pistol di tangan pria itu terjatuh. Beberapa pukulan diberikan Jeffrey pada Johnny hingga sosoknya menggaduh perih. Ketika Johnny merangkak hendak kembali menggapai pistol di tanah, Jeffrey dengan segera menendang benda itu hingga terlempar jauh.

Lucas dibawa Jeffrey bergegas-gegas sebelum para komplotan musuh kembali mengepung mereka.

"Cepatlah naik!" Mingyu di dalam mobil berseru memberi instruksi. Lucas diletakkan di bangku belakang dengan susah payah. Salah satu pria yang kembali menyambar kerah Jeffrey berakhir mengerang keras setelah kepalanya dibenturkan pada daun pintu mobil.

Mingyu memacu gas kendaraan segera setelah Jeffrey berhasil masuk di sebelahnya. Hembusan napas lega berkali-kali mengudara dari mulut para pria di sana. Rasanya bagaikan meloloskan diri dari jeratan maut. Lambat laun, mobil melaju kian tenang usai memastikan tiada yang membuntuti.

Mingyu kini merelakan apartemennya sebagai tempat singgah Jeffrey juga membantu pria itu mengobati Lucas yang cedera cukup banyak.

Sembari meneguk berkaleng-kaleng minuman, Jeffrey dan Lucas menceritakan seluruh rencana yang telah mereka lancarkan kepada Mingyu. Tidak ada salahnya. Jeffrey pikir, di situasi ini, Mingyu bisa menjadi rekan. Pun, Lucas mulai menguak masa lalu antara ia dan Johnny.

"Dulu, kami adalah teman bisnis. Johnny menyuruhku membuka rekening bank khusus untuk melakukan pencucian uang. Sebagai direktur keuangan di perusahaan sebesar itu, perkara mudah bagi Johnny untuk mengalokasikan dana pada benda-benda pribadi. Ikan arwana biasa dibeli Johnny dariku dengan harga fantastis, pun lukisan-lukisan di kantornya sebenarnya bukan barang-barang mewah.

Dia mentransfer uang perusahaan berkali-kali lipat lebih banyak dari harga sesungguhnya. Dia bilang sisa uang itu akan dibagi rata denganku, tetapi dia tak lebih dari manusia paling tamak sejagat. Malam itu, ia mengajakku pesta minuman dan sengaja membuatku mabuk berat. Ia mengambil buku rekeningku dan menguras habis isinya. Maka dari itu, ketika kamu bilang membutuhkan bantuanku untuk menyingkirkannya, kupikir ini adalah kesempatan besar untuk membalaskan dendam. Namun, ternyata itu tak semudah yang kupikir."

Sungguh di luar dugaan Jeffrey jikalau Lucas sebelumnya telah mengenal Johnny bahkan terlibat aksi ilegal. Menahan Lucas lebih lama di sini hanya akan membuat pria itu dalam bahaya besar. Maka, putusan Jeffrey menuai telak. "Besok, kembalilah ke Venesia!"

"Jangan sampai Johnny menemukanmu lagi!"

Lucas membulatkan netra. "Lalu kamu?"

"Urusanku belum selesai."

"Kau sudah tidak memiliki bukti apa pun lagi untuk menjatuhkannya, Jef."

Sisa minuman habis ditenggak Jeffrey. Kaleng diletakkan di atas meja kaca rendah. Merogoh saku celana, Jeffrey mengeluarkan kunci mobil yang ternyata memiliki gantungan dengan fungsi sama seperti sebuah diska lepas. "Siapa bilang aku sudah tidak memiliki bukti apa pun lagi?"

"Kau menyalin datanya?" Lucas bertanya-tanya. Jeffrey menjentikkan jemari. "Bingo!"

Di sana ada data-data transaksi pembelian bahan baku yang Johnny lakukan atas nama perusahaan. Mekanisme pencucian uang yang dilakukan mirip dengan penjelasan Lucas. Johnny mengalokasikan dana berkali-kali lipat dari harga sesungguhnya pada rekening milik Clara, ketua gudang bahan baku pakaian di Venesia. Perempuan itu berperan memanipulasi bukti transaksi hingga seolah-olah ia menerima uang sesuai dengan harga nyata. Sisanya digunakan untuk foya-foya bersama Johnny.

Lantas, kali ini ponsel dinyalakan. Jeffrey memutar video percumbuan panas antara Johnny dan seorang perempuan belia yang tempo malam ia ambil sewaktu mengunjungi Italia. Dua pria di dekat Jeffrey hanya mampu ternganga. Lucas, pun Mingyu tak bisa berkata-kata.

Sesungguhnya, Mingyu telah lama mengetahui tabiat asli Johnny yang bejatnya hampir sama dengan Jaehyun. Namun, sedari dulu ia tak pernah berniat mencampuri. Ia hanya ingin berada di pihak netral yang hanya peduli jika itu menyangkut Rosé. Selagi Johnny tak mengusik Rosé, maka Mingyu masih bisa diam di teritorialnya.

"Mengapa?"

Tiba-tiba saja sepatah kata tanya melesat dari mulut Mingyu. Pandang sarat akan rasa penasaran bergulir dan jatuh tepat pada netra pekat Jeffrey. "Mengapa kau melakukannya?"

Patut dicurigai, Jeffrey yang bernotabene orang asing rela mengerahkan banyak waktu, tenaga, juga pemikiran hanya untuk menyingkirkan Johnny.

"Apa itu demi Rosé? Atau ada sesuatu yang sedang kau kejar?" Mingyu menebak. Berpuluh-puluh detik terlewati dengan hening. Jeffrey terbungkam senyap.

"Kau begitu menyukainya sampai rela melakukan semua ini?"

Punggung Jeffrey menegak. Ia tak mengira, pemikiran Mingyu akan bermuara ke sana. Di saat bersamaan, ada tamparan samar yang seolah dihadiahkan pada hati Jeffrey. Tatapan tak suka Mingyu memancar nyata, bahkan sebelum Jeffrey mengiyakan asumsinya.

"Jika aku memberitahumu alasan sebenarnya aku melakukan semua ini, kupikir kamu akan lebih membenciku ketimbang mendengar pernyataan bahwa aku menyukai Rosé."

Seraup napas dipaksa mengisi rongga dada yang kosong. Jeffrey beranjak berdiri dari sofa tempat ia duduk sedari tadi. "Sekarang aku siap mendapatkan pukulanmu." Iris pekatnya menyatu dengan sorot Mingyu di sana.

Memupuk kepercayaan diri setinggi bukit, Jeffrey berujar, "Aku menyukai Rosé. Bukan. Aku mencintainya sehingga aku ingin selalu menjaga perempuan itu, meski taruhannya adalah nyawa. Sebab nyawa harus dibayar dengan nyawa."

Dua alis Mingyu bertaut dengan sepasang tangannya di bawah sana yang terkepal. "Apa maksudmu?"

Kali ini, Jeffrey tertunduk menatap pualam. Setelah sekian waktu menjadi pengecut, ia tak tahu apakah pilihan menguak kesalahan besar di masa lalu kepada Mingyu akan menjelma hal baik atau justru menjadi titik balik. Jeffrey tak tahu.

"Aku adalah pembunuh Jung Jaehyun. Aku yang membunuhnya. Aku menabrak sebuah mobil yang berhenti di tepi jalan hingga terjun ke dasar danau. Atas perintah Johnny, aku membunuh saudaraku sendiri."

***

Roda Maserati Quattroporte menggilas aspal yang membentang panjang dan sesak oleh puluhan kendaraan berlalu-lalang. Petang ini begitu suram, sebagaimana rupa juga kondisi jiwa seorang pria yang duduk tenang di kursi belakang mobil. Sesekali pelipis dipijat pelan, kuku-kuku digigiti resah, pandang menerawang jatuh pada gedung-gedung menjulang yang nampak dari kaca jendela silih berganti dengan jajaran toko-toko, kafetaria, atau hanya pepohonan rindang.

Pemuda Kim di kursi kemudi tak jua bertanya apa yang menyebabkan Jeffrey bermuram durja. Ia lebih dari paham, pria itu tengah memikirkan prahara perusahaan yang menjadi tempat ribuan orang mengais pundi-pundi nafkah. Pun, sebetulnya, setelah pengakuan Jeffrey beberapa minggu silam, Mingyu tak benar-benar menaruh kebencian pada pria itu untuk perkara Jeffrey yang membunuh Jaehyun.

Mingyu hanya menyayangkan situasi sulit Jeffrey yang nyatanya benar-benar menaruh cinta pada Rosé. Sebab Mingyu sadar betul, Jeffrey tak akan bisa berbuat banyak atas perasaannya yang sudah jelas-jelas salah ditinjau dari sudut pandang manapun juga.

Sudah terhitung tiga minggu berlalu sejak Jeffrey menjanjikan kestabilan penghasilan dari hasil penjualan produk kepada para investor, tetapi realita justru berkata lain dari prasangka Jeffrey. Peluncuruan produk kecantikan baru tak menuai banyak dukungan dari pelanggan, sebagian besar memilih lepas tangan lantaran tak ingin bernasib sama dengan gadis yang diisukan mengalami kerusakan wajah setelah menjadi taster.

Jeffrey mesti memutar otak ribuan kali untuk bisa menaikkan grafik penghasilan yang tengah meroket jatuh. Dan, meluncurkan parfum racikan Rosé memang pilihan terbaik. Malam itu, Jeffrey meminta Rosé kembali meracik parfum. Malam-malam berikutnya, Jeffrey menemani Rosé di laboratorium pribadi, berkutat dengan bahan baku beraneka ragam aroma.

Kini, sebagaimana janji Jeffrey, satu bulan, pria itu berhasil membuat perusahaan digandrungi banyak kolega. Parfum-parfum dengan aroma unik yang barangkali hanya ada satu di dunia mulai melejit di pasaran. Pujian datang dari mana-mana teruntuk sang pimpinan.

Berbeda dengan minggu lalu, petang ini, rupa Jeffrey seakan dihias binar-binar cerah. Purnama penuh di langit menyajikan cahaya estetik yang menarik kedua sudut bibir Jeffrey agar terangkat naik. Mingyu di depan sana turut bersuka. Ia merasakan pula jatuh bangunnya Jeffrey memimpin perusahaan.

Ponsel dimainkan. Jemari Jeffrey menari di atas papan ketik.

Aku sedang dalam perjalanan pulang. Malam ini, mari berpesta bersama.

Satu pesan dikirim teruntuk Rosé. Selang satu detik, pesannya berbalas.

Cake cokelat kesukaanku, kalau belum terlewat.

Jeffrey tersenyum tipis. Jemarinya kembali membuat tarian abstrak, mengetik balasan.

Akan aku bawakan itu. Mau minum wine juga?"

Sungguh, Jeffrey ragu ketika hendak menekan ikon kirim. Ia tak tahu pasti, apakah Rosé berpikir tawarannya itu ide bagus? Yang jelas, pesan terakhir Jeffrey tak berbalas selama berpuluh-puluh menit bahkan sampai Jeffrey selesai mengantri untuk mendapatkan cake cokelat kesukaan Rosé yang hanya bisa dibeli di kafetaria yang menyimpan kenangan manis antara Rosé dan Jaehyun, konon katanya.

Getar singkat menyapa. Jeffrey kembali membuka ponsel. Sepersekian sekon kemudian, senyum sumringah terbit di sepasang bibir pria itu.

Setuju!

Matanya tertuju pada layar yang menampilkan sepatah kata balasan. Maka, kepulangan Jeffrey berbekal cake di tangan kanan dan dua botol wine di tangan kiri.

Malam ini pula, secara istimewa, Jeffrey mendedikasikan diri membuat dua porsi pasta. Baru saja hendak mulai berkutat dengan beberapa bahan masakan, pergerakan Jeffrey terjeda lantaran telinga digaungkan oleh bunyi ketukan sepatu hells beradu dengan lantai hunian, pun mata dibuat terpaku pada indah rupa perempuan berbalut gaun sutra hitam dengan tali yang tersimpul pada leher.

Rosé memberikan senyum terbaiknya teruntuk pria di balik pantri. Langkah demi langkah pelan menghantarkan tubuh ramping itu menghadap Jeffrey tanpa ragu. Sepasang lengan halus tak tertutup sehelai benang pun kini berangsur menggapai leher Jeffrey guna membantu pria itu mengenakan celemek. Jari-jemari bergerak piawai menggulung lengan kemeja Jeffrey hingga siku.

Ketahuilah, yang Jeffrey lakukan sepanjang itu hanya membatu. Aroma wangi mawar yang merasuki penciuman seketika membuat seluruh sistem kinerja akal Jeffrey mendadak lumpuh. Sentuhan demi sentuhan Rosé menyebabkan dua serambi di balik dada memompa begitu kuat.

"Apa yang bisa kubantu?"

Rasonan lembut Rosé mengalunkan sebuah tanya, menyeret Jeffrey untuk segera bersikap senormal biasa kendati benak tiada henti menasbihkan kekaguman. Senyuman tipis diulas Jeffrey sebentar. 

"Kamu tidak harus membantu apa pun. Hanya—" Jeffrey mendorong Rosé menuju sebuah kursi "—duduk saja di sini," titahnya kemudian.

Mula-mula, Rosé mematuhi. Ia duduk tenang sembari mengamati pergerakan Jeffrey selama dua belas menit pertama. Namun, ia tak lagi bisa bertahan dengan posisi yang sama pada dentangan waktu berikut. Punggung lebar Jeffrey seakan melambai padanya sehingga ia yang tak mampu berdiam diri lebih lama lagi lantas beranjak menghampiri.

Jeffrey yang tengah mengaduk pasta dalam panci dikejutkan oleh sepasang lengan yang memeluk pinggangnya dari belakang. Hembusan napas hangat Rosé menerkam bahu.

"Wah, kemampuan memasak suamiku semakin meningkat saja. Dari mana kau belajar merebus pasta serapi itu?"

Pujian juga pertanyaan membisik di telinga Jeffrey. Pun, ketika menolehkan pandang, ekspresi menggemaskan Rosé menjadikan Jeffrey tak mampu mengusir perempuan itu agar kembali duduk manis di kursi. Meski jiwa Jeffrey terganggu oleh Rosé yang berada pada radius kelewat dekat, di saat yang bersamaan, pria itu juga menikmati kehangatan yang bertandang.

"Lain waktu, kau harus berguru padaku."

Sesekali, Jeffrey turut mengusap jemari halus atau puncak kepala Rosé ketika perempuan itu mencoba mengintip pekerjaannya.

"Eum, haruskah kita adu skill membuat pasta?"

Ide tersebut tercetus tiba-tiba dari lisan Rosé. Tak ada pertimbangan besar. Rosé dengan cekatan telah berhasil menyulap bahan masakan menjadi seporsi pasta menggiurkan. Dua insan kini duduk saling berdampingan menghuni meja makan guna mencicipi pasta buatan mereka. Meski tak seenak buatan Rosé, mahakarya Jeffrey terbilang cukup mampu memanjakan lidah.

Ketika Jeffrey tengah menyantap helai demi helai pasta, pria itu lagi-lagi dikejutkan dengan tingkah Rosé yang tiba-tiba turut menyantap ujung lainnya dari pasta yang belum habis ditelan Jeffrey hingga bibir mereka nyaris bersinggungan. Sosoknya menggelak tawa, tanpa tahu Jeffrey yang setengah mati menetralkan gemuruh di dada. Kendati demikian, Jeffrey pada akhirnya melebur dalam candaan. Ia mengikuti jejak Rosé, menyantap ujung pasta yang tengah dilahap perempuan itu.

Yang membuat berbeda adalah Jeffrey benar-benar membiarkan sepasang bibirnya menyatu dengan sepasang bibir Rosé di sana. Mendadak, suasana tak lagi sama setelah keduanya kembali meniti jarak. Bukan apa-apa, Rosé cukup banyak dibuat tertegun.

"Eum, haruskah kita berdansa?"

"Ya?"

Sebuah tawaran kini datang dari Jeffrey. Dua kedipan mata Rosé menyebabkan Jeffrey menjadi kikuk dan hanya bisa menggaruk tengkuk.

"Tapi, aku tidak terlalu pandai berdansa." Sampai akhirnya Rosé bersuara. Perempuan itu tak benar-benar menjelma tuli. Ia bisa mendengar tuturan Jeffrey beberapa detik silam.

Menarik bibir mendatar, Jeffrey berujar tenang, "Aku akan mengajarimu."

Musik klasik diputar pada turntable. Alas kaki dilepas. Satu tangan Jeffrey meraih pinggang Rosé, sedang tangan yang lain menggenggam jemari perempuan itu. "Injak kakiku!"

"Apa?"

Untuk kesekian kali, refleks Rosé berfungsi. Telinganya sedang berpura-pura tuli. Namun, hati telah jauh lebih dulu mengerti sehingga isinya bersorak. Terlebih ketika Jeffrey membimbingnya menginjakkan ujung telapak di atas kaki pria itu.

Gerakan dibuat. Secara otomatis, ke mana Jeffrey bergerak, Rosé pun mengikuti. Satu lengan perempuan itu menggenggam bahu Jeffrey, kian mengerat manakala jarak antar wajah mereka semakin dipersingkat secara tak sadar baik oleh Jeffrey maupun olehnya.

Dua pasang mata tak berhenti menjadikan satu sama lain sebagai labuhan pandang sepanjang berdansa mengikuti sajian irama musik. Berpuluh-puluh kali, benak Jeffrey berseru serempak sampai suatu ketika lisannya berani mengucap,

"Kamu cantik."

Semburat jingga terbit di kedua sisi wajah. Rosé setengah tertunduk menyembunyikan rupa yang tersipu dan bibir yang diam-diam menyimpan senyum. Kalimat sederhana Jeffrey mampu menghadirkan letupan di dalam perutnya, dan kala mendongak, ia seperti menemukan kembang api meledak pada kedua bola mata manusia di hadapan.

Asupan sehabis berdansa adalah wine ditemani cake cokelat. Ruang tengah menjadi tempat keduanya bercengkrama sembari menonton serial drama komedi-romansa di televisi. Duduk bersimpuh di atas karpet bulu putih bersih dengan punggung yang bersandar pada kaki sofa, Jeffrey meneguk wine dalam gelas sembari mengamati perempuan yang tengah tenggelam dalam sajian alur cerita yang ia tonton. Kadang tersenyum manis, kadang tertawa lepas. Begitu cantik dilihat dari sudut manapun, dan untuk ribuan kali Jeffrey menemukan dirinya terpana.

Jeffrey menghabiskan nyaris satu botol wine seorang diri sementara Rosé menghabiskan cake cokelat kesukaannya. Sampai di titik ini, Jeffrey menyadari perempuan itu tak begitu menyukai wine. Terbukti gelasnya masih menyisakan setengah porsi sejak tuangan pertama. Alhasil, Jeffrey-lah yang kini berakhir kehilangan setengah kesadaran. Kepala yang terasa berat ia letakkan di atas meja kaca rendah.

Sayup-sayup, mata Jeffrey masih bisa menangkap adanya noda krim vanila di sudut bibir Rosé. Satu tangan terulur. Jeffrey menyingkirkan noda tersebut dengan ibu jari. Sedang Rosé yang sedari tadi kelewat fokus pada tontonan lantas terkesiap. Atensi perempuan itu bergulir lambat laun dan menubruk tepat pada manik redup Jeffrey.

Jemari Jeffrey tak lantas kembali pada posisi semula. Justru, mereka asyik membelai surai dan permukaan wajah Rosé menyebabkan sang pemilik tersapu rasa suka yang berlebihan.

"Mengapa kamu begitu cantik, malam ini?" Satu pertanyaan tak masuk akal keluar dari mulut Jeffrey. Rasonan beratnya tiada henti membunyikan racau-racau manis di kala mabuk. "Kamu tahu?" Ia menepuk dadanya beberapa kali, "Di sini tidak berhenti berdebar."

"Saat bersamamu, aku merasa seperti manusia paling bahagia di dunia. Padahal aku ini sedang dihukum."

"Dihukum? Apa maksudmu?"

Semestinya, Rosé tak banyak menanggapi ujaran Jeffrey. Ia tahu betul, alkohol telah mempengaruhi pria itu. Namun, secuil rasa penasaran membuat Rosé melontar pertanyaan dan berharap segera mendapat jawaban.

"Mengapa masih bertanya? Tentu saja dihukum karena telah mem—"

Ucapan Jeffrey tak menuai penghujung lantaran bunyi nyaring benda kaca yang beradu menyebabkan dua manusia di sana beralih perhatian. Rosé menggaduh, sibuk membersihkan tumpahan wine yang mengenai permukaan meja dan juga kemeja biru muda Jeffrey. Berikut, dengan susah payah, Rosé berupaya memapah tubuh Jeffrey menaiki anakan tangga, masuk ke dalam kamar, dan membaringkannya di atas ranjang.

Napas yang memburu berupaya diatur. Rosé membuka satu persatu kancing kemeja Jeffrey berniat mengganti pakaian kotor pria itu. Ia pikir, kesadaran Jeffrey telah resmi tiada. Namun, ternyata dugaannya salah. Sekian waktu terpejam, kelopak mata Jeffrey terbuka di saat Rosé masih berkutat dengan kancing keempat kemejanya.

Pandang dua insan saling bersirobok. Gemuruh yang singgah akibat terkejut belum habis dibuang Rosé, dan ia kian dibuat tak bisa mengontrol segala kecambuk rasa begitu laki-laki di bawah sana menarik tengkuknya.

Sebagaimana kedatangan sebuah kecupan di bibir, setiba-tiba itu pula, debaran hebat hadir di dalam jiwa Rosé. Apalagi ketika gendang telinga digemakan rasonan rendah Jeffrey yang menguntai sepatah tawaran,

"Mau bercinta denganku?"

Ada sekitar sepuluh detik, Rosé mengulur jeda hanya dengan diam dalam gamang. Tangannya bahkan belum sempat ia singkirkan dari menggenggam sisi-sisi kemeja Jeffrey. Hingga suatu ketika, kehangatan membungkus mereka—kedua tangan Rosé. Dengan satu genggaman lembut, Jeffrey berhasil membuat hati perempuan itu luluh lantak.

Pinggang ramping diraih, dibawa Jeffrey untuk kemudian dikukung dengan tubuhnya. Pandangan Rosé meredup ketika deru napas hangat Jeffrey menelisik, beberapa kecupan singgah pada permukaan leher, menyusuri bahu hingga sekujur lengan lalu naik kembali pada daun telinga.

"Aku menginginkanmu," bisik Jeffrey terlampau pelan, tetapi masih bisa Rosé dengar dengan jelas.

"Tidakkah kau juga menginginkanku?"

Kali ini sebuah pertanyaan. Rosé tahu sang suami sedang tidak dalam keadaan sadar sepenuhnya. Namun, ia yang terlanjur dibalut hasrat sebagai senormalnya manusia dewasa tak bisa membiarkan malam ini berlalu seperti malam-malam biasa.

Tak ada jawaban yang dilisankan. Rosé lebih memilih memberikan tindakan nyata serupa mengalungkan dua lengan pada leher Jeffrey dan kembali memulai percumbuan, menyeret Jeffrey untuk larut dalam permainan bibir yang lebih memabukkan ketimbang dua botol wine sekalipun, jemari indahnya memberikan sentuhan-sentuhan seduktif pada helaian surai atau  dada dan punggung Jeffrey.

Pada akhirnya, malam ini, dua manusia di dalam ruang temaram itu saling menanggalkan pakaian;

saling meninggalkan jejak kepemilikan juga mengukir tanda cinta pada tubuh satu sama lain; saling menggenggam erat jemari sepanjang bersama-sama menggapai surga dunia; dan juga—

"Rosé!"

—saling menasbihkan nama.



"Jaehyun!"

[]






[SILHOUTTE: After A Minute]

***

akhirnya, bisa update cepet juga setelah sekian waktu suka ngaret.

oh iya, saat membaca, saya sarankan untuk menggunakan layar baca warna hitam dengan tipe huruf Source Sans Pro ukuran minimal supaya lebih rapi hehe

fyi, saya ngelap keringat berkali-kali saat menulis chapter ini wkwk
kalian gimana?
semoga aman ya jantungnya :v

terimakasih telah mengikuti SILHOUTTE sejauh ini.
kalau kalian penasaran dan ingin mengenal saya lebih dekat boleh ikuti juga Instagram saya @linaalfiana101 DM untuk follback

^.^

see you on the next chapter, dear.

***

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

547K 37.8K 29
Draco Malfoy × Hermione Granger
61K 8.5K 42
Mereka menyebutnya pertemanan, tapi situasi membawa mereka pada sesuatu yang melebihi ikatan sederhana yang sedang terjalin. Naruto: "Aku berjanji ak...
61.7K 5.6K 47
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
25.8K 3.6K 67
Kelas A, kelas unggulan yang selalu dibangga-banggakan oleh banyak orang, ternyata menyimpan sebuah misteri yang tak banyak diketahui. Satu persatu m...