"Happy birthday Bunda..."
"Happy birthday Bunda..."
"Happy birthday, happy birthday, happy birthday Bunda..."
Saat ini Naya sedang berdiri di depan kamar Ana sembari memegang kue buatannya untuk Ana.
Pagi-pagi sekali Naya bangun untuk membuat kue ulang tahun Bundanya. Rasa sakit di tangannya, tak menyurutkan niat Naya untuk memberikan kejutan pada Ana.
Naya sudah melupakan kejadian kemarin, mungkin saja Ana memang sedang marah, jadi dia melampiaskannya pada Naya. Tidak ada sedikitpun rasa benci pada Ana, walau dia sudah berkali-kali menyiksa dan memukulinya. Naya akan tetap menyayangi Ana sampai kapanpun itu.
"Bunda, bukain pintunya dong, Naya di depan bawa kejutan buat Bunda," ujarnya antusias.
"Bunda... buka pintu."
Tok
Tok
"Bunda... Naya ba--"
Ceklek
Ucapan Naya terhenti ketika Ana membuka pintu kamarnya.
"Ngapain sih, malem-malem bikin keributan!" tanya nya membentak. Ana kesal karena Naya menganggu waktu tidurnya.
"Bunda, ini udah pagi, udah jam 5 subuh."
"Sama aja! ngapain kamu pagi-pagi di sini!"
Naya tersenyum lebar menatap kue buatannya yang terdapat angka 52 di atas kue itu. Naya yakin jika Ana akan menyukainya. Dia lantas menyalakan lilinnya, lalu menyodorkan kuenya pada Ana.
"Selamat ulang tahun, Bunda. Semoga Bunda panjang umur, semoga sehat selalu, dan semoga Bunda bisa secepatnya sayang sama Naya," ucap Naya mengembangkan senyumnya.
Tidak ada respon dari Ana. Dia diam memandang Naya tanpa berucap sepatah katapun.
Lama terdiam, Ana kemudian maju sedikit lebih dekat, dia mengambil kue itu dari tangan Naya.
Naya tersenyum melihat Ana menerima kue buatannya. Namun, sedetik kemudian harapannya pupus begitu saja. Ana membanting kue itu ke lantai hingga hancur tak berbentuk.
"Saya gak sudi nerima pemberian dari jalang seperti kamu!"
"Bu-bunda... Naya bikin kue ini khusus buat Bunda, walau tangan Naya masih sakit karena kemarin. Apa Bunda gak bisa hargai sedikit aja usaha Naya?" tanya Naya sendu. Hatinya sangat sakit melihat kue yang ia buat susah payah hancur begitu saja.
"Saya gak butuh kue kamu, saya juga gak butuh kejutan dari kamu!"
"Lalu apa yang Bunda butuh? Naya akan memberikannya Bunda. Naya akan memberikan apapun yang Bunda minta."
Ana tersenyum penuh arti. "Apapun itu?"
Naya mengangguk yakin. "Hal apa yang bisa membuat Bunda bahagia?"
"Kepergian kamu."
Deg!
Ana memang tak main-main saat memintanya pergi dari rumah ini. Mungkin inilah saatnya Naya harus pergi. Dia sudah menunggu begitu lama, berharap Ana akan bisa berubah. Namun, sepertinya mustahil.
"Apa Bunda bahagia, kalau Naya pergi?" tanya Naya menatapnya teduh. Naya berharap itu hanyalah candaan semata yang Ana lontarkan padanya.
"Jelas. Saya akan sangat bahagia jika kamu pergi meninggalkan rumah ini dan juga keluarga saya," jawab Ana lantang.
Naya menarik napas, membuangnya pelan. "Bunda mau aku pergi, kan? aku akan pergi Bunda, pergi jauh seperti yang Bunda minta. Tapi jika suatu saat Bunda sadar, itu semua sudah terlambat. Bunda, Ayah, dan Kak Raina harus bahagia terus."
"Bagus! lebih cepat lebih baik!" sentak Ana.
"Apa boleh, Naya peluk Bunda untuk terakhir kalinya?" pinta Naya memandangi Ana lekat.
Brak!
Ana menutup pintu kamarnya dengan kencang. Dia tidak menggubris permintaan Naya. Padahal Ana tidak tahu, entah kapan lagi dia bisa memeluk putri keduanya.
Naya membekap mulutnya dengan kedua tangan agar tangisnya tidak pecah. Seumur hidupnya, Naya tidak pernah merasakan hangatnya pelukan seorang ibu.
Apa harus menunggu ia mati dulu, baru Ana akan memeluknya? Jika iya, maka Naya siap melakukannya.
"Naya pamit Bunda. Naya selalu sayang Bunda," ujarnya kemudian pergi meninggalkan kamar Ana.
***
Naya masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan sesak memenuhi dadanya. Kamar inilah yang menjadi saksi bisu betapa pilunya hidup Naya. Kamar ini juga yang sudah menemani hari-harinya yang kelam.
Sebuah kamar berwarna kuning yang setiap malam akan meredam tangisannya. Warna kuning yang memiliki arti keceriaan, justru berbanding terbalik dengan hidupnya yang kelam gelap gulita.
Naya berjalan gontai menuju lemari baju, mengeluarkan koper, kemudian memasukkan beberapa pasang baju ke dalamnya.
Naya menghentikan kegiatannya sejenak, dia memandang fotonya dan Alvin yang tertempel di dinding dekat ranjang. Begitu banyak kenangan nya dan Alvin dalam kamar ini, begitu banyak pula barang pemberian Alvin untuknya.
"Aku butuh kamu, Al. Aku butuh pelukan kamu...," ujarnya menahan kerinduan yang begitu mendalam.
Naya sangat-sangat merindukan Alvin.
Naya ingin berlari, lalu mendekap tubuh Alvin.
Naya ingin menceritakan banyak hal yang terjadi hari ini pada lelaki itu.
Perempuan itu bangkit, berjalan ke arah balkon. Biasanya Naya akan menangis di sini seraya menatap langit malam. Menceritakan kisahnya pada sang rembulan, ditemani sunyi dan kesepian.
Naya mengelus perut buncitnya sembari tersenyum getir, "Adek, sekarang Bunda sendirian. Bunda gak punya siapa-siapa lagi. Maka dari itu, kamu jangan tinggalin Bunda, ya, kamu harus selalu sama Bunda."
Naya kembali masuk ke kamar, dia menutup rapat kopernya, kemudian menurunkannya kebawah. Naya mengambil Hoodie kuning pemberian Alvin, ponsel, serta dompetnya ia masukkan semua ke dalam tas kecil.
Tidak banyak yang Naya bawa, hanya beberapa baju, foto-fotonya bersama Alvin, dan sebuah boneka berukuran mini yang akan menemaninya, menggantikan Alvin. Dan tak lupa juga uang tabungan untuknya bertahan hidup di luar sana.
Naya menggeret kopernya, dengan langkah berat hati dia harus meninggalkan kamar ini. Saat sudah di ambang pintu, Naya berbalik dan memandang lagi setiap inci sudut kamarnya. Memperhatikannya baik-baik, Naya tidak akan pernah bisa ke sini lagi.
Dia tersenyum pedih melihat 2 boneka beruang dipojok ranjangnya. Lagi-lagi barang itu pemberian Alvin. "Aku pengen bawa kalian, tapi susah, kalian berat," lanjutnya terkekeh, padahal sejak tadi ia berusaha mati-matian agar tak menumpahkan tangisnya.
Naya beralih menatap buku diary-nya yang berada di atas meja belajar. Buku yang selama ini menjadi temannya bercerita. Di buku itulah, Naya dapat menyimpan semua luka dan penderitaannya.
Setiap lembar demi lembar, kertas itu tak luput dijatuhi oleh air matanya. Sengaja Naya tidak membawa buku itu, dia akan meninggalkan semuanya dan memulai lagi hidupnya yang baru.
Perempuan yang kini mengenakan Hoodie kuning itu mau tak mau harus menutup pintu kamar. Naya berjalan perlahan menuruni anak tangga dengan perasaan bimbang. Kalau boleh jujur, Naya tidak ingin meninggalkan rumah ini. Tapi, Naya juga tidak mau membantah perintah Bundanya.
Setelah tiba di pintu utama, Naya kembali memandangi rumahnya. Tempatnya ia tinggal selama 17 tahun ini. Walaupun keluarganya tak pernah menganggap dia ada. Tapi Naya tetap bersyukur, karena mereka masih mau mengurusnya.
"Terimakasih Bunda. Terimakasih karena sudah mau mengurus Naya dari kecil sampai sekarang. Hanya satu hal yang Naya inginkan, yaitu pelukan Bunda. Semoga Naya bisa merasakannya, walau hanya sebentar."
Mulutnya melengkung, membentuk sebuah senyum tulus yang entah untuk siapa. Bahkan disaat seperti ini, perempuan itu masih bisa tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa.
Naya lantas melangkahkan kakinya keluar rumah, berjalan menjauhi bangunan megah yang pernah ia tinggali itu.
Sekarang kehidupannya yang sesungguhnya akan dimulai. Naya harus kuat menghadapi masalah apapun sendirian. Dia harus berjuang demi calon buah hatinya.
Takdir yang akan menjawab sampai di mana perjuangan Naya, dan sampai di mana batas kemampuannya.
***
Di lain tempat. David kelimpungan mencari tau kabar Naya. Sejak kemarin Naya sama sekali tidak bisa dihubungi. David sudah berusaha ke rumah Naya, tapi tidak ada siapapun yang membukakan nya pintu.
Bahkan David semalaman berjaga di luar rumah Naya, berharap perempuan itu akan keluar. Tapi benar-benar tidak ada siapapun yang keluar. Rumah itu sepi seperti tak berpenghuni.
"Kamu kemana sih, Nay. Jangan ngilang gini dong," ujarnya sambil mengetuk-ngetuk jarinya pada stir mobil.
Jam 7 pagi David kembali lagi untuk menemui Naya. Sekarang cowok itu tengah berada di depan rumah Naya.
Perasaannya sangat gelisah dari kemarin. Ia takut terjadi hal-hal buruk pada Naya, mengingat kondisinya yang sedang sakit keras.