Ineffable

Par Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... Plus

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

43 | The Moon is Beautiful, isn't it?

1.6K 345 315
Par Ayyalfy

Update cepet setelah 300+ komen?
Siapa takut!

Btw,
Happy reading!

• • •

RAFKA

"Hasil tesnya akan keluar sekitar dua sampai empat minggu lagi. Kalian nggak apa-apa dengan itu?" tanya Gilang pada kami berdua yang baru saja selesai menyerahkan sampel tes masing-masing.

Gue mengangguk. "Gue serahin sisanya ke lo, Lang."

Alfy di sebelah gue hanya tersenyum kecil. Dia terlihat menutupi kecemasannya di balik wajah pucatnya itu. Gue segera mengeratkan genggaman tangan kami karena hanya itu yang bisa gue lakukan untuk menghiburnya.

"Aku takut, Rafka," ucapnya setelah kami berdua keluar dari ruangan. "Aku takut yang kita lakuin ini cuma bisa menunda semuanya, bukan untuk mengakhiri masalahnya."

Gue menghela napas pelan. Jujur, rasa takut itu juga ada di dalam benak gue. Tapi gue tidak ingin Alfy melihatnya karena kalau bukan gue yang meyakinkannya, siapa lagi?

"Hei, dengerin aku," Gue menangkup wajahnya. "Apapun hasilnya nanti, kalau berpisah dengan kamu adalah jalan terbaik, maka akan aku rusak jalannya."

Cewek itu malah terkekeh geli.

"Ih, serius, By! Bakal aku rusak jalannya. Mau pakai apa? Palunya Thor atau cobek andalan ibu kamu? Mana menurut kamu yang lebih kuat?"

Alfy menatap gue sambil mengusap kepala gue dengan tangannya. "Pakai kepala kamu aja gimana? Soalnya keras kepala kamu nggak ada lawan."

Gue terkekeh.

"Makasih, ya," ucapnya tiba-tiba.

"Untuk?"

"Keras kepala kamu selama ini. Cuma itu satu-satunya hal yang berhasil membuat hubungan kita bertahan sampai sejauh ini."

Alfy benar. Gue perlu berterima kasih dengan keras kepala yang gue miliki ini. Meski kadang menyebalkan, tapi dia sangat berguna bagi gue dalam melakukan hal-hal gila. Seperti tes DNA ini, gue harus melawan kewarasan semua orang dan mengorbankan uang yang tidak sedikit untuk melakukannya. Rafli, semua keluarga gue dan keluarga Alfy mengatakan bahwa kegilaan gue ini hanya akan berujung sia-sia. Tapi karena gue keras kepala, gue tidak peduli dengan itu semua. Gue percaya, bahwa selalu ada jalan menuju KUA.

"Kamu hari ini ada kuliah, kan? Aku antar, ya?"

Alfy tidak menyahut, dia diam sambil menatap lurus ke depan. Gue mengikuti arah pandangnya dan menemukan sosok Karin tengah menatap kami dari tempatnya berdiri. Perempuan itu mengamati genggaman tangan kami, lalu menatap gue dengan tatapan yang tak terbaca.

Di bawah sana, gue merasakan Alfy tengah berusaha melepaskan tautan tangan kami tapi gue cegah dengan menggenggam tangannya lebih erat.

Karin berjalan mendekat. Tidak perlu menghitung satu sampai tiga, layangan tamparan sudah mendarat di wajah gue lebih dulu.

Plak!

"Aku rasa tamparan ini cukup untuk mendeskripsikan sebrengsek apa kamu buat aku, Rafka," ucapnya dengan nada datar yang belum pernah gue dengar sebelumnya. "karena belum pernah ada laki-laki yang menerima itu sebelumnya."

Gue menatapnya dengan rasa nyeri menjalar di pipi. Tidak ada air mata atau gurat kesedihan di matanya, membuat gue tersadar bahwa gue telah melukai orang yang salah. Setelah itu dia tidak mengatakan apa-apa lagi lalu pergi begitu saja.

Alfy juga tidak mengatakan apapun, hanya menatap gue dalam diam. Gue memberanikan diri untuk bertanya sambil memegangi sebelah pipi gue yang berdenyut. "Kenapa?"

"Mau aku tambahin tamparan di pipi sebelahnya, nggak?" tawarnya santai yang langsung gue jawab dengan gelengan keras. "Karin terlalu baik untuk nggak bikin kamu babak belur. Kalau aku di posisi dia, minimal kamu masuk UGD."

Gue bergidik ngeri karena teringat dengan tragedi dimana dia melawan dua preman dengan tangan kosong. Membuat gue babak belur pasti bukan hal yang sulit baginya.

"Sumpah, Rafka, kamu nggak ada niatan buat ngejar Karin dan bilang maaf ke dia?" protes Alfy setelahnya. "Untuk semua hal brengsek yang kamu lakuin ke dia, kamu nggak ngerasa bersalah atas itu?"

Gue menghela napas.

• • •

ALFY

Setelah kelas psikologi umum selesai, aku dan Anna memutuskan untuk nongki cantik di kantin kampus sembari menunggu Rafka menjemputku. Laki-laki itu akhirnya punya kewarasan untuk menemui Karin dan meminta maaf pada perempuan itu. Aku tidak habis pikir kalau dia bisa sebrengsek itu sebagai laki-laki. Mengajak anak orang untuk berkomitmen lalu ditinggalkan begitu saja. Dimana kewarasannya?

"Jadi lo sama abang lo itu balikan dan ambil tes DNA?" tanya Anna sambil menikmati es krim miliknya di hadapanku. "Ternyata bener ya, manusia itu selalu bodoh dalam cinta."

"Gue ada kaca, nih," sahutku sambil merogoh pouch milikku. "Mau pinjem?"

Anna mendengus. "Oke, lo menang. Setidaknya lo bodoh cuma masalah cinta tapi akademik lo sempurna."

Sebagai pejuang toxic relationship, harusnya Anna tidak berhak mengataiku bodoh karena cinta. Dia tidak pernah menolak ketika diajak balikan oleh mantan pacarnya yang toxic itu. I mean, Rafka memang posesif, obsesif, dan keras kepala, tapi mantan Anna lebih setan dari itu. Abusif, manipulatif, main tangan, kasar, dan semua sikap buruk lainnya. Aku sekarang tidak tahu bagaimana nasib anak fakultas bahasa yang tempo hari PDKT dengannya. Apakah dia masih bernapas di dunia ini atau sudah habis babak belur oleh mantannya yang dajjal itu. Aku tidak mengerti kenapa spesies cewek cantik seperti kami ditakdirkan berurusan dengan cowok ganteng yang tidak waras.

"Tapi lo sadar nggak sih, Al? Kalau yang kalian lakuin itu sia-sia?" Anna mengungkit ketakutanku lagi. Aku mulai muak dengan kata sia-sia yang selalu orang tujukan untukku. "Mending lo berhenti disini aja, deh. Buka lembaran baru lagi, jatuh cinta lagi. Lo maunya cowok yang kayak gimana sih, Al? Ganteng? Berduit?"

Aku menyeruput matcha latte-ku dengan tenang.

"Lo pasti mau yang berduit, ya?" tebak Anna kemudian karena aku tidak kunjung menjawab.

Kepalaku menggeleng. "Gue maunya gue yang berduit," sahutku sambil melambaikan tangan pada sosok Rafka yang muncul di kejauhan. "Gue cabut duluan, ya. Bye!"

Aku langsung meninggalkan Anna yang menggerutu di tempatnya. Sepertinya sikap keras kepala Rafka sudah menular padaku. Aku seperti tuli pada semua perkataan orang lain tentangku. Setidaknya saat ini aku senang dan urusan menyesal itu soal belakangan.

"Udah ketemu sama Karin?" tanyaku setelah berada di hadapannya dan dia hanya bergumam pelan. Aku terkekeh. "Gitu dong, tanggung jawab."

Dia hanya bergumam lagi dan saat itu aku baru menyadari sesuatu di wajahnya. Aku menahan untuk tidak tertawa. "Kayaknya ada yang kena tampar lagi, nih?" ledekku.

"Sakit tau," rengeknya dengan wajah tertekuk.

Tanganku terangkat untuk mengusap pelan kedua pipinya. "Makanya jangan mainin perasaan orang. Kamu cuma sakit di pipi, orang lain sakitnya di hati. Adil nggak, tuh?"

Dia menekuk sudut bibirnya ke bawah.

"Ikut aku, yuk!" ajakku kemudian.

"Kemana?"

Aku membisikkan sesuatu ke telinganya.

• • •

"Kamu udah bikin berapa?"

Rafka yang duduk di belakangku terdengar sedang menghitung. "Satu, dua, tiga ... banyak."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. "Gulung kertasnya yang rapi, biar bisa muat banyak di toplesnya."

"Siap, cantik."

Dengan beralaskan tikar kecil dan pemandangan langit malam di teras belakang, aku dan Rafka tengah menulis wish masing-masing untuk dikumpulkan ke dalam jar kaca berwarna bening. Ide konyol ini seutuhnya berasal dari pemikiranku dan Rafka manut-manut saja tanpa memprotes satu kata pun.

Kami berdua duduk saling memunggungi, bersepakat untuk tidak bertindak curang dengan mengintip satu sama lain. Aku memeriksa isi toples, sudah hampir terisi separuhnya tapi aku mulai kehabisan wish untuk ditulis.

"Kamu nggak nulis wish yang aneh-aneh, kan?" tanyaku pada laki-laki itu.

"Justru bakal aneh kalau aku nggak nulis yang aneh-aneh."

Aku mencubit perutnya dari belakang dan berhasil membuatnya meringis kesakitan.

Setelah hampir setengah jam berlalu, akhirnya toples wish kami terisi penuh. Sekarang kami duduk berhadapan satu sama lain. "Dimulai dari besok aja ya buka wish­-nya," saranku karena entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa lelah dan tidak bersemangat.

Rafka seakan paham dengan perubahan moodku. Dia menepuk pahanya, mengisyaratkan aku untuk merebahkan kepala disana dan aku tidak menolaknya. "Iya, besok aja. Lagian kita masih punya banyak waktu."

Hening.

"By?"

Aku bergumam pelan dengan mata yang sudah terpejam.

"Kita masih punya banyak waktu," ulangnya.

Kali ini aku tidak menjawab lagi.

"Jangan kan satu toples, seribu toples wish pun aku yakin kita masih punya banyak waktu untuk mewujudkan lebih dari itu," ucapnya tanpa keraguan.

Rafka ternyata tahu ketakutanku.

Aku membuka mataku dan bangun dari pangkuannya. "Oke, kalau gitu kita mulai buka wish-nya dari sekarang karena setelah ini kita harus buat 999 toples lagi."

Rafka terkekeh. "Jangan curang, ya? Orang yang ambil wish harus kabulin sesuai isi wish-nya."

"Oke, siapa takut."

Aku membuka tutup toples dan mengambil satu gulungan kertas yang berada di posisi atas secara asal. Aku langsung membaca isinya setelah membuka tali yang mengikat gulungan kertas tersebut. Tulisan tangan Rafka terlihat disana.

Cium pipi 1x

What the—

"Apa isinya?" Rafka mengintip kertas yang baru saja kubaca dengan penasaran. "Kamu dapet wish buatan aku ya?"

Rasanya ingin kutampol saja laki-laki ini. "Udah aku duga kamu nulis wish yang aneh-aneh. Malesin ah kalau gini caranya!"

Rafka langsung memasang wajah tengil. "Eits, nggak boleh curang." Dia merebut kertas yang kupegang lalu tersenyum lebar setelahnya. "Ini sih gampang, ayo kabulin!"

Aku benar-benar ingin menampolnya saat dia menyondongkan pipinya kepadaku.

"Kamu mau kanan atau kiri?" tanyanya tanpa dosa.

Dasar Rafkampret!

Aku mendaratkan ciuman singkat di pipi kanannya. "Udah!"

Dia cengar-cengir sambil memegangi sebelah pipinya. "Lumayan, obatin bekas tamparan mantan. Sekarang giliran aku."

Laki-laki itu mengambil satu gulungan kertas secara acak dan langsung membukanya. "Beritahu satu rahasia yang pasangan kamu nggak tau. Dih, wish macam apa ini?"

Sekarang giliran aku yang tersenyum puas. "Emangnya cuma kamu doang yang bisa licik?"

"Masalahnya aku hampir nggak punya rahasia kalau sama kamu." Rafka berpikir sejenak sebelum kembali bersuara. "Pengen bunuh Riki, tapi kayaknya kamu udah tau itu."

Aku mengangguk. "Yang aku belum tau. Kalau itu terlalu bisa ditebak."

Tidak lama setelah itu tatapan Rafka berubah. "Aku punya niat untuk sabotase hasil tes DNA kita kalau-kalau hasilnya positif. Apa itu termasuk rahasia?"

Aku terdiam.

"Oke, lupain. Anggap aja kamu nggak pernah denger aku ngomong itu." Rafka menyodorkan toples wish kami padaku. "Sekarang kita lanjutin buka wish-nya, now your turn!"

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku mengambil satu gulungan kertas dan langsung membukanya di depan laki-laki itu. Dia mengintip isinya dan membacakannya untukku.

"Beri satu pujian untuk pasangan kamu. Oke, I'm all ears now."

"Kamu ganteng tapi nggak waras."

Dia malah tertawa. "Disuruh satu kamu malah ngasih dua. Oke, sekarang giliran aku lagi."

Aku tidak bercanda saat mengatakannya tidak waras. Laki-laki ini bukankah terlalu berbahaya? Dia rela melakukan apapun untuk mempertahankan apa yang menjadi miliknya, tidak peduli siapa yang akan dia lukai dan akan seperti apa hasil dari kegilaan dan obsesinya itu. Tapi seperti kata Anna, sama dia sakit tapi kalau nggak sama dia lebih sakit. Jadi sebenarnya siapa yang tidak waras disini? Aku atau Rafka?

Rafka membaca kertas pilihannya dalam hati lalu tersenyum lebar. Aku curiga dia mendapatkan wish anehnya sendiri, tapi Rafka tidak melakukan apa-apa dan malah memandangi langit malam yang hari ini cukup cerah untuk dinikmati.

"The moon is beautiful, isn't it?" tanyanya lalu menatapku dengan netra hangatnya itu.

Aku ikut memandangi bulan di atas sana. Bulan memang sedang indah-indahnya, tapi aku tahu bukan itu maksud Rafka yang sebenarnya. Pertanyaan itu hanyalah bagian dari wish yang baru saja dia kabulkan.

"Ya, I love you too."

• • •

RAFKA

Dua minggu berlalu begitu cepat dan gue sedikit membencinya.

Selama dua minggu itu gue dan Alfy tidak pernah kehilangan momen untuk menghabiskan waktu berdua. Semua itu berkat wish jar yang kami buat. Banyak hal menyenangkan terjadi atau lebih tepatnya gue memiliki banyak kesempatan untuk menjahilinya.

Seperti sekarang ini, Alfy sedang mencoba meloloskan diri dari wish yang gue buat. Dia menolak mentah-mentah untuk makan durian bersama.

"Aku nggak mau ya, Raf! Titik!" tegasnya.

Gue tahu dia paling anti dengan durian, makanya gue sengaja membuat wish konyol itu untuk mengerjainya. "Nggak bisa gitu, By. Kemarin aku nurutin wish kamu buat makan bubur ayam diaduk, dan aku mau walaupun pengen muntah rasanya."

"It's different, Rafka!"

Kasihan sih, tapi gue tetap menariknya masuk ke dalam mobil. "Di depan sana ada penjual duren yang terkenal banget di kawasan ini, langganan aku banget pokoknya."

"Nggak nanya."

Gue terkekeh. "Cantik doang, tapi nggak suka duren. Payah!"

Dan gue menyesali kalimat itu sekarang.

"Gimana? Udah enakan?"

Dia mengangguk lemah dengan wajah pucat dan berkeringat dingin. Gue jadi menyesal karena sudah memaksanya untuk memenuhi wish makan durian itu. Hanya satu gigitan yang masuk ke perutnya, tapi dia menghabiskan dua kantung kresek untuk memuntahkan seluruh isi perutnya.

Gue memijit tengkuknya dengan lembut. "Kita langsung pulang aja, ya? Lihat rusanya bisa besok-besok."

Alfy menggeleng. "I'm fine. Aku cuma butuh yang seger-seger buat ilangin mualnya."

Sepertinya dia benar-benar serius saat mengatakan ingin ke Kebun Raya Bogor untuk melihat rusa, tidak peduli dengan durian yang memporak-porandakan perutnya itu. Malah dia niat banget, gue disuruh pakai seragam guru dan dia memakai seragam sekolahnya. Hari ini bertema "guru dan muridnya", ceunah. Kreatif banget kan cewek gue?

"Oke, habis ini kita cari minuman yang seger," ucap gue sambil mengusap keringatnya dengan sapu tangan. "Aku minta maaf ya, karena udah bikin kamu sakit. "

"Minta maaf aja nggak cukup, Rafka. Gara-gara kamu, aku sekarang punya trauma sama duren."

Sumpah, gue nggak tahu kalau akan sefatal ini hanya karena ide makan durian itu. "Terus aku harus ngapain biar dimaafin?"

Cewek itu melebarkan tangannya. "Gendong aku sambil kelilingin kebun raya."

Gue cukup kaget lalu melihat sekitar. Anjir, kebun raya lagi ramai-ramainya di weekend seperti ini. Tapi kalau gue menolak, itu artinya gue cari mati dan siap dikafani hari ini.

Gue pun berjongkok di depannya. "Yaudah, naik."

"Kamu ikhlas nggak sih?" protesnya kemudian.

"Aku ikhlas bangeeet, sayaaang. Kamu mau digendong sambil muterin Jabodetabek juga hayu aja aku mah!"

Akhirnya cewek itu naik ke gendongan gue tanpa memprotes lagi. Duren sialan! Kalau seperti ini ceritanya gue juga jadi trauma dengan durian. Pakai baju seragam di hari libur, gendong-gendongan, lengkap sudah untuk menjadi bahan perhatian orang-orang.

Tapi beruntungnya cuaca hari ini sedikit mendukung karena nggak panas-panas banget.

Alfy tiba-tiba cengengesan. "Hihi, kita dilihatin orang-orang."

"Dih, baru sadar, Bu?" sahut gue sedikit kesal. "Untung aja muka kamu pucet, jadi aku pasti dikira lagi gendong adek yang penyakitan stadium akhir."

Bahu gue kena pukul olehnya. "Sembarangan banget ngomongnya!"

"Iya-iya, maaf."

"Aku nggak suka, ya."

Gue meliriknya dari samping, wajahnya terlihat sedih. "Iya, cantik. Maaf, ya?"

Dia tiba-tiba turun dari gendongan gue. "Aku nggak suka kamu nyebut aku adik kayak tadi."

Shit! Seharusnya gue tidak perlu membuat candaan seperti itu di tengah situasi kami yang seperti ini. Padahal sudah dua minggu ini kami berhasil tidak mengungkit masalah itu dan selama itu pula hubungan kami baik-baik saja.

Alfy berjalan lebih dulu di depan gue, tidak menoleh sama sekali. Gue menghela napas. "Nggak mau digendong lagi nih, Tuan Putri?"

Dan ... gue dikacangin.

Cukup lama gue dicuekin cewek itu dan moodnya baru kembali setelah dia melihat rusa. Gue jadi cemburu dengan hewan berkaki empat itu. Dia nggak ngapa-ngapain, cuma ngunyah makanannya, tapi berhasil bikin cewek gue luluh. Terluka banget harga diri gue.

"Kenapa kamu pengen banget lihat rusa, deh? Kan banyak hewan lain yang lebih lucu."

"Karena kalau lihat buaya udah bosen," sahutnya sambil melirik gue sekilas. "Awas, rusa, kamu lagi dilihatin sama buaya darat. Menjauh, menjauh!"

Mau marah tapi dia lucu banget. Akhirnya gue hanya bisa tersenyum dan mengusap puncak kepalanya. Alfy sepertinya lupa kalau buaya adalah hewan yang sangat setia terhadap pasangannya.

Ponsel di saku gue bergetar, gue segera mengeceknya setelah menemukan tempat duduk terdekat. Perasaan gue berubah tidak enak karena ternyata ada pesan baru dari Gilang.

Gilang
Cuk, hasil tes DNA lo keluar besok

Gue tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang menginjak sepatu gue. Saat gue mendongak, gue menemukan Alfy tengah tersenyum dan untuk pertama kalinya senyuman itu membuat hati gue berdenyut nyeri hanya karena melihatnya.

"Buaya-buaya, beli asinan yuk!" ajaknya sambil menggerakkan tangan gue ke kanan dan ke kiri. "Yang pedeees banget!"

Shit, gue nggak bisa kehilangan dia.

• • •
TBC
JANGAN LUPA VOTE & KOMEN!

2 part menuju ending
Happy ending or ...

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

29.7K 3.3K 29
Terlahir kembali untuk menuntaskan segala hal di kehidupan sebelumnya. Cintanya berakhir kandas di kehidupan sebelumnya, berakhir tragis dengan sebua...
68.7K 9.4K 44
Elvan Adhyastha, mahasiswa Psikologi tingkat 3 yang memiliki trauma untuk berhubungan dengan lawan jenisnya. Dia belum pernah memiliki pengalaman ber...
9K 916 43
💜 LavenderWriters Project Season 07 ||Kelompok 03|| #Tema; Mantan •- Ketua: Manda •- Wakil: Lintang ××× Ini kisah tentang dua insan yang tak lagi be...
3K 897 74
(Completed/Tamat) Hujan deras sore ini seakan mengerti bagaimana perasaan Kania. Gadis itu terduduk di sudut tangga sembari melihat tetesan air...