Pengantin Kutukan

By Satpam_Hot

2.3K 142 6

Setelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya p... More

PENGANTIN KORBAN MUTILASI
SISI LAIN DARI AUREL
RUMAH DI PESISIR PANTAI SEJARAH
MALAM PERTAMA DI RUMAH BARU
MISTERI TUSUK KONDE
RUMAH TANGGA YANG MULAI GOYANG
DIA IKUT KE MANA PUN KAU PERGI
PALUH LEMBAH DARAH
MANUSIA-MANUSIA TANPA KEPALA
KAMAR BEKAS MUTILASI
TUSUK KONDE DAN KAIN KAFAN HITAM
KEHADIRAN KETIGA PENARI MISTERIUS
BERSEKUTU PADA SETAN
BENANG MERAH KEHIDUPAN
KEADAAN YANG KIAN MEMPRIHATINKAN
MASALAH BARU
RUANG KANTOR YANG MENDADAK MISTERIUS
PENGUNGKAPAN DARI SECARIK KERTAS
HARTA HANYALAH HIASAN DUNIA SEMATA
ORANG-ORANG BERHATI MALAIKAT
MENGUJI TINGKAT KEJUJURAN MANUSIA
KETULUSAN HATI
KEMATIAN ADALAH PERISTIWA YANG HAKIKI
KEMATIAN DEMI KEMATIAN TERJADI BERSAMA IRONI
KEMATIAN RADIT ANAK KEDUA
LAPAK MUTILASI SEORANG WANITA BERGAUN PENGANTIN
KEMATIAN TERUS TERJADI
LINGSIR WENGI
AWAL UNTUK AKHIR
EPILOG
PESAN DARI PENULIS

HIDUP BUKAN SEKADAR MENCARI EMAS DAN PERMATA

41 3 0
By Satpam_Hot

Keesokan harinya, Jefri dan sopir taksi kembali melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Mereka pun menelusuri Kota Batusangkar, Tanah Datar, Sumatra Barat. Belum lama berkendara, mereka tiba di sebuah gapura dengan portal bertuliskan selamat datang. Tanpa basa-basi, sopir menginjak gas dengan netral dan memasuki kawasan.

Kampung yang terkenal sangat bersih itu telah terlihat di pelupuk mata, orang-orang pejalan kaki masih lalu lalang untuk berbelanja kebutuhan. Pagi ini terlihat cerah, semburat arunika seakan menjilat kulit manusia, yakni alam semesta. Sepertinya cuaca sangat bersahabat untuk membiarkan para penduduk bumi menjalankan aktivitas. Padahal, sejak kemarin, seisi kota telah diguyur gerimis.

Bunga-bunga bermekaran, seperti tengah berjalan di musim semi, dengan suhu udara yang tak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Tetapi perihal suasana hati, Jefri masih merasakan duka nestapa. Kepergian Siska—istrinya itu membuat isi kepalanya berkecamuk untuk merumuskan keputusan singkat yang dia ambil.

Semudah itu dia meninggalkan Jefri—suaminya. Padahal rumah tangganya sedang genting seperti sekarang ini, lelaki beranak dua itu membutuhkan sosok inspirasi, penyemangat, bahkan ketulusan sang istri dalam menjaga komitmen yamg mereka utarakan tepat pada saat ijab kabul. Namun, apa boleh buat.

Semua sudah terjadi dan nasi telah berubah menjadi bubur. Bagaimanapun manusia bekerja keras untuk mengembalikan, tetap tidak bisa selain merenungi segalanya.

Belum lama memasuki gang berukuran lumayan kecil, taksi pun kepayahan untuk menerobos jalan tersebut. Akhirnya, sopir yang mengenakan seragam serba kuning itu berhenti sejenak. Lamat-lamat, dia membuang senyum simpul dan menoleh ke belakang.

"Pak," panggilnya singkat.

"Ah, iya, Pak. Ada apa, ya?" tanya Jefri.

"Sebelumnya mohon maaf, karena taksi saya tidak bisa masuk ke dalam gang. Soalnya ... sempit sekali," paparnya memberikan penjelasan.

"Oh, begitu, ya, Pak. Baiklah, saya turun di sini saja, biar saya berjalan kaki menuju rumah mertua."

"Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Karena ... tidak bisa mengantar sampai depan rumah," titahnya sangat lirih.

"Tidak masalah, Pak, lagian ... ini bukan salah Bapak, memang jalannya yang terlalu sempit. Kalau begitu, saya pergi dulu, Pak. Assalammualikum ...," sapa Jefri sembari menyodorkan beberapa uang kertas.

"Wa'alaikumsallam ... zaman sekarang, masih ada lelaki yang setia seperti Pak Jefri itu. Istri kabur dari rumah saja, dia tampak sangat sedih. Memang lelaki yang patut dicontoh." Selesai berkata sendiri dalam taksi, sopir itu beringsut keluar dari gang.

Melalui jalan yang hanya dapat dilalui motor, Jefri pun menelusuri beberapa rumah dengan bangunan lumayan besar. Sekitar lima tahun lamanya dia tidak menginjakkan kaki ke tempat itu, bahkan pada saat hari besar dan liburan, karena mereka sama-sama sibuk mengejar material bangkai dunia.

Kurang lebih 20 menit berjalan, akhirnya Jefri sampai di depan rumah dengan cat dinding berwarna putih. Perasaan sangat senang dia rasakan kala itu, ternyata tidak terlalu banyak perubahaan pada bangunan, sehingga dengan mudah Jefri bisa menemukan lokasi yang dituju.

Sesampainya di depan teras pintu rumah yang telah terbuka lebar, hiruk pikuk terdengar seperti orang tengah menangis merayap melalui indra pendengaran. Suara mendayu-dayu itu seperti tidak asing, siapa lagi kalau bukan Siska—istrinya. Lamat-lamat, Jefri beringsut dari teras dan melangkah dua tapakkan ke depan.

Ternyata, Siska dan orang tuanya bercokol di ruang tamu seperti tengah membentuk sebuah forum pembahasan. Karena Jefri tidak enak untuk menerobos, dia pun tertegun dan mendengarkan sejenak pengaduhan sang istri pada kedua orang tuanya.

"Siska, kenapa kamu menangisi segalanya. Kamu harusnya bertahan dengan rumah tanggamu, Jefri adalah laki-laki yang sudah kau pilih," ucap ibu mertua sedikit ngegas.

"Ma ... yang sabar kalau memberikan nasihat untuk anaknya, lika-liku rumah tangga sudah pasti ada, dan itu wajar," sambar sang ayah.

"Ayah bagaimana, sih, masalah begini dibilang wajar. Gini, ya, Siska, kalau kamu sudah tidak betah hidup dengan Jefri, mulai detik ini minta cerai sama dia. Kamu masih cantik, laki-laki masih banyak yang mau sama kamu!"

Deg—

Bagai petir melanda relung hati menghujam. Pernyataan itu terlontar dari mulut ibu mertua pada Siska—istrinya yang masih tersedu-sedu meratapi ironi kehidupan. Badai cobaan bagai mengepung tiap sudut jalan menuju pulang, nestapa seakan memecundangi lelaki beranak dua itu di ambang pintu.

Dengan menarik napas berat, air mata pun menetes sejurus dari lekuk pipi membasahi jas hitamnya. Dalam posisi bergeming, Jefri membuang tatapan menuju jalanan. Kini kehidupan rumah tangga itu sepertinya akan berakhir saat ini, karena ibu mertua mendukung gagasan putrinya untuk berpisah.

"Bu, kalau memberikan nasihat jangan seperti itu. Perceraian adalah perbuatan yang paling dibenci Allah, tidak baik menjerumuskan anak sendiri menuju neraka," titah ayah mertua menengahi.

"Tapi, Pah, Jefri itu sekarang sudah miskin. Utangnya 2 miliar pada orang lain, kalau Siska—anak kita tetap melanjutkan rumah tangganya. Mau makan apa? Batu!"

Deg—

Karena tak tahan, Jefri pun beringsut dari posisinya. Dengan menyibak air mata, lelaki berusia 29 tahun itu kembali menapak melintasi gang. Di sepanjang jalan menuju portal selamat datang, Jefri hanya memandang kedua tangannya yang tampak seperti ingin mengakhiri jalan hidup.

Setelah lima rumah terlintasi, Jefri berlari dan pergi tak tahu entah ke mana arah tujuan. Jalanan pun kian sunyi, perumahan telah jauh ditinggalkan dan posisi saat itu membawa jiwanya menapak pada sebuah hutan.

Keadaan Jefri pun sangat memprihatinkan. Pasalnya, dia belum memakan apa pun sejak kemarin. Hanya kopi hangat sodoran dari sopir taksi malam itu, bersama langkah yang kian limbung menghempas gunda dalam jiwa.

Karena tak tahan untuk berjalan lagi, Jefri pun membantingkan badan tepat di samping pohon randu. Suara burung kedasik berkoar-koar tanpa henti dari ranting ke ranting. Hewan yang mendominasi warna hitam itu seakan mengetahui aroma bangkai manusia yang akan mati.

Dalam posisi menutup kedua netra, sebuah bisikan lembut menghampiri indra pendengarannya. Lamat-lamat, Jefri pun membangunkan badannya dan mengikuti sebuah cahaya putih menyerupai kabut sejurus menuju ke suatu tempat.

Tanpa mampu menoleh, kabut itu bergerak anggun hingga membentuk sebuah tubuh nan cantik molek. Secara saksama, Jefri pun memandang wanita di posisi depan. Gairah untuk menghampiri, tumbuh begitu saja dan kian gelenyar. Tapakkan kaki secara perlahan, membawa Jefri menemui sosok yang mengenakan tusuk konde berwarna kuning itu.

"Maaf, kamu siapa?" tanya Jefri.

"Apakah kau tak mengenali aku?" Lawan bicara malah balik nanya, lalu dia memutar badan menghadap kiblat.

Karena Jefri merasa sangat penasaran, dia pun beringsut dan tertegun tepat di posisi wanita itu. "Kamu cantik sekali."

"Apakah benar seperti itu?"

"Ya, kau adalah orang tercantik yang pernah aku lihat," puji Jefri lagi.

Wanita di hadapan pun menarik dasi hitam Jefri yang tersangkut pada lehernya. Dia beringsut dan memboyong ke sebuah tempat seperti dalam gua, akan tetapi gua itu tampak sangat cantik dibalut gorden putih menghias ruang.

Kali ini, mereka hanya ada berdua. Bahkan dayang-dayang pun tidak ada di sana. Wanita yang mengenakan kebaya cokelat itu membawa Jefri untuk mendudukkan badan di atas dipan. Dalam posisi saling tukar tatap, keduanya seakan ingin memadu kasih dalam suasana tersebut.

Lamat-lamat, wanita di samping pun merebahkan kedua sayapnya. Kemudian Jefri mengikuti tiap pergerakan yang sengaja mengudang gairah kian gelenyar. Suasana di ruangan itu seakan membuat mereka nyaman untuk berlama-lama.

Dalam waktu yang sama, Jefri tersadar dengan suara desas-desus berdesik di atas dadanya yang telah telanjang tanpa sehelai benang. Secara spontan, tampak ular berukuran sangat besar telah hadir dan menemani tidur lelaki tampan itu sedari tadi malam.

"Astaga! Kau siluman?" Jefri melompat dari atas dipan dan mengambil bajunya dengan cepat.

Ular berukuran sangat besar dan panjang itu merubah bentuknya menjadi seorang wanita, mengenakan tusuk konde berwarna kuning keemasan. Karena merasa sangat bergidik, Jefri pun berlari keluar dari dalam gua. Namun, tepat di tengah hutan, kaki sebelah kanannya terperosok memasuki sebuah lubang dengan air berwarna merah menyerupai darah.

"Tolong ... tolong ...," teriak Jefri sembari mencoba untuk mengambil napas.

Paluh lembah darah pun tetap menarik tubuh lelaki tampan itu untuk masuk ke dalam dasar danau. Dengan sekali hentakan, netra pun terbelalak dan terbuka sangat lebar.

"Astaghfirullah!"

"Alhamdulillah ... akhirnya sudah sadar," ucap seorang lelaki yang mengenakan serban putih.

Tepat di atas pondok yang menghadirkan orang-orang asing, Jefri pun celingukan karena sangat heran. Dalam suasana saat itu, banyak terdapat lelaki mengenakan serban dan kopiah.

Padahal, Jefri tidak pernah singgah ke masjid ataupun musalah. Karena sangat penasaran, Jefri pun menatap orang yang membawa tasbih di samping kanannya.

"Pak, saya lagi ada di mana?" tanya Jefri.

"Kisanak sedang berada dalam pondok pesantren. Kami telah menemukan Anda sedang tertidur di bawah pohon randu," jawabnya menjelaskan.

"Pohon randu?"

"Iya, Pak, tapi tenang saja. Kisanak telah aman berada di sini."

"Astaghfirullah ...." Menggunakan kedua tangan, Jefri pun menekan wajahnya, dia berselawat tanpa henti untuk menetralisir suasana hatinya yang kian kacau.

"Kalau boleh tahu, Kisanak datang dari mana?" tanya ustaz yang satunya.

"Saya datang dari Medan, Pak. Baru saja tiba dini hari," jawab Jefri.

"Wah, tamu jauh rupanya. Emangnya, ke sini mau menuju rumah siapa?" tanyanya lagi.

"Tadinya ingin menjemput istri, Ustaz. Tapi—" Jefri menggantung ucapannya.

"Sudahlah, Kisanak, kalau memang itu privasi jangan dilanjutkan. Kami sudah paham benar apa yang Kisanak rasakan saat ini."

Tanpa mampu menatap lawan bicara, Jefri hanya menadahkan tatapannya ke sebuah lantai yang terbuat dari kayu. Dalam hidup, dia tak pernah bergaul pada orang-orang yang taat beribadah. Jangankan pada orang sekitar, untuk menyebut nama Allah dalam lantunan kewajiban pun dia tidak pernah.

Yang ada dalam otaknya sekadar uang, pekerjaan, dan material bangkai dunia. Selebihnya, tidak penting untuk dilaksanakan.

"Pak, bolehkan malam ini saya menginap di sini?" tanya Jefri.

"Kenapa tidak, Kisanak. Pesantren ini terbuka untuk siapa pun yang hendak bergabung, kami malah senang."

"Tapi apakah saya pantas?"

"Emang tidak pantas kenapa, Kisanak. Kita manusia hanya tempatnya dosa, tidak ada manusia suci di bumi ini setelah Nabi Muhammad SAW. Yang ada hanyalah manusia berdosa dan hendak membersihkan diri, karena Allah juga tidak suka kepada manusia yang merasa dirinya suci."

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 35.6K 13
ingatan hitam yang menyeruak dan membuka tabir gelap sebuah peristiwa masa lampau yang perlahan merangkak naik dan menunjukkan kilasan kepedihan dari...
2.2K 299 46
[DILARANG SHARE, COPAS TANPA IZIN. APALAGI MEMPLAGIAT. SIAPA SAJA YANG MELIHAT CERITA INI DENGAN PENULIS NAMA LAIN, TOLONG HUBUNGI SAYA. TERIMA KASIH...
1K 70 8
Serial ke 192. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal d...
10.3K 1.4K 30
[COMPLETED] Seri Cerita SETAN Bagian 1 Perasaan Samsul dan Nadin sangat tidak enak, ketika mendengar kabar bahwa seorang pemuda dari kelas 10 di seko...