Pengantin Kutukan

De Satpam_Hot

2.3K 142 6

Setelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya p... Mais

PENGANTIN KORBAN MUTILASI
SISI LAIN DARI AUREL
RUMAH DI PESISIR PANTAI SEJARAH
MALAM PERTAMA DI RUMAH BARU
MISTERI TUSUK KONDE
RUMAH TANGGA YANG MULAI GOYANG
DIA IKUT KE MANA PUN KAU PERGI
PALUH LEMBAH DARAH
MANUSIA-MANUSIA TANPA KEPALA
KAMAR BEKAS MUTILASI
TUSUK KONDE DAN KAIN KAFAN HITAM
KEHADIRAN KETIGA PENARI MISTERIUS
BERSEKUTU PADA SETAN
BENANG MERAH KEHIDUPAN
KEADAAN YANG KIAN MEMPRIHATINKAN
RUANG KANTOR YANG MENDADAK MISTERIUS
PENGUNGKAPAN DARI SECARIK KERTAS
HARTA HANYALAH HIASAN DUNIA SEMATA
HIDUP BUKAN SEKADAR MENCARI EMAS DAN PERMATA
ORANG-ORANG BERHATI MALAIKAT
MENGUJI TINGKAT KEJUJURAN MANUSIA
KETULUSAN HATI
KEMATIAN ADALAH PERISTIWA YANG HAKIKI
KEMATIAN DEMI KEMATIAN TERJADI BERSAMA IRONI
KEMATIAN RADIT ANAK KEDUA
LAPAK MUTILASI SEORANG WANITA BERGAUN PENGANTIN
KEMATIAN TERUS TERJADI
LINGSIR WENGI
AWAL UNTUK AKHIR
EPILOG
PESAN DARI PENULIS

MASALAH BARU

44 3 0
De Satpam_Hot

Sore hari yang menghadirkan suasana sedikit demi sedikit temaram di seluruh penjuru nusantara. Wilayah lintasan garis khatulistiwa mulai memboyong suasana gelap, itu adalah pertanda kalau kejadian-kejadian aneh akan segera dimulai. Kepergian semburat arunika kerap menjadi pertanda, kalau daerah di pesisir Pantai Sejarah membawa nuansa mencekam.

Ketika keluarga besar Jefri sedang beraktivitas dan bercokol di ruang tamu, seseorang pun mengentuk pintu beberapa kali. Terdengar seperti hendak mendobrak. Dengan langkah sedikit gontai, Jefri pun melompat dari atas sofa sembari membuka perlahan pintu itu.

Seseorang berperawakan seperti preman tertegun sembari membuang tatapan galak, netra masing-masing orang itu juga seperti tampak kesal.

"Mohon maaf, kalian cari siapa, ya?" tanya Jefri.

"Ha-ha-ha ... pakai nanya lagi. Ya, jelas kami cari kamu!" pekik salah satu dari mereka, lelaki berambut panjang dan memakai tato corak naga.

Karena Jefri merasa tidak ada urusan dengan orang-orang itu, dia pun keluar dari rumah dan menghadap ketiga lelaki beringas di hadapan, lalu Jefri menjawab, "sepertinya kalian salah dalam mendatangi rumah, kami tidak pernah ada urusan sama kalian."

Teman yang satunya malah mendekat dan mencengkeram kerah baju Jefri, dia mendelik dan berkata, "kami datang ke sini atas perintah bos kami." Kemudian, dia melepas cengkeramannya.

"Jangan main kasar, kita di sini hendak menagih utang, bukan hendak cari keributan," jawab teman satunya lagi.

'Utang? Maksud mereka utang apa, ya?' tanya Jefri dalam hati.

"Sebaiknya masuk dulu ke dalam, kita bicarakan baik-baik." Jefri mempersilakan ketiga orang itu.

"Sudahlah! Kami tidak mau masuk ke rumah. Kami hanya ingin menagih utang-utangmu pada Bos Alex," jelas lelaki yang paling depan.

"Utang apa ini?" tanya Jefri masih penasaran.

Kemudian satu dari mereka mengambil dokumen di dalam koper hitam dan membuka tiap lembar surat-surat itu, terlihat jelas bahwa Jefri Adriansyah sedang berutang sebanyak 2 miliar rupiah, karena kasus yang ketika itu menimpahnya. Sekarang Alex malah menuding balik dengan berbagai bukti yang dipalsukan, tertera gugatan itu telah ditanda tangani pengacara ternama.

Dalam posisi terpuruk, Jefri hanya mampu tertegun sembari kebingungan. Pasalnya, dia tak tahu harus berbuat apa.

"Bilang sama bos kalian itu, kalau saya tidak merasa berutang sebanyak 2 miliar pada siapa pun!" pekik Jefri ngegas.

"Kami tidak mau tahu soal utang-utang Anda, karena yang kami tahu adalah menagih dan menjalankan tugas. Para petinggi perusahaan besar juga telah setuju dengan penegakkan hukum ini," ujar lelaki yang membawa dokumen.

Tak berapa lama, Mirna keluar dari dalam rumah dengan langkah gontai, wanita tua itu berdiri di antara perseteruan yang terjadi saat ini. Kemudian, netranya tercengang dengan kehadiran ketiga lelaki berperawakan sangat menyeramkan itu.

Karena sangat penasaran, Mirna pun bertanya, "maaf, kalian siapa, ya?"

"Kami dari perusahaan, Bu."

"Apa yang kalian lakukan di sini? Kami tidak pernah berbuat keributan," papar Mirna sekenanya.

"Memang tidak pernah membuat keributan, Bu. Tapi ... membuat kekacauan dalam perusahaan. Karena saudara Jefri Adriansyah telah melakukan penggelapan uang sebanyak 2 miliar rupiah."

"Apa! Tidak mungkin. Anak saya tidak mungkin berbuat seperti itu," tukas Mirna menaikkan nada suaranya.

"Maaf, Pak, intinya kami akan memberikan tempo dalam dua minggu ke depan. Kalau Anda tidak bisa melunasi utang-utang itu, siap-siap rumah ini akan kami bongkar." Ketiga lelaki itu pun memutar badan sembari membungkam perkataan.

Setelah mereka beringsut pergi, Siska—istrinya Jefri turun dari taksi dan menatap jijik orang-orang berperawakan preman itu. Sementara salah satu dari mereka hendak menggoda Siska dengan senyum simpul yang dia buang.

"Cantik juga istrinya," ujar salah satunya.

"Ih, amit-amit." Siska pun menyibak rambut yang kala itu menutup separuh wajah cantiknya.

Tak berapa lama, Mirna—ibunya pergi dari teras rumah dan kembali masuk. Setelah Siska berdiri dengan tatapan tertegun, netra pun sejurus pada sang suami yang kala itu seperti tengah kecewa. Jefri mendudukkan badannya di atas kursi sofa dengan menekan wajah menggunakan kedua tangan.

Siska yang baru saja hadir merasa sangat bingung, dia pun mendekati tubuh suaminya akan tetapi seperti takut hendak berkata. Sehingga, sang istri cuma menatap sekilas seraya memainkan ponsel.

"Sayang, kamu sudah pulang?" tanya Jefri mengawali ucapan.

"Papa lihat! Kalau saya sudah sampai rumah, itu artinya sudah pulang!" pekik sang istri.

"Astaghfirullah ... begini kalau suami lagi ngomong?"

"Mereka siapa, Pah? Mau nangih utang?" tanya Siska bertubi-tubi.

"Tapi papa enggak berutang sama sekali. Mungkin mereka salah dalam mendatangi rumah," jelas Jefri, kemudian dia memalingkan tatapan.

"Halah ... bilang aja kalau kamu bangkrut. Jadi suami bisa apa, pekerjaan juga nebeng sama istri." Setelah berucap, Siska pun memasuki rumah dengan sangat cepat.

Dengan diikuti oleh sang suami, mereka pun bersama-sama menemui kedua anaknya yang saat itu sedang bermain di ruang tamu. Siska pun bersimpuh dan mengelus rambut Aurel dan Radit, kemudian dia merogoh mainan dari tas ranselnya.

"Sayang ... mama bawa mainan buat kalian." Siska mengeluarkan boneka kecil dan robot-robotan.

"Asyik ... terima kasih, Ma ...." Secara serempak, kedua buah hati berkata.

Nestapa kembali menyergap, Jefri yang kala itu menjadi serba salah, mencoba untuk mendudukkan badan di atas sofa ruang tamu. Pikirannya masih berkutat pada ketiga lelaki tadi yang datang membawa surat gugatan, dalam tempo dua minggu, dia harus melunasi utang tersebut sebanyak 2 miliar.

Siska pun memasuki kamarnya, tampak dari ekor netra bahwa dia merasa sangat kesal pada Jefri saat itu. Kemudian, dalam posisi serba salah sang suami menaiki anak tangga lantai dua, mereka pun bertemu dalam kamar tempat untuk beristirahat.

Jefri menutup pintu kamar dan mendudukkan badan di atas dipan, kemudian dia menoleh sekilas istrinya yang memainkan ponsel baru tanpa menggubris sang suami. Tak seperti biasanya. Ketika Siska pulang dari mana pun, dia selalu menyapa dengan salam, kali ini seperti ada yang dia sembunyikan.

"Sayang," panggil Jefri.

"Hmmm ...," respons sang istri.

"Papa mau ngomong sesuatu."

"Ngomong aja kali, ngapain pakai permisi!" pekiknya.

"Jadi gini, tadi ada orang yang menagih utang ke rumah—"

"Lantas?"

"Papa ingin pinjam uang Mama, nanti setelah papa dapat uang dari Pak Riko, papa janji akan menggantinya."

"Halah ... omong kosong. Kamu, ya, Pah, jadi suami itu enggak pernah becus cari uang. Selalu saja gagal dan masalah-masalah itu datang silih berganti, karena apa? Karena kamu cuma tamat SMA, gak punya skill dalam dunia pekerjaan."

"Astaghfirullah ... kamu lupa dengan apa yang kamu katakan dulu. Saya juga tidak pernah mencintaimu, tapi apa? Kamu paksa saya untuk mengakui kalau saya yang telah—"

"Kenapa diam! Kamu mau bilang kalau saya hamil anak orang lain gitu? Saya sudah muak dengan pembelaan yang kamu ucapkan itu, Pah. Jadi saya harus patuh dengan ancaman itu lagi!" Siska pun keluar dari kamar dan mereka bertemu di lantai dua.

"Harusnya kita bisa saling membantu kalau lagi sedang ada masalah," tambah Jefri.

"Itu masalah kamu, Pah, bukan masalah saya. Makanya kalau jadi suami yang benar, menafkahi istri dan memperkaya istri."

Perseteruan rumah tangga mengundang seisi rumah menggerompok pada satu titik tumpu. Kehadiran Mirna, Darmi, dan kedua anak-anak mereka seakan menjadi penonton sebuah drama rumah tangga. Tanpa ada yang saling mengalah, keduanya masih beradu mulut mempertahankan argumentasinya.

Dalam sekelebat penglihatan, bahwa kedua anak-anak mereka tengah menangis melihat kejadian itu. Aurel dan Radit memeluk Mirna—neneknya dengan penuh ketakutan. Selama ini kedua buah hati tak pernah mendapati perkataan kasar sang ibu, sehingga mereka merasa sangat takut memalingkan tatapan.

Bersama langkah yang kian gontai, Siska mencoba untuk mendekati buah hatinya, dia pun menatap wajah-wajah sayup berubah menjadi pucat dalam hitungan hari.

"Aurel, Radit, kalian kenapa, Sayang?" tanya Siska—ibunya.

"Jangan mendekat! Kami tidak punya seorang Ibu seperti kamu. Pergi dari sini!" hardik Aurel mencibir.

"Lihat ini, Pah, selama saya pergi rupanya telah kamu mencuci otak mereka untuk membenci saya."

"Siska! Yang sopan kamu kalau ngomong sama suami kamu!" hardik Mirna.

"Ibu jangan ikut-ikutan urusan rumah tangga kami, karena Ibu cuma numpang di sini." Siska pun membulatkan mata kesalnya pada Mirna.

Karena tidak terima, Jefri pun turun dari lantai dua dan mendekati kedua anak-anak mereka. Dalam suasana hati teramat kesal, tak satu kata pun mampu dia ucapkan. Pasalnya, Jefri mengidap penyakit darah tinggi ketika dia memiliki satu anak. Namun, sebisa mungkin emosi itu tak terucap saat ini.

Dengan penuh kesabaran, Jefri mencoba mengalah dan menyentuh tangan kanan sang istri. Namun, akibat dari keras kepala sifat Siska, membuat hatinya berubah menjadi seperti es yang telah membeku.

Entah bagaimana cara mencairkan hati sang istri, setelah tujuh tahun pernikahan itu berjalan, rasa-rasanya tak pernah mau mengalah pada sang suami. Padahal, dalam suasana sesulit apa pun, Jefri selalu memberikan kasih sayang penuh pada buah hati, tetapi tetap salah di mata Siska.

Persetereruan berubah menjadi hening, Mirna pun membawa kedua cucunya untuk memasuki dapur. Sementara Siska telah berlalu dengan membanting pintu kamar. Dalam posisi serba salah, keduanya memutuskan untuk pisah ranjang beberapa hari sebelum mereka benar-benar bisa memposisikan diri pada keadaan.

Tepat di kamar yang berada pada pojok dapur, Jefri pun mendudukkan badannya sembari menatap pantulan sosok diri di depan cermin. Netranya memerah akibat rasa sedih tak berkesudahan, bersama semilir angin yang datang lembut melalui lubang ventilasi.

Suara tangisan mendayu-dayu seakan hadir di tengah kekacauan jiwa, suara yang sepertinya dia kenali itu menyergap indra pendengarannya.

'Jefri ....'

Deg—

Dalam sekelebat penglihatan, tatapan pun berpaling pada samping kanan. Di sana telah hadir seorang wanita berpakaian lusuh dengan menyisir rambutnya sangat lembut. Lamat-lamat, Jefri kembali membuang tatapan menuju cermin. Pada pusat tatapan, wanita itu berpindah tepat di belakang badan Jefri sembari menyeret kuku-kuku tajamnya di leher lelaki beranak dua itu.

Continue lendo

Você também vai gostar

Wewe Gombel [ END ] De Tirta Adi

Mistério / Suspense

86K 3.7K 28
Highest rank #2 on thriller Ratna adalah seorang ibu muda, seorang single fighter yang penuh kemalangan karena keadaan dunia, setiap hari dia harus...
4.9K 709 48
Up : Setiap hari Penderitaan besar apa yang sedang kalian alami... kehilangan keluarga? perundungan? kekerasan? pelecehan? atau wabah zombie yang sek...
70.5K 2.4K 33
Cerita lucu yang bikin suasana hati kembali adem dan tenang. Cerita humor yg aku ambil dari beberapa cerita yg ada di buku. Silahkan dibaca teman2 d...
390K 3.3K 18
18++ Bukan konsumsi anak2 Sekian lama menjanda, kau mendapatkan kabar jika ibumu akan menikah. Mungkin bagi sebagian anak. Ia akan bahagia. Namun tid...