Love For Eleanor

By FatimahIdris3

1.1K 807 528

Kutulis kisah ini untuk banyak orang. Untuk mereka yang pernah terluka dan ragu untuk kembali membuka hatinya... More

BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 5
BAGIAN 6
BAGIAN 7
BAGIAN 8
BAGIAN 9
BAGIAN 10
BAGIAN 11
BAGIAN 12
BAGIAN 13
BAGIAN 14
BAGIAN 15
BAGIAN 16
BAGIAN 17
BAGIAN 18
BAGIAN 20
BAGIAN 21
BAGIAN 22
BAGIAN 23
BAGIAN 24.1
BAGIAN 24.2
BAGIAN 25
BAGIAN 26
BAGIAN 27
BAGIAN 28
BAGIAN 29
BAGIAN 30
BAGIAN 31

BAGIAN 19

17 10 0
By FatimahIdris3

Sore yang indah ditemani puding buatan Fai. Sambil berselonjor dilantai yang dingin. Bermalas-malasan tanpa memikirkan pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran. Nikmat mana lagi yang lebih dari ini.

El menikmati puding coklat buatan Fai sementara Ahra sudah sibuk dengan maskernya. Jika tadinya El pikir Sharga yang meminta Ahra melakuakn ritual semacam luluran, maskeran atau segala bentuk berkaitan dengan wanita. Ternyata tebakannya salah. Ahra melakukan itu atas kemauannya sendiri.

Saat El bertanya, Ahra hanya mengatakan bahwa dia ingin terlihat berbeda dihari pernikahannya nanti. Fai sampai tertawa mendengar alasan Ahra.

"drrrrtttt ddrrrrrtttt" Ponsel Ahra diatas meja bergetar.

"Ada yang telepon" Beritau El.

Ahra menengadahkan tangannya, berniat meminta tolong diambilkan ponselnya. Untuk berbicara, Ahra kesusahan karna masker yang dipakainya mulai mengering. Apalagi, posisinya tengah berbaring. Membuatnya kesulitan menggapai ponselnya. El yang tidak paham dengan maksud Ahra mengernyitkan kening.

Lalu dengan tanpa dosa kembali menikmati pudingnya yang tinggal setengah. Ahra memukul pundak El sedikit lebih keras.

"Awwwwh apa, Ahra? Kau mau apa?" Tanya El bingung.

Ahra membentuk tangannya menjadi kotak. Berharap El bisa menangkap maksudnya. Namun, dasar El yang nalarnya terlalu lama, dia mengabaikan Ahra. Kesal, Ahra bangun dari berbaringnya dan mengambil ponselnya.

"Owh... Kau tadi minta diambilkan ponsel, hehehehhe" Ucap El cengengesan.

Ahra memutar bola matanya jengah. Lalu membaca pesan yang diterimanya.

"Astaga, aku lupa!!!" Teriak Ahra mengabaikan maskernya yang sudah retak dan berceceran jatuh kelantai. El sampai mengelus dadanya karna terkejut mendengar teriakkan Ahra.

"Ada apa? Kau membuatku hampir terkena serangan jantung" Protes El masih mengelus dadanya.

"Aku lupa memberikan undangan pada salah satu guru ditempatku bekerja"

"Bagaimana bisa? Bukankah kau sudah menyebarkan undangannya dua minggu yang lalu?"

"Iya, tinggal satu orang yang belum, waktu itu dia tidak masuk, ingin kutitipkan tapi kesannya tidak sopan"

"Kenapa tidak kau antar kerumahnya?"

"Masalahnya rumahnya jauh, waktu itu aku sempat ingin meminta antar Sharga, tapi dia malah ada pertemuan mendadak diluar kota, jadinya sampai sekarang belum kuberikan undangannya"

"Owh begitu, ya sudah ayo kuantar, kita ketempat Fai dulu, kita pinjam mobil ketempat temanmu itu"

"Kau benar ingin mengantarku?"

El hanya memutar bola matanya jengah. Pertanyaan Ahra sangat tidak membutuhkan jawaban darinya.

"Tapi..."

El mengangkat kedua alisnya bingung."Apalagi?"

"Undangannya ada ditempat Sharga" Ahra menunduk.

"Ya sudah tinggal ambil" Kata El asal.

"Tidak bisa"

"Kenapa tidak bisa?"

"Kau lupa aku tidak boleh bertemu Sharga sampai hari pernikahan, kalau aku ketempatnya..."

"Ah iya juga, bukan tidak mungkin kalian akan bertemu, lalu bagaimana?"

Kedua wanita itu sama-sama terdiam. Sama-sama berfikir.

"Ah aku tau, minta Diaz saja antar undangannya ketempat Fai" Kata El pada akhirnya.

"Benar juga, kenapa tidak terfikirkan ya" Ahra mengotak-atik ponselnya. Tapi dia merengut kecewa.

"Aku tidak punya nomer ponselnya"

"Hadeh... Biar aku saja, aku punya nomer ponselnya, bagaimana bisa kau tidak punya nomer ponsel orang kepercayaan calon suamimu" Gerutu El sambil menyalakan ponselnya yang beberapa hari sengaja dimatikan. Terlalu malas mendapat telepon dari ibunya.

"Sharga yang melarang, katanya untuk apa menyimpan nomer Diaz kalau aku sudah punya dirinya"

"Gila, dasar budak cinta"

🌺🌺🌺

"Ya El, ada apa?" Tanya Diaz yang langsung menjawab telepon dari El. Ada rasa senang yang dirasakannya saat melihat nama El tertera diponselnya. Diaz dan El memang jarang berkomunikasi meski lewat telepon. Hanya untuk hal penting dan menyangkut pernikahan Sharga dan Ahra saja biasanya El atau Diaz yang menelepon lebih dulu. Selebihnya tidak pernah.

"Undangan?"

"..."

"Baiklah, akan kuantar ketempat Fai" Diaz mengambil kaos hitam polos dilemari lalu celana jeans panjang.

"..."

"Iya sama-sama, tenang saja aku sama sekali tidak merasa direpotkan, sampai bertemu ditempat Fai" Diaz mematikan teleponnya dan segera berpakaian.

Tidak seberapa lama dia keluar dari kamar, dia berjalan menuju kamar Sharga. Hal yang dilihatnya saat pertama kali masuk, Sharga tengah meringkuk di kasurnya. Diaz membuka laci meja kecil disamping tempat tidur. Tidak ada undangan yang dimaksud El.

Diaz mencari lagi dimeja kerja Sharga. Tapi tidak ada juga. Dimana undangannya. Apa mungkin tidak ada pada Sharga. Tapi El bilang ada disini. Sharga membuka matanya. Mengernyit saat mendapati Diaz berdiri didekat meja kerjanya.

"Sedang apa kau disitu?" Tanya Sharga dengan suara serak khas orang bangun tidur.

Diaz berbalik "Aku cari undangan"

"Undangan?"

"Iya, undangan untuk teman Ahra"

"Owh"

"Hanya owh? Dimana undangannya?"

Sharga termenung sebentar, seperti mengingat-ingat dimana dia meletakkan undangan yang dimaksud Diaz. Cukup lama Sharga dengan posisi itu, hingga Diaz gemas sendiri. Hampir saja Diaz ingin memukul kepala Sharga, dikira pria itu kembali tertidur. Tapi dia urungkan karna Sharga berdiri setengah meloncat dari kasurnya.

Diaz mengikuti langkah Sharga yang melangkah kearah lemari pakaian. Sharga mengacak-acak baju yang tertata rapi. Sesekali menggaruk kepalanya yang Diaz yakin tidak gatal.

"Harusnya ada disini, kenapa tidak ada ya? Apa aku lupa menyimpannya?" Sharga bermonolog sendiri.

Diaz hanya memperhatikan dari balik bahu Sharga. Tadinya ingin membantu mencari, hanya saja Sharga tidak pernah mengijinkan siapapun mengacak-acak lemarinya. Jadi Diaz hanya diam dibelakang Sharga.

"Tidak ada?" Tanya Diaz.

Sharga mengacuhkan Diaz dan mulai mencari undangan pernikahannya. Diaz mencondongkan sedikit kepalanya. Dibawah kaos putih Sharga, undangan itu terlihat. Namun karna terlalu panik, Sharga tidak menyadari keberadaan undangan tersebut. Diaz menjulurkan tangannya, mengambil undangan itu.

"Undangannya kubawa ya, aku pergi" Tanpa menunggu Sharga membalas perkataannya, Diaz sudah pergi lebih dulu meninggalkan Sharga yang masih melongo.

🌺🌺🌺

Ahra dan El sudah sampai di restoran Fai beberapa menit yang lalu. Sambil menunggu Diaz, keduanya mengobrol dimeja sudut tempat biasa mereka gunakan. Meja itu seperti basecamp yang sengaja disediakan untuk Fai dan dua sahabatnya itu. Bahkan selain mereka, tidak ada karyawan maupun pelanggan restoran yang menempati meja tersebut.

Disaat Fai dan Ahra heboh mengobrol banyak hal, El malah sibuk sendiri dengan ponselnya. Sejak mengaktifkan lagi ponselnya tadi, El penasaran dengan satu pesan dari nomer asing. Beberapa panggilan juga dari nomer asing itu terpampang dinotifikasi ponsel miliknya.

El membuka pesan itu dan langsung bisa menebak siapa yang pemilik nomer asing itu. Billy, pria itulah yang mengiriminya pesan. El jadi mengingat kembali pertemuannya dua hari lalu dengan pria itu. Penjelasan dan permintaan Billy saat itu sedikit membuat hatinya goyah.

El sempat tidak bisa tidur. Kata-kata Billy terus berputar dikepalanya. Wanita itu tidak tau bahwa hatinya begitu lemah. Baru begitu saja sudah gelisah sendiri. El benci dirinya yang seperti ini. Apa yang harus dilakukannya sekarang. Kembali dirinya dibuat galau oleh hatinya sendiri.

El terlalu larut dalam fikirannya yang terus berkecamuk hingga tidak menyadari kedatangan Diaz. Baru setelah pria itu menarik rambutnya, El langsung salah tingkah.

" Selalu dalam keadaan melamun" Kata Diaz sambil membenarkan posisi duduknya.

El tidak menjawab. Dia menoleh kesampingnya, mencari keberadaan kedua sahabatnya yang sudah menghilang entah kemana.

"Fai membuatkan minuman untukku, sementara Ahra ke toilet, jika kau mencari mereka" Beritau Diaz sebelum El bertanya.

"Owh..." Hanya itu yang keluar dari mulut El. Lalu kembali fokus pada ponselnya. Diaz jadi gemas sendiri karna merasa diacuhkan. Padahal wanita itu yang tadi meneleponnya memintanya mengantar undangan milik teman Ahra. Tapi sekarang dia sama sekali tidak menghiraukan keberadaannya bahkan hanya sekedar menyapanyapun tidak.

Diaz merampas ponsel El. Diaz mengernyitkan keningnya melihat sebuah pesan dari Billy yang sedari tadi dilihat El.

"Hei apa yang kau lakukan? Kembalikan ponselku, kau tidak sopan mengambil ponsel orang lain seenaknya apalagi membaca pesan diponsel itu" Gerutu El dengan wajah penuh kekesalan.

"Kau masih berhubungan dengan pria itu?" Tanya Diaz seperti seorang pria yang mengintrogasi kekasihnya.

"Tidak" Jawab El singkat.

Diaz mengangkat ponsel El "Lalu ini apa?"

"Pesan itu dikirim beberapa hari yang lalu, aku baru tau tadi saat akan meneleponmu, baru aku baca juga" El menunduk, seolah takut jika dia mengangkat wajah Diaz akan memarahinya.

"Kenapa menunduk, angkat kepalamu" Perintah Diaz.

"Tidak mau, kau pasti akan memarahiku" Tolak El masih mempertahankan posisinya. Mereka benar-benar seperti pasangan. Atau lebih mirip seorang ayah yang tengah memarahi anaknya.

Diaz menghela nafas panjang "Aku tidak akan marah, aku tidak berhak marah padamu, aku hanya tidak suka jika kau kembali berhubungan dengan pria itu, dia tidak baik untukmu"

El perlahan mengangkat kepalanya. Mendengar perkataan Diaz, entah mengapa dia tidak terima. Ada apa dengannya.

"Jangan temui dia lagi, cukup saat di Shara restoran yang waktu itu saja"

"Ma'af" El tidak tau untuk apa dia meminta ma'af. Tapi mendengar larangan Diaz untuk tidak menemui Billy lagi, membuat El merasa bersalah. Dua hari lalu El bertemu dengan Billy, walau itu bukan keinginan El.

"Kenapa minta ma'af?" Kali ini Diaz menatap El tepat di mata indah milik El.

"Dua hari yang lalu aku bertemu dengannya didepan tempat kerjaku" El berhenti sebentar hanya ingin tau bagaimana reaksi Diaz. Tapi pria itu hanya diam dan terus menatapnya.

"Dia menungguku disana, lalu memintaku untuk mendengarkan penjelasannya"

"Lalu?"

"Dia menjelaskan semuanya dan memintaku untuk memulai kembali hubungan kami dari awal"

"Kau menyetujuinya?"

El menggeleng "Tidak, aku-aku belum menjawabnya, dia bilang memberiku waktu untuk berfikir"

Diaz menghela nafas. Ada emosi yang terpancar dikedua matanya. Namun El tau pria itu mencoba untuk menahannya. El tau Diaz cemburu. Bukankah sejak awal El tau jika Diaz menaruh hati padanya. Meski El tidak pernah tau bagaimana bisa Diaz yang saat awal pertemuan bersikap dingin padanya, tiba-tiba menyatakan diri menyukai dirinya. Mustahil.

Suasana berubah. Baik Diaz maupun El tidak lagi bicara. Mereka seolah berada di dua dunia berbeda meski tubuh mereka ditempat yang sama.

"Jus semangka dengan tambahan susu ekstra sudah siap, silahkan diminum" Kata Fai yang berhasil mengembalikan suasana hangat disekitar Diaz dan El.

"Terima kasih, Fai" Diaz langsung meminum jus yang dibuatkan Fai untuknya.

Ahra sudah kembali dan langsung bergabung dengan Diaz, Fai dan El.

"Terima kasih ya Diaz, sudah bersedia mengantarkan undangan itu kesini dan ma'af merepotkan" Kata Ahra tidak enak hati.

"Kau ini, seperti orang lain saja. Sebentar lagi kan kita akan jadi keluarga" Kata Diaz sambil mengacak rambut Ahra. Diperlakukan seperti itu, membuat Ahra cemberut. Sharga dan Diaz sama-sama suka membuat rambutnya berantakan.

"Jadi untuk apa undangan itu?" Tanya Diaz penasaran.

Ahrapun memberitau untuk siapa undangan itu dan alasan mengapa Diaz diminta untuk mengantarkannya ke restoran Fai.

"Owh begitu ya, aku antar saja bagaimana?" Tanya Diaz menawarkan diri.

"Hem tidak... Tidak perlu, aku dan El akan pergi menggunakan mobil Fai" Tolak Ahra halus.

"Kau bisa mengemudi?"

"Ah bukan aku, tapi El"

"Sudah tidak apa-apa, tidak perlu merasa tidak enak hati" Kata Ahra sambil memamerkan senyum khas miliknya.

"Sharga akan membunuhku jika aku membiarkan kau pergi hanya berdua dengan El, biar aku saja yang mengantar kalian, anggap saja mengusir rasa bosanku, bagaimana?"
Diaz terus memaksa hingga membuat Ahra tidak bisa menolak.

"Huft baiklah... Kalau aku menolakpun kau pasti akan terus membujukku" Kata Ahra pasrah.

Diaz tersenyum senang. Setidaknya dia bisa berguna untuk orang lain.

🌺🌺🌺

Sharga: "Kau dimana? Sedang bersama siapa?"

Ahra tersenyum membaca pesan yang dikirim Sharga beberapa saat setelah mobil milik Diaz keluar dari halaman restoran milik Fai. Tadinya Ahra tidak akan memberitahukan kemana dia pergi. Namun Sharga pasti akan marah dan Ahra malas meladeni kemarahan pria yang menjadi tunangannya itu.

Ahra: "Ma'af ya tidak ijin padamu sebelumnya, aku akan memberikan undangan pada temanku, kau tenang saja, ada Diaz dan El bersamaku, jangan marah, aku mencintaimu"

Ahra menyimpan kembali ponselnya setelah memberi balasan pesan pada Sharga. Tidak lama, Ponsel Diaz berdering memecahkan kesunyian didalam mobil.

"Iya???" Diaz melirik Ahra sekilas lewat spion yang ada didepannya. Ahra mengerutkan kening bingung.

"Iya aku pasti menjaganya, cerewet sekali" Mendengar perkataan Diaz, Ahra sudah bisa menebak siapa yang menelepon pria itu.

"Berikan padaku" Kata Ahra sambil menjulurkan tangannya pada Diaz. Dengan terpaksa Diaz menyerahkan ponselnya pada Ahra.

"Aku bukan anak kecil lagi, Sharga... Berhentilah posesif atau aku tidak akan menjadi istrimu minggu depan" Setelah mengatakan itu, Ahra mematikan ponsel dan mengembalikannya pada Diaz.

"Kau benar-benar akan melakukan apa yang kau katakan tadi? Kau serius?" Tanya El yang sedari tadi hanya berdiam diri. El tidak percaya Ahra bisa mengatakan itu pada calon suaminya. El sampai membalikkan tubuhnya menghadap kebelakang, kearah Ahra.

Sambil mengedikkan bahunya, Ahra berkata tenang. "Tentu saja tidak, ayolah mana mungkin aku membatalkan pernikahan yang tinggal seminggu lagi"

"Lalu tadi itu apa?" Kali ini Diaz yang mengemudi juga ikut berkomentar.

Ahra menghela nafas. Lalu menyandarkan punggungnya.

"Aku hanya mengancamnya. Terkadang aku kesal dengan sifat posesifnya"

"Menurutku itu wajar, dia kan mencintaimu, bayangkan saja dia sudah mencintaimu sejak kalian sama-sama masih kecil hingga saat ini cintanya masih untukmu" Kata El penuh binar kekaguman

"Kau benar, El" Timpal Diaz yang terus fokus menyetir.

"Kau tau Ahra, saat diluar negeri dulu banyak yang mengejar-ngejar Sharga, bahkan ada yang rela memberikan keperawanannya pada tunanganmu itu, tapi Sharga dengan tegas menolaknya, dia bahkan dianggap memiliki kelainan seksual"

"Itu karna dia terus bersamamu?" Tebak El menatap Diaz curiga.

"Dengan siapa lagi"

Ahra dan El saling berpandangan. Diaz tersadar dengan perkataannya. Pasti dua wanita ini berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya dan Sharga.

"Kalian jangan berfikir yang aneh-aneh, aku dan Sharga hanya teman, kami masih normal terutama aku"

"Benarkah? Bagaimana kami bisa percaya, bukankah kau terkenal tidak pernah memiliki kekasih bahkan yang kudengar orientasi seksualmu juga diragukan" Kata El sambil bersedekap.

"Ck mau kubuktikan?" Tantang Diaz sambil menatap kearah El. Beruntung sedang lampu merah.

Mata El dan mata Diaz saling bersitatap. Keduanya seolah terperangkap didalam dimensi yang hanya ada mereka berdua. Ahra yang duduk dikursi belakang hanya memperhatikan tingkah keduanya. Diam-diam Ahra mengambil ponsel disaku celananya dan mengambil foto El dan Diaz yang saling bertatapan. Ahra tersenyum puas dan mengirimkan foto itu digroup chat yang diisi oleh Fai dan El.

"Heh Diaz, sudah lampu hijau, sampai kapan kau dan El akan saling bertatap begitu?" Suara Ahra yang menginstrupsi keduanya, membuat El maupun Diaz salah tingkah.

"Hahahahahahha, kalian lucu sekali" Ahra tertawa puas melihat El dan Diaz kelabakan sendiri.

El tersipu malu dan segera memalingkan wajahnya menghadap jendela. Sementara Diaz berusaha menetralkan wajahnya yang pasti memerah.

El tidak habis fikir, apa maksud perkataan Diaz tadi. Apa yang ingin dibuktikan pria itu. Lalu tadi kenapa Diaz menatapnya sangat intens. Bodohnya lagi, El seolah terhipnotis dengan tatapan Diaz. El hanyut dalam mata bening milik Diaz. Jika boleh jujur, El bisa merasakan cinta yang begitu besar hanya lewat tatapan Diaz. Namun El ragu. Tidak mungkin Diaz semudah itu menyukainya. Mustahil.

Diaz melirik sekilas pada El yang duduk disampingnya. Diaz juga sama seperti El. Merutuki dirinya sendiri yang keceplosan. Harusnya dia tidak mengucapkan itu pada El. Tadinya dia hanya ingin menggoda wanita itu. Tapi malah terbuai dengan mata coklat milik El.

"Ehem, rumahnya ada diujung jalan Diaz, jangan sampai kelewatan" Kata Ahra mengingatkan.

"Hmm... Ya baiklah"

Susana mobil kembali hening. Ketiganya sibuk dengan fikiran mereka masing-masing.

🌺🌺🌺

Fai baru saja masuk keruangannya. Berniat mengistirahatkan sejenak tubuhnya. Walau restoran tutup, Fai masih menyempatkan diri datang. Hanya sekedar mengecek bahan makanan yang tersisa dan menerima pesanan dengan layanan pesan antar. Aro tentu saja yang mengantar makanan pada pelanggan.

Fai mengecek ponselnya. Saat membuka pesan Ahra yang dikirim digroup, dia tertawa. Pesan itu berupa foto El dan Diaz yang saling berpandangan.

Me: "Owh... So sweet sekali, dunia terasa milik berdua"

Tidak lama ada balasan dari El. Hampir saja Fai tertawa membaca pesan balasan dari El.

El: "AHRA!!!!!! Hapus sekarang!!!"

Ahra: "Kenapa harus dihapus? Itu foto yang bagus, heheheh"

El: "Ish.... Kalian berdua menyebalkan!"

Me: "Sudah tidak apa-apa El"

El: "Apanya yang tidak apa-apa? Itu memalukan"

Ahra: "Ck sejak kapan kau punya malu? Bukankah urat malumu sudah putus?"

El: "Enak saja, diantara kita bertiga, aku satu-satunya yang normal, tidak seperti kalian"

Me: "Ada apa dengan kami?"

El: "Kalian berdua manusia paling gila yang pernah aku temui"

Ahra: "Pencemaran nama baik! Coba apa buktinya kita ini gila seperti yang kau katakan?"

El: "Baiklah biar ku beritau, tidak ada orang yang berkenalan dengan menunjukkan muka datar, lalu memandang orang itu sinis seolah ingin memakannya"

Ahra: "Heh, aku dan Fai memang begini, itu cara kami membuat orang penasaran"

El: "Aku belum selesai"

Ahra: "Ok lanjutkan"

El: "Lalu setelah kesan misterius diawal, kegilaan kalian mulai terungkap, kau dengan kekanakanmu dan Fai dengan sifat ketusnya, apa bukan gila namanya"

Ahra: "Itu bukan gila, tapi memang sifat kita begitu, kau pandai sekali mengalihkan pembicaraan"

Fai meletakkan ponselnya diatas meja. Dia tidak lagi tertarik dengan obrolan El dan Ahra. Fai memejamkan matanya yang mulai berat. Mungkin tidur sebentar bisa mengembalikan kesegarannya.

🌺🌺🌺

El memanyunkan bibirnya sambil menatap Ahra sebal. Yang ditatap hanya tersenyum tanpa rasa bersalah. Saat ini Ahra, El dan Diaz ada disebuah kedai yang tidak jauh dari rumah teman Ahra.

Setelah selesai mengantar undangan, Diaz mengajak El dan Ahra makan. Katanya dia belum makan siang. Disinilah mereka.

"Diaz, boleh bertanya sesuatu?" Tanya Ahra membuka obrolan.

"Apa?" Diaz yang dari tadi asik dengan makanannya beralih menoleh kearah Ahra yang duduk didepannya.

"Menurutmu, cinta pandangan pertama itu apa?"

El mendengus. Apa-apaan sahabatnya itu. Kenapa menanyakan hal yang sama sekali tidak penting seperti itu.

Diaz tampak berfikir sebentar. Lalu melipat kedua tangannya diatas meja. Raut wajahnya tampak serius.

"Cinta pandangan pertama ya?"

Ahra mengangguk penuh keantusiasan. Sebenarnya apa yang tengah direncanakan wanita itu. El terkadang heran dengan tingkah Ahra yang terkadang absurd.

"Cinta pandangan pertama itu rasa tertarik saat pertama bertemu lawan jenis, merasa dia ditakdirkan untuk menjadi pasangan kita, ada yang berbeda saat menatap lawan jenis, lalu disini..." Diaz berhenti sebentar sambil menyentuh dadanya.

"Ada rasa nyaman saat berdekatan dengannya"

Perasaan El atau memang sejak tadi pandangan mata Diaz mengarah padanya. El sampai salah tingkah.

"Owh... Seperti kau dan El?" Tanya Ahra sedikit memancing Diaz yang terus memandangi El.

"Ya" Jawab Diaz tanpa sadar. "Eh apa katamu tadi?" Diaz gelagapan sendiri saat menyadari apa yang baru saja ditanyakan Ahra.

"Hahahahah sudahlah tidak perlu mengelak, aku dan yang lain sudah tau, kau menyukai El" Kata Ahra tertawa puas.

"Tapi sepertinya temanmu ini tidak menyukaiku" Kata Diaz lirih.

"Aku bukan tidak menyukaimu, aku menyukaimu tapi hanya sebatas teman, jika kau meminta lebih, sayang sekali aku tidak bisa" Kata El menyesal.

"Kenapa tidak bisa?" Tanya Diaz menuntut.

"Aku butuh waktu Diaz, aku belum siap menjalani sebuah hubungan lagi, kau tau maksudku, ma'af. Kuharap kau mengerti" El beranjak dari kursi dan pergi meninggalkan Ahra dan Diaz.

Ahra memukul kepalanya sendiri. Dia benar-benar merasa bersalah sekarang. Harusnya dia tidak memulai obrolan yang akhirnya membuat El dan Diaz jadi seperti sekarang.

"Ma'af Diaz, aku..."

"Tidak apa Ahra, mungkin memang butuh waktu untuk El bisa menerimaku" Diaz memperlihatkan senyumnya yang Ahra tau itu hanya senyum yang dipaksakan.

"Aku akan menyusul El" Ahra berdiri dari tempat duduknya. Lalu menyusul El yang entah kemana.

🌺🌺🌺

El terduduk disalah satu bangku yang ada dihalaman tempat Diaz mengajak dia dan Ahra makan. Airmatanya mengalir deras. El tidak tau mengapa dia menangis. Ada rasa sesak yang dia rasakan didadanya. Sebenarnya ada apa dengan dirinya. El seperti tidak mengenali dirinya sendiri.

Terserah jika sekarang dia dicap sebagai wanita yang tidak berpendirian. El hanya takut. Takut akan kegagalan cinta seperti kisah cintanya terdahulu. Dia pernah dikecewakan meskipun dia sudah tau semuanya.

Apa ini karmanya. Karna dulu dengan mudahnya dia memutuskan cinta dengan beberapa pria. Bukan tanpa alasan El memutuskan mereka. Pria-pria itu tidak ada yang benar-benar serius menjalin hubungan dengannya. Mereka hanya penasaran dengannya. Lalu setelah rasa penasaran mereka terobati, mereka mulai malas dan mencari-cari alasan agar El meminta putus. Dengan senang hati El akan memutuskan mereka.

Namun saat dirinya mulai melabuhkan hatinya pada seseorang yang menurutnya bisa menjadi sandaran terakhirnya. Nyatanya hatinya dibuat terluka. Walau pada akhirnya hanya salah faham, tapi hatinya sudah terlalu sakit. Dan untuk memulai hubungan baru, dia takut. El tidak ingin hal yang sama kembali melukai hatinya.

El fikir, Diaz bisa memahaminya. Tapi sepertinya dia salah. Diaz tidak benar-benar memahaminya. El tau tidak ada orang yang akan selalu sabar menunggu kepastian darinya. Namun El selalu percaya jika suatu saat ada pria yang akan benar-benar bersabar demi mendapatkan hatinya. El rasa Diaz bukanlah orangnya.

"Ma'af sudah membuat suasana jadi tidak nyaman, aku tidak bermaksud begitu" Suara Ahra mengembalikan kesadaran El.

Dengan kasar, wanita itu menghapus airmata dipipinya. Lalu mendongakkan kepala. Ahra berdiri didepannya. Terlihat jelas raut bersalah diwajahnya.

El tersenyum. "Sudah lupakan, anggap saja tidak terjadi apa-apa" Tangan El meraih tangan mungil Ahra. Lalu menggenggam tangan itu seolah mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja.

"Aku tidak akan ikut campur lagi, kau berhak menentukan dengan siapa hatimu berlabuh, hanya kau sendiri yang tau" Ahra memeluk El erat.

Kali ini dia berjanji tidak akan menyinggung tentang perasaan Diaz atau apapun yang menyangkut sahabatnya itu. Bukan tidak peduli, hanya tidak ingin melihat El terluka dan semakin menutup hatinya untuk Diaz.

🌺🌺🌺

Ma'af ya guys kalo cerita ini kagak jelas. Ma'af kalo banyak typo.

Jangan lupa vote dan komentnya ya makasi😘😘






Continue Reading

You'll Also Like

223K 12.3K 30
( sebelum membaca jangan lupa follow akunnya πŸ‘Œ) yang homophobia di skip aja gak bisa buat deskripsinya jadi langsung baca aja guys bxb bl gay homo ...
542K 88.4K 30
βœ’ λ…Έλ―Ό [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
15.7M 990K 35
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
753K 69.1K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...