Pengantin Kutukan

By Satpam_Hot

2.3K 142 6

Setelah tragedi lima belas tahun yang lalu, membuat arwah pengantin korban mutilasi kembali muncul. Arwanya p... More

PENGANTIN KORBAN MUTILASI
SISI LAIN DARI AUREL
RUMAH DI PESISIR PANTAI SEJARAH
MISTERI TUSUK KONDE
RUMAH TANGGA YANG MULAI GOYANG
DIA IKUT KE MANA PUN KAU PERGI
PALUH LEMBAH DARAH
MANUSIA-MANUSIA TANPA KEPALA
KAMAR BEKAS MUTILASI
TUSUK KONDE DAN KAIN KAFAN HITAM
KEHADIRAN KETIGA PENARI MISTERIUS
BERSEKUTU PADA SETAN
BENANG MERAH KEHIDUPAN
KEADAAN YANG KIAN MEMPRIHATINKAN
MASALAH BARU
RUANG KANTOR YANG MENDADAK MISTERIUS
PENGUNGKAPAN DARI SECARIK KERTAS
HARTA HANYALAH HIASAN DUNIA SEMATA
HIDUP BUKAN SEKADAR MENCARI EMAS DAN PERMATA
ORANG-ORANG BERHATI MALAIKAT
MENGUJI TINGKAT KEJUJURAN MANUSIA
KETULUSAN HATI
KEMATIAN ADALAH PERISTIWA YANG HAKIKI
KEMATIAN DEMI KEMATIAN TERJADI BERSAMA IRONI
KEMATIAN RADIT ANAK KEDUA
LAPAK MUTILASI SEORANG WANITA BERGAUN PENGANTIN
KEMATIAN TERUS TERJADI
LINGSIR WENGI
AWAL UNTUK AKHIR
EPILOG
PESAN DARI PENULIS

MALAM PERTAMA DI RUMAH BARU

149 10 0
By Satpam_Hot

Arloji sakana klasik menunjukkan pukul 18.00 WIB. Kala itu, Jefri dan istrinya membuka acara televisi. Netra pun tercengang dengan sebuah tulisan berwarna merah menyatakan kematian Daniel Hanon Subroto. Secara saksama, pasangan suami dan istri itu membuka stasiun khusus berita terkini.

"Pah, ada kecelakaan di Medan?" tanya Siska penasaran.

"Iya, Ma. Paling juga orang mabuk," jawab Jefri sekenanya.

"Coba buka dulu beritanya, mama mau lihat."

Jefri pun membuka berita terkini yang tersedia di stasiun televisi khusus, mereka tercengang setelah mendapati mobil sport berwarna merah telah menabrak tiang listrik di Jalan Lintas Sumatera, Simpang Limun, Medan. Korban adalah seorang direktur yang saat ini telah menjabat di luar negeri.

"Pah, kok, mobil itu seperti yang baru saja menjual rumah ini?" tanya Siska penasaran.

"Ah, ngaco aja kalau ngomong. Jelas-jelas beliau baru pulang dari rumah ini. Mana mungkin dia tabrakan," pungkas Jefri seraya menatap mantap isi berita.

Lamat-lamat, akhirnya Jefri pun percaya kalau orang tersebut adalah Daniel—penjual rumah yang saat ini dia beli, karena dari koper hingga pakaian korban tampak jelas dilengkapi dengan inisial DHS. Secara saksama, netra sepasang suami—istri itu pun saling tukar tatap seraya celingukan.

Setelah beberapa jam menonton televisi, listrik di rumah tersebut tiba-tiba padam. Aurel dan Radit yang berada di atas lantai dua menjerit ketakutan, mereka pun menggedor pintu kamarnya.

"Papa ... Mama ...!" teriak Aurel dan Radit secara serempak.

(BATAS)

Dengan langkah limbung, Jefri dan sang istri pun melompat dari atas sofa dan berlari menaiki anak tangga lantai dua. Setibanya di kamar dengan tulisan 303, mereka tertegun seraya celingukan. Suara kedua anaknya tak terdengar lagi. Pasalnya, Aurel dan Radit telah pergi sejak sore bersama neneknya di warung penjualan es krim.

"Pah, yang teriak tadi siapa, ya?" tanya Siska sembari membulatkan netranya.

"Enggak tahu, 'kan, anak kita lagi pergi sama ibu." Jefri pun celingukan karena tak tahu harus berkata apa.

"Ya, udah, kita masuk aja ke kamar. Mungkin mereka udah pulang, tapi kita yang enggak melihat," ujar sang istri menengahi.

"Kita cek sama-sama." Jefri pun membuka pintu kamar menggunakan tangan kanan.

Sprei bernuansa serba putih tidak lusuh dan berantakan, sementara kedua anaknya pun tidak ada dalam kamar itu. Langkah kaki yang semakin gontai, membawa mereka pada sebuah lukisan di pojok kamar. Wanita cantik berbusana adat itu tersenyum meskipun suasana kamar sedikit temaram, sementara jendela balkon terbuka sangat lebar.

"Mama, kalau sudah sore jendelanya ditutup!" seru Jefri ngegas.

"Ta-tadi, udah mama tutup, kok," titah Siska terbata-bata.

"Tapi kenyataannya belum, jangan ngawur kalau ngomong." Sang suami pun menaikkan satu nada suaranya.

"Kenapa, sih, belakangan ini Papa suka nyalahin mama. Padahal, cuma perkara sepele aja." Siska pun membungkam percakapan, kemudian dia pergi meninggalkan sang suami dalam kamar.

"Tuh, kalau dibilangi seperti itu. Enggak ada nurut-nurutnya sama suami. Padahal kalau sudah magrib jendela terbuka, setan-setan masuk dengan gampang," omelnya sendiri dalam kamar tersebut.

Setelah sang istri keluar, hiruk pikuk terdengar bersama semilir angin. Ventilasi menghadirkan nuansa yang nyaman dan damai, padahal di ruangan itu sangatlah temaram seakan tak ada yang bisa dilihat. Namun, dalam sekelebat pemikiran, sebuah telapak tangan mendarat di pundaknya.

"Kebiasaan, kalau habis marah pasti merayu." Jefri pun meledek seraya membuang cengir di ambang jendela.

Akan tetapi, orang tersebut tak membalas sama sekali ucapan Jefri. Yang ada hanyalah sebuah telapak tangan yang basah, lembap, dan lembut. Lamat-lamat, bulu kuduk meremang, decak jantung tak lagi netral seperti biasanya.

Tanpa memutar badan, Jefri mencoba untuk merayu sang istri lagi di posisi belakangnya. "Sayang ... kunci kamarnya, hi-hi-hi."

Karena perkataan itu tak kunjung dapat belasan, Jefri pun menoleh ke belakang secara perlahan. Netranya tercengang dengan sebuah ruangan yang kosong, ternyata Siska—istrinya tidak ada di posisi itu. Menggunakan tangan kanan, pemuda bertubuh maskulin itu mengerling dan membuang tatapan menuju plafon.

Ternyata penglihatan awal sama saja dengan yang baru saja dia buang, tepat di posisi depan tidak ada siapa pun. Keningnya pun mengernyit secara saksama, kemudian dia beringsut dua langkah ke depan dan menoleh kamar mandi.

'Enggak ada orang. Lalu, yang tadi menyentuh pundak aku siapa, ya?' tanya Jefri dalam hati.

Suara kecipak terdengar dari dalam kamar mandi, keran air seperti tengah menyala dengan sendirinya. Jiwa pun gelenyar dan penasaran. Akhirnya Jefri memasuki ruangan minimalis dengan dua pintu di dalamnya. Menggunakan tangan kanan, dia menyibak pintu pertama berwarna biru. Namun, di sana tidak ada siapa pun.

Kemudian, Jefri menyibak pintu nomor 2. Namun, di sana juga tidak ada siapa-siapa. Ketika dia mencoba untuk putar badan, tepat pada cermin di samping nakas, telah ada seseorang berambut sepinggang tengah menyisir rambutnya. Tanpa jemu, dia tetap tertegun pada posisinya itu.

'Yang menyisir rambut di belakang aku siapa, ya? Kok, seperti ibu ketika masih muda dulu.'

Setelah bersenandika, Jefri pun memutar badannya secara spontan. Ternyata di sana tak ada siapa pun, akan tetapi keran air masih menyala meskipun telah dimatikan. Karena merasa sangat ketakutan, pemuda beranak dua itu keluar dari dalam kamar mandi dan listrik kembali menyala.

"Alhamdulillah ... akhirnya lampu hidup kembali."

Hidupnya listrik, membawa penglihatan tak lazim lagi. Tepat di atas ubin, sebuah tusuk konde berwarna kuning tergeletak di samping dipan. Jefri pun mengambil benda tajam itu dan meletakkannya di atas nakas, kemudian dia pergi begitu saja.

Sesampainya di ruang tamu, Aurel dan Radit telah kembali bersama sang nenek. Mereka tampak ceria dengan membawa boneka dan robot mainan, keduanya pun memasuki ruang tamu dan bercokol bertiga.

"Bu, kok, cuma bertiga? Ayah ke mana?" tanya Jefri penasaran.

"Kayak enggak tahu bapakmu aja, lagi main catur di luar sama Diman." Sang ibu menoleh ke ambang pintu.

"Oh, sudah makan, Bu?" tanya Jefri lagi.

"Sudah, anak-anakmu sama persis dengan ayahnya dulu. Kalau lewat ke toko mainan pasti rewel, semua-semua minta dibeliin."

"Biarkan sajalah, Bu, asal tidak menangis," tukas Jefri.

"Papa, tadi kami bermain di pasar malam. Seru banget, ya, Radit?" tanya Aurel.

Radit pun hanya mengangguk seraya mengiyakan ucapan sang kakak, mereka pun tampak sangat bahagia tinggal di rumah baru itu. Padahal, Aurel dan Radit tidak pernah betah ketika menginap di tempat yang baru saja mereka datangi. Namun, Jefri selalu berpikir positif kalau rumah yang saat ini dihuni cocok dan bisa membuat kedamaian rumah tangganya.

Malam pun semakin larut, arloji sakana klasik menunjukkan pukul 22.00 WIB. Akhirnya Jefri dan Siska beringsut menuju kamar, sementara kedua anak-anak mereka telah terlelap di kamar masing-masing. Tepat dalam ruangan minimalis, kedua pasangan suami—istri itu kembali bercokol.

Pasalnya, tak berapa lama lagi mereka harus pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Mau tidak mau, kedua anak harus tinggal bersama nenek dan kakeknya di rumah. Nestapa kembali membelenggu jiwa yang kian gelenyar, tak mampu memberitahukan apa alasan pasti perihal kepergian itu. Tak lain adalah karena tuntutan pekerjaan.

"Sayang," panggil Jefri singkat.

"Iya, Pa," respons Siska.

"Sebentar lagi kita akan kembali bekerja meninggalkan anak-anak. Rasanya ... seperti enggak tega."

"Papa, sebenarnya mama juga berpikir seperti itu. Tapi gini, kita tinggal memilih antara 2. Tetap bekerja demi masa depan mereka, atau tetap tinggal tetapi nasib keluarga akan terancam. Yang aku mau, anak-anak kita akan berhasil kelak."

"I-iya, sih. Mereka harus mendapatkan kehidupan yang layak. Jangan seperti kehidupan kita sekarang, montang-manting dibawa arus."

"Kalau Papa merasa merepotkan ibu, cari pembantu baru untuk menemani mereka. Kan, ibu bisa fokus jaga anak-anak, sementara pembantu baru akan membersihkan rumah," ujar Siska.

"Benar juga kamu, Ma, memang istri terbaik aku." Jefri pun mencubit dagu sang istri dengan penuh kasih sayang.

Percakapan pun berhenti sejenak, Siska yang saat itu telah menutup mata, seraya membuang senyum simpul di bibirnya. Sementara sang suami masih berkutat pada penampakan tak lazim baru saja dia alami, termasuk menemukan sebuah tusuk konde berwarna kuning di samping dipan.

Karena rasa penasaran kembali menyergap, lelaki berusia 29 tahun itu mengambil benda tajam di samping nakas. Secara saksama, dia menatap mantap tusuk konde dan membolak-balikkan ke kanan dan ke kiri. Sementara jiwanya masih gelenyar merumuskan pertanyaan yang datang, sementara hati ingin mencekal firasat buruk itu.

Karena malam semakin larut, Jefri meletakkan benda tersebut di dalam nakas. Lamat-lamat, netra pun tertutup secara saksama bersama sang istri. Tepat di atas samping kiri, seseorang berbusana serba putih muncul seraya menatap mantap wajah tampan lelaki itu di atas dipan.

Tusuk konde berwarna kekuningan pun dia ambil dan diletakkan pada—dada—pemuda tampan tersebut. Kemudian, sosok bertubuh semampai itu berjalan menuju lukisan tiga dimensi dan masuk dalam ruang dunia gaib.

"Kamu siapa?" tanya Jefri penasaran.

"Saya bukan siapa-siapa, kenapa bertanya seperti itu!" pungkas lawan bicara.

"Cuma heran aja, soalnya kamu cantik sekali."

"Pasti kamu bohong. Kalau memang saya cantik, mana mungkin sampai saat ini saya belum dapat jodoh."

"Emang enggak ada lelaki yang suka sama kamu?" tanya Jefri bertubi-tubi.

Tanpa membalas ucapan, wanita itu hanya menggeleng dua kali, kemudian dia membuang tatapan menuju depan. Karena Jefri merasa sangat penasaran, dia pun menyentuh pundak wanita cantik itu. Dalam sekelebat penglihatan, sosok bertubuh semampai di hadapan pun menoleh.

Ketika dia membuang tatapan, wajahnya dipenuhi dengan darah dan belatung. Tepat di posisi tertegun, Jefri seakan tak mampu berkata apa pun.

"Ka-kamu, hantu ...!" teriaknya seraya membuka netra secara spontan.

Keringat membasahi sekujur tubuh ditimpali rasa ketakutan teramat dalam. Suara ayam pun telah berkokok di luar rumah, ternyata pagi telah tiba.

"Papa, kamu kenapa?" tanya Siska—istrinya.

"Enggak, Ma. Tadi cuma mimpi aja," jawab sang suami.

Continue Reading

You'll Also Like

10K 370 8
Serial ke 17. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal de...
10.1K 401 8
Serial ke 10. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal de...
187K 6K 138
awalnya ga pernah terpikirkan buat gue nulis cerita ini. setelah acara reunian kemarin, ga tau kenapa gue jadi ingin banget nulis cerita ini. ya seke...
70.5K 2.4K 33
Cerita lucu yang bikin suasana hati kembali adem dan tenang. Cerita humor yg aku ambil dari beberapa cerita yg ada di buku. Silahkan dibaca teman2 d...