Pengantin Kutukan

By Satpam_Hot

2.3K 142 6

Setelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya p... More

PENGANTIN KORBAN MUTILASI
SISI LAIN DARI AUREL
RUMAH DI PESISIR PANTAI SEJARAH
MALAM PERTAMA DI RUMAH BARU
MISTERI TUSUK KONDE
RUMAH TANGGA YANG MULAI GOYANG
DIA IKUT KE MANA PUN KAU PERGI
PALUH LEMBAH DARAH
MANUSIA-MANUSIA TANPA KEPALA
KAMAR BEKAS MUTILASI
TUSUK KONDE DAN KAIN KAFAN HITAM
KEHADIRAN KETIGA PENARI MISTERIUS
BERSEKUTU PADA SETAN
BENANG MERAH KEHIDUPAN
KEADAAN YANG KIAN MEMPRIHATINKAN
MASALAH BARU
RUANG KANTOR YANG MENDADAK MISTERIUS
PENGUNGKAPAN DARI SECARIK KERTAS
HARTA HANYALAH HIASAN DUNIA SEMATA
HIDUP BUKAN SEKADAR MENCARI EMAS DAN PERMATA
ORANG-ORANG BERHATI MALAIKAT
MENGUJI TINGKAT KEJUJURAN MANUSIA
KETULUSAN HATI
KEMATIAN ADALAH PERISTIWA YANG HAKIKI
KEMATIAN DEMI KEMATIAN TERJADI BERSAMA IRONI
LAPAK MUTILASI SEORANG WANITA BERGAUN PENGANTIN
KEMATIAN TERUS TERJADI
LINGSIR WENGI
AWAL UNTUK AKHIR
EPILOG
PESAN DARI PENULIS

KEMATIAN RADIT ANAK KEDUA

44 2 0
By Satpam_Hot

Dengan langkah seribu, Jefri menemui anaknya yang telah terbujur tanpa nyawa. Nestapa menyergap seisi ruang pasien. Pasalnya, orang yang sedang berada satu kamar menghampiri keluarga kecil Jefri. Isak tangis tak terbendung olehnya, cengkeraman kedua tangannya membuat sprei berantakan.

"Radit ... bangun, Nak. Ayah ada di sini, bangun Sayang ...!" Jefri berteriak sembari merangkul Radit—anaknya.

"Jef, kamu yang sabar. Anak kamu sudah tenang bersama Allah, Nak." Mirna pun mengelus pundak Jefri yang tak mampu membentung air matanya.

"Pak, yang sabar. Mungkin Allah lebih sayang pada anak Anda, biarkan dia kembali bersama Sang Maha Pencipta."

"Tapi saya belum mau kehilangannya, kenapa bukan saya saja yang mati hari ini!?" Jefri kembali memekik dan menaikkan nada suara.

Dokter yang saat itu berbaris di sepanjang tempat tidur, ikut merasakan duka nestapa. Mereka tak mendapati kalau Radit—pasien mereka telah mengembuskan napas untuk selama-lamanya. Padahal, para dokter baru saja meninggalkan pasien itu. Namun, Tuhan secepat embusan angin dalam mengambil tiap nyawa manusia.

Tanpa ada satu pun yang mampu bergeming, seisi kamar pasien hanya tertegun dan menatap Jefri berteriak tanpa henti. Sementara Mirna dan Aurel, masih mencoba untuk membangunkan Radit—adiknya.

"Adik Radit, bangun, Dik. Kakak enggak mau tinggal sendirian di rumah," rengek Aurel seraya menyentuh pipi kanan adiknya itu.

"Nduk, jangan diratapi Adikmu. Ikhlaskan kepergiannya, Allah lebih sayang padanya, Nduk," titah Mirna.

"Tapi, Nek ...."

"Sayang ... jangan buat Adikmu tidak tenang di sana," jelas Mirna menengahi.

Suara mobil ambulan terdengar memasuki ruang pasien. Para perawat yang kala itu mengikuti Jefri, membawa jenazah menuju kediaman. Di sepanjang jalan menuju halaman rumah sakit, para pasien dan pengunjung lainnya menggerompok menatap kesedihan Jefri.

"Pak, biar kami saja yang membawa jenazah ke rumah," ucap perawat berseragam serba putih.

"Enggak usah! Biar saya yang bawa anak saya di mobil ini, kalian jangan halangi saya," pungkas Jefri membungkam kedua perawat rumah sakit itu.

"Sudah biarkan saja dia membawa anaknya," sahut dokter di sebelah kanan.

Kedua perawat itu mengangguk dua kali, mereka hanya menatap Jefri yang sedari tadi menangis tanpa henti. Tak terbendung lagi kesedihan dalam hidupnya. Setelah kepergian Fernando—sahabatnya, kini anak lelaki semata wayangnya juga ikut pergi bersama ironi dari Sang Maha Pencipta.

Mirna pun menggendong jenazah Radit di bangku belakang, ditemani oleh Aurel—kakaknya Radit. Sementara sang ayah, masih menyopir dengan tingkat kecepatan luar biasa. Tubuh lelaki berusia 29 tahun itu seperti tak terkendali lagi, yang ada dalam benaknya adalah ingin secepatnya sampai rumah.

"Jef, jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya, Nak," ujar Mirna dengan nada suara tak lagi netral.

"Biar saja, Bu, kalau perlu aku mati di jalanan ini."

"Astaga, Jef! Kamu ingat Allah, Nak. Kalau kamu saja yang mati ibu tidak masalah, tapi kalau Aurel ikut mati bagaimana?" hardik Mirna spontan.

Mendengar ucapan itu, Jefri pun mengurangi laju mobilnya, dia menoleh menuju wajah Aurel yang masih menangisi sang adik. Dengan penuh rasa bersalah, Jefri akhirnya kembali fokus dan menatap mantap Jalan Lintas Sumatra. Air mata kembali menetes melalui lekuk pipi dan membasahi leher.

Di tengah perjalanan, ponsel pun berbunyi beberapa kali. Namun, Jefri tak mau mengangkat panggilan itu. Tak berapa lama, ponsel berdering lagi, lalu Jefri menatap layar ponselnya.

Panggilan datang dari nomor Siska—istrinya. Namun, Jefri tak mau menerima panggilan itu dan mematikan ponselnya.

"Siapa yang menelepon, Jef?" tanya Mirna.

"Iblis yang menelepon, Bu."

"Iblis bagaimana?" tambah wanita tua itu.

"Siska yang menelepon," pungkas Jefri.

"Angkat saja, Jef, barangkali ada hal yang penting. Beritahu kalau Radit telah tiada," suruh Mirna, kemudian dia kembali menatap wajah cucunya yang telah membiru.

Dengan menarik napas berat, Jefri pun menjawab, "enggak perlu, kalau memang dia sayang pada keluarga. Kenapa tidak pulang selama ini."

Mendengar ucapan itu, Mirna hanya mampu menadahkan kepala.

Arloji menunjukkan pukul 12.00 siang. Jefri dan jenazah sang anak telah tiba di kediaman. Tampak dari ujung pintu gerbang, tabir hijau telah terpasang dengan sendirinya di rumah. Padahal, dia tidak memberitahukan Diman—penjaga rumah perihal kematian anaknya. Namun, para warga sekitar telah menggerompok dan menyusun kursi.

Tenda biru beserta bendera kematian telah tertancap di samping gerbang, tempat untuk fardu kifayah juga telah siap, entah siapa yang melakukan itu semua. Dalam posisi tak bergeming, Jefri akhirnya beringsut dan keluar dari dalam mobilnya. Bersama deraian air mata, lelaki berusia 29 tahun itu menggendong jenazah buah hati dan memasuki rumah.

"Assalammualikum ...," sapanya sangat lirih.

"Wa'alaikumsallam ...," jawab para pelayat yang berhadir.

Para ustaz pun sudah datang di kediaman, mereka tampak ikut merasakan kesedihan dengan peristiwa yang terjadi. Padahal, Jefri tak pernah menghadiri setiap ada warga sekitar meninggal dunia. Kini, kacamatanya terbuka lebar, bahwa dalam hidup ini, kita membutuhkan orang lain. Tidak sertamerta dapat melakukan sendiri, meskipun memiliki banyak uang.

Dari samping kiri, Jefri mengerling sang ustaz dengan serban berwarna putih. Bersama tatapan yang tak mau beringsut, wajah ustaz itu seperti pernah terlihat sebelumnya. Kemudian, dia memutar kilas balik perihal kejadian beberapa bulan yang lalu di rumah sakit.

'Apakah ini Ustaz Hasbi? Kalau memang benar, dari mana beliau tahu kalau anak saya meninggal dunia?' tanya Jefri dalam hati.

Tanpa menunggu lama, mereka melaksanakan fardu kifayah dan mensalatkan Radit sebagaimana mestinya. Tepat hari itu juga, jenazah pun dikebumikan. Dalam ilmu agama Islam, tidak baik jika menunda-nunda mayat di rumah.

Tak berapa lama, mereka pun sampai di pemakaman umum. Mirna dan Aurel menaburi bunga-bunga yang telah tersedia dibawa oleh para tetangga. Selepas meninggalkan makam Fernando, kini Jefri membawa anaknya pula ke peristirahatan yang terakhir.

Tepat di depan batu nisan, Jefri merengek meratap. "Sayang ... kamu yang tenang di sana. Ayah enggak akan meninggalkanmu di sini sendirian, ayah pasti akan sering-sering datang."

Seseorang menyentuh pundak Jefri perlahan, kemudian dia berkata, "Pak, jangan diratapi. Ikhlaskan. Karena anak Bapak hanya butuh doa yang tulus, dengan begitu, dialah yang akan membawa Bapak kelak ke jalan surga."

"Kau tidak tahu perasaan yang kurasakan saat ini Ustaz. Karena kau tak pernah mengalami ini semua!" pekik Jefri.

"Saya sudah mengalami ini tiga kali, Pak. Anak yang saleh, akan membawa kita menuju surga—kelak. Jadi, biarkan dia tenang bersama Allah."

Mendengar pernyataan itu, Jefri mendongak dan menatap wajah ustaz di hadapannya. Lamat-lamat, para tetangga pun meninggalkan makam umum dan kembali pulang. Hanya tersisa Jefri, Aurel, Mirna, dan Ustaz Hasbi.

Sang ustaz pun bersimpuh seraya menatap netra lawan bicara. Kemudian dia berkata, "Pak, kita tinggalkan makam ini sekarang, karena saya ingin mengatakan sesuatu."

Tepat di posisi depan, Mirna dan Aurel berjalan lebih dulu. Sementara Ustaz Hasbi dan Jefri, berhenti sejenak ketika tujuh langkah menapak. Lelaki berusia 29 tahun itu kembali menoleh makam sang anak, ditimpali air mata yang tak mau berhenti.

Ustaz pun menyentuh pundak Jefri. "Pak, sebelumnya saya mohon maaf."

"Maaf untuk apa, Ustaz?" tanya Jefri penasaran.

"Apakah selama ini, Anda melaksanakan salat di rumah semewah itu?" Ustaz pun kembali menadahkan wajahnya.

Secara spontan, Jefri menggeleng, dia memang tidak pernah melaksanakan kewajiban sebagai umat Islam. Jangankan salat, sekadar hiasan dinding yang bermotif ayat suci alquran pun tiada. Setiap sudut rumah hanya dipenuhi dengan lukisan tiga dimensi saja.

"Pak, kalau boleh saya berikan saran. Tolong buang semua lukisan-lukisan di rumah. Karena itu hanyalah membawa petaka saja," titah ustaz memberikan pandangan.

"Ta-tapi, Ustaz."

"Pak, ini demi kebaikan seisi rumah," pungkas ustaz.

"Baik, Ustaz, saya akan mengikuti semua saran yang Ustaz berikan."

"Kalau begitu, mari kita kembali. Mungkin malam ini, saya akan mencoba untuk salat di rumah Bapak, boleh?" tanya Ustaz Hasbi.

"Boleh, Ustaz. Dengan senang hati," jawab Jefri seraya mempersilakan sang ustaz.

Mereka pun beringsut dari makam umum dan menuju rumah masing-masing. Ustaz Hasbi mengikuti mobil milik Jefri dari belakang, dia menatap mantap sosok wanita tua yang berada di samping Aurel. Dengan membaca ayat kursi, lelaki berserban putih itu membuka mata batinnya.

Tampak dari kaca mobil paling depan, bahwa Mirna—ibunya Jefri adalah sesosok wanita jelmaan yang mengenakan gaun pengantin. Wajahnya pun dipenuhi dengan sayatan-sayatan benda tajam. Mengenakan kebaya cokelat, dengan sanggul rapi layaknya seorang pengantin wanita.

Secara saksama, Ustaz Hasbi tetap memandang dari dalam mobil miliknya. Tergambar jelas potret masa lalu wanita itu, bahwa dia adalah korban mutilasi ketika hendak melangsungkan resepsi pernikahannya.

Dalam sekelebat penglihatan, Ustaz Hasbi pun tak mampu menerawang lebih jauh, dia seakan mendapat serangan gaib dari wanita itu.

"Astaghfirullah! Allah'huakbar ... Allah'huakbar ... Allah'huakbar ....!" teriak ustaz sembari mengambil tasbihnya.

Pandangan yang tadinya terlihat kabur dan samar, lamat-lamat menjadi netral seperti sediakala.

'Ternyata, wanita itu adalah ratu iblis yang telah bersekutu pada jin diberbagai belahan nusantara. Aku harus ekstra hati-hati, agar tidak salah langkah dan membuat Jefri menjadi celaka.'

Selesai bersenandika, Ustaz Hasbi menatap Aurel—anak pertama Jefri. Gadis kecil berusia 6 tahun itu ternyata telah berada dalam genggaman wanita berbusana pengantin di sampingnya. Pasalnya, Aurel telah dikuasai secara maya dan nyata. Alhasil, seisi rumah telah berada dalam cengkeraman wanita itu.

Sesampainya di depan rumah, Jefri dan seisi mobilnya keluar memasuki rumah. Sedangkan Ustaz Hasbi hanya tertegun menatap setiap sudut bangunan mewah dengan dua lantai di atasnya. Tampak jelas bahwa bangunan tersebut sangatlah dipenuhi mistis, bahkan hiruk pikuk terdengar tanpa henti.

Dari ambang pintu, dua ekor monyet bertubuh besar seperti menjadi seorang pengawal kerajaan. Sementara ular-ular berukuran besar, melingkar di atap rumah. Sungguh pemandangan yang dapat membuat netra terbelalak dan gemetar. Namun, tidak semua orang bisa melihatnya.

"Ustaz," panggil Jefri.

"Iya, Pak," jawab si ustaz.

"Silakan masuk ke rumah," ajak Jefri.

"Baik, Pak, terima kasih."

"Sama-sama, Ustaz. Mari." Mereka berdua pun memasuki rumah dan mendudukkan badan di atas sofa ruang tamu.

Continue Reading

You'll Also Like

10.2K 368 8
Serial ke 13. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal de...
391K 3.3K 18
18++ Bukan konsumsi anak2 Sekian lama menjanda, kau mendapatkan kabar jika ibumu akan menikah. Mungkin bagi sebagian anak. Ia akan bahagia. Namun tid...
7.5K 275 8
Serial ke 31. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal de...
10.5K 433 8
Serial ke 8. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal den...