My Perfect Psikiater

Autorstwa Istiayu19

32.2K 4.3K 857

Lentera Gulita. Gadis berumur 16 tahun yang kehilangan masa remajanya. Di saat teman sebayanya menghabiskan m... Więcej

Prolog
1. Dia Kenapa?
2. She's Not Okay
3. I Can See You
4. Kejanggalan
5. Karena Kamu Lentera
6. Saya Manusia Biasa
7. Cctv?
8. Kecurigaan
9. She's Look Pretty
10. Anda Menginginkan Permainan?
11. Apalagi Ini?
12. Mari Bekerja Sama
13. Cokelat Jawaban
14. Pelaku?
15. For Us
16. Cerdik-Cerdik Licik
17. Don't Be Affraid
18. Dia, Senjana Dan Luka
19. I Will Protect You
20. Semangat Ya Senjana
21. Ingkar
22. Do it, Lentera.
24. Bertahan ya?
25. Perjanjian
26. Kilas Balik Trauma
27. Kantor Utama RSJ Kasih Beta
28. Kebijakan Kasih Beta
29. "Gue Tandain Lu, Gavin!"
30. Dunia Ini Bukan Hanya Milik Lentera
31. See You, Lentera
32. Hi, Tingker Bell!
33. Praduga
34. Kau Menyukainya, Tuan?
35. Jadi, sebenarnya?
36. Kuncup Bunga Tulip
37. Merekah bak Mawar Berduri

23. You Deserve It

664 102 46
Autorstwa Istiayu19

Oke, part sebelumnya bagaimana?

Siapa yang bisa nebak, di part ini Gavin akan bertindak seperti apa?

Thank you supportnya. Vote+comment kalian is another level of love<33333

***

"Mengapa ada kejadian semacam ini di RSJ? Sangat tidak wajar, Alwi." sergah Ikhwan dengan raut kebingungan serta risau oleh insiden terlukanya Dokter Gavin. Ia mondar-mandir memikirkan keselamatan seorang psikiater yang sedang di rawat lantaran pinggangnya terdapat luka tusukan pisau. Bagian tubuh tersebut dijahit, lalu Dokter Gavin mendapat penanganan intensif oleh pihak medis RSJ Kasih Beta, milik Ikhwan.

"Papa tahu apa yang menjadi penyebab Lentera melakukan itu," ucap Alwi datar. Ia berdiri memunggungi Papanya.

"Karena dia memiliki gangguan jiwa?" sahut Ikhwan sedikit kesal.

"Orang gila bertindak di luar kendali dirinya, tapi Lentera tidak gila. Dia melakukan itu atas dasar dorongan jiwanya. Lentera akan melakukan tindakan-tindakan gila jika dirinya terusik, jadi kesimpulannya, ini bukan sepenuhnya kesalahan Lentera. Coba Papa tanyakan langsung ke beliau." ujar Alwi menjabarkan.

"Sampai kapan gadis itu membuat seisi Rumah Sakit Jiwa terguncang, setiap minggunya dia melakukan tindakan yang membahayakan dirinya dan orang lain." Ikhwan menyahut frustasi.

"Sampai dia benar-benar sembuh." celos Alwi.

"Harapan sembuhnya kecil, kalau sampai akhir tahun dia masih seperti itu, Papa terpaksa mengirimnya ke luar negeri, supaya ditangani langsung oleh ahlinya, kebetulan beliau teman kuliah Papa." ungkap Ikhwan.

"Solusi yang tidak akan pernah Alwi setujui." timpalnya. Ia yang tadinya memunggungi Papanya, kini menghadap dengan tatapan serius.

"Semua demi kebaikan dia." sahut Ikhwan.

"Tidak ada yang baik, jauh-jauh ke luar negeri belum tentu bisa menyembuhkan Lentera. Biarkan dia pulih di tempat ini, mau seberapa lamanya dia harus tetap di sini." tegas Alwi.

"Papa capek, Al!" sentak Ikhwan.

"Istirahat, Papa boleh berhenti dari semua kegiatan yang ada di sini. Tidak perlu memikirkan Lentera lagi, biarkan Lentera menjadi tanggungjawab Alwi." ujarnya.

"Papa tidak mengerti jalan pikiran kamu, Alwi." sahutnya dengan raut marah.

"Kalau saja mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan diri mereka, sudah pasti mereka tidak ingin hidup di tempat ini, mereka akan memilih hidup sehat dan menyenangkan di luar sana. Papa kalau capek, istirahat, jangan salahkan pasien yang butuh perhatian khusus dari kita. Apalagi mengenai Lentera, Alwi tidak suka jika Papa berniat memindahkan Lentera dari sini."

Ikhwan menatap tajam. Ia seperti sedang di remehkan oleh musuh. Padahal Alwi adalah anaknya.

"Kalau sampai Papa melakukannya tanpa sepengetahuan Alwi, Alwi pastikan, Papa tidak akan bisa melihat anak semata wayang yang selalu digadang-gadang menjadi seperti Papa, jangan salahkan Alwi jika nanti nama Papa tercoreng buruk gara-gara berita anaknya menjadi perusak rumah tangga orang. Perlu Papa ketahui, Alwi masih mencintai Hanny sampai detik ini."

"Kamu sudah gila?!" tukas Ikhwan.

"Itu hanya sebuah ancaman kalau Papa benar-benar memindahkan Lentera secara diam-diam."

Setelah itu Alwi melenggang pergi. Bukan ini yang Alwi inginkan, bersikap angkuh di hadapan Papanya. Tapi ia ingin terlihat tegas untuk melindungi Lentera. Sudah cukup ia merasa kecolongan ketika ada Dokter Gavin yang dengan mudahnya melukai Lentera tapi selalu bisa berkedok menjadi psikiater paling baik sejagat raya.

Kaki jenjangnya berjalan cepat dengan langkah tegas. Ruang CCTV adalah tujuannya. Alwi ingin sedikit bermain licik demi menyelaraskan permainan Dokter Gavin.

"Permisi." suara Alwi terdengar dingin. Tatapannya pun tidak seramah biasanya.

Seseorang di sana menoleh disertai keterkejutannya. Dari ia duduk, ia bisa mengamati bahwa kedatangan Alwi untuk rekaman yang terpantau olehnya.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak Alwi?" tanyanya.

"Saya yakin kamu sudah tahu maksud kedatangan saya kemari untuk apa." jawabnya praktis.

Hendri bangkit dari kursinya, ia menghela napas lalu menggeser tubuhnya, memberi peluang untuk Alwi yang saat itu tatapannya tertuju pada layar monitor. Tentu saja Hendri tidak ingin ikut campur masalah atasannya, tugasnya hanya memantau CCTV. Kalau ada sesuatu yang itu bukan haknya untuk tahu, ia tidak ingin terlalu mengorek pribadi mereka.

Walaupun, setelah mengamati data rekaman di kamar Lentera. Ia merasa semua tidak ada yang beres. Dokter Gavin, Suster Almira kemudian Alwi. Mereka membuat tanda tanya besar di kepala Hendri terasa seperti memukul.

"Hendri," panggilnya. Pandangannya fokus ke arah Hendri. "Saya bukan sebaik-baiknya orang yang kamu kenal sebagai Psikiater, anak dari pemilik Gedung ini dan penerus dari beliau. Saya manusia biasa yang kapan saja bisa berbuat salah atau tindakan kriminal yang mungkin beberapa jam lalu kamu saksikan di sini."

Alwi melirik layar monitor, lantas beralih menatap Hendri dengan gerakan bangkit dari kursi.

"Apa yang kamu lihat semuanya benar, kami semua dalam masalah besar." imbuh Alwi.

Hendri terdiam. Laki-laki berstatus duda anak satu itu cukup paham dengan apa yang Alwi katakan barusan.

"Lentera selalu diganggu Dokter Gavin, karena itu tujuan beliau di sini. Saya hanya bertindak melindungi gadis itu." ucap Alwi.

"Pak, saya tidak ingin tahu masalah kalian. Tapi saya terkejut dengan tindakan anda ketika menyuruh Lentera membunuh Dokter Gavin." sahut Hendri.

Alwi mengangguk. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku Jas putihnya. "Iya, saya sengaja menyuruhnya untuk melakukan itu."

"Jelas bukan tindakan yang bisa dibenarkan," ujar Hendri.

"Betul, itu sudah termasuk perbuatan jahat. Karena saya seorang psikiater, seorang yang dipandang tinggi di mata kalian, bukan berarti saya tidak berhak melakukan kejahatan untuk alasan tertentu, bukan?"

"Apapun alasan anda, tidak saya benarkan." timpal Hendri. "Sekarang, Dokter Gavin dirawat. Rumah Sakit Jiwa heboh menyalahkan Lentera. Tapi pelaku sebenarnya anda, hanya saja tangan Lentera yang bertindak."

Alwi memijat pelipisnya . "Saya hanya butuh data rekaman itu, dengan sangat memohon, bungkam untuk masalah ini. Simpan dan reset ulang rekaman di kamar Lentera. Itu semua untuk bukti nanti ketika saya membongkar kejahatan beliau."

"Anda menyeret saya untuk bersikap tidak profesional, Pak." ucap Hendri.

"Untuk saat ini, saya hanya bisa meyakinkan satu hal. Saya tidak sebaik yang kamu lihat." ungkap Alwi.

"Hal lainnya?" sahut Hendri.

"Dokter Gavin juga bukan sebaik-baiknya Psikiater, lalu Lentera," Alwi menjeda kalimatnya. Kepalanya tertunduk. Helaan napasnya menggema di ruangan CCTV. "Dia juga bukan sebaik-baiknya pasien jiwa, dia mengalami gangguan jiwa yang bukan hanya sekadar tertawa dan mengamuk seperti biasanya. Dia mengalami tekanan mental setiap menitnya, saya hanya ingin mewujudkan impiannya untuk bisa pulang dan tidur di kamar kesayangannya." papar Alwi.

Hendri mengamati wajah Alwi. "Hanya itu saja?" tanyanya.

"Saya ingin dia merasakan kebahagiaan anak-anak sepantarannya. Dia memiliki hak untuk bahagia seperti teman-temannya."

"Kenapa Pak Alwi mau melakukan ini demi Lentera?"

Alwi tersenyum samar. Guratan lelah itu tercetak jelas di wajahnya. "Hanya karena anak seusianya harus menikmati masa muda yang menyenangkan. Rumah Sakit Jiwa bukan satu-satunya tempat yang menyenangkan walaupun kebanyakan dari mereka terlihat bahagia. Kamu pasti tahu, tawa mereka itu bukan dari diri mereka sendiri."

"Pak, sejak kapan Bapak menyimpan semua ini sendirian?" tanya Hendri serius.

Alwi menoleh. Sedikit tidak mengerti maksud ucapannya. Namun ia enggan menjawab.

"Sejak kapan Dokter Gavin menjadi monster di kehidupan Lentera, lalu anda tidak membagi rahasia buruk itu ke Pak Ikhwan?"

"Beliau tidak akan percaya dengan cerita saya." ucap Alwi.

"Saya tidak memihak siapapun tapi anda jangan khawatir, data rekaman ini akan aman, saya akan menyimpannya untuk anda. Apapun masalahnya jika itu menyangkut Lentera, saya akan membantu. Tapi hanya ini saja."

"Terima kasih, kamu cukup menyimpannya, Hendri. Selebihnya itu menjadi urusan saya dan yang bersangkutan."

"Baik, saya mengerti, Pak."

"Apa yang harus saya berikan untuk kamu sebagai tanda terima kasih karena sudah mau sedikit mengikuti perintah saya."

"Tidak ada. Saya tidak berhak mendapatkan apapun karena saya tidak memihak siapapun."

"Kalau seandainya yang menghampirimu saat ini Dokter Gavin, kamu juga akan mengabulkan permintaannya?" tanya Alwi.

"Tergantung permintaan beliau, selama ini saya banyak mengamati bagaimana beliau bertindak. Tapi saya tidak ingin menyalahkannya, semua masalah di sini berasal dari Lentera, saya yakin ada alasan tertentu kenapa Dokter Gavin melakukan tindakan-tindakan di luar nalar saya secara sembunyi-sembunyi."

Alwi mengangguk. "Kamu sangat profesional, Hendri. Kerja yang sangat bagus."

"Ada yang ingin Bapak sampaikan lagi mengenai masalah hari ini?" tanya Hendri.

"Tidak ada."

"Saya pastikan rekaman ini aman, lalu data di sini akan saya reset." ucapnya.

"Sekali lagi, terima kasih." Alwi menepuk pundak Hendri. Ia merasa saat itu Hendri bersikap sangat serius dibanding hari-hari biasanya. Hendri dikenal sebagai laki-laki humoris, hari itu tidak ada raut atau ucapan jenakanya.

***

Ikhwan tersenyum seraya mengeratkan genggamannya. Tidak ingin gadis itu pergi kalau satu detik saja ia lengah. Tujuannya ruang rawat Dokter Gavin.

Bersama Lentera, yang saat itu sudah berkali-kali memberontak menolak ajakan Ikhwan untuk menjenguk korban daripada ulah Lentera sendiri.

"Selamat sore, apa kedatangan kami mengganggu waktu istirahat anda?" Ikhwan menyapa ramah sementara Lentera memalingkan wajah. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap tenang, sedangkan yang ia datangi adalah monster.

"Oh tentu saja tidak, saya baru saja minum obat. Ada apa ini?" sahutnya disertai binar keceriaan.

"Lentera ingin minta maaf, saya memaksanya kemari. Dia harus bersikap sopan kepada atasannya." tutur Ikhwan.

Dokter Gavin terkekeh geli, netranya menatap gadis itu dengan isyarat meremehkan. Ia merasa menang saat Ikhwan mendukungnya. Seperti saat ini, Lentera tidak bisa berkutik.

"Halo, ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Dokter Gavin dengan raut yang bisa Lentera jabarkan, hanya berpura-pura baik.

"Anak baik, minta maaf ya, tidak boleh melakukan tindakan seperti itu lagi. Saya akan memberimu hukuman jika berani bermain pisau lagi." ujar Ikhwan.

Lentera tetap diam. Ia mengepalkan tangan kirinya. Sorot matanya tajam. Gadis itu tidak ingin menjabat tangan Dokter Gavin yang saat itu terulur di hadapannya.

"Lentera," panggil Ikhwan. Lengannya sedikit ditarik, pandangannya serius.

"Nggak mau, dia itu monster." ucapnya parau. Kepalanya mendongak menatap Ikhwan dengan sorot sendu.

Ikhwan menghela napas. "Tidak boleh bicara seperti itu. Ayo minta maaf ya." ujarnya.

"Enggak! Dia itu jahat." akunya bersuara lantang.

"Jahat bagaimana? Dokter Gavin yang akan menyembuhkan kamu." tutur Ikhwan.

"Dia itu monster mengerikan! Dia selalu bawa pisau, jarum suntik, obat yang rasanya sangat pahit." jelas Lentera.

Merasa terusik, laki-laki itu tersenyum samar. Pengakuan Lentera tidak membuatnya panik. Ia percaya seorang Ikhwan tidak akan mudah mencerna ucapan gadis kecil itu.

"Ayolah, nak ... jangan bandel ya, kamu mau sembuh tidak?" tanya Ikhwan.

"Emangnya aku kenapa? Badan aku nggak sakit, nggak ada yang perlu disembuhkan." ucap Lentera.

Ikhwan mengangguk, memahami jawaban Lentera. "Iya, kamu memang tidak sakit secara fisik, tapi secara batin kamu benar-benar tidak sehat."

"Aku nggak suka sama dia!" Lentera menghentakkan kakinya.

"Tapi kamu bersalah, lihat itu, Dokter Gavin terluka gara-gara siapa?" tanya Ikhwan. "Kamu masih ingat kejadiannya?"

Lentera menatap Ikhwan dengan kesal, namun gadis itu tetap mendongak, bersiap menceritakan kejadiannya. "Aku yang tusuk perut dia, karena dia selalu menakutiku, dia itu monster!"

Ikhwan mengusap kepala Lentera lalu menatap Dokter Gavin. "Semua akan baik-baik saja, apa lukanya sangat parah?"

"Tidak, besok saya sudah bisa bekerja kembali." jawab Dokter Gavin.

"Atas kejadian ini, saya minta maaf. Saya tidak habis pikir kalau gadis ini berani melakukan tindakan buruk." ucap Ikhwan dengan raut gusar.

"Tidak apa-apa. Saya memaklumi sikap dan sifat dia." sahut Dokter Gavin disertai senyum ramahnya.

"Aku nggak mau di sini, aku mau pergi!" serunya seraya menggigit tangan Ikhwan namun laki-laki itu menahannya, mencengkram kuat sehingga Lentera meringis kesakitan. Gadis itu berusaha melarikan diri dari tempat di mana ia merasa di hujami tatapan mengerikan Dokter Gavin.

"Diam atau saya akan masukin kamu ke kandang Singa. Mau?" ini ancaman Ikhwan. Diketahui bahwa Lentera sangat takut terhadap hewan yang dijuluki raja hutan, Singa.

Menggeleng di barengi lelehan air matanya, Lentera memeluk lengan Ikhwan. Ia ketakutan. Melihat hal itu, Ikhwan menghela napas. Merasa bersalah menakuti Lentera. Namun tidak ada cara lain. Gadis itu sering kali tunduk dan patuh terhadap Ikhwan, tapi kali ini ia bersikap arogan. Ikhwan hanya tidak tahu, Lentera bukan tertekan karena perintahnya untuk meminta maaf kepada Dokter Gavin, melainkan takut terhadap tatapan monster berkedok wajah ramah serta senyum yang menenangkan.

"Mau nurut tidak?" tanya Ikhwan.

Lentera mengangguk beberapa kali. Pipinya basah. Kedua bibirnya mengerucut. "Mau, tapi jangan ke kandang Singa ya?" tuturnya.

Ikhwan mengusap kepala Lentera. "Tidak. Maafkan saya, ayo ucapkan kata maaf untuk Dokter Gavin." titah Ikhwan.

Gadis itu menatap ragu. Menyeka buliran bening di ekor matanya. Namun Ikhwan tetap menarik lengan Lentera untuk mendekati Dokter Gavin. Bahkan, Ikhwan memberikan kode untuk Dokter Gavin agar laki-laki itu meraih tangan Lentera.

Dengan senang hati. Dokter Gavin melakukannya. Ia menarik dengan lembut lantas mendekap tubuh Lentera begitu erat. Diusapnya punggung gadis rapuh itu, berniat menenangkan namun keadaan Lentera semakin tidak keruan. Ia ketakutan, gemetar dan tidak berani membuka matanya.

"Tidak apa-apa, saya tidak marah, kamu tetaplah gadis kecil yang lucu. Di mana dino?" ucap Dokter Gavin.

Tidak ada jawaban. Lentera sibuk dengan ketakutannya. Berada dalam dekapan Dokter Gavin, membuat sekujur tubuhnya berkeringat dingin.

"Saya tidak sakit, besok sembuh. Jangan di ulangi lagi ya?" tuturnya lembut seraya mengusap kepala Lentera.

Ikhwan menatap tenang. Helaan napas panjangnya mengudara, mendengungkan suasana. Ia cukup yakin bahwa Dokter Gavin orang yang bisa menyembuhkan Lentera. Walaupun, dari sini, Ikhwan menyembunyikan titik bening yang ia tahan sekuat tenaga. Tidak diperbolehkan meluncur bebas, Ikhwan ingin Lentera sembuh. Secepatnya. Dan perihal kepercayaannya terhadap Dokter Gavin, ia anggap itu sebagai privasinya.

"Kembalilah ke kamarmu, istirahat dengan nyenyak malam ini." Dokter Gavin masih menahan tubuh mungil itu. Telapak tangannya yang besar, senantiasa mengusap kepala Lentera. Namun siapa sangka, laki-laki itu menjambak sebagian rambut Lentera, beberapa helainya tercabut membuat tubuh itu tersentak. Lentera mulai memberontak.

"Monster jahat!" seru Lentera.

"Tenanglah, saya hanya ingin kamu bisa lebih berdamai dengan saya." ucap Dokter Gavin. Bicara seperti itu dengan gerakan tangan mencengkram pinggang Lentera. "Kamu takut?" tanyanya.

"Lepasin!" pekik Lentera disertai tangisan.

Ikhwan sedikit terusik. Ia mendekat lantas menarik Lentera dari pelukan Dokter Gavin.

"Jangan menangis. Baiklah kalau kamu takut, ayo kita kembali saja." Ikhwan mengusap wajah Lentera.

"Dia itu monster," sahut Lentera lirih. Mimiknya begitu sedih.

"Tidak ada monster. Itu hanya halusinasi kamu saja." jawab Ikhwan. Ia menoleh ke arah Dokter Gavin. "Saya tinggal ya, selamat beristirahat."

"Terima kasih." balasnya yang tentu saja dibarengi senyuman khasnya. Namun, Dokter Gavin memberikan tatapan dan senyuman yang berbeda untuk Lentera. Karena itulah, Lentera ketakutan. "See you, Lentera." finalnya. Melambaikan tangan ke arah Lentera.

See you? Mendengar itu, Lentera semakin menampakkan ketakutannya. Gadis itu panik dan berusaha berlari. Ikhwan masih menahannya, Lentera tidak tinggal diam. Menggigit lengan Ikhwan untuk yang ke-dua kalinya, dan berhasil. Lentera bisa terlepas kemudian berlari sekencang mungkin.

Kalimat selamat bertemu kembali itu berartikan bahwa; Dokter Gavin akan terus bersamanya, menyiksanya, menghantuinya dan bisa jadi membunuhnya dalam waktu dekat. Lentera paham, karena itu ia ingin pergi saat itu juga. Mencari tempat persembunyian yang aman baginya.

***


Alwi mendatangi Rumah Sakit Jiwa mengenakan pakaian bebas. Malam ini, laki-laki berusia 26 tahun itu memakai kemeja berwarna navy dipadu celana kain berwarna hitam, ia datang dengan tangan kosong. Setelah memutuskan pulang sebelum waktu yang ditentukan, Alwi kembali datang untuk Lentera.

Tentu saja ingin memastikan gadis itu baik-baik saja.

Alwi tidak mendapati Lentera di kamarnya, ruangan itu kosong, senyap dan pekat akan aroma obat serta bau badan khas Lentera. Ia mengedar pandangan ke segala penjuru. Lorong demi lorong ia lalui, tempat-tempat yang senang Lentera kunjungi pun tidak menampakkan keberadaannya.

Laki-laki itu tetap bersikap tenang, berpikir dengan kepala dingin. Alwi yakin semua yang tampak ganjil itu tidak ada hubungannya dengan Dokter Gavin setelah memastikannya berada di ruang rawat. Monster itu sedang terlelap dalam tidurnya.

Suasana Rumah Sakit Jiwa semakin sunyi, Alwi menelisik jam tangannya, pukul 21.30 wib. Di mana gadis itu? Hanya ada satu cara, menghubungi Suster yang bertugas menemani Lentera, entah itu Suster Almira atau Suster lainnya.

Kaki jenjang Alwi menuju ruang absensi para Suster yang bertugas siang maupun malam hari. Dari sini, ia akan mengetahui siapa Suster yang berjaga untuk Lentera dan kemana gadis itu pergi.

"Maaf, Pak Alwi. Lentera ada di asrama, dia minta di antar ke kamar Suster Almira." jelas Suster Lula.

"Terima kasih informasinya, saya permisi."

Alwi melenggang tanpa arah, yang ia tahu hanya gedung asramanya saja. Perihal di mana kamar Suster Almira, ia tidak tahu menahu. Namun kekhawatirannya terbayar saat tidak sengaja mendapati seorang gadis tengah duduk meringkuk, memeluk kedua kakinya. Iya, Lentera Gulita. Gadis itu memilih tempat yang gelap. Di bawah pohon cemara yang berada jauh dari lorong asrama.

"Saya menemukanmu."

Tergemap. Gadis itu menoleh was-was. Ia terkesiap pergi namun akhirnya urung. Tatapan paniknya seketika redup saat ia tahu siapa yang menghampirinya. Namun, ia tetap terlihat kebingungan.

"Kok kamu tahu aku ada di sini? Pasti di kasih tahu Suster Almira ya?" tudingnya. Lentera tidak menatap lawan bicaranya. Sedikit kesal.

"Saya bahkan belum bertemu Suster Almira, saya hanya mendapat informasi dari Suster Lula, katanya kamu menginap di asrama Suster Almira." ucap Alwi. "Lalu, kenapa malah di tempat seperti ini?" ujarnya.

Lentera bersungut kesal. Ia berjalan meninggalkan Alwi menuju koridor. Gadis itu berdiri melipat kedua tangannya, menghindari tatapan Alwi.

"Jadi, menginap di asrama Suster Almira atau duduk di sana bersama Senjana?" tanya Alwi.

"Kepo!" jawab Lentera ketus. Kedua bibirnya mengerucut.

"Bagaimana kabar Senjana?" tanyanya lagi.

"Dia nggak datang, aku menunggunya dari tadi. Tapi Senjana tetap nggak datang." ucapannya terdengar sedikit bergetar.

"Senjana tidak menyukai gelap, bukan?" Alwi berdiri di belakang Lentera.

"K-kok kamu tahu?" gadis itu menoleh. "Tapi biasanya dia nggak pernah masalah di mana kita bisa bertemu untuk melepas rindu."

Alwi mengangguk. "Mungkin sekarang Senjana kurang suka dengan suasana gelap. Kamu harus mengajaknya ke tempat yang lebih nyaman untuk mengobrol."

Lentera berdecak. Gadis itu mendorong tubuh Alwi. "Pertanyaan aku belum kamu jawab!" bentaknya.

"Pertanyaan yang mana?" sahut Alwi.

"Kenapa kamu bisa ada di sini, terus kenapa kamu tahu aku sedang duduk di sana?" tanyanya.

"Kamu tahu sebuah cahaya akan terlihat bersinar ketika kegelapan mengepungnya?" tanya Alwi.

Lentera menggeleng lucu. Ia tetap memperlihatkan raut kesalnya namun juga terlihat ingin tahu apa maksud dari ucapan Alwi.

"Seperti Lentera, berarti cahaya, ketika gelap, kamu terlihat sangat bersinar. Karena itu saya bisa menemukanmu, karena cahayamu, saya bisa mengenali sekalipun kamu tidak bersuara." papar Alwi.

Lentera terpaku. Netranya redup. Perlahan ia mengikis jarak. Maju ke hadapan Alwi, gadis itu mendongak. Mengulurkan kedua tangannya.

"Boleh peluk kamu?" tanyanya sendu.

Alwi tersenyum. Dengan sigap mendekap. Memberikan pelukan hangat untuk Lentera yang saat itu tubuhnya terasa dingin dan kaku.

"Suster Almira nggak ada, kata temannya dia pulang mengambil obat." ucap Lentera.

Obat? Alwi teringat akan cerita sahabatnya, Ezra. Mengenai penyakit mental Suster Almira. Alwi yakin, perempuan itu sedang ingin menenangkan diri. Pikiran dan ketakutannya berkabung, itu sebabnya Suster Almira pulang, beralasan mengambil obat.

"Kenapa tidak langsung kembali ke kamar? Suster Lula menunggumu." ujar Alwi.

"Enggak mau," jawab Lentera disertai gelengan kepala. Ia mendongakkan kepalanya. Menampilkan kesedihannya di hadapan Alwi. "Aku takut nanti monster itu mendatangiku."

"Tidak ada." sahut Alwi.

Kening Lentera berkerut ringan. Ia mengendurkan pelukannya. "Kamu nggak pakai baju Dokter?" tanyanya memerhatikan pakaian Alwi malam itu.

"Jas Dokter saya ada di rumah." Alwi tersenyum. Ia merasa di perhatikan oleh Lentera secara detail.

"Kamu nggak cocok kalau nggak pakai baju Dokter, jelek!" Lentera menjulurkan lidahnya setelah mengucapkan kalimat jelek.

Alwi terkekeh. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Di sini ia merasa salah tingkah.

"Sana pulang, aku nggak minta di temani." ucap Lentera.

"Saya ingin memastikan kamu tidur di kamarmu, setelah itu saya akan pulang."

Lentera menghentakkan kakinya. "Ya udah kalau begitu gendong aku. Aku nggak mau jalan kaki, nanti pegal."

Sungguh. Itu sangat lucu. Alwi senang saat gadis itu mengekspresikan kekesalannya. Alwi tidak keberatan menggendong Lentera dari asrama Suster menuju gedung pasien yang jaraknya lumayan melelahkan.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi siang." tutur Lentera.

"Saya tidak memiliki kekasih. Itu jawabannya." Alwi menatap lurus sedangkan gadis itu menumpukkan dagunya di pundak Alwi, sesekali ia menatapnya dengan sorot bertanya-tanya.

"Kenapa nggak punya kekasih?" tanyanya. Kepalanya miring, menatap sekitar dengan pandangan kosong.

"Karena dia sudah memiliki pilihan sendiri. Dia juga sudah berkeluarga." jawaban Alwi tentu saja tidak bisa dimengerti oleh Lentera. Namun gadis itu menatap Alwi seolah-olah merasa iba.

"Kamu ditinggal ya?" tanya Lentera.

Alwi menggeleng. Ia tersenyum getir. "Bukan dia, tapi saya yang meninggalkannya."

"Kalian berpisah?" Lentera tampak ingin tahu.

"Di pisahkan." jawab Alwi.

"Kenapa? Siapa yang berani memisahkan kalian?" Lentera menyahut serius.

"Restu orang tua dan masa depan yang tidak selaras." tutur Alwi.

Lentera menghela napas pendek. "Aku nggak tahu maksudnya, tapi sepertinya itu membuatmu sedih. Kamu mencintainya?"

"Sangat." jawab Alwi. Ia terus berjalan. Ada sengatan nyeri dalam dadanya ketika obrolan itu bersangkutan dengan masa lalunya. Menyakitkan jika di ingat, tapi sungguh, kalau waktu bisa ulang, Alwi ingin kembali bersamanya.

"Tapi, dia udah punya keluarga, kan?"

"Benar. Tapi saya tetap mencintainya dengan batas yang saya tentukan. Saya tidak pernah mengatakannya lagi kalau saya sangat mencintai perempuan bernama Hanny, tapi saya tidak pernah ingin perasaan ini hilang. Mencintai tidak pernah salah, sekalipun orang yang kita cintai sudah menjadi milik orang lain. Yang terpenting tidak merusak hubungan mereka."

"Kamu jangan sedih ya, nanti juga dapat kekasih baru kok." ucap Lentera menghibur.

"Kata siapa?" Alwi sedikit menoleh. Laki-laki itu tersenyum.

"Kata aku, nanti kan kamu bakalan punya pasangan hidup."

"Saya belum memikirkan itu." sahut Alwi.

"Terus? Kamu sedang mikirin apa? Dan untuk apa?" tanya Lentera.

"Saya sedang ingin terus memikirkan bagaimana caranya kamu bisa tidur di kamar kesayangan yang sudah lama kamu tinggalkan, saya ingin terus bersamamu, melindungimu, memastikan kamu selalu tersenyum. Dan untuk apa? Untuk kebahagiaan kamu, untuk kesembuhan kamu, untuk keadilan yang harus kamu dapatkan setelah mendapat penderitaan sekian lamanya."

Lentera terdiam seribu bahasa. Bibirnya ingin berucap namun terlihat kelu. Perlahan, gadis itu turun dari gendongan Alwi. Kepalanya tertunduk, menggenggam tangan Alwi dengan jemari yang bergetar.

"Are you okay?" tanya Alwi.

"Kenapa kamu sangat baik kepadaku?" tanya Lentera.

"Kamu ingin saya menjawab secara jujur atau berbohong?" sahut Alwi.

"Jujur."

Alwi menarik napas, lalu ia hembuskan perlahan. "Jawaban jujurnya, karena saya menyayangi kamu."

"Kamu sayang sama aku?" tanyanya seolah tidak percaya.

"Iya, saya menyayangimu." jelas Alwi.

"Jawaban bohongnya?" ucap Lentera.

"Jawaban bohongnya, tidak ada. Karena saya tidak ingin ada kebohongan. Kamu harus tahu saya selalu serius mengenai ucapan."

"Tapi, kenapa kamu sayang sama aku?" tanyanya ragu.

Alwi mengacak puncak kepala Lentera. Laki-laki itu tersenyum. "Karena kamu berhak mendapatkan itu."

"Kamu nggak apa-apa sayang sama aku?"

"Memangnya kenapa?" sahut Alwi.

"Kata Sela, aku gila. Kata dia aku nggak boleh dekat-dekat sama kamu. Terus kata Sela, kamu nggak akan mau sama aku soalnya aku nakal, aku suka buat orang lain terluka, kata Sela aku ini nggak pantas mendapatkan kasih sayang. Sela selalu bilang—" ocehan Lentera terhenti saat Alwi mendekapnya. Laki-laki itu mengusap kepala Lentera.

"Kamu istimewa, tidak ada yang bisa menjadi dirimu, menirukan dirimu, bahkan ketika Sela berkata seperti itu, dia hanya ingin menakutimu. Kamu berhak mendapatkan semuanya, termasuk kasih sayang dari saya."

Lentera berkaca-kaca. Ia mengeratkan pelukannya. "Aku juga menyayangimu, boleh?"

Tentu saja boleh, Lentera.

***

Hai! Part ini lumayan panjang. Bonus dikit karena aku udah telat update. I'm sorry.

Seneng nggak udah update lagi??

Siapa yang kangen sama Alwi-Lentera??

Ayo absen sini yang bakalan setia nemenin aku dan nunggu cerita ini sampe tamat.

Thank you atas dukungannya, rela nunggu lama, dan makasih yang udah komen nyuruh update.

Sering-sering teror aja ya biar aku rajin update!!!

See you, semuanya.

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

977K 89.6K 53
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
7.3M 353K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
240K 16.4K 39
Ya Tuhan bila saja ada kesempatan kedua ... aku pasti akan ... Pernahkan kalian berpikir semacam ini? Apa yang akan kalian lakukan bila diberikan kes...
397K 22.1K 29
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...