Ineffable

By Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... More

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
11 | Putri Tidur
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

42 | Tom & Jerry

1.5K 349 151
By Ayyalfy

Hai hai hai!
3 part menuju ending ✨
Makasih ya atas komen 200+nya
Ayy minta maaf atas keterlambatan update karena baru selesai revisi hiks

Happy reading🐊
Ramein vote dan komennya biar semangat update📢

• • •

RAFLI

"Kamu udah pulang—"

Tanpa menoleh sedikitpun, Alfy langsung masuk ke dalam dengan ekspresi kesal saat saya berpapasan dengannya di ambang pintu. Saya menatapnya keheranan. Tidak biasanya dia bersikap begitu.

Tidak lama kemudian Rafka muncul dan saat itu juga keheranan saya terjawab. Rafka datang bersama seorang perempuan yang menggandeng lengannya dengan mesra. Pantas saja wajah Alfy tertekuk berlipat-lipat. Ternyata Rafka biang keroknya.

Saya tersenyum, menyambut kedatangan mereka. "Berangkat sendiri tapi pulang bertiga?" ledek saya pada adik menyebalkan itu.

Dia berdecak pelan. "Gue bawa adik ipar baru buat lo, harusnya lo seneng," ujarnya lalu nyelenong masuk begitu saja, meninggalkan pacarnya yang kebingungan.

Saya menatap perempuan itu sambil tersenyum. "Satu-satunya kekurangan Rafka memang di attitude-nya. Kamu yakin nggak apa-apa dengan itu?"

Dia terkekeh kecil lalu menyerahkan parsel berisi buah-buahan yang dibawanya. "Rafka bilang kakak iparnya sedang dirawat, maaf karena baru menyempatkan untuk menjenguk hari ini."

Saya menerima parsel itu. "Terima kasih—siapa namanya?"

"Karin, nama saya Karin."

Perempuan yang baik, ramah, dan terlihat pengertian. Semoga saja Rafka tidak kembali pada kebiasaan lamanya yang suka mempermainkan perasaan perempuan sebagai sarana untuk membunuh kebosanannya.

"Terima kasih, Karin. Silakan masuk."

Karin menyapa Ratna dan dua perempuan itu langsung akrab setelah berkenalan. Saya sempat menangkap perubahan dari wajah Alfy saat dia melihat Karin mengobrol dengan Ratna. Ada raut ketidaksukaan di matanya, seperti perasaan terancam yang dia coba sembunyikan. Karin memang pandai membawa diri, meski menurut saya Alfy juga memiliki kelebihan itu di dalam dirinya.

Saya menghampiri Alfy yang sedang menyibukkan dirinya dengan laptop. "Kamu udah makan?"

Alfy menjawab pertanyaan saya dengan anggukan kepala, tanpa menoleh sedikitpun. Saya langsung menatap Rafka dan mendapati gendikan bahu darinya. Lihat, mereka sekarang kompak menjadi adik yang menyebalkan.

"Ada yang Kakak bisa ban—"

"Kak bisa minggir, nggak? Nanti kakak kelihatan di kamera," usir Alfy saat saya berniat untuk membantu kesibukannya itu.

Alis saya bertaut heran. "Lho? Kamu ada jam kuliah malam?"

Dia menggeleng. "Pokoknya Kakak harus minggir. Hush-hush, sana!" Tidak hanya mengusir secara verbal, sekarang dia mendorong tubuh saya menjauh darinya. "Iiihhh, sana, Kak!"

"Oke-oke."

Saya mengalah dan beranjak meninggalkan sofa. Tidak lama kemudian dia terlihat sedang mengobrol dengan seseorang. Karena Alfy memakai headphone, saya jadi tidak bisa mendengar dengan siapa dia melakukan panggilan video itu.

"Eh, Cina, pipi lo subur banget! Makan pupuk kompos lo disana?"

Cina?

"Kak Rafli?"

Karin menginterupsi kegiatan menguping saya. "Eh, iya?"

Ternyata Karin izin untuk pamit pulang karena ada temannya yang sudah menunggu. Saya meminta Rafka untuk mengantarkannya sampai ke luar. Tidak lama, Rafka kembali lima menit setelahnya. Dengan lirikan tajamnya dia ternyata sedang mengawasi Alfy diam-diam. Sebuah tindakan yang menunjukkan dengan jelas kalau dia sedang menahan kecemburuan.

"Kalung? Oh, kalung yang lo suruh gue buat pakein ke planet Saturnus?" Alfy mengangkat sedikit ujung jilbabnya, menunjukkan kalung yang dipakainya. "Masih ada, dong. Gue belum miskin-miskin amat jadi belum gue jual."

"..."

"Anjir. Emang berapa sih harganya?" Alfy tertawa. "Nggak sampe bikin lo jual ginjal kan buat beliin gue kalung ini?"

Saya semakin penasaran dengan sosok misterius itu. Memberikan Alfy kalung? Pasti dia bukan teman biasa untuk Alfy.

"Eh, bentar, baterai laptop gue habis." Alfy bangun dari duduknya dan mengeluarkan charger laptop. Dia mencolokkannya pada stop kontak yang ada di sebelah Rafka. "Oke, udah aman."

Alfy melanjutkan obrolannya, namun tidak lama kemudian laptopnya mati total dengan tiba-tiba. Suasana langsung berubah hening. Saya menghitung mundur dalam hati. Peperangan akan terjadi setelah ini.

"Siapa yang nyabut chargeran?" Alfy bertanya dengan nada dingin pada Rafka yang tengah memainkan ponselnya tanpa dosa. "Jadi orang kenapa julid banget, sih?"

Dengan santainya Rafka menunjukkan ponselnya yang sedang di-charge. "Julid? Gue juga butuh kali. Fyi, ponsel gue dipakai untuk urusan yang penting."

"Penting?" Alfy mendengus geli. "Sejak kapan main mobile legend jadi urusan penting?"

Tidak mau kalah, Rafka balas menyinyir. "Terus video call nggak jelas kayak gitu apa bisa dibilang urusan penting?"

"Penting buat orang yang lagi LDR-an!"

Skakmat!

Perkataan final Alfy sukses membuat Rafka mengatupkan bibir. Mereka sekarang tengah bertatapan dengan sengit. Tidak ada yang mau mengalah untuk mengakhiri.

Saya dan Ratna mati-matian menahan tawa melihat pertengkaran mereka yang sangat kekanak-kanakan itu. Siapa yang akan menyangka kalau mereka yang sebelumnya saling menjauh itu kini berubah layaknya Tom and Jerry.

• • •

RAFKA

Hari ini adalah hari kepulangan Mbak Ratna dan Ruby yang disambut baik oleh semua orang. Saat ini kami sedang melakukan packing untuk beberapa barang yang ada di rumah sakit. Gue membantu Rafli membawa beberapa barang itu ke dalam mobil.

"Alfy, bukannya kamu ada kuliah?"

"Ada, Kak. Abis ini aku berangkat ke kampus."

Gue tidak tertarik sama sekali dengan percakapan mereka. Biarkanlah Rafli dan adik kesayangannya itu menabur keharmonisan keluarga di antara mereka. Gue tidak peduli karena yang gue tahu sekarang adalah bahwa list orang menyebalkan di hidup gue sudah bertambah satu setelah tragedi charger kemarin malam.

LDR katanya? Dengan Alvin si Cina Kampung?

Cih, gue sama sekali tidak peduli. Mau dia LDR dengan pangeran arab atau opa korea pun gue tidak akan menaruh empati.

"Eh, nanti kita dinner bareng yuk di luar. Rafka kamu boleh ajak Karin sekalian. Hitung-hitung kumpul keluarga karena kita udah lama banget nggak makan di luar bareng. Gimana kalau malam minggu besok?"

Gue hanya bergumam pelan menanggapi ajakan Mbak Ratna barusan.

"Boleh, Mbak. Kayaknya aku nggak ada agenda juga."

Rafli mengelus kepala cewek itu, membuat gue mual melihatnya. "Kamu ke kampus pakai apa?"

"Alfy bawa Jagur kok, Kak."

Baguslah, Jaguar gue aman.

Cewek itu menyalami semua tangan orang di sini sebelum dia pergi. Saat di hadapan gue wajahnya berubah masam tapi tetap menjulurkan tangannya. Gue hanya meliriknya sekilas lalu kembali merapikan barang. "Tangan gue kotor."

"Emang siapa yang mau salaman?" Dia menunjuk sebuah tas yang ada di dekat gue. "Minta tolong ambilin tas."

Sialan. Gue ambil tas itu dan memberikan padanya dengan cara melemparnya. Setelah itu dia langsung pergi, menyisakan rasa gondok bagi gue yang melihatnya. "Dasar medusa!"

"Kamu baik dikit kenapa sih, Rafka, sama adik kamu," ceramah Mbak Ratna kemudian. "Dia itu cewek, lho. Jangan kasar-kasar."

"Adik Rafka?" Gue mengangkat salah satu koper untuk dibawa keluar. "Adiknya Rafli kali," ucap gue acuh sambil ngeloyor pergi.

Adik? Cih, sampai kapan pun gue nggak akan menganggap dia sebagai adik gue.

Gue mendorong koper menyusuri koridor rumah sakit menuju tempat parkir. Setibanya di parkiran gue langsung membuka bagasi mobil dan menaruh koper di sana.

Ponsel di saku celana gue tiba-tiba bergetar dan ternyata panggilan telepon dari Bella. "Iya, halo, Bell. Kenapa?"

Di seberang sana suara Bella terdengar panik dan penuh keributan. "Kak cepet ke sini, pacar Kakak barusan jadi korban tabrak lari di depan rumah sakit."

Jantung gue serasa copot dari tempatnya. "Oke, Kakak kesana. Tolong jagain dia dulu, Bell."

Gue mematikan sambungan telepon dan berlari ke luar rumah sakit. Gue melihat kerumunan di seberang jalan dan tanpa pikir panjang lagi gue langsung menyebrang jalan dengan asal, tidak peduli dengan klakson protes dari setiap kendaraan yang gue serobot jalannya. Setibanya di sana gue langsung membelah kerumunan itu dan menemukan dia disana dengan wajah pucatnya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya gue panik sambil memeriksa keadaannya. "Siapa yang nabrak kamu? Ada yang luka?"

"Rafka—"

Gue menangkup wajahnya yang pucat dan berkeringat dingin. "Kenapa? Kepala kamu ada yang sakit? Jangan banyak gerak nanti ada yang cedera."

"I'm fine, Rafka. Yang kecelakaan itu—"

"Kita periksa ke dokter sekarang!"

"Rafka! Aku di sini!"

Deg!

Gue menoleh ke arah yang berlawanan. Di bawah sana, Karin tengah terduduk di aspal dengan Bella di sampingnya. Mata cewek itu berkaca-kaca. "What's wrong with you?" tanyanya dengan suara bergetar.

Gue kembali menatap ke depan dan menemukan Alfy tengah menatap gue dengan pias. Cewek itu melepaskan tangan gue yang mendekap kedua bahunya, lalu beringsut mundur.

"Kak Rafka!"

Bella meneriaki nama gue dan saat itu kesadaran gue kembali. Gue langsung menggendong Karin dan membawanya ke UGD dengan kepala yang terasa kosong. Gue terus bertanya-tanya tentang apa yang baru saja terjadi.

Gue kenapa, bangs*t?

• • •

ALFY

Kejadian tadi pagi masih mengguncang akal sehat dan kewarasanku. Bahkan sudah beberapa jam berlalu tapi tanganku masih terasa dingin dan kaku. Aku tidak mengira Rafka akan bereaksi seperti itu. Entah siapa yang salah. Tapi kalau saja Bella langsung mengatakan bahwa Karin yang kecelakaan, mungkin alur ceritanya akan berbeda. Aku masih ingat jelas bagaimana tatapan khawatir Rafka saat melihatku di sana. Aku tidak tahu harus merasa senang, sedih, atau merasa lucu atas kejadian salah orang itu. Rasanya sangat campur aduk.

Sesuatu yang dingin tiba-tiba menyentuh pipiku, membuatku terlonjak kaget.

"Ngelamunin apa sih, Mbak?"

"Bisa nggak sih kalau dateng tuh nggak usah pake ngagetin?" protesku pada Riki yang sedang memamerkan cengiran lebarnya. Aku mengambil susu kotak dingin yang dia tempelkan di pipiku itu. "Udah selesai kelasnya?"

Dia mengangguk. "Kamu?"

"Cuma ada 1 kelas tadi pagi." Aku mengeluarkan headphone miliknya dari dalam tas. "Thanks. Besok-besok gue pinjam lagi, ya?"

Riki menerima headphone-nya lalu mengacak puncak kepalaku. "Dengan senang hati."

Aku menghempaskan tangannya jauh-jauh. "Ih, jilbab paripurna gue jadi rusak!"

Laki-laki itu bangun dari tempatnya sambil tergelak. "Riset ilmiah membuktikan bahwa terlalu lama duduk akan menimbulkan 98% resiko kesemutan." Dia menjulurkan tangannya di depanku. "Yuk, jalan!"

Aku menerima uluran tangan itu dan berdiri menyusulnya. "Gombalan anak teknik nggak mempan buat gue!"

Dia tertawa. "Namanya juga usaha."

"Eh, Rik, malam minggu besok lo ada acara, nggak?"

Riki menggelengkan kepalanya. "Nggak ada. Kenapa?"

Aku tersenyum.

• • •

Malam minggu. Di hari-hari sebelumnya aku menanti kedatangan malam ini dengan perasaan menggebu-gebu. Tapi saat waktunya tiba, nyaliku minggat entah kemana. Aku menatap ke dalam restoran dengan perasaan cemas.

"Rik, di dalem rame banget,"

"Kalau sepi namanya bukan restoran, Al. Tapi hatiku tanpamu."

Lengan Riki langsung kena gaplok olehku. Dia terkekeh. "Yuk masuk. Aku udah lapar banget."

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Riki malam ini. Dia seakan tahu bahwa aku sedang menutupi kegugupan dan kecemasanku, sehingga dia selalu mencairkan suasana meski dengan caranya yang 'nggak banget' itu. Tapi untungnya masih bisa ditoleransi dengan ketampananannya malam ini. Padahal dia hanya berpenampilan simpel yaitu dengan kaos hitam polos yang dilapisi jaket putih dan jeans berwarna senada. Jangan lupakan sneakers putih dan lengan jaket yang digulung sampai lengan.

Riki hampir membuatku mimisan.

Oke, itu lebay. "Yuk. Mbak Ratna sama yang lain udah di dalam."

Kami pun berjalan masuk ke dalam restoran. Mbak Ratna yang menyadari kedatanganku langsung melambaikan tangannya. Aku dan Riki pun berjalan mendekat.

"Maaf ya kami datang telat," ucapku merasa tidak enak karena menjadi yang terakhir datang.

Mbak Ratna menggelengkan kepalanya. "Gapapa, kami juga belum lama tiba kok. Ayo, Alfy dan Riki silakan duduk."

Eh, Mbak Ratna sudah tahu Riki?

Kami berdua pun duduk bersebelahan. Bentuk meja yang bundar membuat kami saling berhadapan satu sama lain. Posisiku berada diantara Riki dan Mbak Ratna, sedangkan di depanku adalah Rafka. Ini jelas bukan posisi yang bagus untukku.

Riki tersenyum sopan pada semua orang di meja kami, meski dia tahu ada dua pasang mata yang tidak suka melihat kehadirannya. Laki-laki itu menarik ujung bajuku, lalu berbisik. "Ini bukan makan malam keluarga, Al. Ini reunian mantan kamu!"

Aku terkekeh mendengarnya. "I hope you enjoy it."

Riki menelan ludahnya diam-diam. Dua laki-laki di sana masih terus menatapnya dengan tatapan menguliti. Aku tidak berlebihan, tapi Kak Rafli dan Rafka memang benar-benar melakukannya. Mereka berdua seperti tengah bertemu dengan musuh lama mereka dan Riki seperti sedang terkepung di antara dua macan yang kelaparan. Poor, him!

Aku beralih melihat Karin yang tampak stunning malam ini dengan gaun hitamnya. Sepertinya luka akibat kecelakaannya tempo hari sudah benar-benar sembuh. Aku sedikit iri padanya, karena dia terlihat cantik tanpa effort lebih. Harus dengan kata apa aku menyebutnya? Elegan?

Saat kami bersitatap, dia tersenyum. See, dia bahkan tetap ramah padaku setelah apa yang terjadi di hari itu. Aku yakin sekarang Karin sudah mengetahui siapa aku di masa lalu kekasihnya dan aku tidak yakin dia bisa menerima kenyataan itu dengan mudah.

"Oh ya, di sini kayaknya yang belum saling kenal cuma Riki dan Karin, ya?" Mbak Ratna membuka percakapan di antara kami. "Kamu udah kenal Riki kan, sayang?" tanyanya pada Kak Rafli yang disahuti dengan gumaman pelan oleh laki-laki itu.

Karin mengulurkan tangannya pada Riki. "Karin, pacarnya Rafka."

Riki menerima uluran tangan Karin dan tersenyum. "Riki, pacarnya Alfy."

"PACAR?!"

Kami semua terlonjak kaget dengan pekikan kompak dari kakak beradik di sana. Aku meringis pelan, tidak menyangka respons mereka akan seberlebihan itu.

Aku buru-buru meluruskan. "Kami sahabatan," ralatku lalu menatap Riki sambil mencubit lengannya. "Kamu usil banget, sih?"

Riki mengernyit kesakitan. "Tapi soon to be, kan?"

Aku memelototinya.

Suasana sedikit mencair setelah kedatangan waiters di meja kami. Ah aku lupa menyebutkan bahwa restoran yang dipilih Mbak Ratna ini adalah restoran all you can eat yang menyajikan makanan khas Korea. Melihat berbagai macam daging, sayuran, dan berbagai saus di hadapanku membuat nafsu makanku melejit begitu saja.

Aku merasakan sebelah pipiku dicubit seseorang. "Biasa aja kali lihatnya," ledek Riki, si pelaku pencubitan itu.

"Ini vibes-nya kayak di drakor-drakor, Rik. Gimana nggak semangat coba?" Aku mendongak dan malah bersitatap dengan Rafka yang tengah mengamatiku dengan raut datarnya. Aku dengan cepat berdeham dan mengalihkan tatapan. "Suka makanan korea, kan?"

Riki mengangguk. "Nanti panggangin aku daging yang itu, ya?" pintanya sambil menunjuk salah satu daging di atas meja dan aku mengiyakannya.

Tiba-tiba Rafka bangun dari kursinya. Karin menatapnya bingung dan laki-laki itu hanya mengatakan ingin ke toilet.

Aku melirik kepergian laki-laki itu dalam diam. Apakah dia sedang marah?

"Alfy, jilbab kamu!" Karin menunjuk jilbabku, membuatku refleks menunduk. Astaga, aku tidak sadar kalau ujung jilbabku jatuh ke mangkuk berisi saus di bawah sana.

Riki langsung membantuku membersihkannya dengan tisu. "Al, ini kayaknya harus dibasuh pakai air. Nggak bisa ilang nodanya."

Aku pun pergi ke toilet untuk mencucinya di westafel. Warna merah saus itu cukup sulit dihilangkan dari jilbabku yang berwarna putih tulang. Setelah hampir lima menit membasuhnya menggunakan air dan sabun yang ada di westafel, aku memutuskan untuk menyerah membersihkannya. "Bodo amat, deh!"

Aku merapikan jilbabku yang sedikit berantakan sebelum meninggalkan toilet. Saat keluar dari sana, tanganku langsung ditarik seseorang dan dia menyeretku meninggalkan restoran melalui pintu keluar.

"Rafka, apaan sih?!"

Aku berusaha memberontak dari cengkramannya tapi dia tidak membiarkanku berkutik sama sekali. Sekarang kami sudah berada di luar dan Rafka baru melepaskan tangannya.

Dia menatapku dingin. "Lo beneran balikan sama Riki?" tanyanya tanpa berbasa-basi lagi.

"It's not your business anymore," balasku sambil berlalu dari hadapannya, tapi dia menahan pergelangan tanganku. Lagi.

"Lo bahkan ga nolak saat dia nyentuh pipi lo." Dia mengelus pipiku yang langsung aku tepis detik itu juga. Rahang laki-laki itu mengeras. "Listen, do you think it's easy for me to see you with somebody else?"

Aku tidak percaya Rafka akan mengatakan hal itu. "Hey, you're the first one who did it to me!"

"Ya! Because I was mad at you, not because I stopped loving you!"

Aku terhenyak.

Rafka mencengkeram bahuku. "Kalau aja waktu itu kamu nggak dengerin perkataan Rafli dan memilih percaya sama aku, hubungan kita bakal baik-baik aja sampai sekarang!"

Aku menatapnya tak habis pikir. "Kamu sebenernya lagi nyalahin aku atau nyalahin ketetapan Tuhan sih, Raf?"

Kini laki-laki itu yang terhenyak.

"Our life such a book, Rafka. I know it's hard to turn the page when you know that someone you love won't be in the next chapter, but the story must go on, Rafka."

Sekarang kami bertatapan hingga tanpa sadar air mataku mengalir hanya karena melihat wajah putus asa itu. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, tapi tatapannya seakan mengatakan bahwa kami sudah sama-sama lelah tapi tidak ingin saling menyerah.

"I'm sorry," ucapnya setelah lama terdiam sambil membawa tubuhku ke dalam pelukannya. "Sikap aku yang kayak gini pasti nyakitin kamu, but I love you so bad and if I could have anyone in the world, it would still be you. Nobody can replace you."

Aku semakin terisak dalam pelukannya. Jadi yang dia katakan hari itu ternyata benar-benar perkataannya sendiri? Dia hanya mengarang bahwa Riki yang mengatakannya?

"Tapi aku belum nyerah."

Tubuhku menegang. "Maksud kamu?"

Pelukan kami terlepas. Rafka langsung mengambil ponselnya dan dia melakukan panggilan telepon dengan seseorang.

"Halo, Lang. Soal saran lo kemarin," Rafka menatapku, sebelah tangannya mengusap pipiku dengan lembut. "Atur jadwalnya, gue dan Alfy akan tes DNA."

Apa?!

• • •
TBC
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!

Kalian tim Rafka Alfy
atau Riki Alfy?

Mending tim Riki ♥️ Author aja yak
Abisnya Mang Riki kasep pisan:(

Otw menculik Riki🤸

Continue Reading

You'll Also Like

68.6K 9.4K 44
Elvan Adhyastha, mahasiswa Psikologi tingkat 3 yang memiliki trauma untuk berhubungan dengan lawan jenisnya. Dia belum pernah memiliki pengalaman ber...
8.5K 973 40
Baca Season 1 dulu, baru yang kedua. Karena ceritanya nyambung, oki doki.. Daizy dan Aldafi sudah mencapai hubungan yang baru, hubungan yang sama-sam...
1.5M 81.2K 58
[Cold Devil Series] #3 dalam chiklit, sabtu, 7 & 17 April 2018 [CERITA MASIH LENGKAP DAN DI HAPUS SEBAGIAN BESOK] "Bos ih! Kalo saya ntar bilang sorr...
9K 916 43
πŸ’œ LavenderWriters Project Season 07 ||Kelompok 03|| #Tema; Mantan β€’- Ketua: Manda β€’- Wakil: Lintang Γ—Γ—Γ— Ini kisah tentang dua insan yang tak lagi be...